BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana adalah masalah

  pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang di anggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata- mata bertujuan untuk memberikan rasa derita.

  Pemidanaan adalah suatu proses sebelum proses itu berjalan, peranan hakim sangat penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Penjatuhan pemidanaan pada pelaku tindak pidana itu mempunyai tujuan, Pemidanaan merupakan efek jera untuk seseorang agar tidak melakukan tindak

  

1

  pidana. Tujuan dari pemidanaaan adalah :

  a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventive) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive).

  b.

  Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

2 Teori pemidanaan ada 3 yaitu : 1.

  Teori Absolut (Teori Retributif) Memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan 1 yang telah dilakukan, berorientasi pada perbuatan dan terletak pada

  Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 19. 2 M.Sholehuddin, Sistem Saanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 34-41.

  terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampu yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan.

  2. Teori Relatif (Teori Tujuan) Berporos pada tiap tujuan utama pemidanaan yaitu : preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.

  3. Teori Gabungan Mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asan pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua

  3

  golongan besar, yaitu sebagai berikut : a.

  Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

  b.

  Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Tujuan pidana berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, tujuan umum itu merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat untuk mecapai kesejahteraan masyarakat itu dapat

  4

  dikemukakan sebagai berikut : 1.

  Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka timbullah pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan.

  2. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya orang (si pelaku), maka timbul terhadap yang menyatakan 3 bahwa tujuan pidana untuk memperbaiki pelaku.

  Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I : Stestel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-Teori Pemidanaan, Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana , PT RajaGrafindo Persada,

Malang, 2001, hal 166. 4 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara , Genta Publishing, Semarang, 2009, hal 86-89.

  3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dikatakan bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.

  4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Sehubungan dengan ini, maka sering pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat. Penjatuhan hukuman untuk setiap orang yang melakukan kegiatan industri tanpa izin usaha diatur didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan diatur didalam UU (Undang-Undang) yang mengatur tentang Perindustrian. Sanksi yang dikenakan bukan hanya sanksi pidana penjara saja, melainkan dikenal juga dengan adanya sanksi pidana denda. Sanksi denda juga dapat di pandang

  5

  sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana pencabutan kemerdekaan yang di anggap menderitakan menimbulkan suatu alternatif bentuk pidana yaitu pidana denda.

  Pidana denda merupakan keserasian antara kerugian yang di timbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh terpidana dengan mempertimbangkan minimum ataupun maksimum pidana denda yang di ancamkan terhadap suatu tindak pidana namun kecenderungan seperti ini belum cukup maksimal dilakukan.

  Setiap orang pernah melakukan pelanggaran di berbagai bidang apapun misalnya di bidang ekonomi tentang menghasilkan keuntungan, salah satunya dalam melakukan kegiatan usaha, seperti Perdagangan, Industri, Jasa dan lain 5 Niniek Suparni, Ekstistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 36. sebagainya. Dalam melakukan kegiatan usaha setiap orang memiliki hak yang sama sebagaimana dijelaskan dalam pasal 27 ayat 2 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa setiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, artinya hak- hak manusia tidak dibeda-bedakan dalam melakukan suatu kegiatan usaha.

  Untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri di perlukan adanya izin usaha. Izin merupakan instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum yang oleh pemerintah, izin itu digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara. Selain penting bagi Pemerintah izin juga penting bagi warga Negara agar mendapat pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum.

  Faktor perizinan juga ikut memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pembangunan. Faktor ini harus mampu memberikan motivasi yang dapat meningkatkan kesadaran akan perlunya suatu izin dalam mendirikan tempat usaha seperti kegiatan mendirikan, memperbaharui, mengganti seluruh atau sebahagiandan memperluas bangunan tempat usaha tanpa mengurus izin tempat usaha dengan alasan bermacam-macam.

  Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industri yang memiliki izin usaha adalah dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, kebijakan ini merupakan kontribusi terhadap meningkatnya kegiatan usaha. Salah satu peraturan tentang Industri tanpa izin yang menentukan masalah pidana denda adalah UU No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran industri yang sering terjadi di Indonesia salah satu yang sering terjadi adalah sebuah Industri yang tidak memiliki izin usaha.

