Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan

(1)

TINGKAT MOBILISASI DINI PASIEN PASCA LAPAROTOMI

DAN SEKSIO SESAREA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA DI RSUD dr. PIRNGADI

MEDAN

SKRIPSI Oleh

CERIAWATI BATE’E 101121004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan ” .

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan, bimbingan dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Nur Afi Darti,S.Kp,M.Kep, sebagai penguji I

4. Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep.Ns, M.Kep, Sp. KMB sebagai penguji III 5. Bapak Kepala SMF Obgyn, Bapak kepala SMF Bedah, Direktur , Kepala

Ruangan dan seluruh pegawai Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan yang telah memberi izin bagi penulis untuk melakukan penelitian ini.

6. Teristimewa kepada keluargaku, Ayahanda F. Bate’e dan Ibunda AS. Zebua yang selalu memberikan motivasi, dukungan moril dan materil serta doa yang tiada henti bagi penulis. Adik-adikku yang terkasih Evyabdi Bate’e dan July Indra Setia Bate’e, abangku Syukurman Bate’e dan abang Benny Rahmat Jaya Telaumbanua yang menjadi motivator dan anugerah terindah dalam hidupku.


(4)

7. Sahabat –sahabatku Rahmah Nova Yusanti, Citra Septantris dan adik-adikku Lola Susanti, Nikmah Nasution, K’Ummi, K’Novi yang senantiasa memberiku semangat dan kekuatan menjalani proses perkuliahan dan penelitian

8. Teman-teman mahasiswa /I Fakultas Keperawatan Ekstensi Pagi 2010 dan Ekstensi Sore 2011 yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan profesi keperawatan.

Medan, Februari 2013

Penulis

CERIAWATI BATE’E 101121004


(5)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mobilisasi ... 7

2.1.1 Defenisi Mobilisasi ... 7

2.1.2 Rentang Gerak dalam Mobilisasi... 11

2.1.3 Jenis Mobilisasi ... 11

2.1.4 Gangguan Mobilisasi Dini Pasien di tempat Tidur... 18

2.1.5 Tingkat Mobilisasi ... 19

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi ... 19

2.2 Laparotomi ... 32

2.2.1 Defenisi Laparotomi ... 32

2.2.2 Jenis Insisi Abdomen ... 32

2.3 Seksio Sesarea ... 34

2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea 35 2.5 Komplikasi Pasca laparotomi dan Seksio Sesarea ... 36

BAB III KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual ... 37

3.2 Defenisi Operasional ... 39

3.3 Hipotesa Penelitian ... 40

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 41

4.2 Populasi dan Sampel ... 41

4.3 Lokasi dan waktu ... 43

4.4 Pertimbangan Etik ... 43

4.5 Instrumen Penelitian ... 44

4.6 Uji Validitas dan Reabilitas ... 45

4.7 Pengumpulan Data ... 46


(6)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil penelitian ... 49 2. Pembahasan ... 54

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan ... 63 2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Prosedur Penelitian

3. Kuesioner Penelitian 4. Lembar Observasi

5. Lembar Acuan Observasi 6. Taksasi Dana Penelitian 7. Surat izin penelitian 8. Tabel hasil penelitian 9. Curriculum vitae


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Latihan Pasca Operasi ... 13

Tabel 2 Postur yang Abnormal ... 20

Tabel 3 Tingkat Gravidasi Otot ... 24

Tabel 4 Pengujian Statistik ... 47

Tabel 5 Distribusi Frekuensi dan Presentasi Karakteristik Demografi Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea Di RSUD dr. Pirngadi Medan ... 49

Tabel 6 Distribusi Nilai Mean, Standard Deviasi, Nilai Minimum dan Maximum Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea Di RSUD dr. Pirngadi Medan dari Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini ... 50

Tabel 7 Distribusi Nilai Mean, Standard Deviasi, Nilai Minimum dan Maximum Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea Di RSUD dr. Pirngadi Medan dari Tingkat Mobilisasi Dini ... 50

Tabel 8 Hasil Uji Pearson antara Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea Di RSUD dr. Pirngadi Medan ... 54


(8)

DAFTAR SKEMA


(9)

Judul : Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya Di RSUD dr. Pirngadi Medan

Penulis : Ceriawati Bate’e NIM : 101121004

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Ekstensi S-1 (S.Kep) Tahun : 2012/2013

_________________________________________________________________

Abstrak

Mobilisasi dini merupakan suatu kebutuhan dasar yang diperlukan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Desain penelitian ini deskriptif korelasi dengan jumlah sampel 48 orang, menggunakan teknik consecutive sampling. Kuesioner yang berisi 12 pernyataan dan lembar observasi, yang berisi pernyataan faktor gangguan neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan, stress dan tingkat mobilisasi dini. Hasil penelitian uji korelasi pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan atau bermakna (p < 0,05 ) antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan. Hubungan antara gangguan neuromuskuloskeletal dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi negatif (r = -0,412 p = 0,004), hubungan antara gaya hidup dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi positif (r = 0,448 , p = 0,001), hubungan antara nilai kepercayaan dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi positif (r = 0,437, p = 0,002), dan hubungan antara stress dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi negatif (r = -0,473 dan p = 0,001). Perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien untuk mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif. _________________________________________________________________


(10)

Judul : Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya Di RSUD dr. Pirngadi Medan

Penulis : Ceriawati Bate’e NIM : 101121004

Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Ekstensi S-1 (S.Kep) Tahun : 2012/2013

_________________________________________________________________

Abstrak

Mobilisasi dini merupakan suatu kebutuhan dasar yang diperlukan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Desain penelitian ini deskriptif korelasi dengan jumlah sampel 48 orang, menggunakan teknik consecutive sampling. Kuesioner yang berisi 12 pernyataan dan lembar observasi, yang berisi pernyataan faktor gangguan neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan, stress dan tingkat mobilisasi dini. Hasil penelitian uji korelasi pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan atau bermakna (p < 0,05 ) antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan. Hubungan antara gangguan neuromuskuloskeletal dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi negatif (r = -0,412 p = 0,004), hubungan antara gaya hidup dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi positif (r = 0,448 , p = 0,001), hubungan antara nilai kepercayaan dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi positif (r = 0,437, p = 0,002), dan hubungan antara stress dengan tingkat mobilisasi dini dengan arah korelasi negatif (r = -0,473 dan p = 0,001). Perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien untuk mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif. _________________________________________________________________


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010, hlm 485). Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik sangat penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Smith –Temple, 2010, hlm 674). Manusia harus mobilisasi untuk dapat memperoleh makanan dan minuman, melindungi diri dari trauma, memenuhi kebutuhan dasarnya, dan melakukan fungsi normal sehari-hari. Kemampuan melakukan mobilisasi mempengaruhi harga diri dan gambaran diri seseorang. Kedua hal ini merupakan komponen dari konsep diri (Kozier, 1995, hlm 966).

Mobilisasi dini pasca laparotomi dan seksio sesarea dapat dilakukan setelah 24 – 48 jam pertama pasca bedah. Mobilisasi dini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi pencernaan, mengurangi komplikasi pasca bedah, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang (Jitowiyono, 2010, hlm 94; Smeltzer, 2002, hlm 436; Oeswari, 2000, hlm 30).


(12)

Kalau mobilisasi dini tidak dilakukan pada pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea maka akan menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis. Bahaya fisiologis mempengaruhi fungsi metabolisme normal, menurunkan laju metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; menyebabkan ketidakseimbangan cairan elektrolit, dan kalsium; dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik dengan konstipasi dan impaksi fekal. Imobilisasi juga dapat menyebabkan pasien memiliki resiko tinggi komplikasi pernafasan, seperti: atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret), embolisme paru, meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dan mengakibatkan terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot (Perry & Potter, 2010, hlm 476; Smith –Temple, 2010, hlm 674).

Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing, takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping. Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea (Perry & Potter,2010,hlm 482; Smith – Temple, 2010, hlm 675).


(13)

Masalah yang sering terjadi dengan mobilisasi pasca laparotomi dan seksio sesarea adalah ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur. Tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agens anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi. Kebanyakan dari pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran (ansietas) kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh (Kozier,1995, hlm 970; Smeltzer, 2002, hlm 469).

Menurut Kozier (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi pasien untuk melakukan mobilisasi adalah gaya hidup, proses penyakit/cedera, tingkat energi, usia dan perkembangan. Sedangkan Berger dan Williams (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini adalah usia, stress dan kelelahan, status kesehatan, konsep diri dan emosi, nilai dan kepercayaan, serta gaya hidup. Potter & Perry (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor patologi yang mempengaruhi mobilisasi dini adalah abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral, dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal. Pada umumnya, pendapat – pendapat ini mempunyai


(14)

kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil telaah, peneliti menyimpulkan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi mobilisasi yaitu: Gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, stress, nilai dan kepercayaan (Berger dan Williams, 1992, hlm 1425-1426; Kozier,1995, hlm 969; Potter & Perry, 2010, hlm 473-475).

Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan motivator sehingga pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan keperawatan mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif (Kozier,1995, hlm 967).

Data yang diperoleh dari RSUD dr. Pirngadi Medan yang menunjukkan semakin tingginya angka terapi pembedahan abdomen : laparotomi dan seksio sesarea tiap tahunnya. Jumlah keseluruhan pembedahan yang dilakukan tahun 2010 terdapat 172 bedah abdomen yang terdiri dari: 69 laparotomi dan 103 seksio sesarea , tahun 2011 terdapat 412 bedah abdomen yang terdiri dari: 47 laparotomi dan 365 seksio sesarea dan tahun 2012 terdapat 228 bedah abdomen yang terdiri dari : 42 laparotomi dan 186 seksio sesarea terapi pembedahan abdomen


(15)

(Profil RSUD dr. Pirngadi Medan, 2012). Sejauh ini, belum pernah ada penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat mobilisasi pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum:

1.3.1.1 Mengidentifikasi tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparatomi dan seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.3.1.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.3.1.3 Mengidentifikasi hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan


(16)

1.3.2 Tujuan Khusus:

1.3.2.1 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea berdasarkan faktor gangguan neuromuskuloskeletal di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.3.2.2 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea berdasarkan faktor gaya hidup di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.3.2.3 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea berdasarkan faktor nilai dan kepercayaan di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.3.2.4 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea berdasarkan faktor stress di RSUD dr. Pirngadi Medan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan

Perawat akan lebih termotivasi untuk mengoptimalkan mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea sehingga didapatkan pelayanan keperawatan yang berkualitas dan komprehensif.


(17)

1.5.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Memperkaya khazanah literatur tentang mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea.

1.5.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Sebagai masukan atau sumber data bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat mobilisasi dini pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mobilisasi

2.1.1. Defenisi Mobilisasi

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010, hlm 485). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009, hlm 173). Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Smith – Temple, 2010, hlm 674).

Mobilisasi dini pasca laparotomi dan seksio sesarea ditujukan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi pencernaan, mengurangi komplikasi pasca bedah, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Mobilisasi meningkatkan fungsi


(19)

paru-paru- semakin dalam napas yang dapat ditarik, semakin meningkat sirkulasi darah.

Hal tersebut dapat memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah dan menolong saluran pencernaan agar mulai bekerja lagi (Gallacher, 2010, hlm 23; Jitowiyono, 2010, hlm 94, Oeswari, 2000, hlm 30; Smeltzer, 2002, hlm 436).

Mobilisasi dini juga digunakan untuk menunjukkan pertahanan tubuh, melakukan aktivitas sehari-hari dan berpartisipasi dalam aktivitas. Banyak fungsi tubuh yang bergantung pada mobilisasi. Oleh karena itu, sistem muskuloskeletal tubuh dan sistem syaraf harus berada dalam kondisi baik (Perry & Potter, 2010, hlm 486). Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi fungsi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium, dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin, menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: berespon pada stress dan cedera, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, mempertahankan lingkungan internal, produksi dan penyimpanan energi. Saat stress terjadi, sistem endokrin memicu respon yang bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah dan kehidupan. Sistem endokrin penting untuk mempertahankan homeostatis. Jaringan dan sel hidup pada lingkungan internal, dimana sistem endokrin membantu regulasinya dengan mempertahankan natrium, kalium, air, dan keseimbangan


(20)

asam basa. Sistem endokrin juga meregulasi metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basa dan energi untuk sel selama aksi gastrointestinal dan hormon pankreatik (Copstead-Kirkhorn dan Banasik, 2005).

Kalau mobilisasi dini tidak dilakukan pada pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea maka akan menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis. Bahaya fisiologis mempengaruhi fungsi metabolisme normal, seperti: menurunkan laju metabolisme; mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; menyebabkan ketidakseimbangan cairan elektrolit dan kalsium; dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan penurunan peristaltik dengan konstipasi dan impaksi fekal. Imobilisasi juga dapat menyebabkan pasien memiliki resiko tinggi komplikasi pernafasan, seperti: atelektasis (kolapsnya alveoli), pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret), dan embolisme paru; Imobilisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih tidak dibantu oleh gaya gravitasi sehingga pelvis ginjal terisi sebelum urine memasuki ureter. Keadaan ini disebut statis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih; mengakibatkan terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot. Selama pasien berbaring


(21)

di tempat tidur akan menyebabkan penurunan fungsi muskuloskeletal dan kekuatan otot (Mangunnegoro, 2001, hlm 44; Nicholss, 2001, hlm 117; Perry & Potter, 2010, hlm 476-482; Smith –Temple, 2010, hlm 674).

Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing,takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping. Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi (Smith –Temple, 2010, hlm 675).

Masalah yang sering terjadi dengan mobilisasi pasca laparotomi dan seksio sesarea adalah ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur . Smeltzer (2002) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan


(22)

informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi . Dengan demikian, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,1995, hlm 970; Oswari, 2000, hlm 30; Smeltzer,2002, hlm 469).

Pasien dianjurkan untuk segera melakukan mobilisasi dini setelah 24 – 48 jam pertama pasca bedah. Pergerakan pasca pembedahan akan mempercepat pencapaian level kondisi seperti pra pembedahan. Perawat mempunyai peran sebagai edukator dan motivator sehingga pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri. Perawat hendaknya mampu berespon terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan tindakan keperawatan : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam hal ini, perawat harus mampu mengkaji secara teliti tingkat kebutuhan pasien akan mobilisasi, membuat perencanaan tindakan keperawatan mobilisasi dini sehingga didapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan komprehensif (Oswari, 2000, hlm 30; Perry & Potter, 2010, hlm 476-477).


(23)

2.1.2 Rentang Gerak Dalam mobilisasi

Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang gerak:

2.1.2.1 Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Misalnya: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2.1.2.2 Rentang gerak aktif, untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Misalnya: berbaring, pasien menggerakkan kakinya.

2.1.2.3 Rentang gerak fungsional, untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan (Alimul A, 2009, hlm 173).

2.1.3 Jenis Mobilisasi

2.1.3.1 Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

2.1.3.2 Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan


(24)

saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

 Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: dislokasi sendi dan tulang.

 Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2009, hlm 174).

Menurut Kozier (1995), latihan mobilisasi dini mencakup latihan isotonik, latihan isometrik, dan latihan ambulasi. Latihan isotonik meliputi pergerakan yang dapat meningkatkan kontraksi otot pasien. Kontraksi otot dikategorikan berdasarkan tujuan fungsional, yaitu: bergerak, menahan atau menstabilkan bagian-bagian tubuh. Pada tekanan konsentrik, meningkatnya kontraksi otot menyebabkan tulang memendek, sehingga terjadi gerakan; misalnya saat pasien menggunakan otot trapezium atas untuk bangun dari tempat tidur. Tekanan esentrik membantu mengontrol kecepatan dan


(25)

arah gerakan. Pada contoh : otot trapezium atas, pasien duduk di tempat tidur dengan lambat. Penurunan ini, dikontrol saat otot antagonis memanjang. Reaksi otot konsentrik dan esentrik sangat penting untuk pergerakan aktif sehingga latihan ini disebut latihan isotonik atau dinamik (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000).

Latihan isotonik yang harus dilakukan adalah pasien berada dalam posisi terlentang, pasien mengencangkan otot-otot abdomen, pasien menekuk dan mengontraksikan otot-otot paha dengan mengangkat satu lutut dengan perlahan ke arah dada, pasien mengulangi sekurang-kurangnya lima kali untuk setiap tungkai sesuai kemampuan pasien . Latihan isometrik mencakup : Abdominal setting yaitu pasien meletakkan satu tangan pada abdomen ketika pasien menegangkan otot abdomen, otot-otot abdomen akan berkontraksi dan ditahan selama 10 detik, lalu dilepaskan; Quadriseps setting: pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan; Gluteal setting: pasien mengontraksikan otot-otot bokong bersama-sama, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan. Pasien mengulangi latihan ini 5-10 kali sesuai kemampuan. Latihan ambulasi dini terdiri dari: pasien merubah posisi miring kanan dan miring kiri (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000, Perry & Potter, 2010, hlm 472) .

Demonstrasi latihan pasca laparotomi dan seksio sesarea yaitu: pernafasan diafragma, spirometri insentif, batuk terkontrol ,


(26)

berpindah, dan olahraga kaki (Perry & Potter, 2010, hlm 711-715, Smeltzer, 2002, hlm 437-438) . Tabel berikut menguraikan langkah-langkah latihan yang membantu mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea.

