Perbandingan Peraturan Pengelolaan pisang Baran

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat dan hidayah terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penugasan paper
2

berjudul “Perbandingan PP 27 Tahun 2014 dengan PP 6 Tahun 2006 jo. PP 38 Tahun
2008 tentang Pengelolaan BMN/D ” ini. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan
kepada junjungan kita, Baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan pedoman hidup
dan teladan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Paper ini dibuat sebagai bentuk penugasan akhir pengganti Ujian Tengah Semester
mata kuliah Seminar Manajemen Kekayaan Negara program studi Diploma IV Akuntansi
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada semester IX. Dalam penyusunan paper ini Penulis
mendapatkan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak,
terutama kepada yang terhormat Bapak Lalu Hendry Yujana selaku Dosen Seminar
Manajemen Kekayaan Negara atas bimbingan dan dukungannya. Demikian pula dengan
rekan-rekan di kelas IX-A Reguler dan pihak-pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan
satupersatu, terima kasih atas setiap bantuan dan kerjasamanya.
Akhirnya, Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan baik terkait
susunan maupun substansi paper ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca sekalian demi kesempurnaan dan

kelayakan paper ini dalam menambah khasanah pengetahuan kita bersama dan untuk dapat
menjadi sumbangsih terhadap bidang akademika di lingkungan Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara.

Tangerang Selatan, Juni 2014
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.................................................................................................................1
1.

Latar Belakang Perubahan Aturan Pengelolaan BMN/D............................................1

2.

Tujuan Penyempurnaan Peraturan...............................................................................3


3.

Pokok pokok Penyempurnaan.....................................................................................3

PEMBAHASAN...................................................................................................................5
1.

Perbandingan PP No 27 Tahun 2014 dengan PP No 6 Tahun 2006 jo. PP No 38
Tahun 2008.................................................................................................................5

2.

Matriks Perbandingan PP 6 Tahun 2006 jo. PP 38 Tahun 2008 dengan PP 27 Tahun
2014 (Sumber: Bahan Sosialisasi DJKN).................................................................24

DAFTAR REFERENSI......................................................................................................49

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Perubahan Aturan Pengelolaan BMN/D
Pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah merupakan hal yang penting

untuk terus ditingkatkan efektivitas dan akuntabilitasnya. Perubahan Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 27 Tahun 2014 menandai perhatian pemerintah pada kerangka pengelolaan
Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah yang komprehensif. Dengan adanya perubahan
aturan ini diharapkan dapat meningkatkan sinergi antara Pengelola Barang dan Pengguna
Barang dalam mengelola BMN yang lebih baik, tertib, transparan, dan akuntabel.
Pengelolaan BMN secara lebih spesifik sudah dimulai dengan terbitnya PP nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D, di mana telah diatur berbagai hal yang berkaitan
dengan perencanaan, penganggaran, pengadaan, pemeliharaan, pengendalian, dan
pertanggungjawaban terhadap BMN. Banyak hal yang menjadi latar belakang perubahan
PP nomor 6 Tahun 2006. Salah satunya yaitu masih banyaknya hasil audit temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berkaitan dengan pelaksanaan PP nomor 6 Tahun 2006
yang berdampak pada opini audit yang diterbitkan. Temuan-temuan itu khususnya yang
berkaitan dengan sertifikasi BMN, BMN dalam sengketa, BMN hilang atau rusak berat,
BMN yang dimanfaatkan oleh pihak lain, dan penyusutan BMN.
Dinamika dari pengelolaan BMN baik yang bersifat administratif maupun
utilisasinya tidak cukup tertampung dalam PP nomor 6 Tahun 2006. Saat ini, pemerintah
sedang menggalakkan pembangunan infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dan
swasta, dan DJKN sudah mencoba untuk menampung kebutuhan dari pengelola
infrastruktur di dalam PP PP nomor 27 Tahun 2014, sehingga Pengguna Barang yang
bergerak di bidang infrastruktur dapat lebih dinamis dan agresif memanfaatkan BMN

dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur. Sebagi contoh, jangka waktu sewa
dan jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) yang lebih panjang dapat
menjadi appetite (daya pikat) bagi investor untuk melaksanakan kegiatan pembangunan
infrastruktur dengan memanfaatkan BMN.
Prinsip tertib administrasi, tertib hukum, dan tertib fisik (3T) selalu menjadi tugas
besar Kementerian/Lembaga untuk memastikan agar dapat dijalankan dengan baik.
Peningkatan kapasitas SDM dan infrastruktur agar mampu menopang pengelolaan BMN
yang lebih modern dan IT-based adalah salah satu hal yang diharapkan dari perubahan ini.
Optimalisasi berdasarkan prinsip The Highest and Best Use dari aset-aset idle juga masih
perlu menjadi perhatian. Aset idle harus diserahkan ke Pengelola Barang untuk
1

meningkatkan optimalisasi dari BMN/D sebagaimana diatur dalam PP nomor 27 Tahun
2014.
Perubahan PP nomor 6 Tahun 2006 menjadi PP nomor 27 Tahun 2014 antara lain
menyangkut penyederhanaan birokrasi pengelolaan BMN. Dengan PP nomor 27 Tahun
2014, Pengelola Barang dapat mendelegasikan kewenangannya ke Pengguna Barang dan
Pengguna Barang dapat mendelegasikan kewenangannya ke Kuasa Pengguna Barang
sehingga birokrasi akan menjadi semakin singkat dan arus pengelolaan BMN menjadi
semakin


cepat.

Adapun

yang

dapat

didelegasikan

adalah

penetapan

status,

pemindahtanganan, dan penghapusan, sedangkan pemanfaatan tidak dapat didelegasikan
kepada Kementerian/Lembaga. Penyederhanaan birokrasi ini tentu harus diikuti dengan
akuntabilitas yang terjaga dengan baik pada Kementerian/Lembaga. Hal ini sangat penting

untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan BMN yang pada
akhirnya akan membuat rekonsiliasi lebih tertib dan lebih cepat.
Latar belakang lain dari penyempurnaan peraturan pemerintah ini antara lain karena
adanya dinamika pengelolaan BMN/D terkait dengan sewa, KSP, dan BMN luar negeri
yang harus diperlakukan secara khusus; adanya multitafsir terhadap aturan-aturan dalam
PP nomor 6 Tahun 2006 mengenai Badan Layanan Umum (BLU) dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP); kasus-kasus yang muncul dalam pengelolaan BMN/D; dan adanya
temuan pemeriksaan BPK. Dengan adanya penyempurnaan PP ini diharapkan dapat
mengakomodasi dinamika pengelolaan BMN/D; meminimalisasi multitafsir atas
pengelolaan BMN/D; mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan
Pengguna Barang dan Pengelola Barang; serta menciptakan harmonisasi dengan peraturanperaturan terkait.
Salah satu pokok penyempurnaan PP nomor 6 Tahun 2006 yaitu penyempurnaan
siklus pengelolaan BMN. Selama ini yang terjadi adalah pemindahtanganan dan
penghapusan selalu dicampuradukkan. Siklus ini harus diperbaiki, yaitu dimulai dengan
perencanaan, pengadaan, dan pengelolaan, di mana pengelolaan dibagi dua, yaitu dikelola
untuk keperluan tugas dan fungsi (tusi) atau dikelola untuk dimanfaatkan. Jika tidak
keduanya, maka BMN dapat dipindahtangankan. Dan jika BMN tidak dikelola untuk
kepentingan tugas dan fungsi, tidak dimanfaatkan, dan tidak dipindahtangankan, maka
BMN harus dihapuskan. Pemusnahan dan pemindahtanganan merupakan kegiatan sebelum
proses penghapusan. Dengan demikian, penghapusan merupakan ending point dari semua

siklus pengelolaan BMN yang membebaskan Pengguna Barang dan Pengelola Barang dari
kewajiban untuk mengadministrasikan dan mengelola BMN.

