BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu - Pengujian Angka Lempeng Total pada Tepung Terigu di Pasaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Tepung Terigu

  Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang berasal dari bulir gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue kering, biskuit, mi,

  

cake , roti, dan lain-lain. Kata terigu dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa

  Portugis, trigo, yang berarti “gandum”. Tepung terigu mengandung banyak zat pati yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu (Salam, dkk., 2012).

  2.2 Syarat Mutu Tepung Terigu

  Yang digunakan sebagai pedoman dalam penentuan mutu tepung terigu adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3751-2009 tentang syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan (Tabel 1).

  Table 1. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan

Jenis uji Satuan Persyaratan

  Keadaan: a.

  Bentuk b. Bau c. Warna

  • Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih, khas terigu

  Benda asing - Tidak ada Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan- potongannya yang tampak

  • Tidak ada Kehalusan, lolos ayakan 212 µm (mesh No. 70) (b/b) % Minimal 95 Kadar air (b/b) % Maksimal 14,5 Kadar abu (b/b) % Maksimal 0,70 Kadar protein (b/b) % Minimal 7,0
Keasaman mg KOH/100g Maksimal 50

  Falling number (atas dasar

  kadar air 14%) detik Minimal 300 Besi (Fe) mg/kg Minimal 50 Seng (Zn) mg/kg Minimal 30 Vitamin B1 (tiamin) mg/kg Minimal 2,5 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg Minimal 4 Asam folat mg/kg Minimal 2 Cemaran logam: a.

  tidak dapat membedakan antara sel hidup dan sel mati, serta kesulitan menghitung sel yang motil (Pratiwi, 2008).

  Keuntungan menggunakan metode ini adalah mudah, murah, dan cepat, serta bisa diperoleh informasi tentang ukuran dan morfologi mikroorganisme. Kerugiannya adalah populasi mikroorganisme yang digunakan harus banyak (minimum berkisar 10

  Pada pengukuran ini, untuk bakteri digunakan bilik hitung Petroff- Hausser, sedangkan untuk mikroorganisme eukariot digunakan hemositometer.

  Pengukuran mikroorganisme dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran mikroorganisme secara langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

  4 Sumber: SNI (2009)

  4 Maksimal 1 x 10

  Maksimal 1 x 10

  6 Maksimal 10

  Maksimal 1 x 10

  APM/g koloni/g koloni/g

  Angka lempeng total b. Escherichia coli c. Kapang d. Bacillus cereus koloni/g

  Cemaran arsen mg/kg Maksimal 0,50 Cemaran mikroba: a.

  Maksimal 1,0 Maksimal 0,05 Maksimal 0,1

  Timbal (Pb) b. Raksa (Hg) c. Cadmium (Cd) mg/kg mg/kg mg/kg

2.3 Pengukuran Pertumbuhan Mikroorganisme

a. Pengukuran Menggunakan Bilik Hitung (Counting Chamber)

6 CFU/ml), karena pengukuran dengan volume dalam jumlah sedikit

  b. Pengukuran Menggunakan Electronic Counter

  Pada pengukuran ini, suspensi mikroorganisme dialirkan melalui lubang kecil (orifice) dengan bantuan aliran listrik. Elektroda yang ditempatkan pada dua sisi orifice mengukur tahanan listrik (ditandai dengan naiknya tahanan) pada saat bakteri melalui orifice. Pada saat inilah sel terhitung. Keuntungan metode ini adalah hasil bisa diperoleh dengan lebih cepat dan lebih akurat, serta dapat menghitung sel dengan ukuran besar. Kerugiannya adalah metode ini tidak bisa digunakan untuk menghitung bakteri karena adanya gangguan debris, filamen, dan sebagainya, serta tidak dapat membedakan antara sel hidup dan mati (Pratiwi, 2008).

  c. Pengukuran dengan Planting Technique

  Metode ini merupakan metode penghitungan jumlah sel tampak (visible) dan didasarkan pada asumsi bahwa bakteri hidup akan tumbuh, membelah, dan memproduksi satu koloni tunggal. Satuan penghitungan yang dipakai adalah CFU (colony forming unit) dengan cara membuat seri pengenceran sampel dan menumbuhkan sampel pada media padat. Pengukuran dilakukan pada plate dengan jumlah koloni berkisar 25-250 atau 30-300 (Pratiwi, 2008).

