BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mobilisasi 2.1.1. Defenisi Mobilisasi - Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mobilisasi
2.1.1. Defenisi Mobilisasi
Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010, hlm 485). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009, hlm 173). Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Smith – Temple, 2010, hlm 674).
Mobilisasi dini pasca laparotomi dan seksio sesarea ditujukan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi pencernaan, mengurangi komplikasi pasca bedah, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Mobilisasi meningkatkan fungsi paru-paru- semakin dalam napas yang dapat ditarik, semakin meningkat sirkulasi darah.
Hal tersebut dapat memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah dan menolong saluran pencernaan agar mulai bekerja lagi (Gallacher, 2010, hlm 23; Jitowiyono, 2010, hlm 94, Oeswari, 2000, hlm 30; Smeltzer, 2002, hlm 436).
Mobilisasi dini juga digunakan untuk menunjukkan pertahanan tubuh, melakukan aktivitas sehari-hari dan berpartisipasi dalam aktivitas. Banyak fungsi tubuh yang bergantung pada mobilisasi. Oleh karena itu, sistem muskuloskeletal tubuh dan sistem syaraf harus berada dalam kondisi baik (Perry & Potter, 2010, hlm 486).
Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi fungsi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium, dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin, menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: berespon pada stress dan cedera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, mempertahankan lingkungan internal, produksi dan penyimpanan energi. Saat stress terjadi, sistem endokrin memicu respon yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah dan kehidupan. Sistem endokrin penting untuk mempertahankan homeostatis. Jaringan dan sel hidup pada lingkungan internal, dimana sistem endokrin membantu regulasinya dengan mempertahankan natrium, kalium, air, dan keseimbangan asam basa. Sistem endokrin juga meregulasi metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basa dan energi untuk sel selama aksi gastrointestinal dan hormon pankreatik (Copstead-Kirkhorn dan Banasik, 2005).
Kalau mobilisasi dini tidak dilakukan pada pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea maka akan menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis. Bahaya fisiologis mempengaruhi fungsi metabolisme normal, seperti: menurunkan laju metabolisme; mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; menyebabkan ketidakseimbangan cairan elektrolit dan kalsium; dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik dengan konstipasi dan impaksi fekal.
Imobilisasi juga dapat menyebabkan pasien memiliki resiko tinggi komplikasi pernafasan, seperti: atelektasis (kolapsnya alveoli), pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret), dan embolisme paru; Imobilisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih tidak dibantu oleh gaya gravitasi sehingga pelvis ginjal terisi sebelum urine memasuki ureter. Keadaan ini disebut statis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih; mengakibatkan terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot. Selama pasien berbaring di tempat tidur akan menyebabkan penurunan fungsi muskuloskeletal dan kekuatan otot (Mangunnegoro, 2001, hlm 44; Nicholss, 2001, hlm 117; Perry & Potter, 2010, hlm 476-482; Smith –Temple, 2010, hlm 674).
Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing,takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping.
Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi (Smith
- –Temple, 2010, hlm 675).
Masalah yang sering terjadi dengan mobilisasi pasca laparotomi dan seksio sesarea adalah ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur . Smeltzer (2002) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi . Dengan demikian, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,1995, hlm 970; Oswari, 2000, hlm 30; Smeltzer,2002, hlm 469).
Pasien dianjurkan untuk segera melakukan mobilisasi dini setelah 24 – 48 jam pertama pasca bedah. Pergerakan pasca pembedahan akan mempercepat pencapaian level kondisi seperti pra pembedahan. Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan motivator sehingga pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan keperawatan mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif (Oswari, 2000, hlm 30; Perry & Potter, 2010, hlm 476-477).
2.1.2 Rentang Gerak Dalam mobilisasi
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang gerak:
2.1.2.1 Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Misalnya: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2.1.2.2 Rentang gerak aktif, untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif.
Misalnya: berbaring, pasien menggerakkan kakinya.
2.1.2.3 Rentang gerak fungsional, untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan (Alimul A, 2009, hlm 173).
2.1.3 Jenis Mobilisasi
2.1.3.1 Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
2.1.3.2 Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu : Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan
individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: dislokasi sendi dan tulang.
individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2009, hlm 174).
Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan
Menurut Kozier (1995), latihan mobilisasi dini mencakup latihan isotonik, latihan isometrik, dan latihan ambulasi. Latihan isotonik meliputi pergerakan yang dapat meningkatkan kontraksi otot pasien. Kontraksi otot dikategorikan berdasarkan tujuan fungsional, yaitu: bergerak, menahan atau menstabilkan bagian- bagian tubuh. Pada tekanan konsentrik, meningkatnya kontraksi otot menyebabkan tulang memendek, sehingga terjadi gerakan; misalnya saat pasien menggunakan otot trapezium atas untuk bangun dari tempat tidur. Tekanan esentrik membantu mengontrol kecepatan dan arah gerakan. Pada contoh : otot trapezium atas, pasien duduk di tempat tidur dengan lambat. Penurunan ini, dikontrol saat otot antagonis memanjang. Reaksi otot konsentrik dan esentrik sangat penting untuk pergerakan aktif sehingga latihan ini disebut latihan isotonik atau dinamik (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000).