Terkait dengan penguatan dasar hukum pengaturan sebagai salah satu pokok
penyempurnaan, dalam penjelasan pada PP nomor 6 Tahun 2006, aset tak berwujud berada
di luar lingkup peraturan pemerintah tersebut. Sementara itu, dalam salah satu pasal PP
nomor 6 Tahun 2006 tidak dibatasi apakah itu aset berwujud atau tidak berwujud. Agar
tidak terjadi perbedaan interpretasi di dalam pengelolaannya, maka di PP nomor 27 Tahun
2014 juga mengatur tentang aset tak berwujud sebagai bentuk kepastian hukum dalam
pengelolaan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah.
Maka berdasarkan paparan tersebut di atas, terdapat empat poin utama yang
melatarbelakangi perubahan PP nomor 27 tahun 2014, sebagai berikut.
a. Dinamika pengelolaan BMN/D yang terjadi seiring perkembangan waktu, terutama
dalam bentuk:
 Sewa periodik
 KSP
 BMN luar negeri
yang harus diperlakukan secara khusus.
b. Multiinterpretasi yang seringkali terjadi terhadap aturan pengelolaan BMN/D yang
lama (PP nomor 6 Tahun 2006 jo. PP nomor 38 Tahun 2008), terutama dalam hal:

 BLU
 PNBP
c. Kasus-kasus pengelolaan BMN/D yang marak terjadi.
d. Temuan pemeriksaan BPK yang berujung pada penerbitan opini non-WTP untuk
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
2. Tujuan Penyempurnaan Peraturan
Penyempurnaan peraturan pemerintah tentang pengelolaan BMN/D melalui PP
nomor 27 Tahun 2014 bertujuan untuk:
a. mengakomodasi dinamika pengelolaan BMN/D;
b. meminimalisasi multitafsir atas pengelolaan BMN/D;
c. mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan Pengguna dan
Pengelola BMN/D; dan
d. melakukan harmonisasi dengan peraturan-peraturan terkait pengelolaan BMN/D.
3. Pokok pokok Penyempurnaan
Berikut ini adalah pokok-pokok penyempurnaan yang terdapat dalam PP nomor 27
Tahun 2014:

a.
b.
c.

d.
e.
f.

Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D;
Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain;
Penguatan dasar hukum pengaturan;
Penyederhanaan birokrasi;
Pengembangan manajemen aset negara; dan
Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi.

PEMBAHASAN
1. Perbandingan PP No 27 Tahun 2014 dengan PP No 6 Tahun 2006 jo. PP No 38
Tahun 2008
a. Penyempurnaan Definisi yang termuat dalam Pasal 1
 Penyederhanaan definisi
 Definisi Penilaian
PP 6 Tahun 2006 jo PP 38 Tahun 2008
Penilaian adalah suatu proses kegiatan penilaian yang selektif didasarkan
pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan

metode/teknik tertentu untuk memperoleh nilai barang milik negara/daerah.
PP 27 Tahun 2014
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas
suatu objek penilaian berupa Barang Milik Negara/Daerah pada saat
tertentu.
 Definisi Pemindahtanganan
PP 6 Tahun 2006 jo PP 38 Tahun 2008
Pemindah tanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik
negara/daerah sebagai bentuk tindak lanjut dari penghapusan dengan cara
dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal
pemerintah.
PP 27 Tahun 2014
Pemindahtanganan
Negara/Daerah.

adalah

pengalihan

kepemilikan


Barang

Milik

 Penambahan definisi yang tidak diatur di PP 6 Tahun 2006 jo. PP 38 Tahun 2008
 Definisi Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI)
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur adalah kerja sama antara
Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
 Definisi Pemusnahan
Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan
Barang Milik Negara/Daerah.
 Definisi Lembaga
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain
pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 atau Peraturan Perundang-undangan lainnya.