TABEL 1. LATIHAN PASCA OPERASI

Langkah Rasional

1. Kaji resiko komplikasi pernafasan klien

pascaoperasi. Tinjau riwayat medis untuk

mengidentifikasi kondisi paru kronis (misalnya: emfisema, asma), setiap kondisi yang mempengaruhi gerakan dinding dada, riwayat merokok, dan kurangnya Hb

Selama anestesi umum, paru-paru belum sepenuhnya mengembang selama operasi dan refleks batuk tertekan sehingga mengumpulkan lendir di bagian dalam saluran udara. Setelah operasi, klien mungkin telah mengurangi volume paru-paru dan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk batuk dan bernafas dalam; ekspansi paru-paru yang tidak memadai dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Kondisi paru-paru kronis sebelumnya meningkatkan resiko klien untuk mengembangkan kompilasi

pernafasan. Merokok merusak silia yang bertugas membersihkan saluran pernafasan dan meningkatkan sekresi lendir. Berkurangnya kadar

hemoglobin menyebabkan oksigen tidak memadai.

2. Kaji kemampuan untuk batuk dan bernafas dalam dengan menyuruh klien mengambil nafas dalam, amati

pergerakan, bahu dan dinding dada.Ukur ekskursi dada selama nafas dalam. Minta klien untuk batuk setelah mengambil nafas dalam.

Mengungkapkan potensi maksimum ekspansi dada dan kemampuan untuk batuk; digunakan sebagai dasar untuk melakukan mobilisasi setelah operasi.

3. Kaji resiko pembentukan trombus pascaoperasi (misalnya: klien lansia,

Statis vena, hiperkoagulabilitas dan trauma vena memunculkan


(27)

mereka yang memiliki kanker yang aktif dan klien yang imobilisasi). Perhatikan untuk kelembutan daerah sepanjang distribusi sistem vena,

bengkak betis/paha, pitting edema di kaki simptomatik, dan vena superfisial kolateral.

( Lewis et al. 2007). Setelah anastesi umum,sirkulasi melambat dan ketika tingkat aliran darah melambat, ada kecenderungan pembentukan gumpalan. Immobilisasi

mengakibatkan penurunan kontraksi otot di bawah kaki, yang menyebabkan statis vena.

4. Kaji kemampuan klien untuk bergerak secara mandiri ketika di tempat tidur

Menentukan adanya keterbatasan pergerakan

5. Jelaskan latihan pascaoperasi kepada klien termasuk pentingnya pemulihan dan manfaat fisiologis

Informasi memungkinkan klien utnuk memahami pentingnya latihan dan dapat memotivasi melakukan mobilisasi

6. Demonstrasikan latihan

a) Pernafasan diafragma

- Bantu klien berada dalam posisi duduk yang nyaman di sisi tempat tidur

- Berdiri atau duduk berhadapan dengan klien - Klien menempatkan

telapak tangan bersilangan satu sama lain, ke bawah dan di sepanjang batas bawah tulang rusuk

anterior. Klien meletakkan ujung jari ketiga dengan lembut

- Klien mengambil nafas lambat dan nafas dalam, menghirup melalui hidung dan klien mendorong perut melawan tangan

- Klien terus bernafas lambat dan panjang saat hitungan ketiga, klien membuang nafas perlahan melalui mulut seperti mulut seakan meniup sebuah lilin (bibir kerucut)

-Posisi tegak memungkinkan ekskursi diafragmatik

-Biarkan klien mengamati latihan pernafasan

-Posisi tangan memungkinkan klien merasa gerakan dada dan perut ketika diafragma turun dan paru-paru berkembang

-Mengambil nafas lambat dan dalam, mencegah klien terengah-engah atau hiperventilasi. Menghirup melalui hidung dapat menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara. -Memungkinkan untuk

mengeluarkan semua udara secara bertahap


(28)

- Klien mengulangi latihan pernafasan tiga sampai lima kali

- Klien mengambil 10 kali nafas lambat setiap jam

b)Spirometer Insentif (SI)

-Klien mengambil posisi semi fowler

-Klien menghirup perlahan dan mempertahankan aliran konstan melalui unit, berusaha untuk mencapai inspirasi maksimal, klien menahan nafas terus selama 3-5 detik, lalu membuang nafas

perlahan.Jumlahnya tidak melebihi 10-12 kali persesi. -Klien bernafas secara

normal untuk periode singkat diantara 10 nafas pada SI

-Klien mengulangi latihan sampai tujuan tercapai -Klien mengakhiri dengan

dua batuk setelah akhir nafas 10 SI.

c) Batuk terkontrol

- Klien mengambil posisi semi fowler

- Klien mengambil nafas lambat dan

dalam,menghirup melalui hidung dan membuang melalui mulut. Jumlahnya 2x berturut-turut.

- Selama latihan pernafasan, klien menekan lembut daerah insisi untuk membelat atau

mendukungnya dengan menggunakan bantal.

-Pengulangan latihan memperkuat proses belajar

-Nafas dalam secara teratur

mencegah komplikasi pasca operasi seperti atelektasis dan pneumonia. - Meningkatkan ekspansi paru

optimal selama latihan pernafasan - Menjaga inspirasi secara maksimal

dan mengurangi resiko keruntuhan progresif dari alveoli seseorang. Nafas lambat mencegah atau mengurangi nyeri akibat perubahan tekanan mendadak dalam dada.

- Mencegah hiperventilasi dan kelelahan

- Memastikan penggunaan spirometer dengan benar - Batuk akan membantu

memobilisasi sekresi paru.

- Posisi memfasilitasi ekskursi diafragma dan meningkatkan ekspansi dada.

- Nafas dalam mengembangkan paru-paru sepenuhnya sehingga udara bergerak ke belakang lendir dan memfasilitasi efek batuk

- Latihan pernafasan dalam dan batuk dapat menyebabkan stress tambahan pada garis jahitan dan meyebabkan ketidaknyamanan. Belat insisi dengan tangan memberikan dukungan kuat dan mengurangi tarikan insisional


(29)

- Klien menarik nafas dalam tiga kali dan menahan nafas saat hitungan ke tiga. Kemudian membatukkan secara penuh selama dua atau tiga kali berturut-turut

d)Berpindah

- Klien mengambil posisi telentang dan pindah ke sisi tempat tidur. Klien

bergerak menekuk lutut dan menekan tumit melawan kasur untuk mengangkat dan memindahkan

pantat.Pembatas di kedua ssi tempat tidur harus dalam keadaan berdiri. - Klien menempatkan tangan

kanan di atas daerah insisi untuk membelatnya. - Klien untuk menjaga kaki

kanan tetap lurus dan tekuk lutut kiri ke atas

- Klien memegang sisi kanan pegangan tempat tidur dengan tangan kiri, tarik ke kanan, dan klien berguling ke sisi kanan.

- Klien berpindah setiap 2 jam

e) Latihan kaki

- Klien terlentang ditempat tidur. Klien menunjukkan latihan kaki dengan melakukan latihan rentang gerak pasif

- Klien memutar tiap mata kaki dengan lingkaran penuh. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Klien melakukan dorsofleksi dan

fleksiplantar pada kedua kaki. Klien mengulangi

- Posisi di mulai pada sisi tempat tidur sehingga berbalik ke sisi lain tidak akan menyebabkan klien meluncur arah tepi tempat tidur

- Mendukung dan meminimalkan tarikan garis jahitan selama berpindah.

- Kaki lurus menstabilkan posisi klien. Kaki kiri tertekuk mengubah titik berat untuk memudahkan berpindah.

- Menarik ke sisi tempat tidur mengurangi usaha yang diperlukan untuk berpindah.

- Mengurangi resiko komplikasi vaskular

- Memberikan posisi normal anatomi ekstremitas bawah - Latihan kaki mempertahankan

mobilitas sendi dan

mempromosikan vena kembali untuk mencegah trombus. - Meregangkan dan

mengontraksikan otot gastrocnemius

- Kontraksi otot kaki bagian atas, mempertahankan mobilitas lutut dan meningkatkan aliran vena balik/venous return


(30)

sebanyak 5 kali

- Klien melakukan latihan kuadrisep dengan

mengencangkan paha dan membawa lutut ke arah kasur , kemudian relaksasi. Klien mengulangi

sebanyak 5 kali

- Klien secara bergantian mengangkat masing-masing kakilurus ke atas dari permukaan tempat tidur , kaki tetap lurusdan kemudian klien

membengkokkan kaki pada pinggul dan lutut. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Mempromosikan kontraksi dan relaksasi otot quadriceps

(Sumber: Perry & Potter, 2010, hlm 711-716)

2.1.4 Gangguan Mobilisasi Pasien di Tempat Tidur

Gangguan mobilisasi pasien di tempat tidur adalah pembatasan kemampuan gerak pasien dari satu posisi di tempat tidur ke posisi yang lain. Gangguan kemampuan gerak meliputi kemampuan untuk bergerak dari terlentang menjadi lama duduk, kemampuan bergerak dari terlentang menjadi rawan atau rentan terhadap terlentang bergerak dari terlentang menjadi duduk atau duduk untuk terlentang (Wilkinson, 2005, hlm.303).