  Keuntungan metode ini adalah sederhana, mudah, dan sensitif karena menggunakan colony counter sebagai alat hitung dan dapat digunakan untuk menghitung mikroorganisme pada sampel makanan, air, ataupun tanah. Kerugiannya adalah kurang akurat karena satu koloni tidak selalu berasal dari satu individu sel (Pratiwi, 2008).

  Uji Angka Lempeng Total (ALT) dilakukan untuk menentukan jumlah atau angka bakteri mesofil aerob yang mungkin mencemari suatu produk, baik itu makanan-minuman, obat tradisional ataupun kosmetika (Kusuma, 2009).

  Pada prinsipnya angka lempeng total (ALT) yaitu pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah sampel diinkubasikan dalam perbenihan yang cocok selama 24-48 jam pada suhu 35 ± 1ºC (SNI, 1992).

  Cara inokulasi yang dipilih adalah cara tuang, dimana hal ini dimaksudkan untuk melihat pertumbuhan bakteri mesofil aerob, yang membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya, sehingga akan teramati bahwa pertumbuhan bakteri mesofil aerob tersebut akan berada dipermukaan lempeng agar, karena pertumbuhannya yang mencari oksigen. Oleh karena itu, pada pengamatan angka lempeng total ini, dicari hanya koloni bakteri yang tumbuh di permukaan lempeng agar. Masa inkubasi dilakukan dengan membalik cawan petri yang berisi biakan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jatuhnya butir air hasil pengembunan disebabkan suhu inkubator. Apabila sampai terdapat air yang jatuh maka akan merusak pembacaan angka lempeng total dari sampel yang diuji (Kusuma, 2009).

d. Pengukuran dengan Menggunakan Teknik Filtrasi Membran

  Pada metode ini sampel dialirkan pada suatu sistem filter membran dengan bantuan vacuum. Bakteri yang terperangkap selanjutnya ditumbuhkan pada media yang sesuai dan jumlah koloni dihitung. Keuntungan metode ini adalah dapat menghitung sel hidup dan system penghitungannya langsung, sedangkan kerugiannya adalah tidak ekonomis (Pratiwi, 2008).

  Metode pengukuran pertumbuhan mikroorganisme secara tidak langsung dapat dilakukan dengan sebagai berikut:

  a. Pengukuran Kekeruhan/Turbidity

  Bakteri yang bermultiplikasi pada media cair akan menyebabkan media menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer atau kolorimeter dengan cara membandingkan densitas optik (optical density, OD) antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media dengan pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).

  b. Pengukuran Aktivitas Metabolik

  Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah produk metabolik tertentu, misalnya asam atau CO

  2 , menunjukkan jumlah mikroorganisme yang

  terdapat di dalam media. Misalnya pengukuran produksi asam untuk menentukan jumlah vitamin yang dihasilkan mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

  c. Pengukuran Berat Sel Kering (BSK)

  Metode ini umum digunakan untuk mengukur pertumbuhan fungi berfilamen. Miselium fungi dipisahkan dari media dan dihitung sebagai berat kotor. Miselium selanjutnya dicuci dan dikeringkan dengan alat pengering (desikator) dan ditimbang beberapa kali hingga mencapai berat konstan yang dihitung sebagai berat sel kering (BSK) (Pratiwi, 2008).

2.4 Pengaruh Faktor Lingkungan pada Pertumbuhan

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH, tekanan osmotik, dan cahaya atau radiasi. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace elements, dan faktor-faktor pertumbuhan organik, termasuk nutrisi yang terdapat dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

2.4.1 Pengaruh Faktor Fisik pada Pertumbuhan

a. Temperatur

  Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10ºC dapat meningkatkan aktivitas enzim sebesar dua kali lipat. Pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein yang tidak dapat balik (irreversible), sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada temperatur optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal (Pratiwi, 2008) (Tabel 2).

