BAB I Pendahuluan - Pemikiran Amien Rais Tentang Kekuasaan (Studi Analisis Konsep Kekuasaan Pada Pasca Reformasi)

  

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul .............................................................................................. i Abstrak ........................................................................................................... ii Abstract .......................................................................................................... iii Halaman Pengesahan ..................................................................................... iv Kata pengantar ............................................................................................... vi Daftar isi ......................................................................................................... viii BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang .........................................................................

  1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................

  5

  1.3 Batasan Masalah ...................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian .....................................................................

  6

  1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 6 1.6 Kerangka Teoritis .....................................................................

  7

  1.6.1 Teori dan Konsep Kekuasaan .......................................... 7 1.6.2 Teori Pembagian Kekuasaan ...........................................

  12

  1.7 Metode Penelitian ..................................................................... 19 1.7.1 Jenis Penelitian ................................................................

  20 1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................................

  22 1.7.4 Teknik Analisa Data ........................................................

  22 1.7.5 Sistematika Penulisan ...........................................................

  23

  BAB II Biografi Amien Rais 2.1 Pendidikan dan Pengalaman Politik Amien Rais........................

  27 2.2 Aksi, Pemikiran, dan Karya-karyanya ........................................

  31 2.3 Dari Seorang Pengagum, Hingga Dijuluki “Natsir Muda” .........

  35 BAB IIIAnalisis Pemikiran Amien Rais 3.1 Pandangan Politik Amien Rais ....................................................

  43

  3.1.1. Pandangan Terhadap Kekuasaan Serta Pengaruh Pada Sitem Demokrasi… ........................................................

  43 3.2. Aplikasi Transisi Demokrasi Di Indonesia .................................

  65 3.3.Peran Amien Rais Dalam Transisi Demokrasi 1998 ...................

  56

  3.4.Pemikiran Politik Amien Rais Pada Awal Transisi ......... Demokrasi Era Reformasi .............................................................................

  59 3.4.1.Gagasan Reformis Amien Rais .................................................

  60 3.4.2.Isu Suksesi Kepemimpinan Nasional Amien Rais ............

  60 3.5.Awal Transisi Demokrasi Di Indonesia .......................................

  64

  3.5.1. Detik-detik Peralihan Kekuasaan………………………. 65

  3.5.2. Pemerintahan B.J.Habibie……………………………… 68

  3.5.3. Politik Poros Tengah……………………………………. 72

  3.5.4. Masa Pemerintahan Megawati………………………….. 77

  BAB IV Kesimpulan 4.1 Kesimpulan .................................................................................

  79 4.2 Saran ............................................................................................

  81 Daftar Pustaka ................................................................................................ 82

KATA PENGANTAR

  Skripsi ini bertujuan untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini adalah “PEMIKIRAN AMIEN RAIS TENTANG KEKUASAAN (Studi Analisis Konsep Kekuasaan Pada Pasca Reformasi)”. Penelitian ini membahas tentang Pemikiran Amien Rais Tentang Kekuasaan Pada Pasca Reformasi.

  Dalam menyelesaikan skripsi ini, saya mendapat banyak dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak. Karena itu saya mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1.

  Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universits Sumatera Utara.

  2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, sebagai Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

  3. Bapak Drs. Tony P. Situmorang, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing saya yang telah banyak memberikan masukan-masukan ilmu positif kepada saya, serta memberikan waktunya untuk membimbing dalam menyelesaikan skripsi saya ini.

  4. Bapak Indra Fauzan, S.Hi,M.Soc,Sc, sebagai Dosen Pembaca saya yang juga memberikan waktu, Ilmu dan masukan-masukan positif di dalam menyelesaikan skripsi saya ini.

  5. Seluruh Staf pengajar yang telah memberi, membagi ilmunya kepada saya selama saya menjadi Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, begitu juga dengan Staf Pegawai Departemen Ilmu Politik.

  6. Terima kasih Terkhusus buat Kedua Orang Tua saya, Bapak Syahrin Anwar Hasibuan dan Ibu Laila Rani, atas semangat, doa, dukungan, materi dan lainnya. Kalian berdua segalanya buat saya.

  7. Buat kawan-kawan Asrama Putra, Bang Ando, Bang Budi, Bang Reza Said, Bang Hendri (Fredi Mercury), Azir, Risman Sitompul (Dimitri), Alex Marpaung, Sony Togatorop (Job Hunter), Adrian (Adek Gam), Iman Nst, dan lain-lain. Terima kasih semua atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada saya.