Menurut Judith M. Wilkinson (2005) berdasarkan NIC (Nursing Interventions Classification) and NOC (Nursing Outcomes Classification) , perencanaan asuhan keperawatan pada pasien


(31)

dengan gangguan mobilisasi adalah memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadinya komplikasi yang bisa menyebabkan pasien tidak dapat bergerak dari tempat tidur, memfasilitasi pasien untuk mampu bergerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga mencegah terjadinya kelelahan dan cedera muskuloskletal; melatih kekuatan otot dan menganjurkan pasien latihan therapy serta mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Perawat hendaknya mampu menilai kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi secara mandiri, menilai tingkat penurunan kesadaran pasien, menilai kekuatan otot dan kemampuan rentang gerak (ROM), menilai kebutuhan pasien akan peralatan medis, menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif dan pasif ROM untuk meningkatkan kekuatan otot.

Kriteria dalam mengevaluasi asuhan keperawatan pasien dengan gangguan mobilisasi adalah melakukan mobilisasi di tempat tidur dengan pembuktian bahwa: pasien mampu mengubah posisi secara mandiri, mampu melakukan Range of Motion dengan benar dan dapat mengubah posisi sendiri di tempat tidur bergerak secara aktif, tingkat mobilisasi yang dilakukan memuaskan, kontraksi otot serta status neurologis berfungsi dengan baik (Wilkinson, 2005, hlm.303- 305).


(32)

2.1.5 Tingkat Mobilisasi

Tingkat Mobilisasi dini dikategorikan menjadi 5 tingkatan yaitu: a. Tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri b. Tingkat 3 : memerlukan bantuan alat

c. Tingkat 2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain d. Tingkat 1 : memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain

disertai dengan bantuan alat.

e. Tingkat 0 : tidak dapat melakukan mobilisasi dini secara aktif Kontraindikasi mobilisasi adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi piogenik pada dinding abdomen, kifosis, lordosis, skoliosis, infark miokard akut, disritmia jantung, atau syok sepsis (Wilkinson, 2005, hlm.303)

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien, menurut Kozier (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dibedakan atas empat faktor yaitu gaya hidup, penyakit/cedera, tingkat energi dan usia. Sedangkan Marilyn Brinkman William (1992) menyatakan bahwa mobilisasi dini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu: usia, stress dan kelelahan, status kesehatan, konsep diri, nilai dan kepercayaan, gaya hidup. Potter & Perry (2010) juga membedakan faktor-faktor patologi yang mempengaruhi mobilisasi menjadi 4 faktor yaitu abnormalitas


(33)

postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Pada umumnya, pendapat – pendapat ini mempunyai kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil telaah, peneliti menyimpulkan bahwa ada faktor yang mempengaruh mobilisasi yaitu: gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan dan stress.

2.1.6.1 Gangguan Sistem Neuromuskuloskeletal

Gangguan sistem neuromuskuloskeletal terdiri dari: abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Abnormalitas Postur adalah kelainan postur yang mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal, kesejajaran, keseimbangan, dan penampilan tubuh. Postur yang abnormal dapat menyebabkan nyeri , ketidaksejajaran, dan imobilisasi atau keduanya. Tabel berikut ini adalah postur abnormal yang dapat ditemui pada pasie

Tabel 2. Postur Yang Abnormal

Abnormalitas Deskripsi Penyebab Terapi yang dilakukan

Lordosis Memicu lengkung konveks anterior pada spina lumbar

Keadaan

kongenital/keadaan kontemporer (misalnya kehamilan)

Latihan

meregangkan spina

Kifosis Meningkatkan

konveksitas pada lengkung thoraks

Keadaan kongenital, osteoporosis

Latihan meregangkan spina, tidur tanpa


(34)

bantal,

menggunakan bed board

Skoliosis Kolumna spinalis berbentuk S atau C dengan rotasi vertebra, tinggi pinggul yang tidak sama dengan tinggi bahu Keadaan kongenital, gangguan pada jaringan penghubung dan neuromuskular Hampir separuh dari anak-anak membutuhkan tindakan pembedahan, terapi non pembedahan adalah dengan braces dan latihan Clubfoot 95 %:deviasi

medial dan plantar fleksi pada kaki (ekuinavorus) 5% : deviasi lateraldan dorsifleksi (kalkanovalgus)

Keadaan kongenital Gips,

Footdrop Ketidakmampuan

melakukan dorsofleksi dan inversi kaki paada gangguan saraf peroneal

Keadaan kongenital, trauma, posisi klien imobilisasi yang tidak tepat

Tidak ada (tidak bisa dikoreksi)

(Sumber Perry & Potter, 2010, hlm 474 - 475).

Smeltzer (2002) menyatakan bahwa kifosis sering dijumpai pada usia lanjut dengan osteoporosis dan pada pasien dengan penyakit neuromuskular. Skoliosis bisa kongenital, idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), atau akibat kerusakan otot paraspinal, seperti pada penderita poliomielitis. Skoliosis ditandai dengan kurvatura lateral abnormal tulang belakang, bahu tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetris dan skapula menonjol). Lordosis biasa dijumpai pada saat kehamilan karena penderita berusaha menyesuaikan postur tubuhnya akibat perubahan pusat gaya berat.


(35)

Postur yang abnormal membatasi rentang gerak (Smeltzer, 2002, hlm 2272-2273).

Pengetahuan tentang karakteristik, penyebab dan terapi postur yang abnormal dibutuhkan untuk mengangkat dan memosisikan klien. Perawat memberikan intervensi untuk mempertahankan rentang gerak maksimum pada sendi yang tidak sakit, kemudian merencanakanintervensi untuk memperkuat otot dan sendi yang sakit, meningkatkan postur klien dan secara adekuat menggunakan kelompok otot yang sakit dan tidak sakit. Rujukan atau kolaborasi dengan terapi fisik meningkatkan intervensi perawat pada klien dengan postur yang abnormal (Perry & Potter, 2010, hlm 473).

Gangguan Perkembangan Otot adalah sekelompok gangguan yang diturunkan sehingga menyebabkan degenerasi serat otot rangka. Misalnya distrofi yang sering dialami pada masa kanak-kanak. Klien dengan distrofi otot mengalami kelemahan yang progresif, kelemahan yang simetris dan menyia-nyiakan sekelompok otot rangka, dimana akan meningkatkan ketidakmampuan dan deformitas (McCance dan Huether, 2005). Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi dan ukuran masing-masing otot. Kelemahan otot menunjukkan berbagai macam kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit (khususnya kalsium dan kalium), miastenia gravis, poliomielitis dan ditrofi otot. Perubahan status kesehatan ini saling berhubungan dengan sistem muskuloskeletal dan sistem syaraf berupa penurunan koordinasi. Hal


(36)

tersebut dapat mempengaruhi proses koordinasi pada otot, ligamen, sendi dan tulang.

Kerusakan pada Sistem Syaraf Sentral adalah kerusakan pada beberapa komponen syaraf pusat meregulasi gerakan volunter yang menyebabkan gangguan kesejajaran tubuh, keseimbangan, dan mobilisasi. Trauma akibat cedera kepala, iskemia akibat stroke atau cedera otak (cerebrovascular accident/ CVA), atau infeksi bakteri seperti meningitis dapat merusak serebelum atau strip motorik pada korteks serebral. Kerusakan pada serebelum menyebabkan masalah pada keseimbangan dan gangguan motorik yang dihubungkan langsung dengan jumlah kerusakan strip motorik. Misalnya, seseorang dengan hemoragi serebral sisi kanan disertai nekrosis telah merusak strip motorik kanan yang menyebabkan hemiplegia sisi kiri. Trauma pada korda spinalis juga dapat merusak imobilisasi. Misalnya, transeksi lengkap pada korda spinalis menyebabkan kehilangan kontrol motorik volunter bilateral di bawah sisi yang mengalami trauma serat motorik putus. Penilaian klien yang mengalami kerusakan sistem syaraf sentral adalah dengan menilai kesejajaran tubuh dalam posisi berdiri, duduk, dan berbaring, miring kiri dan miring kanan.

Karakteristik kesejajaran tubuh yang benar untuk klien yang berdiri adalah : kepala tegak dan berada di tengah, saat mengobservasi dari belakang, bahu dan pinggul tegak dan paralel, saat klien diobservasi dari samping, kepala tegak dan lengkung tulang belakang berada dalam pola S terbalik. Tulang belakang servikal tampak konveks dari depan, tulang


(37)

belakang toraks tampak konveks dari belakang, dan tulang belakang lumbar tampak konveks dari depan; saat diobservasi dari samping, abdomen masuk ke dalam dan lutut dan pergelangan kaki sedikit fleksi. Seseorang tampak merasa nyaman dan tidak kelihatan bingung saat memfleksikan kaki dan pergelangan kaki, lengan bergantung secara nyaman disamping tubuh; kaki terpisah sedikit untuk mencapai dasar tumpuan, dan jari kaki menghadap ke depan; saat melihat klien dari belakang, pusat gravitasi berada pada garis tengah dan garis gravitasi berada dari tengah dahi hingga titik tengah di tengah kaki.