Latihan isotonik yang harus dilakukan adalah pasien berada dalam posisi terlentang, pasien mengencangkan otot-otot abdomen, pasien menekuk dan mengontraksikan otot-otot paha dengan mengangkat satu lutut dengan perlahan ke arah dada, pasien mengulangi sekurang-kurangnya lima kali untuk setiap tungkai sesuai kemampuan pasien . Latihan isometrik mencakup : Abdominal
setting yaitu pasien meletakkan satu tangan pada abdomen ketika
pasien menegangkan otot abdomen, otot-otot abdomen akan berkontraksi dan ditahan selama 10 detik, lalu dilepaskan;
Quadriseps setting : pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada
paha, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan; Gluteal setting: pasien mengontraksikan otot-otot bokong bersama-sama, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan. Pasien mengulangi latihan ini 5-10 kali sesuai kemampuan. Latihan ambulasi dini terdiri dari: pasien merubah posisi miring kanan dan miring kiri (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000, Perry & Potter, 2010, hlm 472) .
Demonstrasi latihan pasca laparotomi dan seksio sesarea yaitu: pernafasan diafragma, spirometri insentif, batuk terkontrol , berpindah, dan olahraga kaki (Perry & Potter, 2010, hlm 711-715, Smeltzer, 2002, hlm 437-438) . Tabel berikut menguraikan langkah- langkah latihan yang membantu mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea.
TABEL 1. LATIHAN PASCA OPERASI Langkah Rasional
1. Selama anestesi umum, paru-paru Kaji resiko komplikasi pernafasan klien belum sepenuhnya mengembang pascaoperasi. Tinjau riwayat selama operasi dan refleks batuk medis untuk tertekan sehingga mengumpulkan mengidentifikasi kondisi lendir di bagian dalam saluran udara. paru kronis (misalnya: Setelah operasi, klien mungkin telah emfisema, asma), setiap mengurangi volume paru-paru dan kondisi yang mempengaruhi membutuhkan upaya yang lebih besar gerakan dinding dada, untuk batuk dan bernafas dalam; riwayat merokok, dan ekspansi paru-paru yang tidak kurangnya Hb memadai dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Kondisi paru-paru kronis sebelumnya meningkatkan resiko klien untuk mengembangkan kompilasi pernafasan. Merokok merusak silia yang bertugas membersihkan saluran pernafasan dan meningkatkan sekresi lendir. Berkurangnya kadar hemoglobin menyebabkan oksigen tidak memadai.
2. Mengungkapkan potensi maksimum Kaji kemampuan untuk batuk dan bernafas dalam dengan ekspansi dada dan kemampuan untuk menyuruh klien mengambil batuk; digunakan sebagai dasar untuk nafas dalam, amati melakukan mobilisasi setelah operasi. pergerakan, bahu dan dinding dada.Ukur ekskursi dada selama nafas dalam. Minta klien untuk batuk setelah mengambil nafas dalam.
3. Statis vena, hiperkoagulabilitas dan Kaji resiko pembentukan trombus pascaoperasi trauma vena memunculkan
(misalnya: klien lansia, pembentukan trombus secara simultan mereka yang memiliki kanker ( Lewis et al. 2007). Setelah anastesi yang aktif dan klien yang umum,sirkulasi melambat dan ketika imobilisasi). Perhatikan untuk tingkat aliran darah melambat, ada kelembutan daerah sepanjang kecenderungan pembentukan distribusi sistem vena, gumpalan. Immobilisasi bengkak betis/paha, pitting mengakibatkan penurunan kontraksi edema di kaki simptomatik, otot di bawah kaki, yang menyebabkan dan vena superfisial kolateral. statis vena.
4. Menentukan adanya keterbatasan Kaji kemampuan klien untuk bergerak secara mandiri ketika pergerakan di tempat tidur
5. Informasi memungkinkan klien utnuk Jelaskan latihan pascaoperasi kepada klien termasuk memahami pentingnya latihan dan pentingnya pemulihan dan dapat memotivasi melakukan manfaat fisiologis mobilisasi
6. Demonstrasikan latihan
a) Pernafasan diafragma
- Bantu klien berada dalam Posisi tegak memungkinkan posisi duduk yang nyaman ekskursi diafragmatik di sisi tempat tidur
- Berdiri atau duduk Biarkan klien mengamati latihan berhadapan dengan klien pernafasan
- Klien menempatkan Posisi tangan memungkinkan klien telapak tangan bersilangan merasa gerakan dada dan perut satu sama lain, ke bawah ketika diafragma turun dan paru- dan di sepanjang batas paru berkembang bawah tulang rusuk anterior. Klien meletakkan ujung jari ketiga dengan lembut
- Klien mengambil nafas Mengambil nafas lambat dan dalam, lambat dan nafas dalam, mencegah klien terengah-engah atau menghirup melalui hidung hiperventilasi. Menghirup melalui dan klien mendorong perut hidung dapat menghangatkan, melawan tangan melembabkan dan menyaring udara.