  8. Buat kawan-kawan seperjuangan di Departemen Ilmu Politik Stambuk 08, Pahrur Roji, Syahriandi Artel, Sukurdi, Saleh, Hasan, Arfan Habibi, Winner Silaban, Marthin Sinuraya, Anri Panasehat, Vasperton, Intan Khaliza Sirait, Efrida Nst, Winna Hsb, Melisa Sihotang, Fansiska Dabutar, dan kawan-kawan seperjuangan lainnya atas semangat dan dukungannya.

  Medan, Februari 2015 Penulis Akhmad Ramdani Hsb

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

  Kekuasaanadalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang ataulain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.Kekuasaan merupakan konsep yang sering diperbincangkan dalam dunia politik. Dalam aktivitas politik tidak terlepas dari tema kekuasaan. Begitu pentingnya kekuasaan dalam aktivitas politik, maka tidak heran dalam suatu hal dianggap wajar jika para aktor politik melakukan berbagai cara untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaan.Seseorang yang memiliki kekuasaan, biasanya menjadi tokoh yang disegani, ditakuti, dan tidak jarang juga dibenci dan dicaci. Namun, selama kekuasaan itu masih melekat kuat pada diri seseorang maka orang tersebut punya kedigdayaan untuk berbuat banyak hal, termasuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.

  Pemerintahan Orde Baru merupakan pergantian kekuasaan dari pemerintahan masa Orde Lama.Pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru bersifat otoriter, dominatif, dan sentralis. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto berkuasa sejak tahun 1966 dan berakhir pada 1998. Periode tersebut merupakan salah satu periode terpenting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Presiden Soeharto berkuasa secara mutlak memimpin Indonesia selama 32 tahun. Kekuasaannya dimulai sejak kejatuhan Presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno.

  Otoriterisme pada masa Orde Baru merambah segenap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat. Sistim perwakilan bersifat semu, bahkan hanya merupakan cara untuk melancarkan kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilihan Presiden melalui MPR Soeharto selalu terpilih. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Kebijakan politik teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN.Dukungan dari militer yang kuat serta sekelompok kecil masyarakat sipil, membuat rezim ini dapat berkuasa. Militer dengan empat angkatannya, yakni darat, laut, udara, dan Polisi menjadi pilar utama rezim ini. Meskipun banyak kritikan mengenai hal ini, tetapi fakta membuktikan bahwa militer tetap berperan penting bagi rezim Orde Baru.

  Pada masa Orde Baru,Dwifungsi ABRI terlalu mengakar masuk ke sendi- sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan pada bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh personel TNI dan Polri. Kondisi politik lebih rumit dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah.Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa.Maka sistem pemerintahan Orde Baru tersebut menyebabkan munculnya perlawanan oleh masyarakat Indonesia.

  Gejolak politik yang terjadi pra-reformasi merupakan suatu batu loncatan bagi Indonesia dalam melakukan perubahan sosial dan politiknya. Di bidang sosial, perubahan yang diharapkan yaitu kebebasan menyatakan pendapat maupun kebebasan pers serta segala hal yang menyangkut kehidupan sosial yang menjadi cita

  • cita reformasi.Suasana politik yang begitu kacaunya mendekati datangnya masa reformasi, dimana terjadinya krisis multidimensi dalam berbangsa dan bernegara.Pada kondisi tersebut masyarakat terus berjuang untuk segera diadakannya reformasi dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia. Karena kekuasaan Orde Baru dianggap sebagai dalang dari berbagai kekacauan yang terjadi pada masa itu.Kekuasaan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto dianggap sebagai pihak sangat bertanggung jawab atas terjadinya kekacauan dan krisis multidimensi yang di alami bangsa Indonesia pada masa itu. Karena alasan tersebut, para pejuang reformasi berusaha untuk melengserkan kekuasaan Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto.