Karakteristik kesejajaran tubuh yang benar untuk klien yang duduk adalah: kepala tegak, dan leher serta kolumna vertebralis berada dalam posisi sejajar, berat badan terdistribusi dengan rata pada bokong dan paha. Paha paralel dan berada pada bidang horizontal, kedua kaki di dukung di atas lantai dan pergelangan kaki fleksi. Sedangkan karakteristik kesejajaran tubuh dengan berbaring adalah pasien dapat mengubah posisi miring kiri dan miring kanan (Perry & Potter, 2010, hlm 493-494).

Trauma Langsung pada Sistem Muskuloskeletal adalah gangguan permanen atau temporer yang terjadi pada sistem muskuloskeletal. Kebanyakan individu membatasi aktivitasnya sebagai konsekuensi terhadap status kesehatan termasuk gangguan pada muskuloskeletal. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal menyebabkan memar, kontusio, keseleo dan fraktur. Fraktur sering terjadi karena trauma eksternal langsung tetapi dapat juga disebabkan beberapa deformitas tulang (misalnya fraktur


(38)

patologis pada osteoporosis, penyakit paget atau osteogenesis imperfekta). Perubahan usia mempengaruhi mobilisasi dikarenakan menurunnya kecepatan konduksi dan pengurangan jumlah neurotransmitter, kehilangan densitas dan kekuatan tulang, penurunan denyut jantung dan kapasitas vital paru serta penurunan regulasi hormonal terhadap metabolisme kalsium memegang peranan penting dalam memburuknya aktivitas otot. Usia seseorang dan perkembangan sistem muskuloskeletal dan syaraf mempengaruhi postur, proporsi tubuh, massa tubuh dan pergerakan tubuh, perubahan neurologis, sistem kardiovaskuler dan sistem pernafasan (Kozier, et al. 1995, hlm 969; Berger & Williams, 1992). Misalnya, seorang dewasa yang memiliki postur dan kesejajaran tubuh yang benar akan merasa memiliki kekuatan untuk melakukan mobilisasi dini sedangkan pada usia lanjut mengalami kehilangan massa tulang yang progressif. Efek kehilangan ini pada tulang adalah tulang menjadi lemah, dan koordinasi berkurang sehingga dapat mempengaruhi kesulitan mobilisasi. Penuaan biasanya dihubungkan dengan menurunnya kekuatan otot, menurunnya kapasitas aerobik , menurunnya jaringan otot, jumlah mitokondria, perubahan hormonal dan fungsi metabolik (Perry & Potter, 2010, hlm 473-475). Gangguan perkembangan otot dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dapat dinilai dari tingkat gravidasi otot yaitu:


(39)

Tabel 3. Tingkat Gravidasi Otot

Skala Kekuatan normal

Karakteristik

0 0 Paralisis total

1 10 Tidak ada gerakan,kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat

2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi

4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh

(Sumber: Asmadi, 2009, hlm 116).

2.1.6.2 Gaya Hidup

Menurut Kozier (1995), gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan (aktivitas), kebiasaan, minat dan opininya. Gaya hidup adalah seseorang yang sering melakukan kegiatan aktif, misalnya latihan fisik misalnya berolah raga (lari atau jalan cepat) yang dilakukan minimal 3 kali seminggu selama 15 - 30 menit, melakukan latihan aerobik seperti senam, yoga minimal 3 kali seminggu selama 15 – 30 menit, aktivitas bekerja misalnya berkebun dan berladang.

Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur minimal 3 kali setiap minggu dapat mempercepat proses penyembuhan pasien bedah


(40)

abdomen. Olahraga dapat merangsang aktifnya neurotransmiter dan menstimulasi kekuatan otot abdomen. Aktivitas fisik dapat membuka saluran pembuluh darah baru di sekitar pembuluh darah yang tersumbat sehingga darah mengalir dengan lancar kembali. Pasien yang aktif bergerak tentunya berbeda dengan pasien yang pasif pergerakkannya (Kozier, et al. 1995, hlm 969; Berger dan Williams, 1992, hlm 1425).

2.1.6.3 Nilai dan Kepercayaan

Nilai adalah ideal yang dapat dipegang oleh individu/kelompok. Individu berpikir, merasakan, membuat pilihan dan melakukan suatu nilai yang dianggap baik ( Purba Jenny, 2010, hlm 10). Nilai dan kepercayaan adalah keyakinan dan nilai-nilai budaya, persepsi seseorang terhadap kesehatan yang mempengaruhi cara individu untuk melakukan mobilisasi (Judha, 2012, hlm 6). Nilai dan kepercayaan adalah sejumlah besar kebiasaan (budaya) yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berasal dari anggota keluarga atau kelompok masyarakat dengan latar belakang yang sama (Mangunnegoro, 2001). Sedangkan menurut Gallacher, nilai dan kepercayaan dapat didefenisikan sebagai nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang diturunkan dari orangtua yang dapat menjadi motivasi ataupun penghambat individu untuk melakukan mobilisasi (Gallacher, 2004, hlm 2).


(41)

Penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969), nilai dan kepercayaan yang dianut oleh suatu kelompok etnik mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi pasca pembedahan. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka, misalnya pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi. Menurut Clancy dan Vicar (dalam Perry & Potter, 2010) menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang.

Indonesia yang terkenal dengan ragam budaya, nilai dan kepercayaan mempunyai beberapa cara memberi perawatan pada pasien pasca laparatomi dan seksio sesarea. Contohnya: Menurut masyarakat Nias, pasien pasca operasi diwajibkan mandi air hangat karena air hangat dapat memperlancar peredaran darah. Aliran darah yang lancar sangat mempengaruhi sistem metabolisme dalam tubuh. Dalam darah terkandung oksigen serta nutrisi yang diperlukan sel-sel dalam tubuh sehingga dalam proses penyembuhan luka menjadi lebih cepat.

Pasien pasca operasi dilarang mengkonsumsi makanan yang pedas karena ASI (Air Susu Ibu) juga menjadi pedas. Namun secara ilmu pengetahuan makanan yang pedas mengandung cabai yang memiliki kandungan kapsaisin bersifat antikoagulan, yaitu menjaga darah tetap encer dan mencegah terbentuknya kerak lemak pada


(42)

pembuluh darah. Sehingga orang yang suka makan sambal memperkecil kemungkinan aterosklerosis, sehingga mencegah munculnya serangan stroke dan jantung koroner. Sedangkan pada ibu nifas mengkonsumsi cabai dapat menyebabkan naiknya asam lambung sehingga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di abdomen.

Pasien pasca operasi diwajibkan memakai gurita atau stagen panjang yang dililitkan di perut karena menurut mereka gurita dapat mengembalikan bentuk tubuh yang melar pasca melahirkan, penggunaan stagen akan membantu memberi sokongan dan mungkin meringankan rasa tidak nyaman yang dialami oleh pasien ; ibu pasca seksio sesarea tidak dianjurkan banyak bergerak dikarenakan ibu masih dalam keadaan lemah dan lebih dianjurkan banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi nilai gizinya, misalnya makan daging ayam gulai, daging sapi,dan sup kambing. Ibu harus duduk bersimpuh dan dilarang keras mengangkang karena akan mengakibatkan perut jatuh. Keluarga selalu mengingatkan untuk tidak banyak bergerak karena dapat memperburuk kondisi kesehatan ibu.

Menurut nilai dan kepercayaan di daerah Maluku terdapat pantangan makanan pada ibu post seksio sesarea yaitu pantangan memakan terong agar lidah bayi tidak bercak putih, ibu pantang memakan nenas dan mangga karena tidak baik untuk rahim, Ibu


(43)

pasca seksio sesarea setelah melahirkan dibuat gelang dengan benang dengan tujuh ragam dan dipasang selama 40 hari, setelah itu baru boleh dibuka. Setelah 3 hari melahirkan ibu diurut oleh dukun.

Masyarakat suku Minang, perawatan ibu post seksio sesarea meliputi minum telur dan kopi, penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata( duduk di atas batu bata), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.

Menurut nilai dan kepercayaan suku Jawa, ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk sinden dan keluarga selalu mengingatkan untuk mengontrol pergerakan karena alasan estetika, maksudnya agar organ reproduksi dan tubuh ibu tetap dalam kondisi baik, Ibu minum jamu untuk dapat memperlancar ASI dan agar ibu tetap cantik dan awet muda.

