BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di

  dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

  Upaya untuk menanggulangi kejahatan, yang dikenal dengan politik kriminal (criminal policy) menurut G Peter Hoinagels dapat dilakukan dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law aplication) 2.

  Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) 3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass

  1 media).

  Penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (hukum Pidana) dan non penal (di luar hukum Pidana).

  Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi).

  Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat prepentif (menciptakan 1 Syafruddin, “Pidana Ganti Rugi : Alternatif Pemidanaan Di Masa Depan Dalam

   Penanggulangan Kejahatan Tertentu”, Diakses tanggal 20 April 2015.

  1

  2 kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana).

  Penanggulangan kejahatan melalui hukum Pidana, merupakan kegiatan yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penentuan sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius, dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan negara, korban dan pelaku tindak pidana.

  Salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat pada dasarnya adalah merupakan suatu bentuk penjatuhan hukuman kepada seorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan akan dikenakan apabila si pelaku melanggar syarat- syarat yang ditentukan hakim dalam putusannya. Misalnya seorang pelaku kejahatan dihukum selama 1 tahun dengan pidana bersyarat. Hukuman 1 tahun akan dikenakan apabila syarat-syarat yang dijelaskan hakim dilanggar oleh pelaku tindak pidana.

  Dari aspek tujuan pemidanaan, sebenarnya pidana bersyarat ini lebih ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum 2 Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara ., Jakarta: Kompas, hal. 32. pidana modern yang berorientasi pada pelaku kejahatan yang pemidanaannya ditekankan untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan sifat-sifat serta keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang tersimpul bahwa sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Pada penelitian ini objek pemberian pidana bersyarat tersebut anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas.

  Negara sebagai organisasi kekuasaan mempunyai kewajiban untuk melindungi anak, dan untuk memenuhi kewajibannya, Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban perbuatan pidana serta mengatur tentang hak dan kewajiban anak.

  Kedudukan anak sebagai pelaku perbuatan pidana harus mendapat perlindungan dan perhatian secara khusus. Kasus-kasus perbuatan pidana yang melibatkan anak

  3

  sebagai pelakunya (dalam setahun sekitar 7000 kasus) membawa fenomena tersendiri, karena anak merupakan individu yang masih labil. Selain itu, untuk melaksanakan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Hal ini memberikan alasan kuat untuk disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  Tetapi setelah ditelaah lebih dalam, terdapat kekurangan dan kelemahan di dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut. Terutama di dalam 3 Kabar 86, "Jumlah Kasus Pidana Anak", Melalui http://kbr68h.com/saga/81/16267-kpai- -jumlah-kasus-pidana-anak-sekitar-7000-per-tahun . Diakses pada tanggal 22 April 2015. ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana pidana bersyarat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dibawah ancaman pidana penjara dua tahun. Ketentuan dalam Pasal 73 Undang- Undang tersebut, merupakan ketentuan yang bersifat khusus dari ketentuan dalam

  Pasal 14a-14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terutama suatu syarat dapat dijatuhkannya suatu pidana bersyarat oleh hakim. Di dalam ketentuan Pasal 73 tersebut tidak ditemukan adanya dasar pertimbangan yang jelas bagi Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak yang melakukan tindak pidana di bawah ancaman pidana maksimal 2 (dua) tahun. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat tersebut merupakan kewenangan dari Hakim Anak itu sendiri.

  Padahal diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat haruslah mempunyai dasar pertimbangan yang jelas sehingga keputusan hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, korban terutama kepada anak yang divonis oleh hakim itu sendiri, apabila tidak diterapkan secara benar oleh Hakim Anak, maka akan mengakibatkan ketimpangan dan ketidak seragaman putusan hakim dalam prakteknya terhadap kasus yang sama, terhambatnya pelaksanaan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta yang paling ditakutkan adalah terancamnya masa depan terpidana anak yang seharusnya dilindungi oleh hukum.

  Akibat yang ditakutkan itupun terbukti, dari survei KPAI pusat didapatkan bahwasanya “dari 7000 kasus yang masuk peradilan, 90% mereka (anak) tidak di dampingi oleh pengacara, dan 85% dari mereka dihukum dengan hukuman

  4

  , Pada kenyataannya jika dilihat ketentuan perampasan kemerdekaan (penjara)”

  Pasal 73 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bahwa “Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun". Jika di dalam ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat dasar pertimbangan yang jelas bagi Hakim Anak dalam memutus suatu perkara, maka penempatan anak pelaku tindak pidana dalam lembaga pemasyarakatan anak dapat diminimalisir sebaik mungkin. Tetapi dalam realita senyatanya sampai saat ini itu semua belum terealisasi dan sampai saat ini juga masih banyak tindak pidana anak yang seharusnya dapat dijatuhi pidana bersyarat tetapi dijatuhi pidana penjara karena tidak adanya ketetuan atau syarat yang jelas mengenai penerapan pidana bersyarat oleh Hakim Anak, khususnya dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

  Berdasarkan data diatas, penulis bermaksud menganalisis lebih lanjut mengenai hal tersebut dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).