  Tanggal 13 Januari 2014 telah diganti UU No. 5 Tahun 1984 menjadi UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan skaligus mampu menjadi landasan hukum bagi tumbuh, berkembang dan kemajuan industri nasional. UU perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrument pengaturan yang efektif dalam pebangunan industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.

  Kasus industri tanpa izin usaha terdapat di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya terjadi di Kota Medan, ada pun Peraturan daerah yang menangani masalah perindustrian adalah Perda kota Medan No. No. 10 Tahun 2002 tentang Retibusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan. Dalam ketentuan pidananya menentukan adanya ancaman pidana terhadap orang perseorangan atau badan hukum yang melanggar perda tersebut.

  Salah satu kasus yang terjadi di Kota Medan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penjual gas tanpa izin di toko dagangannya. Dengan barang bukti berupa Tabung gas berisi ukuran 12 Kg sebanyak 24 Tabung, Tabung gas berisi ukuran 3 Kg sebanyak 141 Tabung, Tabung gas kosong ukuran

  12 Kg sebanyak 45 Tabung, Tabung Gas kosong ukuran 12 Kg sebanyak 4 Tabung dan Tabung Gas ukuran 3 Kg sebanyak 3 Tabung, selang plastik yang dimodifikasi memiliki 2 (dua) buah regulator pada masing- masing ujung slang sebagai alat pemindah gas dari tabung ukuran 3 Kg bersubsidi ke tabung gas ukuran 12 Kg ukuran Non subsidi sebanyak 4 set, pipa plastik warna putih sebanyak 4 (empat) buah, tang besi bersarung karet 1 (satu) buah, gergaji besi 1 (satu) buah, kunci pas 14/17 1 (satu) buah, karet gas warna merah 1 (satu) kantong plastik, tutup segel gas elpiji ukuran 3 Kg bersubsidi ± 400 (empat ratus) buah.

  Hakim yang mengadili kasus tersebut menetapkan pidana denda pada pelaku pidana adalah sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) subsidair

  6 dua bulan penjara.

  Sanksi denda yang dijatuhkan kepada pelaku merupakan sanksi yang sangat ringan dikarenakan pelaku merupakan angota kepolisian salah satu aparat penegak hkum yang seharusnya menjadi panutan serta memberikan contoh yang baik kepada masyarakat sekitar tetapi dengan adanya kasus ini pelaku memberikan kergian kepada konsumen yang memakainya.

  Berdasarkan ringannya sanksi denda yang dijatuhkan Hakim pada pelaku Tindak pidana Industri tanpa Izin Usaha yang sebesar Rp. 2.500.000 apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ? Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan skripsi dengan judul

  “Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)”

6 Putusan Hakim Pengadilan Medan No 974/Pid.B/2014/PN.Mdn.

B. Perumusan Masalah

  Dengan adanya latar belakang tentang Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil muncul beberapa pertanyaan yang di jadikan rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimanakah Pengaturan Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan

  Industri ? 2. Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa

  Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil ? 3. Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa

  Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan:

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri.

  2. Untuk mengetahui Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil.

  3. Untuk mengetahui Bagaimana dan apakah sudah adil Hakim Menjatuhkan Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn.

  Manfaat Penulisan :

  Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a.

  Manfaat secara Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya mengenai pertanggungjawaban pelaku yang melakukan industri tanpa izin usaha dan Perkembangan sanksi Pidana Denda.

  b.

  Manfaat Praktis Selain Manfaat secara Teoritis, Penulisan skripsi ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang pertanggungjawaban Pelaku yang melakukan Industri Tanpa Izin Usaha juga bagi Pemerintah dan instansi Penegak Hukum dalam memecahkan Pemasalahan- permasalahan yang terjadi di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

  Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan di angkat yaitu tentang “Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

  974/Pid.B/2014/PN.Mdn).

  Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

  Disamping teori-teori yang telah penulis kemukakan yang tidak kalah pentingnya lagi yang harus diperhatikan di dalam menganalisis penjatuhan pidana denda terhadap pelaku yang melakukan kegiatan industri tanpa izin, adalah Konstruksi hukum, yang memberikan landasan bagi penjatuhan tindak pidana Industri tanpa izin usaha tersebut. Oleh karenanya untuk melihat apakah hukum yang ada telah memberikan dasar yuridis yang jelas dan tegas, maka teori yang penulis terapkan adalah Hirearki Perundang-undangan, yang penulis tujukan untuk melihat kesesuaian antara aturan hukum yang satu dengan hukum yang lainnya, yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana denda terhadap pelaku tindak pidana industri tanpa izin usaha. Disini penulis menerangkan dan menguraikan tentang : pengertian sanksi denda, pengertian pelaku tindak pidana, pengertian industri tanpa izin usaha, klasifikasi industri.

1. Pengertian Pidana Denda

  Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau di jatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, sedangkan denda menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan, undang- undang dsb). Jadi, defenisi dari pidana denda adalah suatu hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang terbukti melakukan kesalahan.

  Tujuan dari penjatuhan denda bukan semata- mata untuk menambah pemasukan keuangan Negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan- tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan denda baik dalam tahap legislatif (pembuat undang- undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan, oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan.

  Efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai

  

7

  tahap- tahap atau proses sebagai berikut : a.

  Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang- undang.

  b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan c.

  Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.

  Penelusuran sejarah tentang pidana denda, diketahui bahwa cara pemidanaan pidana denda amat tua, akan tetapi jalan kemenangannya baru dimulai seratus tahun terakhir. Tentang sejarah penerapan pidana denda ada 4

  8

  (empat) periode cara penerapannya yaitu sebagai berikut : 1.

  Pada awal abad pertengahan dengan dikenal sebagai sistem ganti rugi 7 atau sistem dimana semua perbuatan pidana diselesaikan dengan sistem

  sejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015. 8 ejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015. pembayaran uang, binatang atau sejenisnya menurut daftar tarif yang sudah ditentukan. Pada periode ini penjara tidak dikenal dan jenis pekerjaan utama adalah pertanian.

  2. Terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan berkembangnya jumlah penduduk, terjadilah banyak permasalahan sosial, kemerosotan ekonomi dan peningkatan kejahatan terhadap harta kekayaan, sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar.

  3. Pada 1600-an sampai Revolusi Industri, yang berkembang pada masa itu adalah penerapan pidana penjara, yang mengalami berbagai macam perubahannya.

  4. Pada abad kedelapan belas dengan ditandai munculnya pidana mati, sebagai upaya untuk menakut-nakuti rakyat miskin yang sudah kebal terhadap pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda sudah dikenal secara meluas di seluruh Indonesia, dalam menetapkan besar kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat, yaitu dapat diperinci sebagai berikut : a.

  Berdasarkan kasta orang yang bersalah dan kepada siapa kesalahan itu diperbuat.

  b.

  Berdasarkan akibat yang diderita oleh orang atau binatang yang terkena.

  c.

  Berdasarkan perincian anggota yang terkena.

  d. Berdasarkan berlakunya perbuatan.

  e.

  Berdasarkan niat orang yang berbuat salah.

  f.

  Berdasarkan jenis binatang atau barang yang menjadi objek perbuatan.

  Menurut pasal 30 ayat 1 KUHP, jumlah denda sekurang-kurangnya dua puluh sen . kini, tidak ada diadakan maksimum umum, maka tiap-tiap pasal yang mengancam dengan hukuman denda, tidak ada batas dalam menentukan maksimum denda untuk tindak pidana tertentu. Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Pidana Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 pasal 1 telah terjadi perubahan tentang pidana denda yang menyebutkan: “tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang- Undang Hukum pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 tahun 1960, maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang telah dikeluarkan sebelum taggal 17 agustus 1945, sebagimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini (ketentuan- ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidanaekonomi, tidak masuk disini), harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima b elas kali “

  Alasan dilakukannya perubahan pidana denda menurut penjelasan pasal 1 UU No. 18 Tahun 1960 sebagai ukuran bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 agustus 1945 rata-ratatelah meningkat sampai lima belas kali harga pada waktu itu. Oleh karena itu, maksimum jumlah hukuman denda itu, dilipatgandakan

  9 dengan lima belas kali dalam mata uang rupiah.