  Tabel 2. Pembagian mikroorganisme berdasarkan kisaran temperatur tubuh

Psikrofil Psikrofil Fakultatif Mesofil Termofil

/ Psikotrof 1.

  1.

  1.

  1. Tumbuh pada Tumbuh pada Tumbuh pada Tumbuh pada temperatur temperatur temperatur temperatur maksimal 20ºC, maksimal 30ºC, minimal 15- minimal 45ºC, optimal 0-15ºC optimal 20-30ºC, 20ºC, optimal optimal 55-

  2. dapat tumbuh 20-45ºC 65ºC maksimal Banyak diisolasi dari pada 0ºC

  2. 100ºC Hampir semua habitat Arktik

  2. mikroorganis- 2.

  Faktor penyebab Enzim dan dan Antartik utama kerusakan me patogen protein sintesis 3. makanan pada manusia berfungsi pada

  Contoh:

  Pseudomonas,

  temperatur

  Flavobacterium

  tinggi

  b. pH

  pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino, dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel (Pratiwi, 2008).

  c. Tekanan Osmosis

  Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari dalam sel mikroorganisme sehingga membran plasma mengkerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis), serta menyebabkan sel secara metabolik tidakaktif. Mikroorganisme halofil mampu tumbuh pada lingkungan hipertonik dengan kadar garam tinggi, umumnya NaCl 3%, contohnya adalah bakteri laut. Mikroorganisme yang mampu tumbuh pada konsentrasi garam sangat tinggi sebesar

  ≥ 33% NaCl disebut halofil ekstrem, contohnya adalah Halobacterium halobium (Pratiwi, 2008).

  d. Oksigen

  Berdasarkan kebutuhan oksigen, dikenal mikroorganisme yang bersifat aerob dan anaerob. Mikroorganisme aerob memerlukan oksigen untuk bernapas, sedangkan mikroorganisme anaerob tidak memerlukan oksigen untuk bernapas. Adanya oksigen pada mikroorganisme anaerob justru akan menghambat pertumbuhannya. Energi pada mikroorganisme anaerob dihasilkan dengan cara fermentasi (Pratiwi, 2008).

  Bakteri aerob adalah bakteri yang membutuhkan oksigen bebas untuk hidupnya. Karena atmosfir kita terdiri atas 20% oksigen, maka untuk menumbuhkannya tidaklah jadi masalah, selama bakteri itu berhubungan dengan udara (Volk dan Margaret, 1988).

e. Radiasi

  Sumber utama radiasi di bumi adalah sinar matahari yang mencakup cahaya tampak (visible light), radiasi UV (ultraviolet), sinar inframerah, dan gelombang radio. Radiasi yang berbahaya untuk mikroorganisme adalah radiasi pengionisasi (ionizing radiation), yaitu radiasi dari panjang gelombang yang sangat pendek dan berenergi tinggi yang dapat menyebabkan atom kehilangan elektron (ionisasi) (Pratiwi, 2008).

2.4.2 Pengaruh Faktor Kimia pada Pertumbuhan

a. Nutrisi

  Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu: 1.

  Makroelemen yaitu elemen-elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah banyak (gram). Meliputi karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen (N), sulfur (S), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), dan besi (Fe). CHONSP diperlukan dalam jumlah besar (takaran gram) untuk pembentukan karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. P, K, Ca, dan Mg diperlukan dalam jumlah yang lebih kecil (mg) dan berperan sebagai kation dalam sel (Pratiwi, 2008).