  Proses lengsernya rezim Soeharto pada masa Orde Baru tak luput dari peran Amien Rais sebagai pencetus gerakan reformasi. Amien Rais merupakan salah satu aktivis politik yangberdiri paling depan untuk menyuarakan berakhirnya rezim Soeharto.ia bahkan pernah akan menggalang people poweryang akhirnya digagalkan Pangkostrad Prabowo Subianto. Tak urung posisi ini membuat nama Amien Rais harum sebagai salah seorang tokoh kunci pergerakan reformasi di Indonesia. Tujuan utama Amien Rais dan para aktivis adalah berjuang untuk melakukan reformasi dalam rangka melengserkan presiden Soeharto dan mengosongkan jabatan presiden RI. Dengan pengharapan pada masa era reformasi memunculkan pemerintahan yang mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia terutama masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

  Para aktivis melakukan berbagai upaya untuk mengubah rezim tersebut. Karena masaOrde Barudianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan ketidakberpihakan terhadap rakyat. Munculnya ide para aktivis politik untuk mengubah sistim reformasi karena adanya berbagai bentuk kecurangan diantaranya berupa tindak korupsi, ketidakadilan dalam bidang hukum, pemerintahan yang otoriter (tidak demokratis) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam Orde Baru, kebebasan berpendapat sangat terbatas, penggunaan kekerasan dan pengasingan terhadap yang menentang pemerintah melalui orasi secara terang - terangan atau hanya ditayangkan di televisi meskipun tidak bermaksud apa - apa sama sekali bisa dipenjarakan atau dibumi hanguskan sampai tidak dikeathui lagi kabarnya, dan adanya 5 paket UU serta munculnya demo mahasiswa yang menginginkan pembaharuan di segala bidang. Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengetahui “Bagaimana Pemikiran Politik Amien Rais tentang Kekuasaan Pada Masa era Reformasi”.

  1.2.Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka masalah yang akan dibahas kekuasaan?”.

  1.3.Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah adalahusaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis adalahKonsep Amien Rais Tentang Kekuasaan Pasca Reformasi?

  1.4.Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah di atas yang menjadi tujuan penelitian ini bertujuan untuk: a.

  Mengetahui bagaimana pemikiran Amien Rais tentang konsep kekuasaan dimasa Orde Baru.

  Menganalisa bagaimana konsep kekuasaan pasca reformasi.

  1.5.Manfaat Penelitian

  Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : a.

  Manfaat secara praktis Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan menambah referensi pengetahuan dalam konsep kekuasaan, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

  b.

  Manfaat secara teoritis Penelitian ini dapat memperkaya penelitian di bidang ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya dalam studi pemikiran tentang tokoh politik. Sehingga dapat menambah khazanah kepustakaan politik.

1.6.Kerangka Teori

1.6.1. Teori dan Konsep Kekuasaan

  Dalam sebuah Negara gagasan tentang pemisahan kekuasaan sangat diasumsikan sebaga suatu cara untuk menjadikan negara tidak berpusat pada satu tangan (monarkhi) melainkan harus memiliki batasan-batasan kewenangan. Dalam

  

  kekuasaan dari tiap-tiap Negara kedalam tiga bagian Antara lain: 1.

  Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat undang-undang.

  2. Kekuasaan eksekutif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang - undang.

  3. Kekuasaan Federatif, yakni kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan luar negeri.

  Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang

  

  lainnya. Menurut Montesquieu dalam suatu pemerintahan Negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan : 1.

  Kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen) 2. Kekuasaan eksekutif, dilakasanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri- menteri atau kabinet)

  1 2 Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 72 C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, 2003. Sistem pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 8

  3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya) Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan (the

  

Separation of Power) yang dikenal dengan Istilah Trias Politica istilah yang diberikan

  oleh Imanuel Kant. Keharusan pemisahan kekuasaan Negara menjadi tiga jenis itu Politica berasa dari kata Yunani yang artinya “Politik Tiga Serangkai”, Menurut ajaran trias Politica dalam setiap pemerintahan Negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan kekuasaan itu harus

  

  terpisah. Ajaran Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang marak terjadi pada zaman feodalisme pada abad pertengahan. Pada jaman itu yang memegang kekuasaan dalam Negara ialah seorang Raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankan dan menghukum segala pelanggaran atas undang- undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut. Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang bertumpuk di tangan raja menjadi lenyap. Dan ketika itu pula timbul gagasan baru mengenai pemisahan

   kekuasaan yang dipelopori oleh Montesqiueu.