  Pembayaran denda tidak harus terpidana, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran

  10

  yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya. Membayar denda tentu saja pertama-tama adalah terhukum sendiri, oleh karena sifat pidana adalah sangat pribadi. Tetapi dalam prakteknya kerapkali pihak lain yang membayar denda itu, atau memberikan uang kepada siterhukum untuk membayar denda. Jika hal ini dilarang maka seharusnya ditentukan dalam undang- undang bahwa pembayaran dilakukan oleh siterhukum sendiri dan pihak ketiga dilarang melakukan

  9 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal , Politeia, Bogor,1986, hal 393. 10 R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 173. pembayaran untuk terhukum. Tetapi kini menurut KUHP kita masih berlaku

  11 bahwa denda dapat dibayar oleh pihak ketiga.

2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

  Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan pihak ketiga.

  Orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam antara lain :

  1. Orang yang melakukan (dader plagen) Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud suatu tindak pidana.

  2. yang menyuruh melakukan dan yang menyuruh melakukan, jadi Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)

  Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang yakni orang bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja.

  3. Orang yang turut melakukan (mede plagen) Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang atau lebih yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen).

  4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalagunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedangkan hasutannya memakai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain- lain sebagainya.

11 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal 75.

  Rumusan tindak pidana di dalam buku kedua dan ketiga KUHP biasanya di mulai dengan kata “barang siapa”. Ini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subjek tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dinyatakan bahwa bukan hanya manusia yang disebut sebagai subjek hukum pidana tetapi juga hewan karena hewan juga pernah melakukan tindak pidana tetapi hewan tidak dapat di minta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, namun setelah itu hanya manusia yang dinyatakan sebagai subjek hukum.

  Selain manusia (natuurlijke person), korporasi juga dapat dinyatakan sebagai subjek tindak pidana dikarenakan korporasi dapat melakukan tindak pidana, meskipun yang berkedudukan di dalam korporasi adalah pengurus atau komisaris suatu badan hukum maka dari itu subjek tindak pidana diperluas termasuk badan hukum. Bentuk pidana terhadap pribadi tidak dapat diterapkan pada badan hukum, kecuali jika yang harus dipidana adalah pribadi pengurus atau

  12 komisaris badan hukum tersebut.

  Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggung

  13

  jawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut :

  a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; b.

  Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau

  12 13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 55.

  Mohammad Ekaputra, Dasar- Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, Hal 27. c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

  Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang semula hanya berlaku untuk tindak-tindak pidana tertentu di luar kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku juga secara untuk tindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sanksi terhadap korporasi dapat berupa pidana, namun dapat pula berupa tindakan tata tertib.

  14 Konteks kejahatan yang di lakukan oleh korporasi akan menimbulkan

  banyak korban. Yang menjadi korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah sebagai berikut :

  15 1.

  Perusahaan saingan sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat, praktik- praktik monopoli, dan lain-lain.

  2. Negara sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, dan lain-lain.

  3. Karyawan sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, dan lain-lain.

  4. Konsumen sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.

  5. Masyarakat sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, penghindaran pajak dan lain-lain.

  6. Pemegang saham sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akuntansi, dan lain-lain. Kesalahan korporasi diidentifikasi dari kesalahan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi, mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan 14 Ibid hal 28. 15 Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap

  

Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011, hal 6. pengawasan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruh melakukan, sebagai orang yang turut serta melakukan, sebagai penganjur maupun sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya didalam ruang lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.

3. Pengertian Industri Tanpa Izin Usaha

  Pengertian Industri bermacam-macam, menurut Badan Pusat Statistik, Industri adalah sebuah kesatuan unit usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk menghasilkan barang atau jasa yang berdomisili pada sebuah lokasi atau tempat tertentu dan memiliki catatan administrasi sendiri. UU No. 5 tahun 1984 memberikan defenisi Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk

  16 kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan Industri.