Menurut masyarakat Karo, Ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk di atas perapian dan ibu harus ‘Disembur” dengan kunyahan kunyit, bawang putih, merica hitam, merica putih, dan buah pala pada keningnya., agar keadaan ibu tetap hangat karena ibu post operasi masih dalam keadaan lemah dan anemia.

Nilai yang dianut oleh seorang individu sangat mempengaruhi harga diri dan gambaran diri seseorang. Kedua hal ini merupakan komponen konsep diri. Kesehatan dapat dinilai dari kemampuan fisik individu melakukan aktivitasnya. Penting bagi perawat untuk


(44)

mengetahui bagaimana kepercayaan, nilai, praktik budaya mempengaruhi seseorang untuk mampu melakukan mobilisasi.

2.1.6.4 Stress

Stress adalah respon fisik, emosi, dan mental terhadap peristiwa / kondisi yang bervariasi ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak pasti, tidak menyenangkan, menakutkan atau membingungkan (Bradley, 1997). Menurut Fabella (1993), stress adalah ekspresi seseorang terhadap suatu hal yang dapat menyerang siapa saja dan terjadi baik di rumah sakit, tempat kerja, di rumah dan lain-lain. Stress adalah berbagai situasi dimana adanya tuntutan yang mengharuskan individu untuk merespo atau mengambil tindakan. Stress merupakan reaksi individu baik secara fisik maupun mental terhadap tuntutan dan tekanan dari lingkungannya. Stress dapat mengancam pandangan umum seseorang terhadap kehidupan, perilaku terhadap orang yang dicintainya, kemampuan untuk mengatasi masalah dan status kesehatan (Lindsay & Carrieri, 1986 dikutip dari Potter &Perry 2010).

Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perilaku yang dapat menurunkan aktivitas mobilisasi. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri rendah akan mengalami kesulitan dalam mobilisasi. Orang yang stress sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah lelah karena


(45)

mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya. Akhirnya, pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi. Pada saat seseorang mengalami stress maka memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat berakibat mempercepat kekejangan arteri koroner, suplai darah ke otot jantung terganggu, rasa sakit akibat nyeri semakin kuat sehingga dapat menghambat pasien untuk dapat melakukan mobilisasi. Namun sebaliknya dalam kondisi rileks, justru bisa memancing keluarnya hormon endorfin penghilang rasa sakit yang alami di dalam tubuh (Judha, 2010, hlm 81).

Stress yang dialami oleh pasien pasca bedah abdomen berupa gangguan psikologis (ansietas). Ansietas yang berlebihan dapat menjadi pencetus pasien tidak dapat melakukan mobilisasi dini. Ansietas adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami seseorang (Nugroho, 2008, hlm 122). Stuart, (2000) menyatakan bahwa ansietas adalah pengalaman subjektif emosional, tanpa objek yang spesifik, yang ditimbulkan oleh sesutu yang tidak diketahui dan menjadi pengalaman baru. Kecemasan membuat kondisi emosi pasien tidak stabil dan menyebabkan kelelahan mental. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang dapat memproses reaksi emosi seseorang


(46)

terhadap nyeri yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri (Judha, 2010, hlm 7).

Ansietas atau cemas timbul karena pasien merasakan nyeri sehingga pasien takut untuk bergerak (mobilisasi), takut cedera akibat pembedahan dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur mobilisasi yang didapatkan dari tenaga medis pre operatif. Stress dan kecemasan mempengaruhi fungsi biologis tubuh pada saat stress peningkatan respons saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah. Orang yang mudah stress akan lebih berisiko akan sulit melakukan mobilisasi dibandingkan dengan seseorang yang tidak mudah mengalami stress. Misalnya, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995; Oswari, 2000, hlm 30).

Ketika pasien merasakan terlalu sakit atau nyeri maka pasien tidak mau melakukan mobilisasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur . Smeltzer (2002) menyatakan bahwa tingkat dan keparahan nyeri pasca operatif tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nyeri, letak


(47)

insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah,dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995, hlm 970; Smeltzer, S, 2002, hlm 469).

2.2.Laparatomi

Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen(Jitowiyono, 2010, hlm 93). Laparatomi adalah membuka dinding abdomen dan peritoneum. Faktor yang penting dalam melakukan laparatomi adalah dalam membuka dan menutup dinding abdomen dengan cara dan tekhnik yang baik (Wibowo S, 2001).

Pemilihan jenis insisi abdomen ditentukan oleh faktor-faktor berikut : diagnosis dan prosedur operasi, urgensi prosedur (emergensi atau elektif), kondisi fisik pasien (tingkat obesitas), prosedur operatif sebelumnya dan jaringan parut.

Jenis insisi abdomen antara lain:

-Insisi Lower Abdominal Midline. Jenis insisi ini diindikasikan pada: perdarahan masif intra abdominal, kemungkinan gangguan koagulasi, ukuran tumor yang besar, untuk keperluan staging dalam bidang ginekologi dan onkologi. Keuntungan dari insisi ini adalah: prosedurnya


(48)

cepat, penjahitan luka yang sederhana, risiko perdarahan yang minimal, struktur intra dan retroperitonium dapat dicapai dan mudah dikeluarkan. -Insisi Pfannenstiel memberikan hasil kosmetik yang baik dengan

penyembuhan luka primer.

-Insisi Joel-cohen . Metode ini sebagian menggunakan diseksi tumpul, sehingga lebih sedikit terjadi cedera pembuluh darah maupun kehilangan darah. Tekhnik ini dapat digunakan untuk laparotomi ginekologis maupun seksio sesarea, terutama pada pasien yang kurus. Metode ini kurang sesuai untuk prosedur yang memerlukan paparan yang luas atau pada pasien obesitas.

-Insisi Maylard, merupakan insisi abdominal yang dapat menjangkau organ pelvis secara luas pada seluruh dinding abdomen, termasuk otot-otot rektus di atas simfisis.

Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tekhnik sayatan laparatomi yaitu: herniotomi, gastrektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, fistulotomi atau fistulektomi, apendiktomi (Jitowiyono, 2010, hlm 93-94). Ada 4 cara sayatan laparatomi: Midline incision, Paramedian¸yaitu: sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm ) dan panjang 12,5 cm) , Transverse upper abdomen incision, yaitu: insisi dibagian atas, misalnya pembedahan colesistomy dan splenektomi, Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya pada operasi appendictomi (Jitowiyono, 2010, hlm 93; Bayley H,1992, hlm 343).


(49)

Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau tajam)/ ruptur hepar, peritonitis, Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding), sumbatan pada usus halus dan besar, dan massa pada abdomen (Jitowiyono, 2010, hlm 94; Rasjidi Imam, 2009).

Perawatan post laparotomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. Tujuan perawatan post laparatomi adalah mengurangi komplikasi akibat pembedahan, mempercepat penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini(Jitowiyono, 2010, hlm 94).

2.3.Seksio Sesarea

Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan abdomen (Rustam Mochtar, 1992). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui insisi pada dinding depan abdomen dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991). Seksio sesarea adalah lahirnya janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus agar janin lahir dalam keadaan utuh dan sehat (Rasjidi, 2009, hlm.1).


(50)

Indikasi seksio sesarea adalah Panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara abnormal karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, ruptur uteri membakat, kelainan letak janin, gawat janin, prolapsus plasenta, perkembangan janin yang terhambat, mencegah hipoksia janin, presentasi bokong, distosia, fetal distres, preeklamsia berat, penyakit kardiovaskular dan diabetes, gemelli, janin letak lintang (Rasjidi, 2009, hlm 88).

2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Laparatomi dan Seksio Sesarea

Proses penyembuhan luka pasca operasi pada dasarnya adalah sama. Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi: respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison M, 2004, hlm 1; Arisanty, 2012, hlm 1-3). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit atau jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal. Seluruh kegiatan penyembuhan luka diatur oleh serangkaian reaksi yang kompleks (Boyle M, 2009, hlm 37).

Menurut Jitowiyono (2010), proses penyembuhan luka pasca laparotomi dan seksio sesarea terdiri dari: Fase Pertama berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit banyak yang rusak/ rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka; Fase kedua, dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian


(51)

oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan; Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali, Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.

2.5 Komplikasi Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea

a. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi , ambulatif dini, dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.

b. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36- 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme:gram positif. Perawatan luka hendaknya aseptik dan antiseptik.

c. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.Faktor penyebab dehisensi aatau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan


(52)

menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah (Jitowiyono, 2010, hlm 95)


(53)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (Nursalam, 2009, hlm 77).

Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan. Mobilisasi adalah rentang gerak persendian dan otot secara aktif yang dapat dilakukan pasien selama 24 - 48 jam pasca laparotomi dan seksio sesarea yang dibagi dalam lima tingkat mobilisasi yaitu tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri, tingkat 3: memerlukan bantuan alat, tingkat 2: memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain, tingkat 1: memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain dan disertai dengan bantuan alat, tingkat 0: tidak dapat melakukan mobilisasi secara aktif. Mobilisasi dini dipengaruhi oleh 4 faktor yakni: gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan, stress.