- Klien terus bernafas lambat Memungkinkan untuk dan panjang saat hitungan mengeluarkan semua udara secara ketiga, klien membuang bertahap nafas perlahan melalui mulut seperti mulut seakan meniup sebuah lilin (bibir kerucut)
- Klien mengulangi latihan pernafasan tiga sampai lima kali
- Pengulangan latihan memperkuat proses belajar
- Klien mengambil 10 kali nafas lambat setiap jam
- Nafas dalam secara teratur mencegah komplikasi pasca operasi seperti atelektasis dan pneumonia.
b) Spirometer Insentif (SI)
- Klien mengambil posisi semi fowler
- Meningkatkan ekspansi paru optimal selama latihan pernafasan
- Klien menghirup perlahan dan mempertahankan aliran konstan melalui unit, berusaha untuk mencapai inspirasi maksimal, klien menahan nafas terus selama 3-5 detik, lalu membuang nafas perlahan.Jumlahnya tidak melebihi 10-12 kali persesi.
- Menjaga inspirasi secara maksimal dan mengurangi resiko keruntuhan progresif dari alveoli seseorang. Nafas lambat mencegah atau mengurangi nyeri akibat perubahan tekanan mendadak dalam dada.
- Klien bernafas secara normal untuk periode singkat diantara 10 nafas pada SI
- Mencegah hiperventilasi dan kelelahan
- Klien mengulangi latihan sampai tujuan tercapai
- Memastikan penggunaan spirometer dengan benar
- Klien mengakhiri dengan dua batuk setelah akhir nafas 10 SI.
- Batuk akan membantu memobilisasi sekresi paru.
c) Batuk terkontrol
- Klien mengambil posisi semi fowler
- Posisi memfasilitasi ekskursi diafragma dan meningkatkan ekspansi dada.
- Klien mengambil nafas lambat dan dalam,menghirup melalui hidung dan membuang melalui mulut. Jumlahnya 2x berturut-turut.
- Nafas dalam mengembangkan paru-paru sepenuhnya sehingga udara bergerak ke belakang lendir dan memfasilitasi efek batuk
- Selama latihan pernafasan, klien menekan lembut daerah insisi untuk membelat atau mendukungnya dengan menggunakan bantal.
- Latihan pernafasan dalam dan batuk dapat menyebabkan stress tambahan pada garis jahitan dan meyebabkan ketidaknyamanan. Belat insisi dengan tangan memberikan dukungan kuat dan mengurangi tarikan insisional
- Klien menarik nafas dalam Posisi di mulai pada sisi tempat tiga kali dan menahan tidur sehingga berbalik ke sisi lain nafas saat hitungan ke tiga. tidak akan menyebabkan klien Kemudian membatukkan meluncur arah tepi tempat tidur secara penuh selama dua atau tiga kali berturut-turut
d) Berpindah
- Klien mengambil posisi Mendukung dan meminimalkan telentang dan pindah ke sisi tarikan garis jahitan selama tempat tidur. Klien berpindah. bergerak menekuk lutut dan menekan tumit melawan kasur untuk mengangkat dan memindahkan pantat.Pembatas di kedua ssi tempat tidur harus dalam keadaan berdiri.
- Klien menempatkan tangan Kaki lurus menstabilkan posisi kanan di atas daerah insisi klien. Kaki kiri tertekuk mengubah untuk membelatnya. titik berat untuk memudahkan berpindah.
Klien untuk menjaga kaki Menarik ke sisi tempat tidur kanan tetap lurus dan tekuk mengurangi usaha yang diperlukan lutut kiri ke atas untuk berpindah.
- Klien memegang sisi kanan Mengurangi resiko komplikasi pegangan tempat tidur vaskular dengan tangan kiri, tarik ke kanan, dan klien berguling ke sisi kanan.
- Klien berpindah setiap 2 Memberikan posisi normal jam anatomi ekstremitas bawah
e) Latihan kaki
- Klien terlentang ditempat Latihan kaki mempertahankan tidur. Klien menunjukkan mobilitas sendi dan latihan kaki dengan mempromosikan vena kembali melakukan latihan rentang untuk mencegah trombus. gerak pasif
Klien memutar tiap mata Meregangkan dan kaki dengan lingkaran mengontraksikan otot penuh. Klien mengulangi gastrocnemius sebanyak 5 kali
- Klien melakukan Kontraksi otot kaki bagian atas, dorsofleksi dan mempertahankan mobilitas lutut fleksiplantar pada kedua dan meningkatkan aliran vena kaki. Klien mengulangi balik/venous return
- kuadrisep dengan mengencangkan paha dan membawa lutut ke arah kasur , kemudian relaksasi. Klien mengulangi sebanyak 5 kali
- Klien secara bergantian Mempromosikan kontraksi dan mengangkat masing- relaksasi otot quadriceps masing kakilurus ke atas dari permukaan tempat tidur , kaki tetap lurusdan kemudian klien membengkokkan kaki pada pinggul dan lutut. Klien mengulangi sebanyak 5 kali
(Sumber: Perry & Potter, 2010, hlm 711-716)
2.1.4 Gangguan Mobilisasi Pasien di Tempat Tidur
Gangguan mobilisasi pasien di tempat tidur adalah pembatasan kemampuan gerak pasien dari satu posisi di tempat tidur ke posisi yang lain. Gangguan kemampuan gerak meliputi kemampuan untuk bergerak dari terlentang menjadi lama duduk, kemampuan bergerak dari terlentang menjadi rawan atau rentan terhadap terlentang bergerak dari terlentang menjadi duduk atau duduk untuk terlentang (Wilkinson, 2005, hlm.303).