 Penggantian definisi
 Definisi Kementerian Negara (sekarang dipecah antara Kementerian Negara
dengan Lembaga Negara). Bertujuan untuk menghindari keambiguan dalam tata
bahasa perundah-undangan.
PP 6 Tahun 2006 jo PP 38 Tahun 2008
Kementerian negara/lembaga adalah kementerian negara/lembaga
pemeirntah non kementerian negara/lembaga negara.
PP 27 Tahun 2014
Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah
perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
 Penggantian redaksi dalam definisi penatausahaan
PP 6 Tahun 2006 jo PP 38 Tahun 2008
Rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan
pelaporan barang milik negara/daerah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
PP 27 Tahun 2014
Rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan
pelaporan Barang Milik Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
 Penggantian posisi definisi Penghapusan yang sebelumnya berada di bagian atas
menjadi berada di bawah berdekatan dengan Pemusnahan sebagai implikasi dari
penyempurnaan siklus pengelolaan BMN/D yang dilakukan dalam PP Nomor 27
Tahun 2014 ini.

b. Lingkup BMN/D dalam bentuk penguatan dasar hukum dan penegasan
pengaturan
Ruang lingkup BMN/D dalam PP mengacu pada pengertian berdasarkan rumusan
dalam Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Pengaturan mengenai lingkup BMN/D dibatasi pada
pengertian BMN/D yang bersifat berwujud, namun sepanjang belum diatur lain, juga
melingkupi BMN/D yang bersifat tak berwujud sebagai kelompok BMN/D selain
tanah dan/atau bangunan.
BMN/D yang bersifat tidak berwujud sangat penting untuk dimasukkan dalam lingkup
pengelolaan BMN/D. Mengapa hal ini penting disebakan oleh ketidakharmonisan
dalam strata peraturan perundang-undangan selama ini. Sebagaimana diketahui umum,

dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual yang mengatur mengenai
elemen-elemen aset di neraca termasuk di antaranya Aset Tak Berwujud. Maka dari itu,
muncul pertanyaan akan diklasifikasi sebagai apakah Aset Tak Berwujud ini dalam
struktur Barang Milik Negara/Daerah? Selama ini hal tersebut belum diakomodasi oleh
Pemerintah cq Kementerian Keuangan. Maka melalui PP 27 Tahun 2014, akhirnya hal
ini diakomodasi juga.
c. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D

 Penambahan kegiatan Pemusnahan dalam Siklus Pengelolaan BMN/D

Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan Barang Milik
Negara/Daerah. Kegiatan Pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam peraturan
pemerintah sebelumnya. Kegiatan Pemusnahan ini baru dimunculkan dalam PP
Nomor 27 Tahun 2014 sebagai bentuk penyempurnaan siklus pengelolaan BMN/D
ke arah yang lebih komprehensif dan akuntabel. Munculnya kegiatan pemusnahan
mendorong

pada

peningkatan

efisiensi

Pengelolaan

BMN/D

sekaligus

meningkatkan akuntabilitas Pengelola maupun Pengguna BMN/D.

 Pemisahan Bab Pemusnahan dan Penghapusan

Dengan munculnya kegiatan Pemusnahan, kegiatan Penghapusan otomatis menjadi
akhir (ending point) dari siklus pengelolaan BMN.

 Penyesuaian urutan Bab

Pemusnahan dan Pemindahtanganan merupakan kegiatan sebelum proses
Penghapusan.

d. Kewenangan dan Tanggung Jawab Pengelola dan Pengguna BMN/D
 Pendelegasian kewenangan Pengelola BMN kepada Pengguna BMN

(Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4))
Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan BMN diperlukan pendelegasian
kewenangan Pengelola Barang ke Pengguna Barang. Pendelegasian seperti ini juga
akan terjadi pada setiap tahapan pengelolaan BMN.

 Pendelegasian kewenangan Pengguna BMN kepada Kuasa Pengguna Barang

(Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4))
Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan BMN diperlukan pendelegasian
kewenangan Pengguna Barang ke Kuasa Pengguna Barang. Pendelegasian seperti
ini juga akan terjadi pada setiap tahapan pengelolaan BMN.

 Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMN
sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN (Bab
Pemusnahan) dan perluasan lingkup Barang Milik Negara. Selain itu, terdapat
penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru, misalnya dalam menyusun
laporan Barang Milik Negara. Penyusunan laporan Barang Milik Negara oleh
Pengelola BMN adalah hal penting yang tidak diakomodasi di peraturan pemerintah
sebelumnya. Pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas Pengelola Barang terhadap
BMN yang berada dibawah penguasaannya.

 Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengelola BMD
sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMD (Bab
Pemusnahan dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur) dan perluasan lingkup
Barang Milik Daerah.

 Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengguna BMN
sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN (Bab
Pemusnahan) dan perluasan lingkup Barang Milik Negara.

 Penambahan kewenangan dan tanggung jawab baru pada Pengguna BMD
sehubungan dengan adanya penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMD (Bab
Pemusnahan) dan perluasan lingkup Barang Milik Daerah.

e. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran
 Pengembangan Manajemen Aset Negara

 Perencanaan

Kebutuhan

BMN/D

meliputi

perencanaan

pengadaan,

pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan BMN/D.
Perencanaan adalah hal yang sangat penting dalam keseluruhan proses
Pengelolaan BMN/D. Perencanaan yang gagal akan berujung pada proses
pengelolaan BMN/D yang buruk. Untuk itu, proses perencanaan BMN/D ini
perlu diterapkan secara inheren pada setiap tahapan Pengelolaan BMN/D.
 Perencanaan pengadaan dibuat dengan mempertimbangkan pengadaan barang
melalui mekanisme pembelian, Pinjam Pakai, Sewa, sewa beli (leasing), atau
mekanisme lainnya yang lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan Negara/Daerah; dan
 Perencanaan pemeliharaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, dan Penghapusan
BMN/D dapat dilakukan untuk periode 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) tahun.
 Dilakukan pemisahan untuk memberikan kejelasan dan menghindari multitafsir:
Pasal 9 Ayat (5) berisi ketentuan penetapakan standar harga barang dan standar
kebutuhan oleh:
-

Pengelola Barang untuk BMN setelah berkoordinasi dengan instansi terkait;
atau

-

Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD setelah berkoordinasi dengan dinas
teknis terkait.

 Harmonisasi Peraturan

 Pasal 9 Ayat (3):

Perencanaan

Kebutuhan

BMN/D

merupakan

salah

satu

dasar

bagi

Kementerian/Lembaga/SKPD dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk
kebutuhan baru (new initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan
rencana kerja dan anggaran.
Dalam kegiatan perencanaan, anggaran memegang peranan yang sangat
esensial. Perencanaan yang baik sejatinya ditujukan salah satunya untuk
memberikan acuan yang baik dalam menetapkan kebutuhan baru dan angka
dasar. Kebutuhan baru dan angka dasar ini kemudian akan dijadikan
perhitungan dalam menyusun rencana kerja dan anggaran untuk periode
berikutnya. Dengan mekanisme seperti ini, hal-hal seperti ketidakcukupan
anggaran dalam pelaksanaan Pengelolaan BMN/D akan dapat dihindari.
 Penambahan Pasal 11
Untuk harmonisasi dengan peraturan pelaksanaan perencanaan kebutuhan dan
penganggaran BMN/D.
f. Pengadaan
 Terdapat beberapa perubahan untuk Bab Pengadaan. Perubahan yang terjadi
berkaitan dengan harmonisasi dengan peraturan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ)
yang telah diganti menjadi Perpres 70 Tahun 2012. Kegiatan pengadaan BMN/D
hendaknya juga memenuhi prinsip-prinsip pengadaan secara umum yaitu efektif,
efisien, terbuka dan bersaing, transparan, adil, dan akuntabel serta dilaksanakan
sesuai prosedur Pengadaan Barang dan Jasa.

 Pasal

12

diubah

redaksinya

untuk

menghindari

multitafsir

sekaligus

mengakomodasi perluasan lingkup BMN/D.