(54)

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka dapat dibuar kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Skema 1. Kerangka Penelitian Tingkat Mobilisasi Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dengan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Berhubungan

Tingkat Mobilisasi dini: - Tingkat 0 - Tingkat 1 - Tingkat 2 - Tingkat 3 - Tingkat 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi

mobilisasi: -Gangguan sistem

neuromuskuloskeletal -Gaya Hidup

-Nilai dan kepercayaan -Stress


(55)

3.2 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala Skala Ukur

1. Mobilisasi Kemampuan melakukan 4 jenis gerakan mobilisasi dini yaitu: pernafasan diafragma, batuk terkontrol, berpindah, latihan kaki. Lembar Observasi

Skala Specify level of mobility:

- Tingkat 0:tidak dapat melakukan 4 gerakan mobilisasi dini - Tingkat 1: dapat

melakukan 1 gerakan dari 4 gerakan

mobilisasi dini - Tingkat 2: dapat

melakukan 2 gerakan dari 4 gerakan

mobilisasi dini - Tingkat 3: dapat

melakukan 3 gerakan dari 4 gerakan

mobilisasi dini - Tingkat 4: dapat

melakukan 4 gerakan mobilisasi dini

Ordinal

2 Faktor-faktor yang mempeng aruhi mobilisasi dini 1. Ganggu an sistem neurom uskulos keletal 2. Gaya hidup Faktor-faktor yang mempengaruhi

mobilisasi dini pasien selama 24-48 jam pasca laparotomi dan seksio sesarea Penyakit neuromuskulo skeletal yang menghambat pasien untuk melakukan mobilisasi dini

Aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kesehatan jasmani - Lembar observasi Kuesioner -

- Ada = 1 - tidak ada = 0

- dilakukan = 1 - tidak dilakukan = 0

-

Nominal


(56)

3. Nilai dan keperca yaan 4. Stres berupa senam,

yoga,lari, jalan cepat/ santai, berkebun, berladang yang biasa dilakukan pasien sebelum operasi

Kebiasaan yang diyakini oleh individu dan keluarga yang diturunkan dari orangtua yang mendukung

pelaksanaan mobilisasi Kondisi psikologis pasien yang berupa kekhawatiran dan ketakutan sehingga mempengaruhi kemampuan mobilisasi Kuesioner Kuesioner

- Ada = 1 - tidak ada = 0

- Ada = 1 - tidak ada = 0

Nominal

Nominal

3. 3 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditentukan hipotesis dari penelitian ini, yakni:

- Hipotesa Alternatif : Ada hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan

- Hipotesa Null : Tidak ada hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan.


(57)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmojo, 2005). Berdasarkan data medical record, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea Di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012 sebanyak 228 orang.

4.2.2 Sampel

Tekhnik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah consecutive sampling , yaitu suatu tekhnik pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu (Satroasmoro & Ismail, 1995, hlm 49). Adapun kriteria inklusi penelitian adalah pasien pasca laparatomi dan seksio sesarea setelah 24 - 48 jam , yang tidak mengalami kontra indikasi mobilisasi, bisa berbahasa Indonesia dan bersedia menjadi responden.


(58)

Jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:

2

)

2

1

(

.

2

)

2

2

1

1

.

.

2

(

P

P

Q

P

Q

P

z

PQ

z

n

+

+

=

α

β

2

)

40

,

0

80

,

0

(

.

2

)

60

,

0

40

,

0

20

,

0

80

,

0

.

84

,

0

.

60

,

0

2

96

,

1

(

+

+

=

x

x

x

n

n = 22 Keterangan:

P1 = proporsi efek standard = 0,80 (Hsieh, 2005) P2 = proporsi efek yang diteliti = 0,40 (Hsieh, 2005)

zα = nilai Z pada derajat kemaknaan 1,96 bila α = 5% zβ = nilai Z pada kekuatan 0,84 bila β 20%

P = ½ (P1+ P2)

Q = 1-P; Q1 = 1 – P1; Q2 = 1 – P2 (Sastroasmoro & Ismael, 2002, hlm 73)

Hasil perhitungan berdasarkan rumus di atas maka dapat diperoleh jumlah responden sebanyak 22 responden. Akan tetapi, untuk mengantisipasi kemungkinan responden drop out atau tidak taat protokol penelitian, maka dilakukan koreksi terhadap besar responden yang dihitung dengan menambahkan 10% . Oleh karena itu, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 48 orang yang terdiri dari 24 orang pasien pasca


(59)

laparotomi dan 24 orang pasien pasca seksio sesarea (Sastroasmoro & Ismael, 2002, hlm 283).

4.3 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan pertimbangan bahwa rumah sakit ini merupakan Rumah Sakit rujukan yang memiliki fasilitas dan pelayanan bedah yang lengkap sehingga memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan sesuai dengan kriteria penelitian. Selain itu, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 9 Januari 2013 sampai tanggal 15 Februari 2013.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara kemudian menyerahkan kepada direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan etik yakni: 1. Beneficience (menguntungkan responden) yaitu tidak mencelakakan atau menyakiti responden (freedom from harm) dengan tidak memaksa responden untuk ikut dalam penelitian. 2. Respect from human dignity (menghargai martabat manusia ) yaitu hak untuk bebas menentukan apakah calon responden akan ikut berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam penelitian (the right self determination) dengan membuat informed consent sehingga calon responden tidak merasa


(60)

terpaksa untuk dijadikan responden. Peneliti akan menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat penelitian kepada responden; 3. Justice (keadilan) yaitu hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil (the right to fair treatment) dengan memberikan kesempatan kepada semua pasien untuk menjadi responden yang sesuai dengan kriteria penelitian dan menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan responden (the right to privacy) Kerahasiaan tersebut berupa pemberian kode responden pada kuesioner tanpa mencantumkan nama responden (Polit & Hungler, 1999).

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data demografi, kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan lembar observasi tingkat mobilisasi dini.

4.5.1 Data Demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, berat badan, tinggi badan, jenis operasi.

a. Usia dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu: 20-42 tahun, 43-65 tahun, dan 66-88 tahun

b. Tingkat pendidikan: rendah (SD-SMP), sedang ( SMA), Tinggi ( Perguruan Tinggi).

c. Berat badan : 45 kg- 56 kg, 57 kg – 68 kg, 69 kg – 80 kg

d. Tinggi Badan: 150 cm – 159 cm, 160 cm – 169 cm, 170 cm – 179 cm,

4.5.2 Kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi diukur dengan memberikan kuesiner pada responden yang berisi 12


(61)

pernyataan penelitian dengan kuesioner menggunakan dichotomy question pilihan jawaban ya dan tidak . Pernyataan ini terdiri dari pernyataan ada= 1 dan tidak ada= 0, dilakukan= 1 dan tidak dilakukan= 0 (Nursalam,2009).

Kuesioner mobilisasi dini; hasil pengukuran tingkat mobilisasi dini disajikan dalam bentuk lembar observasi dan diukur oleh peneliti dengan penilaian tingkat mobilisasi dini : Tingkat 0: tidak dapat melakukan 4 gerakan mobilisasi dini, Tingkat 1: dapat melakukan 1 gerakan dari 4 gerakan mobilisasi dini Tingkat 2: dapat melakukan 2 gerakan dari 4 gerakan mobilisasi dini, Tingkat 3: dapat melakukan 3 gerakan dari 4 gerakan mobilisasi dini, Tingkat 4: dapat melakukan 4 gerakan mobilisasi dini.

4.6 Uji Validitas dan Reabilitas 4.6.1 Uji Validitas

Uji Validitas adalah suatu ukuran yang mampu mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2010). Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Pada instrumen tingkat mobilisasi dini dan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menggunakan metode uji validitas internal yaitu mengungkap data dari variabel yang berupa butir-butir pernyataan yang merupakan indikator dari variabel yang akan diteliti sedangkan tingkat mobilisasi menggunakan lembar


(62)

observasi. Uji validitas ini dilakukan oleh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4.6.2 Uji Reabilitas

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan lembar observasi. Pada bagian awal instrumen berisi data demografi yang meliputi, usia, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggi badan dan berat badan. Pada instrumen pertama yaitu kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menggunakan skala kategorik berisi 12 pernyataan yakni 3 pernyataan variabel gangguan neuromuskuloskeletal yang diisi oleh peneliti, 3 pernyataan variabel gaya hidup diisi oleh responden, 3 pernyataan variabel stres diisi oleh responden, dan 3 pertanyaan variabel nilai dan kepercayaan diisi oleh responden dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Jawaban ya diberi skor 1 dan jawaban tidak diberi skor 0. Hasil reabilitas pada instrumen pertama dengan menggunakan Kuder Richardson 21 (KR 21) pada item yang bernilai 0 dan 1 atau dichotomi terhadap 20 responden yang memenuhi kriteria penelitian.