Menurut Judith M. Wilkinson (2005) berdasarkan NIC (Nursing
Interventions Classification) and NOC (Nursing Outcomes Classification) , perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilisasi adalah memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadinya komplikasi yang bisa menyebabkan pasien tidak dapat bergerak dari tempat tidur, memfasilitasi pasien untuk mampu bergerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga mencegah terjadinya kelelahan dan cedera muskuloskletal; melatih kekuatan otot dan menganjurkan pasien latihan therapy serta mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Perawat hendaknya mampu menilai kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi secara mandiri, menilai tingkat penurunan kesadaran pasien, menilai kekuatan otot dan kemampuan rentang gerak (ROM), menilai kebutuhan pasien akan peralatan medis, menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif dan pasif ROM untuk meningkatkan kekuatan otot.
Kriteria dalam mengevaluasi asuhan keperawatan pasien dengan gangguan mobilisasi adalah melakukan mobilisasi di tempat tidur dengan pembuktian bahwa: pasien mampu mengubah posisi secara mandiri, mampu melakukan Range of Motion dengan benar dan dapat mengubah posisi sendiri di tempat tidur bergerak secara aktif, tingkat mobilisasi yang dilakukan memuaskan, kontraksi otot serta status neurologis berfungsi dengan baik (Wilkinson, 2005, hlm.303- 305).
2.1.5 Tingkat Mobilisasi
Tingkat Mobilisasi dini dikategorikan menjadi 5 tingkatan yaitu: a.
Tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri b. Tingkat 3 : memerlukan bantuan alat c. Tingkat 2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain d. Tingkat 1 : memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain disertai dengan bantuan alat.
e.
Tingkat 0 : tidak dapat melakukan mobilisasi dini secara aktif Kontraindikasi mobilisasi adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi piogenik pada dinding abdomen, kifosis, lordosis, skoliosis, infark miokard akut, disritmia jantung, atau syok sepsis (Wilkinson, 2005, hlm.303)
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien, menurut Kozier (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dibedakan atas empat faktor yaitu gaya hidup, penyakit/cedera, tingkat energi dan usia. Sedangkan Marilyn Brinkman William (1992) menyatakan bahwa mobilisasi dini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu: usia, stress dan kelelahan, status kesehatan, konsep diri, nilai dan kepercayaan, gaya hidup. Potter & Perry (2010) juga membedakan faktor-faktor patologi yang mempengaruhi mobilisasi menjadi 4 faktor yaitu abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.
Pada umumnya, pendapat – pendapat ini mempunyai kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil telaah, peneliti menyimpulkan bahwa ada faktor yang mempengaruh mobilisasi yaitu: gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan dan stress.
2.1.6.1 Gangguan Sistem Neuromuskuloskeletal
Gangguan sistem neuromuskuloskeletal terdiri dari: abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.
Abnormalitas Postur adalah kelainan postur yang
mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal, kesejajaran, keseimbangan, dan penampilan tubuh. Postur yang abnormal dapat menyebabkan nyeri , ketidaksejajaran, dan imobilisasi atau keduanya. Tabel berikut ini adalah postur abnormal yang dapat ditemui pada pasie
Tabel 2. Postur Yang Abnormal Abnormalitas Deskripsi Penyebab Terapi yang dilakukan Lordosis Memicu lengkung
konveks anterior pada spina lumbar Keadaan kongenital/keadaan kontemporer (misalnya kehamilan)
Latihan meregangkan spina
Kifosis Meningkatkan
konveksitas pada lengkung thoraks Keadaan kongenital, osteoporosis
Latihan meregangkan spina, tidur tanpa bantal, menggunakan bed board
Skoliosis Kolumna spinalis Keadaan kongenital, Hampir separuh
berbentuk S atau C gangguan pada dari anak-anak dengan rotasi jaringan membutuhkan vertebra, tinggi penghubung dan tindakan pinggul yang tidak neuromuskular pembedahan, sama dengan tinggi terapi non bahu pembedahan adalah dengan braces dan latihan
Clubfoot 95 %:deviasi Keadaan kongenital Gips,
medial dan plantar fleksi pada kaki (ekuinavorus) 5% : deviasi lateraldan dorsifleksi (kalkanovalgus)
Footdrop Ketidakmampuan Keadaan kongenital, Tidak ada (tidak
melakukan trauma, posisi klien bisa dikoreksi) dorsofleksi dan imobilisasi yang inversi kaki paada tidak tepat gangguan saraf peroneal (Sumber Perry & Potter, 2010, hlm 474 - 475).
Smeltzer (2002) menyatakan bahwa kifosis sering dijumpai pada usia lanjut dengan osteoporosis dan pada pasien dengan penyakit neuromuskular.