  Jenis usaha didalam produksi/industri adalah jenis usaha yang terutama bergerak dalam kegiatan proses pengubahan suatu barang/bahan lain yang berbeda

  17

  bentuk atau sifatnya dan mempunyai nilai tambah. Kegiatan ini dapat berupa produksi/industri pangan, pakaian, peralatan rumah tangga, kerajinan, bahan bangunan, dan sebagainya.

  Izin merupakan suatu penetapan tertulis dari pemerintah yang bersifat publik yang diberikan berdasarkan wewenang pemerintah. Menurut para ahli pengertian izin adalah sebagai berikut : 16 17 Undang- Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

  

Singgih Wibowo, Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil, Jakarta, 1986, Hal 5. Praduji Atmosudirdjo menyatakan Izin (Vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan suatu larangan oleh undang- undang. Yang bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin….(melakukan)…dan seterusnya.” Selanjutnya, larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat- syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat- pejabat administrasi Negara yang bersangkutan.

18 Sistem pemerintahan di Indonesia dalam hal wewenang pemberian izin

  merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, dalam hal ini pelimpahan pemberian izin ini diatur secara umum dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 18 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

  Ayat (1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri usaha pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pemerintahan. Implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18 ayat (1) dan ayat

  (2) diatas oleh pemerintahan Kota Medan, dapat dilihat dengan adanya pengaturan khusus mengenai izin tempat usaha di Kota Medan. Oleh karena itu, setiap kegiatan mendirikan tempat usaha di Kota Medan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Izin tempat usaha yang dimaksud adalah izin yang diberikan bagi tempat usaha yang tidak menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, dan tercemarnya lingkungan, dikecualikan kepada tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk pemerintah daerah meliputi kawasan industri dan Zona industri. 18 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Gahlia Indonesia, Jakarta, 1983, hal 94.

4. Pengertian Klasifikasi Industri

  Indonesia tidak mengenal adanya defenisi yang jelas mengenai apa itu perusahaan skala menengah atau skala besar. Klasifikasi industri resmi, misalnya mengelompokkan sebagai berikut : 1.

  Industri kecil, 2. Industri menengah, dan 3. Industri besar

  Pengelompokkan ini menjadi lebih rumit lagi dengan kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut akan berbeda menurut defenisinya tergantung pada apakah perusahaan-perusahaan itu berada dalam sector pertanian, industri, perdagangan atau jasa. Adanya keanekaragaman definisi tersebut, maka kajian ini merupakan konvensi yang paling dekat mewakili konsep usaha kecil dan menengah sebagaimana diartikan pada kajian-kajian Negara lainnya, sebagai

  19

  berikut : Dalam hubungan dengan data sekunder, industri-industri kecil akan - dimasukkan dengan usaha-usaha kecil dan menengah.

  • memperoleh gambaran yang lebih lengkap.

  Dalam survai primer kami sendiri, usaha kecil menegah terutama akan

  20 Skala perusahaan didefinisikan menurut jumlah pekerja, maka : 1.

  Suatu perusahaan skala kecil memperkerjakan 1-10 pekerja.

  2. Suatu perusahaan skala menengah memperkerjakan 10-50 pekerja.

  3. Suatu perusahaan skala besar memperkerjakan 50 pekerja atau lebih.

  19 20 Ibid hal 16-17.

  Ibid hal 17. Industri kecil menurut departemen perindustrian meliputi banyak jenis industri menufaktur, kiranya bermanfaat bila kita mengacu ke berbagai kategori industri kecil menurut defenisi departemen perindustrian. Dengan cara ini, dapat dibuat perkiraan mengenai peranan relatif berbagai kategori industri kecil dan juga keefektifan berbagai program bantuan teknis yang dirancang untuk berbagai kategori industri kecil ini.

  Departemen perindustrian membedakan kategori-kategori industri kecil

  21

  berikut ini : 1.