Pada instrumen kedua yakni lembar observasi tingkat mobilisasi dengan menggunakan skala penilaian kategorik dengan membagi tingkat mobilisasi yaitu : Tingkat 0: tidak dapat melakukan 4 gerakan mobilisasi dini, Tingkat 1: dapat melakukan 1 gerakan dari 4 gerakan mobilisasi dini Tingkat 2: dapat melakukan 2 gerakan dari 4 gerakan


(63)

mobilisasi dini, Tingkat 3: dapat melakukan 3 gerakan dari 4 gerakan mobilisasi dini, Tingkat 4: dapat melakukan 4 gerakan mobilisasi dini.

4.7 Pengumpulan Data

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara peneliti melakukan penelitian langsung pada pasien dan bekerja sama dengan asisten peneliti dalam pengumpulan data. Peneliti membagikan kuesioner kepada responden dan lembar observasi diisi secara langsung oleh peneliti. Sebelum melakukan penelitian kepada responden, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tentang tujuan, manfaat penelitian. Calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani informed consent (surat pernyataan menjadi responden) Kemudian responden mengisi data demografi dan kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien, kecuali pernyataan 1-3 diisi oleh peneliti. Peneliti tetap berada di ruangan tempat responden agar apabila ada kalimat tidak dimengerti dapat ditanyakan langsung oleh responden. Peneliti juga sekaligus melakukan observasi( pengamatan) langsung pada responden tentang tingkat mobilisasi. Data yang telah diisi oleh responden dikumpulkan untuk selanjutnya dianalisa.

4.8 Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan beberapa tahap yakni: pertama editing yaitu kegiatan untuk mengecek atau mengoreksi data yang telah dikumpulkan . Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan – kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan. Kedua coding yaitu pemberian kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Ketiga


(64)

tabulating yaitu membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah diberi kode, sesuai dengan analisa yang dibutuhkan.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

4.8.1 Statistik Univariat

Statistik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari suatu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian . Penelitian ini, analisa data dilakukan dengan menganalisa variabel independen (faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi) dan variabel dependen (mobilisasi dini). Hasil analisis akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.

4.8.2 Statistik Bivariat

Untuk mengidentifikasi hubungan antara mobilisasi dini dengan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi maka digunakan Uji korelasi Pearson

Hasil uji normalitas dapat diketahui dengan membandingkan data yang didapat dengan data yang berdistribusi normal yang memiliki mean dan SD yang sama tes yang dilakukan menghasilkan signifikan p < 0,05, maka data-data tersebut tidak berdistribusi normal. Sebaliknya jika signifikan (p > 0,05 ) , maka data tersebut memiliki distibusi normal.


(65)

Hasil analisa akan dibaca berdasarkan tabel hasil uji interpretasi. Tabel hasil uji interpretasi terdiri dari nilai r, nilai p dan arah korelasi. Nilai r menginterpretasikan kekuatan hubungan dengan level 0-1. Untuk menafsiran hasil pengujian statistik tersebut digunakan kriteria penafsiran (Dahlan, 2001) sebagai berikut:

Tabel 4. Pengujian Statistik

No. Parameter Nilai Interpretasi

1. Kekuatan korelasi 0,00 - 0,199 0,20 – 0, 399 0,40 – 0, 599 0,60 – 0, 799 0,80 – 1,00

Sangat lemah Lemah Sedang Kuat

Sangat Kuat 2. Nilai p P < 0,05

P > 0,05

Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. 3. Arah korelasi + (positif )

- (negatif)

Searah. Semakin besar nilai suatu variabel, makin besar pula nilai variabel lainnya.

Berlawanan arah. Semakin besar nilai suatu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya.


(66)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan di bahas tentang hasil penelitian yang telah dilakukan selama 1 bulan yaitu dari tanggal 09 Januari 2013 sampai dengan 15 Februari 2013 dengan jumlah reponden 48 orang. Penyajian analisa data dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan data demografi, tingkat mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan. Saat pengambilan data mayoritas responden didampingi keluarganya (suami dan sanak saudara).

1.1 Karakteristik Responden

Responden penelitian ini adalah pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan yang berjumlah 48 orang. Tabel 5 menunjukkan mayoritas usia pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea berada pada rentang usia 20 tahun – 42 tahun yaitu sebanyak 33 orang (68,8%) dan berdasarkan jenis kelamin, lebih dari setengah adalah perempuan sebanyak 29 orang (60,4 %). Responden beragama Islam yaitu sebanyak 22 orang (45,8%), tingkat pendidikan responden adalah mayoritas berpendidikan tinggi (Diploma III dan Sarjana) sebanyak 19 orang (39,6 %). Jenis pekerjaan terbanyak dari keseluruhan responden dengan jumlah 19 orang (39,6 %) wiraswasta. Sebanyak 22 orang (45,8%) berat badan responden berada pada rentang 57 kg – 68 kg dan tinggi badan responden sebanyak 23 orang


(67)

(47,9%) berada pada rentang 150 cm – 159 cm. Jenis operasi yang dilakukan adalah seksio sesarea sebanyak 24 orang (50%) dan laparotomi 24 orang (50%)

Tabel 5

Distribusi Frekuensi dan Presentasi Karateristik Demografi Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea di RSUD dr. Pirngadi Medan Karateristik Demografi Frekuensi Presentasi % Usia

20 tahun - 42 tahun 43 tahun - 65 tahun 66 tahun - 88 tahun

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Agama Islam Kristen Katolik Buddha Kristen Protestan Pendidikan

Rendah (SD dan SMP) Sedang (SMA)

Tinggi (DIII dan Sarjana)

Pekerjaan

Karyawan Wiraswasta Pelajar PNS

Ibu Rumah Tangga

Berat Badan

45 kg - 56 kg 57 kg - 68 kg 69 kg - 80 kg

Tinggi Badan

150 cm - 159 cm 160 cm - 169 cm 170 cm - 179 cm

33 13 2 19 29 22 7 1 18 14 15 19 8 19 1 10 10 18 22 8 23 18 7 68,7 27,1 4,2 39,6 60,4 45,8 14,6 2,1 37,5 29,1 31,3 39,6 16,7 39,6 2,1 20,8 20,8 37,5 45,8 16,7 47,9 37,5 14,6


(1)

Lampiran

TAKSAKSI DANA PENELITIAN

A. Penelitian Skripsi

1. Penelusuran literarur dari internet Rp. 50.000,- 2. Print literatur dari internet Rp. 100.000,-

3. Foto copy literatur dari buku Rp. 200.000,-

4. Print skripsi Rp. 300.000,-

5. Penggandaan dan penjilidan skripsi Rp. 150.000,- B. Administrasi penelitian

1. Biaya survey awal Rp. 200.000,-

2. Biaya transportasi Rp. 300.000,-

3. Biaya pengambilan data Rp. 400.000,-

C. Pengumpulan dan Analisa Data 1. Biaya penggandaan kuesioner dan

lembar persetujuan responden Rp. 100.000,-

Jumlah Rp. 1.800.000

Biaya tak terduga 10% Rp. 200.000

Total Rp.2.000.000,-

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(2)

Lampiran

TAKSAKSI DANA PENELITIAN

D. Penelitian Skripsi

6. Penelusuran literarur dari internet Rp. 50.000,- 7. Print literatur dari internet Rp. 100.000,-

8. Foto copy literatur dari buku Rp. 200.000,-

9. Print skripsi Rp. 300.000,-

10.Penggandaan dan penjilidan skripsi Rp. 150.000,- E. Administrasi penelitian

4. Biaya survey awal Rp. 200.000,-

5. Biaya transportasi Rp. 300.000,-

6. Biaya pengambilan data Rp. 400.000,-

F. Pengumpulan dan Analisa Data 2. Biaya penggandaan kuesioner dan

lembar persetujuan responden Rp. 100.000,-

Jumlah Rp. 1.800.000

Biaya tak terduga 10% Rp. 200.000


(3)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(4)

(5)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(6)

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI

Nama : Ceriawati Bate’e

Tempat / Tanggal lahir : Gunungsitoli, 1 November 1988

Alamat : Jl. Pelud Binaka No.34 Km 8,5 Kecamatan Gunungsitoli Selatan – Kota Gunungsitoli Jenis kelamin : Perempuan

Anak ke : 1 dari 3 bersaudara

Agama : Kristen Protestan

Riwayat Pendidikan

Tahun 1994 – 2000 : SDN No. 070981 Fodo Gunungsitoli - Nias Tahun 2000 – 2003 : SLTP Negeri 1 Gunungsitoli - Nias

Tahun 2003 – 2006 : SMA Negeri 3 Plus Ya’ahowu Nias

Tahun 2006 – 2009 : Diploma-III Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Depkes RI Medan