Skoliosis bisa kongenital, idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), atau akibat kerusakan otot paraspinal, seperti pada penderita poliomielitis.
Skoliosis ditandai dengan kurvatura lateral abnormal tulang belakang, bahu tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetris dan skapula menonjol). Lordosis biasa dijumpai pada saat kehamilan karena penderita berusaha menyesuaikan postur tubuhnya akibat perubahan pusat gaya berat.
Postur yang abnormal membatasi rentang gerak (Smeltzer, 2002, hlm 2272- 2273).
Pengetahuan tentang karakteristik, penyebab dan terapi postur yang abnormal dibutuhkan untuk mengangkat dan memosisikan klien. Perawat memberikan intervensi untuk mempertahankan rentang gerak maksimum pada sendi yang tidak sakit, kemudian merencanakanintervensi untuk memperkuat otot dan sendi yang sakit, meningkatkan postur klien dan secara adekuat menggunakan kelompok otot yang sakit dan tidak sakit.
Rujukan atau kolaborasi dengan terapi fisik meningkatkan intervensi perawat pada klien dengan postur yang abnormal (Perry & Potter, 2010, hlm 473).
Gangguan Perkembangan Otot adalah sekelompok gangguan yang
diturunkan sehingga menyebabkan degenerasi serat otot rangka. Misalnya distrofi yang sering dialami pada masa kanak-kanak. Klien dengan distrofi otot mengalami kelemahan yang progresif, kelemahan yang simetris dan menyia-nyiakan sekelompok otot rangka, dimana akan meningkatkan ketidakmampuan dan deformitas (McCance dan Huether, 2005). Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi dan ukuran masing-masing otot. Kelemahan otot menunjukkan berbagai macam kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit (khususnya kalsium dan kalium), miastenia gravis, poliomielitis dan ditrofi otot. Perubahan status kesehatan ini saling berhubungan dengan sistem muskuloskeletal dan sistem syaraf berupa penurunan koordinasi. Hal tersebut dapat mempengaruhi proses koordinasi pada otot, ligamen, sendi dan tulang.
Kerusakan pada Sistem Syaraf Sentral adalah kerusakan pada
beberapa komponen syaraf pusat meregulasi gerakan volunter yang menyebabkan gangguan kesejajaran tubuh, keseimbangan, dan mobilisasi.
Trauma akibat cedera kepala, iskemia akibat stroke atau cedera otak (cerebrovascular accident/ CVA), atau infeksi bakteri seperti meningitis dapat merusak serebelum atau strip motorik pada korteks serebral.
Kerusakan pada serebelum menyebabkan masalah pada keseimbangan dan gangguan motorik yang dihubungkan langsung dengan jumlah kerusakan strip motorik. Misalnya, seseorang dengan hemoragi serebral sisi kanan disertai nekrosis telah merusak strip motorik kanan yang menyebabkan hemiplegia sisi kiri. Trauma pada korda spinalis juga dapat merusak imobilisasi. Misalnya, transeksi lengkap pada korda spinalis menyebabkan kehilangan kontrol motorik volunter bilateral di bawah sisi yang mengalami trauma serat motorik putus. Penilaian klien yang mengalami kerusakan sistem syaraf sentral adalah dengan menilai kesejajaran tubuh dalam posisi berdiri, duduk, dan berbaring, miring kiri dan miring kanan.
Karakteristik kesejajaran tubuh yang benar untuk klien yang berdiri adalah : kepala tegak dan berada di tengah, saat mengobservasi dari belakang, bahu dan pinggul tegak dan paralel, saat klien diobservasi dari samping, kepala tegak dan lengkung tulang belakang berada dalam pola S terbalik. Tulang belakang servikal tampak konveks dari depan, tulang belakang toraks tampak konveks dari belakang, dan tulang belakang lumbar tampak konveks dari depan; saat diobservasi dari samping, abdomen masuk ke dalam dan lutut dan pergelangan kaki sedikit fleksi. Seseorang tampak merasa nyaman dan tidak kelihatan bingung saat memfleksikan kaki dan pergelangan kaki, lengan bergantung secara nyaman disamping tubuh; kaki terpisah sedikit untuk mencapai dasar tumpuan, dan jari kaki menghadap ke depan; saat melihat klien dari belakang, pusat gravitasi berada pada garis tengah dan garis gravitasi berada dari tengah dahi hingga titik tengah di tengah kaki.
Karakteristik kesejajaran tubuh yang benar untuk klien yang duduk adalah: kepala tegak, dan leher serta kolumna vertebralis berada dalam posisi sejajar, berat badan terdistribusi dengan rata pada bokong dan paha. Paha paralel dan berada pada bidang horizontal, kedua kaki di dukung di atas lantai dan pergelangan kaki fleksi. Sedangkan karakteristik kesejajaran tubuh dengan berbaring adalah pasien dapat mengubah posisi miring kiri dan miring kanan (Perry & Potter, 2010, hlm 493-494).
Trauma Langsung pada Sistem Muskuloskeletal adalah gangguan permanen atau temporer yang terjadi pada sistem muskuloskeletal.