  Prof Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materil 3 dan pemisahan dalam arti formal. Adapun yang dimaksudkan dengan kekuasaan 4 Ibid . hal 8-9

  C.S.T Kansil, Op. Cit., hal. 10-11 dalam arti materil ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian: yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pemisahan kekuasaan

   dalam arti formal ialah pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan jelas.

  fungsi, maupun mengenai alat perlengkapan atau sebagai organ penyelenggara Negara. Montesqiueu menegaskan, bahwa kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pihak penguasa akan terjamin apabila ketiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisil diadakan pemisahan yang jelas satu sama lain.

  Prof. Dr. Ismail Suny S.H.,M.C.L. dalam bukunya yang berjudul Pergeseran Eksekutif mengambil kesimpulan dalam arti materil itu sepantasnya disebut

  

separation of power (Pemisahan kekuasaan) sedangkan yang dalam arti formal

  sebaiknya disebut Division of power. Amerika dianggap sebagai Negara yang pertama menerapkan ajaran pemisahan kekuasaan trias politika misalnya Presiden Amerika Serikat yang tidak dapat membubarkan kongres. Sebaliknya kongres tidak dapat menjatuhkan Presiden selama jabatan empat tahun. Selain itu para Hakim Agung Amerika Serikat, sekali diangkat oleh Presiden, selama berkelakuan baik, memegang jabatan seumur hidup atau sampai waktunya mengundurkan diri secara 5 sukarela, sebab Mahkamah Agung Amerika Serikat mempunyai kedudukan yang

  Pendapat Jennings, Ibid. hal 14 bebas. Badan Yudisil tertinggi atau “ Mahkamah Agung Amerika Serikat bertanggung jawab untuk menafsirkan undang-undang, mempunyai hak uji materiil atau judicial review atas undang-undang terhadap konstitusi, meskipun hak ini hanya merupakan konvensi ketatanegaraan, tidak tertulis di dalam konstitusi. Berbeda dengan Inggris, perdana menteri dapat membimbing Dewan Perwakilan Rakyat. menteri tidak boleh merangkap anggota kongres. Sebaliknya Perdana menteri dan kebanyakan Menteri di Inggris berasal dari Majelis rendah dan turut dalam perdebatan majelis itu. Perdana menteri mengetuai kabinet yang terdiri dari teman separtai dan sekaligus memberi bimbingan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyelenggarakan tugasnya sehari-hari misalnya dalam soal menentukan prioritas pembahasan.

  Oleh karenanya sebagaimana Negara- negara yang menganut sistem Presidensil dalam pemerintahan Negara, Indonesia telah menempatkan Presiden dalam fungsi Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Negara Republik

   Indonesia yang memiliki kekuasaan yakni sebagai berikut:

  1) Kekuasaannya Legislatif ( Pasal 5 dan Pasal 7 ayat 2 ) :

  2) Kekuasaannya Administratif ( Pasal 15 dan Pasal 17 ayat 2 )

  3) Kekuasaannya Eksekutif ( Pasal 4 ayat 1)

  4) 6 Kekuasaannya Militer ( Pasal 10, 11 dan 12 )

  UUD 1945 Pasca Amandemen

  5) Kekuasaannya Yudikatif ( Pasal 14 )

  6) Kekuasaannya Diplomatik ( Pasal 13 )

  Secara lebih terperinci, dapatlah dikemukakan bahwa Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang dasar 1945 mempunyai kekuasaan: 1)

  Menjalankan undang- undang Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri

  3) Membentuk undang-undang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Membentuk Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang. 5) Menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang. 6) Mengajukan RAPBN. 7) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia. 8) Menetapkan perang dengan persetujuan DPR. 9) Menerima duta dari Negara lain. 10) Memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. 11)

  Memberi gelar dan tanda jasa 12) Mengangkat duta dan konsulat.

  Relasi antara legistatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) dalam hal pembuatan Undang – undang, tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen, berbunyi : Setiap rancangan undang – undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

1.6.2. Teori Pembagian Kekuasaan

  Pembagian kekuasaan dalam suatu Negara, yaitu diletakkan secara vertikal dan horisontal. Kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, antara beberapa tingkat pemerintahan. Pembagian vertikal ini bila meminjam istilah Carl J. Friedrich merupakan pembagian kekuasaan secara teritorial

  Konsepsi kekuasaan teritorial terpilah sebagai negara kesatuan, federal atau konfederasi. Seperti pembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam Negara persatuan, antara pemerintahan federal dan pemerintah Negara bagian dalam federal. Tetapi di banyak kasus pilihan terhadap Negara dengan sifat kesatuan atau federalis adalah pilihan integrasi dari golongan- golongan dalam suatu wilayah. Namun persoalan sifat kesatuan atau federal dari suatu Negara terkait persoalan pada bentuk Negara dan persoalan Negara bersusun (samengestelde Staten atau Statenverbindungen), yang oleh Hans Kelsen sebagai

  

form of organization untuk kesemua Negara, baik konfederasi, federasi atau kesatuan

yang terdesentralistis.