Pasal 12 PP 6 Tahun 2006:
(1) Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan
barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 13 PP 27 Tahun 2014:

Pelaksanaan pengadaan Barang Milik Negara/Daerah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain
dalam Peraturan Pemerintah ini.
g. Penggunaan
Dalam PP 27 Tahun 2014 terdapat beberapa penyempurnaan ketentuan seputar
Bab Penggunaan BMN/D. Penyempurnaan tersebut terbagi ke dalam tiga hal berikut
ini.
 Penguatan dasar hukum atas:

 Alih status penggunaan BMN/D;
 Penggunaan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu
tertentu tanpa mengubah status Penggunaan BMN/D; dan
 BMN/D idle: kriteria dan mekanisme penyerahannya ke Pengelola BMN/D
BMN/D yang idle harus dapat dideteksi dengan baik. Penentuan kriteria BMN
idle dan bagaimana tindak lanjutnya merupakan langkah yang tepat diambil
oleh pemerintah. Selama ini ada begitu banyak BMN/D yang idle dalam
pengertian BMN/D tersebut tidak digunakan/tidak dimanfaatkan dan dibiarkan
mengendap di gudang Pengguna Barang dengan asumsi spekulatif masa depan
yang penuh ketidakpastian. Padahal sejatinya belum ada perencanaan yang
sistematis terkait penggunaan BMN/D tersebut di masa depan. Akibatnya,
pengelolaan BMN/D berjalan dengan tidak efisien.
Perumusan mengenai BMN/D idle ini pada dasarnya juga merupakan bentuk
harmonisasi dengan peraturan pelaksanaan yang terlebih dahulu diterbitkan,
yaitu PMK Nomor 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan BMN/D
yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi K/L.
Adapun kriteria dari BMN idle dalam PMK tersebut meliputi:
a)

BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan
fungsi K/L dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun sejak terindikasi

b)

idle.
BMN yang digunakan, tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi K/L.

Melalui penambahan kriteria dan mekanisme untuk menindaklanjuti BMN/D
yang sifatnya idle dalam PP Nomor 27 Tahun 2014, Pemerintah akan mampu

meningkatkan efisiensi pengelolaan BMN/D di Indonesia yang harmonis dan
taat asas.
 Pengembangan manajemen aset negara
Kriteria BMN/D Idle dikecualikan untuk BMN/D yg telah direncanakan untuk
digunakan/dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. BMN/D yang direncanakan
untuk digunakan/dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu di masa depan tidak
dikategorikan sebagai BMN/D idle. Menurut saya, hal ini telah sesuai dalam
mendukung peningkatan efektivitas dan efisiensi manajemen BMN/D. Hanya saja
perlu ada pengawasan yang memadai mengenai batasan-batasan perencanaan atas
BMN/D tersebut. Jangan sampai perencanaan yang ada hanya sekedar wacana dan
pada akhirnya BMN/D dibiarkan idle di gudang Pengguna. Dalam kondisi seperti
ini BMN/D itu seharusnya diserahkan ke Pengelola Barang untuk dioptimalkan
penggunaan/pemanfaatannya. BMN idle yang telah diserahkan kepada Pengelola
Barang dapat memberikan kontribusi pendapatan negara dari PNBP melalui
mekanisme pemanfaatan BMN. DJKN yang memiliki instansi vertikal dapat
menambah pendapatan negara dengan cara memasang tanda penguasaan atas tanah
yang berisi informasi Kanwil DJKN/KPKNL yang menguasai tanah idle tersebut
dan tanda yang berisi peluang untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Dengan cara
itu, tanah yang menganggur tersebut tidak akan membebani APBN dengan biaya
pengamanan dan pemeliharaannya sekaligus memberikan kontribusi Pendapatan
Negara Bukan Pajak.
 Penyederhanaan birokrasi

 Kini Pengelola BMN/D dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada
Pengguna BMN/D, terutama yang berkaitan dengan penetapan status
peggunaan BMN/D.
 Dalam kondisi tertentu, Pengelola dapat menetapkan status Penggunaan BMN
pada Pengguna tanpa didahului usulan Pengguna
 Penetapan Status Penggunaan (PSP) BMN/D dikecualikan untuk:
-

barang persediaan;

-

Konstruksi Dalam Pengerjaan;

-

barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan;

-

BMN yang berasal dari DK/TP (penunjang) yang direncanakan untuk
diserahkan; dan

-

BMN/D

lain

yang

ditetapkan

oleh

Pengelola

BMN/Gubernur/Bupati/Walikota.
h. Pemanfaatan
 Penyederhanaan redaksi Kriteria Pemanfaatan BMN/D. Penyederhanaan ini
menghasilkan kejelasan makna dalam bagian tersebut sehingga lebih mudah
dipahami dan menghindari multitafsir yang tidak perlu.