Kebanyakan individu membatasi aktivitasnya sebagai konsekuensi terhadap status kesehatan termasuk gangguan pada muskuloskeletal. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal menyebabkan memar, kontusio, keseleo dan fraktur. Fraktur sering terjadi karena trauma eksternal langsung tetapi dapat juga disebabkan beberapa deformitas tulang (misalnya fraktur patologis pada osteoporosis, penyakit paget atau osteogenesis imperfekta). Perubahan usia mempengaruhi mobilisasi dikarenakan menurunnya kecepatan konduksi dan pengurangan jumlah neurotransmitter, kehilangan densitas dan kekuatan tulang, penurunan denyut jantung dan kapasitas vital paru serta penurunan regulasi hormonal terhadap metabolisme kalsium memegang peranan penting dalam memburuknya aktivitas otot. Usia seseorang dan perkembangan sistem muskuloskeletal dan syaraf mempengaruhi postur, proporsi tubuh, massa tubuh dan pergerakan tubuh, perubahan neurologis, sistem kardiovaskuler dan sistem pernafasan (Kozier, et al. 1995, hlm 969; Berger & Williams, 1992). Misalnya, seorang dewasa yang memiliki postur dan kesejajaran tubuh yang benar akan merasa memiliki kekuatan untuk melakukan mobilisasi dini sedangkan pada usia lanjut mengalami kehilangan massa tulang yang progressif. Efek kehilangan ini pada tulang adalah tulang menjadi lemah, dan koordinasi berkurang sehingga dapat mempengaruhi kesulitan mobilisasi. Penuaan biasanya dihubungkan dengan menurunnya kekuatan otot, menurunnya kapasitas aerobik , menurunnya jaringan otot, jumlah mitokondria, perubahan hormonal dan fungsi metabolik (Perry & Potter, 2010, hlm 473-475). Gangguan perkembangan otot dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dapat dinilai dari tingkat gravidasi otot yaitu:
Tabel 3. Tingkat Gravidasi Otot Skala Kekuatan Karakteristik normal
Paralisis total
1
10 Tidak ada gerakan,kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
2
25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
3
50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4
75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal 5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh
(Sumber: Asmadi, 2009, hlm 116).
2.1.6.2 Gaya Hidup
Menurut Kozier (1995), gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan (aktivitas), kebiasaan, minat dan opininya. Gaya hidup adalah seseorang yang sering melakukan kegiatan aktif, misalnya latihan fisik misalnya berolah raga (lari atau jalan cepat) yang dilakukan minimal 3 kali seminggu selama 15 - 30 menit, melakukan latihan aerobik seperti senam, yoga minimal 3 kali seminggu selama 15 – 30 menit, aktivitas bekerja misalnya berkebun dan berladang.
Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur minimal 3 kali setiap minggu dapat mempercepat proses penyembuhan pasien bedah abdomen. Olahraga dapat merangsang aktifnya neurotransmiter dan menstimulasi kekuatan otot abdomen. Aktivitas fisik dapat membuka saluran pembuluh darah baru di sekitar pembuluh darah yang tersumbat sehingga darah mengalir dengan lancar kembali. Pasien yang aktif bergerak tentunya berbeda dengan pasien yang pasif pergerakkannya (Kozier, et al. 1995, hlm 969; Berger dan Williams, 1992, hlm 1425).
2.1.6.3 Nilai dan Kepercayaan
Nilai adalah ideal yang dapat dipegang oleh individu/kelompok. Individu berpikir, merasakan, membuat pilihan dan melakukan suatu nilai yang dianggap baik ( Purba Jenny, 2010, hlm 10). Nilai dan kepercayaan adalah keyakinan dan nilai-nilai budaya, persepsi seseorang terhadap kesehatan yang mempengaruhi cara individu untuk melakukan mobilisasi (Judha, 2012, hlm 6).
Nilai dan kepercayaan adalah sejumlah besar kebiasaan (budaya) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berasal dari anggota keluarga atau kelompok masyarakat dengan latar belakang yang sama (Mangunnegoro, 2001). Sedangkan menurut Gallacher, nilai dan kepercayaan dapat didefenisikan sebagai nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang diturunkan dari orangtua yang dapat menjadi motivasi ataupun penghambat individu untuk melakukan mobilisasi (Gallacher, 2004, hlm 2).
Penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969), nilai dan kepercayaan yang dianut oleh suatu kelompok etnik mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi pasca pembedahan. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka, misalnya pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi. Menurut Clancy dan Vicar (dalam Perry & Potter, 2010) menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang.
Indonesia yang terkenal dengan ragam budaya, nilai dan kepercayaan mempunyai beberapa cara memberi perawatan pada pasien pasca laparatomi dan seksio sesarea. Contohnya: Menurut masyarakat Nias, pasien pasca operasi diwajibkan mandi air hangat karena air hangat dapat memperlancar peredaran darah. Aliran darah yang lancar sangat mempengaruhi sistem metabolisme dalam tubuh.
Dalam darah terkandung oksigen serta nutrisi yang diperlukan sel-sel dalam tubuh sehingga dalam proses penyembuhan luka menjadi lebih cepat.