  2. Mikroelemen (trace element) yaitu elemen-elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit (dalam takaran mg hingga ppm). Meliputi mangan

  (Mn), zinc (Zn), kobalt (Co), molybdenum (Mo), nikel (Ni), dan tembaga (Cu). Mikroelemen kadang merupakan bagian enzim atau kofaktor yang membantu katalisasi dan membentuk protein (Pratiwi, 2008).

b. Media Kultur

  Pada pengujian mikrobiologi, bakteri dibiakkan dalam bahan berisi nutrisi yang disebut media. Media dapat berupa cairan seperti kaldu dan dapat pula berupa padatan seperti agar dan gelatin. Media pengkaya adalah media yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri yang memiliki persyaratan nutrisi yang rumit agar dapat tumbuh dengan optimal (Kusuma, 2009).

  Media padat yang paling banyak digunakan adalah agar-agar, karena bila agar-agar sudah menjadi padat masih dapat dicairkan kembali untuk digunakan.

  Selain itu, suspensi agar-agar 1,5% - 2% dalam air karena dapat larut pada suhu 100ºC dan tidak menjadi padat sebelum suhu turun di bawah 45ºC kemudian media agar didinginkan dengan cepat sehingga menjadi padat tanpa merusak sel- sel tersebut. Sekali menjadi padat, agar tidak dapat mencair kembali, kecuali jika dipanaskan di atas 80ºC. Pada metode lempeng tuangan, suatu suspensi sel dicampur dengan agar-agar cair pada suhu 50ºC dituang pada cawan petri. Bila agar-agar telah mengeras, sel tidak akan bergerak lagi dan tumbuh menjadi koloni sangat besar kemungkinannya berasal dari satu sel yang sama (Kusuma, 2009).

  Media yang digunakan dalam pengujian, yaitu: 1. Pengencer Buffered Peptone Water (BPW)

  Peptone 10 gram Natrium klorida 5 gram

  Disodium hydrogen phosphate 3,5 gram Kalium dihidrogen phosphate 1,5 gram Air suling (akuades) 1 liter

  Larutkan bahan-bahan dalam 1 liter air suling, atur pH 7,0, masukkan 250 ml ke dalam botol (labu) 500 ml dan 9 ml ke dalam tabung reaksi. Sterilkan pada suhu 121ºC selama 15 menit (SNI, 1992).

  2. Perbenihan (media) Plate Count Agar

  Yeast extract 2,5 gram

  Pancreatic digest of Caseine 5 gram Glucose 1 gram Agar 15-20 gram Air suling 1 liter

  Larutkan semua bahan-bahan, atur pH 7,0. Masukkan ke dalam labu, sterilkan pada suhu 121ºC selama 15 menit (SNI, 1992).

  3. Pereaksi Triphenyl Tetrazolium Chloride (TTC) 0,5% TTC ini berfungsi sebagai indikator yang akan direduksi sehingga mewarnai koloni bakteri yang hendak diamati, dengan demikian dapat dibedakan dengan kotoran yang mungkin berasal dari sisa-sisa sampel yang dapat mengganggu pengamatan koloni bakteri. TTC yang ditambahkan adalah 1 ml dalam 100 ml media PCA. TTC akan direduksi dengan cepat menjadi formazan yang berwarna merah dan tidak larut. Dalam pengujian untuk angka lempeng total sering digunakan untuk indikator koloni karena kebanyakan bakteri mesofil aerob dapat mereduksi TTC menjadi formazan sehingga meskipun dalam medium yang keruh karena terdapat matriks sampel yang kompleks, koloni dapat terlihat jelas (Kusuma, 2009).

2.5 Sterilisasi

   Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua

  jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda atau bahan (Pratiwi, 2008).

  2.5.1 Sterilisasi Uap

  Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah tekanan berlangsung di suatu bejana yang disebut autoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus autoklaf yang ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15 menit pada suhu 121ºC kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus (Ditjen POM, 1995).

  2.5.2 Sterilisasi Panas Kering

  Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di Farmakope dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses bets di dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan itu. Oven modern dilengkapi dengan udara yang dipanaskan dan disaring, didistribusikan secara merata ke seluruh bejana dengan cara sirkulasi atau radiasi menggunakan sistem semprotan dengan peralatan sensor, pemantau, dan pengendali parameter kritis. Validasi fasilitas sterilisasi panas kering dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sterilisasi panas uap. Unit yang digunakan untuk sterilisasi komponen seperti wadah untuk larutan intravena, harus dijaga agar dapat dihindari akumulasi partikel di dalam bejana sterilisasi. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong adalah lebih kurang 15 menit, jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak kurang dari 250ºC (Ditjen POM, 1995).