  Pada konfederasi terdiri beberapa Negara berdaulat penuh secara ekstern atau intern, bersatu atas dasar perjanjian intenarsional yang diakui dengan menyelenggarakan alat perlengkapan tersendiri dan mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota konfederasi, tetapi tidak mengikat terhadap warga Negara masing-masing anggota (lihat Edward M. Said, Political Institutions). Di sini keanggotaan Negara tidak menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai anggota konfederasi, sebab kelangsungan konfederasi berdasar keinginan dan kesukarelaan Negara peserta. Konfederasi umumnya dibentuk untuk maksud tertentu umumnya bidang politik luar negeri dan pertahanan bersama. legislatif dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak di pemerintahan daerah. Sementara kekuasaan daerah diposisikan dari kewenangan pusat berdasarkan hak otonomi. Artinya seluruh kedaulatannya keluar atau ke dalam sepenuhnya menjadi wewenang pemerintahan pusat, hal mendasar adalah kedaulatan pada Negara kesatuan tidak terbagi dan bersifat satu. Adapun dua ciri Negara kesatuan adalah pertama supremasi dewan perwakilan rakyat pusat dan kedua tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Bentuk Negara kesatuan memang merupakan Negara dengan ikatan serta integrasi

   yang kokoh dibandingkan yang lain.

  Berbeda dengan Negara kesatuan, pada Negara federalisme agak sukar untuk dirumuskan, mengingat keberadaannya merupakan paduan dari bentuk kesatuan serta konfederasi. Negara federasi mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu kedaulatan Negara federal dalam keseluruhannya atau kedaulatan

  ggal 1 Desember 2013 Pukul 17.00 Wib Negara -negara bagian. Sedangkan penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari Negara bagian diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah federal dan kedaulatan ke dalam dibatasi.

  Dalam pilihan tersebut terdapat satu prinsip, yakni bahwa soal-soal yang menyangkut Negara keseluruhan diserahkan kepada kekuasaan federal sebagai merujuk K.C. Wheare dalam Federal Government, prinsip pederal mengatakan bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintahan federal dan pemerintah Negara bagian dalam bidang tertentu bebas satu sama lain. Misal kebebasan pemerintah federal dalam soal hubungan luar negeri dan mencetak uang, sedang dalam soal kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya adalah hak- hak kebebasan pemerintah Negara bagian dari intervensi pemerintah federal.

  Dari hal perbedaan federasi dan kesatuan setidaknya ada dua kriteria berdasar hukum positif pertama adalah suatu federasi memiliki pouvoir constituent, yaitu suatu wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas konstitusi federal. Dalam kesatuan, organisasi bagian - bagian Negara (pemerintah daerah) selalu mengacu atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat.

  Kedua,dalam Negara federal wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur sesuatu telah terperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedang dalam Negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditentukan atau ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang- undang yang rendah atau lokal, tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat.

  Sisi lain, secara insitusi bahwa dalam Negara federal wewenang legislatif negara bagian. Adapun bagi kesatuan, wewenang legislatif berada pada pusat, sedang kekuasaan legislatif rendahan atau lokal didasarkan dalam bentuk undang-undang organik yang ditentukan oleh badan legislatif pusat. Pembagian di atas terjadi juga pada wewenang eksekutif dan administratif.

  Sedang secara fungsi dikenal dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif sebagai fungsi kekuasaan yang melaksanakan undang-undang (rule

  

application function ), legislatif sebagai fungsi pembuat undang-undang (rule making

function ). dan yudikatif sebagai kekuasaan yang berfungsi mengadili atas

  pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Pembagian kekuasaan menurut fungsi ini dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division

  of power ), sebagai pembagian kekuasaan horisontal .