Pasien pasca operasi dilarang mengkonsumsi makanan yang pedas karena ASI (Air Susu Ibu) juga menjadi pedas. Namun secara ilmu pengetahuan makanan yang pedas mengandung cabai yang memiliki kandungan kapsaisin bersifat antikoagulan, yaitu menjaga darah tetap encer dan mencegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah. Sehingga orang yang suka makan sambal memperkecil kemungkinan aterosklerosis, sehingga mencegah munculnya serangan stroke dan jantung koroner. Sedangkan pada ibu nifas mengkonsumsi cabai dapat menyebabkan naiknya asam lambung sehingga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di abdomen.
Pasien pasca operasi diwajibkan memakai gurita atau stagen panjang yang dililitkan di perut karena menurut mereka gurita dapat mengembalikan bentuk tubuh yang melar pasca melahirkan, penggunaan stagen akan membantu memberi sokongan dan mungkin meringankan rasa tidak nyaman yang dialami oleh pasien ; ibu pasca seksio sesarea tidak dianjurkan banyak bergerak dikarenakan ibu masih dalam keadaan lemah dan lebih dianjurkan banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi nilai gizinya, misalnya makan daging ayam gulai, daging sapi,dan sup kambing. Ibu harus duduk bersimpuh dan dilarang keras mengangkang karena akan mengakibatkan perut jatuh. Keluarga selalu mengingatkan untuk tidak banyak bergerak karena dapat memperburuk kondisi kesehatan ibu.
Menurut nilai dan kepercayaan di daerah Maluku terdapat pantangan makanan pada ibu post seksio sesarea yaitu pantangan memakan terong agar lidah bayi tidak bercak putih, ibu pantang memakan nenas dan mangga karena tidak baik untuk rahim, Ibu pasca seksio sesarea setelah melahirkan dibuat gelang dengan benang dengan tujuh ragam dan dipasang selama 40 hari, setelah itu baru boleh dibuka. Setelah 3 hari melahirkan ibu diurut oleh dukun.
Masyarakat suku Minang, perawatan ibu post seksio sesarea meliputi minum telur dan kopi, penguapan dari bahan rempah- rempah (betangeh), pemanasan batu bata( duduk di atas batu bata), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.
Menurut nilai dan kepercayaan suku Jawa, ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk sinden dan keluarga selalu mengingatkan untuk mengontrol pergerakan karena alasan estetika, maksudnya agar organ reproduksi dan tubuh ibu tetap dalam kondisi baik, Ibu minum jamu untuk dapat memperlancar ASI dan agar ibu tetap cantik dan awet muda.
Menurut masyarakat Karo, Ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk di atas perapian dan ibu harus ‘Disembur” dengan kunyahan kunyit, bawang putih, merica hitam, merica putih, dan buah pala pada keningnya., agar keadaan ibu tetap hangat karena ibu post operasi masih dalam keadaan lemah dan anemia.
Nilai yang dianut oleh seorang individu sangat mempengaruhi harga diri dan gambaran diri seseorang. Kedua hal ini merupakan komponen konsep diri. Kesehatan dapat dinilai dari kemampuan fisik individu melakukan aktivitasnya. Penting bagi perawat untuk mengetahui bagaimana kepercayaan, nilai, praktik budaya mempengaruhi seseorang untuk mampu melakukan mobilisasi.
2.1.6.4 Stress
Stress adalah respon fisik, emosi, dan mental terhadap peristiwa / kondisi yang bervariasi ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak pasti, tidak menyenangkan, menakutkan atau membingungkan (Bradley, 1997). Menurut Fabella (1993), stress adalah ekspresi seseorang terhadap suatu hal yang dapat menyerang siapa saja dan terjadi baik di rumah sakit, tempat kerja, di rumah dan lain-lain. Stress adalah berbagai situasi dimana adanya tuntutan yang mengharuskan individu untuk merespo atau mengambil tindakan.
Stress merupakan reaksi individu baik secara fisik maupun mental terhadap tuntutan dan tekanan dari lingkungannya. Stress dapat mengancam pandangan umum seseorang terhadap kehidupan, perilaku terhadap orang yang dicintainya, kemampuan untuk mengatasi masalah dan status kesehatan (Lindsay & Carrieri, 1986 dikutip dari Potter &Perry 2010).
Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perilaku yang dapat menurunkan aktivitas mobilisasi. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri rendah akan mengalami kesulitan dalam mobilisasi. Orang yang stress sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah lelah karena mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya. Akhirnya, pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi. Pada saat seseorang mengalami stress maka memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat berakibat mempercepat kekejangan arteri koroner, suplai darah ke otot jantung terganggu, rasa sakit akibat nyeri semakin kuat sehingga dapat menghambat pasien untuk dapat melakukan mobilisasi. Namun sebaliknya dalam kondisi rileks, justru bisa memancing keluarnya hormon endorfin penghilang rasa sakit yang alami di dalam tubuh (Judha, 2010, hlm 81).