  Sebagai penambahan pada proses bets tersebut di atas, suatu proses berkesinambungan digunakan untuk sterilisasi dan depirogenisasi alat kaca sebagai suatu bagian sistem pengisian dan penutupan kedap secara aseptik yang berkesinambungan terpadu (Ditjen POM, 1995).

2.5.3 Sterilisasi Gas

  Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternatif dari sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkan tidak tahan terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif yang umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida dengan kualitas mensterilkan yang dapat diterima. Keburukan dari bahan aktif ini antara lain sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur dengan gas inert yang sesuai, bersifat mutagenik, dan kemungkinan adanya residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama yang mengandung ion klorida. Proses sterilisasi pada umunya berlangsung di dalam bejana bertekanan yang didesain sama seperti pada autoklaf, tetapi dengan tambahan bagian khusus yang hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan gas. Fasilitas yang menggunakan bahan sterilisasi seperti ini harus didesain sedemikian rupa hingga mampu mengeluarkan gas sesudah proses sterilisasi, mampu untuk memantau mikroba yang masih hidup, dan mengurangi paparan gas yang sangat berbahaya terhadap petugas yang menangani alat tersebut (Ditjen POM, 1995).

2.5.4 Sterilisasi dengan Radiasi Ion

  Perkembangan yang cepat alat kesehatan yang tidak tahan terhadap sterilisasi panas dan kekhawatiran tentang keamanan etilen oksida mengakibatkan peningkatan penggunaan sterilisasi radiasi. Tetapi cara ini juga dapat digunakan pada bahan obat dan bentuk sediaan akhir. Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur, dan kenyataan yang membuktikan bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Kenyataannya sterilisasi radiasi adalah sesuatu kekhususan dalam dasar pengendalian yang penting adalah dosis radiasi yang diserap, dan dapat diukur secara tepat. Oleh karena sifat khas tersebut, banyak prosedur baru yang telah dikembangkan untuk menetapkan dosis sterilisasi. Walaupun begitu, hal ini masih dalam peninjauan dan pertimbangan, terutama mengenai kegunaannya, paling tidak, untuk pengendalian tambahan dan tindakan keamanan. Iradiasi hanya menimbulkan sedikit kenaikan suhu, tetapi dapat mempengaruhi kualitas dan jenis plastik atau kaca tertentu (Ditjen POM, 1995).

  Ada dua jenis radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron. Pada kedua jenis tersebut, dosis radiasi yang dapat menghasilkan derajat jaminan sterilitas yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian rupa hingga dalam rentang satuan dosis minimum dan maksimum, sifat bahan yang disterilkan dpat diterima (Ditjen POM, 1995).

2.5.5 Sterilisasi dengan Penyaringan

  Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba, hingga mikroba yang dikandung dapat dipisahkan secara fisika. Perangkat penyaring umumnya terdiri dari suatu matriks berpori bertutup kedap atau dirangkaikan pada wadah yang tidak permeabel. Efektivitas suatu penyaring media atau penyaring substrat tergantung pada ukuran pori bahan dan dapat tergantung pada daya adsorpsi bakteri pada atau di dalam matriks penyaring atau tergantung pada mekanisme pengayakan. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa pengayakan merupakan komponen yang lebih penting dari mekanisme. Penyaring yang melepas serat, terutama yang mengandung asbes, harus dihindarkan penggunaanya kecuali tidak ada cara penyaringan alternatif lain yang mungkin digunakan. Jika penyaring yang melepas serat memang diperlukan, merupakan keharusan, bahwa proses penyaringan meliputi adanya penyaring yang tidak melepas serat diletakkan pada arah hilir atau sesudah langkah penyaringan awal (Ditjen POM, 1995).