 Pengembangan manajemen aset negara

 Ruang lingkup pemanfaatan
-

pendayagunaan BMN/D yg tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas
dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga/SKPD

-

optimalisasi BMN/D
Seperti diketahui bersama, kriteria dalam misi Pengelolaan kekayaan/aset
Negara adalah empat hal berikut: (1) Efisiensi Pengeluaran; (2) Optimalisasi
Penerimaan; (3) Efektivitas Pengelolaan; (4) Kedaulatan dan Keamanan
Negara. Untuk itu, Optimalisasi BMN/D merupakan salah satu misi yang
ingin dicapai dalam Pengelolaan kekayaan/aset negara. Pengelolaan
BMN/D yang efektif dan optimal mengarah pada peningkatan

 Sewa
-

Diatur secara spesifik mengenai Sewa BMN/D untuk kerja sama
infrastruktur.

-

Jangka waktu bisa lebih dari 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk:
a) Kerja sama infrastruktur;
b) Kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu sewa
lebih dari 5 (lima) tahun; atau
c) Ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Sebelumnya, jangka waktu sewa hanya diizinkan paling lama 5 (lima)
tahun, dan dapat diperpanjang untuk seluruh jenis Sewa BMN/D.
Sewa untuk kerja sama infrastruktur memiliki dampak yang luas terhadap
pembangunan

infrastruktur

di

Indonesia.

Untuk

itulah,

langkah

memperpanjang jangka waktu sewa untuk kerja sama infrastruktur menjadi
langkah

strategis

pemerintah

dalam

mengupayakan

peningkatan

pembangunan yang terdistribusi secara merata di Indonesia. Dengan cara
ini, para pihak penyewa akan lebih nyaman dalam melakukan sewa atas
BMN/D sebab tidak perlu memperpanjang masa sewa setiap 5 (lima) tahun
sekali.
 Pinjam Pakai
-

Jangka waktu pinjam pakai dipertegas hanya dapat diperpanjang 1 kali:
Pasal 30 Ayat (2)
Jangka waktu Pinjam Pakai Barang Milik Negara/Daerah paling lama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
Pada aturan sebelumnya hanya diatur bahwa pinjam pakai BMN/D hanya
dapat diperpanjang saja.
Pinjam pakai adalah penyerahan Penggunaan barang antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah atau antar-Pemerintah Daerah dalam jangka
waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut
berakhir diserahkan kembali kepada Pengelola Barang. Pinjam pakai ini
sesungguhnya tidak menguntungkan pihak Pengguna Barang dan tidak
memberikan nilai tambah atas BMN/D dan infrastruktur. Oleh karena itu,
Pinjam pakai sebaiknya tidak dibiarkan berlangsung terlalu lama. Pinjam
pakai yang berlangsung terlalu lama menyulitkan dalam hal penerapan
pengawasan dan pengendalian dari segi administratif BMN/D. Dengan
mekanisme yang ada saat ini, Pinjam pakai dibatasi hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali saja. Menurut saya ini sudah tepat.

 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)
-

Penambahan

pasal

yang

memberikan

penjelasan

terhadap

tujuan

pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan BMN/D, yaitu:
a) Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna BMN/D; dan/atau
b) Meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
-

Diversifikasi Kerja Sama Pemanfaatan: Konstribusi dan pembagian
keuntungan dapat berupa aset (maks. 10% dari total penerimaan kontribusi
tetap dan pembagian keuntungan selama masa KSP)

-

Penjelasan mengenai tanggungan biaya KSP ditetapkan sebagai beban mitra
KSP. Pada peraturan sebelumnya hanya dijelaskan bahwa biaya tersebut
tidak dapat dibebankan ke APBN/D. Penjelasan di peraturan sebelumnya
mengandung ambiguitas akan kemana biaya tersebut dibebankan nantinya.