  Bersandar Trias politika tersebut dibangun prinsip normatif bahwa kekuasaan- kekuasaan yang ada tidak diserahkan kepada satu orang, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan atau sikap otoriterianisme dari pihak yang berkuasa, tentu dengan tujuan agar hak-hak warga Negara menjadi lebih terjamin. Prinsip ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan juga ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers).

  Hal terpenting bagi John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil

  

Government (1690) merupakan kritik atas kekuasaan absolute dari raja-raja Struat

Revolution ) yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. Locke memang membagi

  kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu legislative, eksekutif dan federatif, yang terpisah satu sama lainnya. Locke menyatukan kekuasaan eksekutif dan legislatif, sedang Kekuasaan federatif bagi Locke meliputi segala tindakan menjaga keamanan Negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan hubungan luar negeri lainnya.

  Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke disamping melihat ada despotisme raja-raja Bourbon (Perancis) dalam LEsprit des Lois (The

  

Spirit of the Laws ) 1748. Dia berkeinginan agar suatu sistem pemerintahan dapat

menjamin keberadaan hak-hak dasar warga Negara.

  Montesquieu memang lebih menekankan kebebasan badan yudikatif, karena menurutnya di yudikatiflah kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Perkembangannya, prinsip dari pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam perkembangan sejarah politik Amerika diperkuat lagi oleh Checks and

  

Balances , sebagai pengawasan dan keseimbangan agar masing-masing kekuasaan

  tidak akan melampaui batas wewenangnya. Seperti wewenang Presiden Amerika memveto rancangan undang-undang yang diterima kongres, sementara di sisi lain veto dapat dibatalkan kongres dengan dukungan 2/3 suara dari kedua majelis. Sedang check pada Mahkamah Agung adalah terhadap eksekutif dan legislatif melalui diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh kongres jika terbukti melakukan tindakan kriminal. Termasuk Juga keberadaan Presiden dapat di

  

impeach oleh kongres, tentu saja dengan proses validitas sebab musababnya dengan

tetap mengacu pada kepentingan Negara.

  Dalam konteks Indonesia dari semua hal diatas, para Begawan kemerdekaan memang telah meletakan sistem kekuasaan dalam kebutuhan lokus Indonesia dengan segala kearifan ideologi dan nilai-nilai yang mendasari tentang ke-Indonesia-annya. Seperti pada pilihan kekuasaan yang dimaknai dengan musyawarah mufakat atau permusyawaratan perwakilan yang dipahami sebagai Negara kekeluargaan bukan pilihan demokratisasi ala Barat yang saat ini berlangsung. Juga sikap menjadi Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik dan tidak monarki Donstitusional seperti Inggris.

  Kehati-hatian bersikap pada bentuk dan karakteristik kekuasaan Indonesia memang terpahami upaya menghindari pertentangan politik antar kelompok serta konflik-konflik yang dilatari feodalisme atau politik kedaerahan. Hal itu pula yang tercermati dan menjadi pertimbangan mendasar atas pilihan tersusunnya UUD 1945 ketika itu, yang ke semua diharapkan terakomodasi sebagai satu kesatuan tanpa harus mengorbankan siapapun.

  Walaupun dalam sistem kekuasaan atau pemerintahan Negara hukum berciri ditegaskan peraturannya agar Nepotisme dan kekerabatan tidak membentuk peodalisme dan kolusif, yang lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Sehingga pilihan kekuasaan tetap di koridor yang mengedepankan prinsip keadilan, transparansi informasi dan keterbukaan akses, prinsip persamaan atau kesetaraan warga terhadap perlakuan rejim kekuasaan. Kesemua, tentu saja dalam paradigma demokratisasi bahkan bila perlu dalam sistem kekuasaan ala Indonesia.

  Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang maupun kelompo lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu mnjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

  Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule and ruled), satu pihak yang memerintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Misalnya, seorang presiden membuat undang-undang ( subjek dari kekuasaan), tetap disamping itu juga dia harus tunfuk kepada undang-undang ( objek dari kekuasaan). Namun demikian kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaaan

   (machsuitoefening).

  Kekuasaan itu harus digunakan dan dijalankan. Apabila penggunaan pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan (Mactsniddelen) agar pengguanaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik Adapun yang dimaksud dalam kekuasaan politik disini adalah seperti apa yang terdapat dalam Trias Politica.