4 Ibid.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimana tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak?

2. Bagaimana syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak

  Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat? 3. Bagaimana pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak.

  2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat.

  3. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan lalu lintas.

  Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

  1. Manfaat Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam menangani kejahatan yang dilakukan anak dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan pidana bersyarat pada anak.

  2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam menangani kasus-kasus anak pelaku kecelakaan lalu lintas dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dalam pembinaan anak terpidana.

D. Keaslian Penulisan

  Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai anak memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan kaitannya dengan perjudian ini belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Anak

  Anak menurut Mohammad Ali, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia

  5 Moderen adalah: "Anak a Pengertian di atas memberikan dalah turunan kedua”.

  gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.

  Kedudukan anak yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga.

  Menurut Pitlo anak-anak terbagi atas :

  a. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yaitu anak-anak sah, dan

  6 b. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan yaitu anak-anak alami.

  Dalam hukum, seseorang anak dapat dibedakan statusnya dalam dua kategori, dimana setiap kategori membawa akibat hukum yang berbeda, yaitu : a. Anak dewasa (meerderjarig) dan

  7 b. Anak belum dewasa (di bawah umur = minderjarig).

  Seseorang anak dewasa umumnya dapat bertindak dalam hukum sepenuhnya dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan segala akibat dari perbuatannya. Kecuali dalam hal-hal tertentu maka seseorang yang sudah dewasa tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya segala akibat dari perbuatannya, 5 Muhammad Ali, 2004, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 10. 6 M.U. Sembiring, 1989, Beberapa bab penting Dalam Hukum waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Medan: Fak. Hukum USU, hal. 12. 7 Ibid., hal. 14. atau perbuatannya tidak sah menurut hukum, seperti perbuatan dari seseorang yang sakit berubah akal, di bawah pengampuan (curatele).

  Akan tetapi dalam hal tertentu mereka tetap berhak atas sesuatu warisan misalnya. Dengan kata lain walaupun demikian, mereka ini adalah ahli waris yang sah dan berhak memiliki sesuatu barang.

  Sedangkan anak yang belum dewasa, kepadanya tidak dapat dipertanggung-jawabkan segala akibat dari perbuatannya. Dengan kata lain perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang anak di bawah umur adalah tidak sah, karena ia tidak cakap bertindak. Akan tetapi ia adalah sebagai ahli waris yang sah dan berhak memiliki barang.

  Dengan demikian perbedaan antara seorang yang belum dewasa dan sudah dewasa, yaitu untuk menentukan cakap tidaknya ia bertindak dalam hukum serta dapat tidaknya dipertanggung-jawabkan kepadanya akibat dari perbuatan yang dilakukannya.

  Seperti diketahui dalam uraian sebelumnya bahwa masing-masing undang- undang berbeda mengatur dan mendefinisikan tentang anak ini. Hal tersebut dikarenakan dari latar belakang dan juga fungsi undang-undang itu sendiri. Disinilah yang perlu disadari bahwa pada dasarnya pembedaan undang-undang dalam menafsirkan tentang anak ini adalah dikarenakan dari latar belakang tujuan dibuatnya undang-undang itu sendiri.

2. Pengertian Lalu Lintas

  Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk mewujudkankan wawasan Nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Transportasi di jalan sebagai salah satu moda (alat) transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang didata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karekteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

  Membicarakan permasalahan transportasi di atas maka sarana yang sangat penting bagi terciptanya transportasi tersebut adalah jalan raya. Jalan raya pada umumnya dikenal oleh masyarakat sebagai alat bagi berlalu lalu lintas, dimana di dalamnya ditemukan kaedah-kaedah hukum, termasuk halnya pengaturan agar pemakai sarana transportasi dapat tertib memakai sarana transportasi tersebut.

  Pengertian lalu lintas menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah “Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan”.

  Sedangkan lalu lintas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “ (berjalan)

  8 bolak-balik, hilir mudik.