Stress yang dialami oleh pasien pasca bedah abdomen berupa gangguan psikologis (ansietas). Ansietas yang berlebihan dapat menjadi pencetus pasien tidak dapat melakukan mobilisasi dini. Ansietas adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami seseorang (Nugroho, 2008, hlm 122). Stuart, (2000) menyatakan bahwa ansietas adalah pengalaman subjektif emosional, tanpa objek yang spesifik, yang ditimbulkan oleh sesutu yang tidak diketahui dan menjadi pengalaman baru. Kecemasan membuat kondisi emosi pasien tidak stabil dan menyebabkan kelelahan mental. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang dapat memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri (Judha, 2010, hlm 7).
Ansietas atau cemas timbul karena pasien merasakan nyeri sehingga pasien takut untuk bergerak (mobilisasi), takut cedera akibat pembedahan dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur mobilisasi yang didapatkan dari tenaga medis pre operatif. Stress dan kecemasan mempengaruhi fungsi biologis tubuh pada saat stress peningkatan respons saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah. Orang yang mudah stress akan lebih berisiko akan sulit melakukan mobilisasi dibandingkan dengan seseorang yang tidak mudah mengalami stress. Misalnya, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995; Oswari, 2000, hlm 30).
Ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur . Smeltzer (2002) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah,dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995, hlm 970; Smeltzer, S, 2002, hlm 469).
2.2. Laparatomi
Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen(Jitowiyono, 2010, hlm 93). Laparatomi adalah membuka dinding abdomen dan peritoneum. Faktor yang penting dalam melakukan laparatomi adalah dalam membuka dan menutup dinding abdomen dengan cara dan tekhnik yang baik (Wibowo S, 2001).
Pemilihan jenis insisi abdomen ditentukan oleh faktor-faktor berikut : diagnosis dan prosedur operasi, urgensi prosedur (emergensi atau elektif), kondisi fisik pasien (tingkat obesitas), prosedur operatif sebelumnya dan jaringan parut.
Jenis insisi abdomen antara lain: Insisi Lower Abdominal Midline. Jenis insisi ini diindikasikan pada:
- perdarahan masif intra abdominal, kemungkinan gangguan koagulasi, ukuran tumor yang besar, untuk keperluan staging dalam bidang ginekologi dan onkologi. Keuntungan dari insisi ini adalah: prosedurnya
- Insisi Pfannenstiel memberikan hasil kosmetik yang baik dengan penyembuhan luka primer.
- Insisi Joel-cohen . Metode ini sebagian menggunakan diseksi tumpul, sehingga lebih sedikit terjadi cedera pembuluh darah maupun kehilangan darah. Tekhnik ini dapat digunakan untuk laparotomi ginekologis maupun seksio sesarea, terutama pada pasien yang kurus. Metode ini kurang sesuai untuk prosedur yang memerlukan paparan yang luas atau pada pasien obesitas.
- Insisi Maylard, merupakan insisi abdominal yang dapat menjangkau organ pelvis secara luas pada seluruh dinding abdomen, termasuk otot-otot rektus di atas simfisis.
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tekhnik sayatan laparatomi yaitu: herniotomi, gastrektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, fistulotomi atau fistulektomi, apendiktomi (Jitowiyono, 2010, hlm 93-94). Ada 4 cara sayatan laparatomi: Midline incision,
Paramedian¸ yaitu: sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm ) dan panjang
12,5 cm) , Transverse upper abdomen incision, yaitu: insisi dibagian atas, misalnya pembedahan colesistomy dan splenektomi, Transverse lower
abdomen incision, yaitu insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas
anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendictomi (Jitowiyono, 2010, hlm 93; Bayley H,1992, hlm 343).
Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau tajam)/ ruptur hepar, peritonitis, Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding), sumbatan pada usus halus dan besar, dan massa pada abdomen (Jitowiyono, 2010, hlm 94; Rasjidi Imam, 2009).
Perawatan post laparotomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. Tujuan perawatan post laparatomi adalah mengurangi komplikasi akibat pembedahan, mempercepat penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini(Jitowiyono, 2010, hlm 94).
2.3. Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan abdomen (Rustam Mochtar, 1992).
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding depan abdomen dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991). Seksio sesarea adalah lahirnya janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus agar janin lahir dalam keadaan utuh dan sehat (Rasjidi, 2009, hlm.1).
Indikasi seksio sesarea adalah Panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara abnormal karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor- tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, ruptur uteri membakat, kelainan letak janin, gawat janin, prolapsus plasenta, perkembangan janin yang terhambat, mencegah hipoksia janin, presentasi bokong, distosia, fetal distres, preeklamsia berat, penyakit kardiovaskular dan diabetes, gemelli, janin letak lintang (Rasjidi, 2009, hlm 88).
2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Laparatomi dan Seksio Sesarea Proses penyembuhan luka pasca operasi pada dasarnya adalah sama.
Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi: respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison M, 2004, hlm 1; Arisanty, 2012, hlm 1-3). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit atau jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal. Seluruh kegiatan penyembuhan luka diatur oleh serangkaian reaksi yang kompleks (Boyle M, 2009, hlm 37).
Menurut Jitowiyono (2010), proses penyembuhan luka pasca laparotomi dan seksio sesarea terdiri dari: Fase Pertama berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit banyak yang rusak/ rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka; Fase kedua, dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan; Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan- jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali, Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
2.5 Komplikasi Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea a. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi , ambulatif dini, dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.