1.7.Metodologi Penelitian

  Berdasarkan dari uraian diatas dan penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif (menggambarkan). Penelitian deskriptif adalah cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data - data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai

   8 suatu gejala atau fenomena. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat

Miriam Budiharjo dan Ibrahim Ambong, Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia Jakarta: Raja 9 Grafindo Persada, 1995. Hal. 35-37 Bamabang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Perasada,2005,hal.42. deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta

  • fakta, sifat- sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antara variabel yang ada, tidak dimaksudkan menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian dilakukan pada penelitian eksplantif berarti tidak dimaksudkan membangun dan

  

  mengembangkan pembendaharaan teori, sekaligus dapat menjadi argumentasi dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal ini metode penelitian dimaksudkan untuk dapat menjelaskan bagaimana rangkuman dari suatu penelitian dalam menjelaskan segala fenomena politik yang telah terjadi.

1.7.1. Jenis Penelitian

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskritif. metodeologi yang dibubutuhkan dalam studi tokoh adalah kualitatif. Dalam penelitian pemikiran tokoh, kerangka yang dipakai dalam penelitian adalah kualitatif. Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi Tokoh: Metode

  

Pelitian mengenai Tokoh”, melalui metode kualitatif, penulis dapat mengenal sang 10 tokoh secara pribadi dan melihat mengembangkan defenisinya tentang dunia dengan Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-dasar Aplikasi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,1995, hal.20. berbagai pemikiran, karya dan perilaku yang dijalankan. Disamping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep- konsep atau ide-ide.

  Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan-tuisann yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan teori, tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi kriteria ilmu pengetahuan. Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranakan terlihat kekuatan dari pemikiran tokoh tersebut.

  Objek wacana penelitian ini adalah pemikiran seorang tokoh. Penelitian studi tokoh, seperti yaang dikatakan oleh Arief Furchan dan AgusMaimun, dikategorikan

  

  kedalam jennis penelitian kualitatif , yang menelusuri pemikiran melalui karya- karya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh dari karya yang dihasilkan.

  Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, 10 memungkinkan penelitian mendekati data sehingga mampu mengembangkakan

  

Bambang Prasetyo dkk, Metode penelitian kuantitatif : Teori dan aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005,

11 Hal. 42.

  

Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Hal. 20. komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. Pada umumnya deskriptif merupakan penelitian non hipotetis sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotetis.

  1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

  mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian skripsi ini penulis hanya menggunakan data sekunder, sebab data sekunderdianggap sudah mewakili dari segala pemikiran tentang studi tokoh tersebu. Data sekunder itu didapat pengumpulan data sebagai berikut:Library Research Methods (Metode Penelitian Kepustakaan) (in-depth) yang diambil langsung berasal dari data buku, surat kabar, bahkan didapat dari akses internet dan literatur lain yangberhubungan dengan judul skripsi ini. Dengan demikian diperoleh data sekuder sebagai kerangka kerja teoritis.

  1.7.3. Teknik Analisa Data

  Data sekunder dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang mendalam (in-

  

depth) dan tidak melebar (out-depth). Setelah data yang diperoleh dirasa memadai

untuk mendukung proses analisis, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data.

  Analisa data yang dilakukan dalam penelitian pemikiran tokoh disini, mempergunakan analisa sejarah. Menurut Tolfsen ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodeisasi atau derivasi darinya. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan.

  Dengan cara demikianlah, manusia dapat dilacak mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seseorang tokoh.

  Melalui analisa sejarah pula dapat diketahui bahwa seorang tokoh dalam tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakannya secara mendalam diipengaruhi tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal dalam tertanamdalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal.

1.8.Sistematika Penulisan

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka dasar pemikiranmetedeologi penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.

  BAB II : BIOGRAFI AMIEN RAIS Bab ini berisikan tentang geografi singkat perjalanan hidup dari objek yang diteliti yaitu, Amien Rais, mulai dari lahir, keluarganya, pendidikan yang ditempuh sampaipada pengalaman hidupnya. Serta pendidikan yang metarbelangi pemikiran politiknya.

  BAB III: PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan penulis mengenai pemirikan politik Amien Rais tentang konsep darinya, dan kiprah beliau diberbagai bidang, khususnya sosial politik sehingga bisa terbukti Aplikasinya di Indonesia.

  BAB IV : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan analisis dan saran dari hasil penelitian yangdiperoleh