  Dua sumber di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya pengertian lalu lintas adalah bergerak baik orang maupun kendaraan dengan memakai jalan sebagai sarana utamanya serta pemakai jalan raya sebagai objeknya.

  Lalu lintas memberikan gambaran kepada kita tentang pemakaian sarana jalan raya sebagai sebuah sarana bagi kebutuhan-kebutuhan berbagai kepentingan di atasnya, termasuk hal tersebut perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, pelaksanaan pengangkutan. Dari keadaan yang sedemikian maka pentingnya dalam berlalu lintas adalah hubungan yang tercipta antara pemakai jalan raya itu sendiri serta saling keterikatan antara pemakai sarana jalan raya yang satu dengan yang lainnya. Keadaan inilah yang disebut dengan berlalu lintas, dimana hubungan- hubungan yang terjadi di jalan raya dengan berbagai sarana alat angkutan mencerminkan keharmonisan dan keteraturan.

  Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan : (1)

  Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: a.

  Rambu Lalu Lintas.

  b.

  Marka Jalan.

  c.

  Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.

  d.

  Alat penerangan Jalan.

  e.

  Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan.

  f. 8 Alat pengawasan dan pengamanan Jalan.

  

Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Kartika, hal. 330. g.

  Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

  (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

  Rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu alat bagi keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas serta menciptakan kemudahan bagi pengguna jalan raya.

  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tidak ada diatur tentang pengertian rambu-rambu berlalu lintas, hanya fungsi dan kegunaannya saja diatur.

  Pengaturan tentang rambu-rambu lalu lintas dapat dilihat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan tanpa menyebutkan pengertian rambu-rambu lalu lintas.

  Buku Penuntun Mengikuti Ujian SIM disebutkan rambu-rambu adalah salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangam perintah dan

  9 petunjuk bagi pemakai jalan.

3. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

  Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah. Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau 9 Tim Manajemen Ditlantas Polda Sumut, 2004, Penuntun Mengikuti Ujian SIM (Teori dan Praktek) , Medan: Yayasan Kemala Bhayangkari Perwakilan Sumatera Utara, hal. 4. radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera. Kecelakaan dapat diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi- kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

  Pasal 1 Butir (24) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan menjelaskan tentang kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

  Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor dalam satu ruas jalan dan

  10 mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa.

  Kecelakaan adalah peristiwa yang terjadi pada suatu pergerakan lalu lintas akibat adanya kesalahan pada sistem pembentuk lalu lintas, yaitu pengemudi (manusia), kendaraan, jalan dan lingkungan. Pengertian kesalahan di sini dapat dilihat sebagai suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar atau perawatan

  11 yang berlaku maupun kelalaian yang dibuat oleh manusia.

  Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cedera, 10 Wibowo, D., dkk., 2005. Analisis Kecelakaan Lalu lintas Pada Ruas Jalan Raya Siliwangi – Mangkang Semarang, Simposium VIII FSTPT, Universitas Sriwijaya Palembang. hal.

  57. 11 Ibid.

  ataupun kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya

  12 pergerakan dari kendaraan.

  Beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).

4. Pidana Bersyarat

  Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, makin dirasakan bahwa pidana tidaklah semata-mata lagi merupakan pembalasan, melainkan harus juga berfungsi memperbaiki terpidana itu sendiri. Atas pengaruh sistem pidana penjara di Inggeris (progressive system) pada tahun 1881 secara hati-hati sistem pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheid stelling/v.i.) dimasukkan dalam W.v.S. Belanda. Seperti diketahui “pelepasan bersyarat” ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke dalam masyarakat. Perkembangan kesadaran hukum (dalam hal ini pelaksanaan pidana) di Negeri belanda pada tahun 1915 telah menentukan adanya pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat

  II Tinjauan Pustaka”, https://www.google.co.id/search?/complete/search?client=hp&hl=id&gs_rn=9&gs_ri=hp&tok= . Diakses tanggal 29 April 2015.

12 Universitas Sumatera Utara, “Bab

  13 (voorwaardelijke veroordeling) untuk orang dewasa, dalam W.v.S Nederland.

  Indonesia pada tahun 1926 untuk pertama kalinya ditetapkan adanya pemidanaan bersyarat yang dituangkan dalam Stb. 1926/261 jo 486. Akan tetapi baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP berupa Pasal 14 a

  14 sampai dengan 14 f dan diberlakukan.

  Kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksudkan bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pelaksanaannya pidana itu yang digantungkan kepada syarat- syarat tertentu. Artinya kendati suatu pidana telah dijatuhkan kepada pelaku/terpidana namun pidana tidak/belum dijalani sepanjang terpidana tidak melanggar syarat-syarat yang diwajibkan padanya ketika putusan itu diterimanya.