  Industri kecil modern Menurut defenisi departemen perindustrian, industri kecil modern meliputi industri kecil yang :

  Menggunakan teknologi proses madya;

  • Mempunyai skala produksi yang terbatas;
  • Tergantung pada dukungan litbang dan usaha-usaha kerekayasaan
  • (industri besar);

  Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan

  • dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor; Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya.
  • 2.

  Industri kecil tradisional Berlainan dengan industri kecil modern, industri kecil tradisional pada umumnya mempunyai ciri-ciri :

  Teknologi proses yang digunakan secara sederhana; - Teknologi pada bantuan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang

  • disediakan oleh Departemen Perindustrian sebagai bagian dari program bantuan teknisnya kepada industri kecil;
  • sederhana;

  Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif

  Lokasinya di daerah pedesaan;

  • Akses untuk menjangkau pasar di luar lingkungan langsungnya yang
  • berdekatan terbatas.

3. Industri kerajinan kecil

  Industri kerajinan kecil meliputi berbagai industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan teknologi proses yang maju.

21 Thee Kian Wie, Industralisasi Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1996, hal 111-112.

  Selain potensinya untuk menyediakan lapangan kerja dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan bagi kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, terutama di daerah pedesaan, industri kecil kerajinan juga didorong atas landasan budaya yakni mengingat peranan pentingnya dalam pelestarian warisan budaya

  22 Indonesia. Kriteria Industri Kecil adalah sebagai berikut : a.

  Investasi yang mencakup bangunan, mesin dan peralatan dengan nilai seluruhnya tidak lebih dari dua ratus juta rupiah, b.

  Pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni dengan pengumpulan data secara Studi Kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau data-data sekunder. di dalam penelitian hukum, di pergunakan pula data sekunder yang dari sudut kekuatan mengikatnya di golongkan ke dalam bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.

  2. Bahan Hukum

  Penulisan Skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder

  23

  yang diperoleh dari : a.

  Bahan Hukum Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  22 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,hal 130. 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Penerbit Prenadamedia Group, Surabaya, 2005, hal 181. b.

  Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar- komentar atas putusan pengadilan

  3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

  Penulisan Skripsi ini dipergunakan metode Studi Kepustakaan. Metode melalui kepustakaan yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

  4. Analisa Data

  Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta- fakta yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif untuk

  24 mendapatkan jawaban atas permasalahan yang di teliti.

G. Sistematika Penulisan

  Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi pesan yang ingin disampaikan maka dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 ( lima ) bab, yaitu :

BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang

  penulisan sehingga mengangkat permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan

24 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hal 55.

  kepustakaan, metode penulisan yang dipakai secara sistematika penulisan.

  BAB II: Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri menurut UU No. 5 Tahun 1984, dan Pengaturan Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri menurut UU No. 3 Tahun 2014 dan dalam bab

  ini diuraikan tentang pengaturan pidana denda di Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan.

  BAB III: Penjatuhan Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri melalui jenis-jenis sanksi pidana yang dapat

  dijatuhkan, pengaturan sanksi denda di KUHP, kelemahan dan keuntungan sanksi denda, kedudukan dan manfaat pidana denda dibandingkan dengan pidana lainnya dalam UU No. 5 Tahun 1984 dan Penjatuhan antara Pelanggaran dan Kejahatan didalam UU No. 5 tahun 1984.

  BAB IV: Kajian yuridis Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Tanpa Izin ditinjau dari Putusan PN Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn, dalam bab ini diuraikan tentang posisi kasus dan analisis kasus putusan PN Medan No.

  974/Pid.B/2014/PN.Mdn.

BAB V: kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir yang

  memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Jus Buah Stroberi (Fragaria X Ananassa) Terhadap Diskolorasi Gigi Yang Disebabkan Oleh Kopi

0 0 18

Pengaruh Jus Buah Stroberi (Fragaria X Ananassa) Terhadap Diskolorasi Gigi Yang Disebabkan Oleh Kopi

0 2 13

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 0 22

Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 1 10

Sistem Pengawasan Internal Terhadap Pembiayaan Pada Kantor Camat Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara

0 0 20

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Cabang Medan) SKRIPSI

0 0 9

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 0 21

BAB II PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL A. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 5 Tahun 1984 1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Me

0 0 17