  Karenanya dilihat dari sudut istilah, adalah lebih tepat jika disebut sebagai pelaksanaan pidana yang dipersyaratkan.

  Pidana bersyarat adalah merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana yang diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani terpidana kecuali kemudian hakim memerintahkan supaya dijalani karena terpidana: a.

  Sebelum habis masa percobaan, melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana, atau.

  b.

  Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika diadakan) atau.

  13 EY Kanter dan SR Sianturi, EY Kanter dan SR Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Jakarta: Storia Grafika, hal. 173. 14 Ibid. c.

  Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana.

  

15

Point pertama adalah syarat mutlak, sedangkan point kedua dan ketiga

  adalah fakultatif. Artinya tergantung kepada hakim apakah ia memerintahkan persyaratan 2/3 atau tidak dari jumlah hukuman pokok. Dalam hal hakim hanya menjatuhkan pidana penjara lebih dari 3 bulan, atau pidana kurungan dalam hal terjadi pelanggaran tersebut Pasal 492, 504, 505 atau 536, KUHP hakim dapat juga mensyaratkan sebagai syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu atau sebahagiannya.

  Menurut Pasal 14 KUHP Hakim dapat memerintahkan pidana bersyarat, jika putusan hakim dijatuhkan: a.

  Pidana penjara maksimum satu tahun, atau.

  b.

  Pidana kurungan (tidak termasuk pidana kurungan pengganti).

  c. Pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-perkara pemasukan uang negara, atau pengembalian uang negara seperti pidana denda dalam perkara perpajakan, bea, cukai perkara tindak pidana ekonomi dan perkara korupsi).

  Menurut KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya. Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik dari si 15 Amir Syamsuddin, Op.Cit, hal. 32.

  16 terpidana.

  Jadi, sebenarnya sistem hukum di Indonesia memungkinkan hakim untuk memutuskan pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan.

  Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain: a.

  Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat; b.

  Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga; dan c. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan

  17 dengan pidana penjara atau pidana kurungan.

  Muladi mengemukakan bahwa dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain, a.

  Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran- ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.

  b. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat.

  c.

  Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan

  18 sanksi pidana bersyarat secara lebih luas.

  Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan 16 17 Ibid., hal. 33.

  Ari Juliano Gema, “Naomi Campbell, Sanksi Pidana dan Lembaga Pidana Bersyarat”, Diakses tanggal 28 April 2015. 18 Ibid. salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu bentuk dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan pada hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana tidak perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana penjara yang telah diputuskan harus dijalankan oleh terpidana.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan pidana bersyarat pada pelaku kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak dalam praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).

  2. Sumber Data Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder.

  Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi: a.

  Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  b.

  Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

  c.

  Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.

  3. Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang diteliti.

  4. Analisis Data

  Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti perundang-undangan.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian: Bab I. Pendahuluan Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

  Bab II. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas serta Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak. Bab III. Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perlindungan Anak, Tujuan Pemidanaan, Teori-Teori Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, serta Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat. Bab IV. Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Tujuan Pidana Bersyarat, Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg serta Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak.

  Bab V. Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.

Dokumen yang terkait

Analisis Strategi Bersaing Pada Usaha Laundry Di Padang Bulan (Studi Kasus Pada Cheap Laundry)

0 2 11

Analisis Profitabilitas Dalam Pengembangan Usaha (Studi Kasus Pada Dian Aquatik Indonesia)

0 1 12

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Pengembangan Usaha 2.1.1 Pengertian pengembangan Usaha - Analisis Profitabilitas Dalam Pengembangan Usaha (Studi Kasus Pada Dian Aquatik Indonesia)

0 1 40

Analisis Profitabilitas Dalam Pengembangan Usaha (Studi Kasus Pada Dian Aquatik Indonesia)

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Jus Buah Stroberi (Fragaria X Ananassa) Terhadap Diskolorasi Gigi Yang Disebabkan Oleh Kopi

0 0 18

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 0 22

Kualitas Pelayanan Publik Di Pt. Pegadaian (Persero) (Studi Pada Kantor Pt. Pegadaian (Persero) Upc Padangmatinggi, Kota Padangsidimpuan)

0 1 10

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS INFORMASI YANG TIDAK BENAR MENGENAI UNDIAN BERHADIAH PADA KEGIATAN PERBANKAN (Studi Pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Cabang Medan) SKRIPSI

0 0 9

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23