Ini kemudian diperjelas dalam aturan terbaru. Dalam hal ini Pemerintah
perlu tegas menyatakan bahwa biaya yang terjadi adalah beban yang
ditanggung oleh Mitra KSP.
-

KSP untuk penyediaan infrastruktur dipisahkan dari KSP pada umumnya.
Jangka waktu untuk penyediaan infrastruktur ditetapkan paling lama 50
tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
KSP untuk penyediaan infrastruktur memiliki dampak yang luas terhadap
pembangunan

infrastruktur

di

Indonesia.

Untuk

itulah,

langkah

memperpanjang jangka waktu KSP untuk penyediaan infrastruktur menjadi
langkah

strategis

pemerintah

dalam

mengupayakan

peningkatan

pembangunan yang terdistribusi secara merata di Indonesia. Dengan cara
ini, para Mitra KSP akan lebih nyaman dalam melakukan melaksanakan
kerja

sama

dengan

Pemerintah

atas

BMN/D

sebab

tidak

perlu

memperpanjang masa sewa setiap 30 (tiga puluh) tahun sekali sama halnya
dengan KSP pada umumnya.
-

Kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi
sebesar 70% dari hasil perhitungan tim untuk mitra KSP penyediaan
infrastruktur berbentuk BUMN/D.
Ini merupakan langkah strategis Pemerintah untuk mendorong dan
memberdayakan BUMN/D agar terlibat dalam bentuk Kerja Sama
Pemanfaatan dengan Pemerintah. Perlu dipahami, BUMN/D bagian dari
Keuangan Negara yang harus didukung perkembangannya. Perkembangan
BUMN/D akan menguntungkan Pemerintah sebab akan memperoleh bagi
hasil dari laba BUMN yang berperan dalam peningkatan PNBP nasional.
Oleh karena itu, pembagian keuntungan dan kontribusi tetap ditetapkan
paling tinggi 70% atas Mitra KSP penyediaan infrastruktur berbentuk
BUMN/D menurut saya telah tepat.

 Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna
-

Terdapat penambahan kewajiban mitra BGS/BSG yaitu berupa perluasan
larangan dalam menjaminkan, menggadaikan, atau memindahkan yang tidak
lagi terbatas pada objek BGS/BSG sebagaimana diatur di ketentuan
sebelumnya. Kali ini larangannya menjadi lebih luas, yaitu atas tanah yang
menjadi objek BGS/BSG, hasil BGS yang digunakan langsung, serta hasil
BSG.

-

Pasal 36 ayat (4):

Dalam jangka waktu pengoperasian, hasil Bangun Guna Serah

atau

Bangun Serah Guna harus digunakan langsung untuk penyelenggaraan
tugas dan fungsi Pemerintah Pusat/Daerah paling sedikit 10% (sepuluh
persen).
Ketentuan “paling sedikit 10%” merupakan hal baru yang diatur dalam PP
27 Tahun 2014. Ketentuan baru ini sesungguhnya cukup aneh, mengingat
penggunaan atas hasil BGS/BSG untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
pemerintah mustahil untuk dikuantifikasikan sebagaimana tertera dalam
peraturan tersebut, yaitu sebesar minimal 10%.
-

Penghapusan syarat “persyaratan lain yang dianggap perlu” karena
dipandang memiliki sisi ambiguitas dalam pelaksanaan perjanjian
BGS/BSG.

-

Terdapat penjelasan mengenai tanggungan biaya BGS/BSG yang ditetapkan
sebagai beban mitra KSP. Pada peraturan sebelumnya hanya dijelaskan
bahwa biaya tersebut tidak dapat dibebankan ke APBN/D. Penjelasan di
peraturan sebelumnya mengandung ambiguitas akan kemana biaya tersebut
dibebankan nantinya. Ini kemudian diperjelas dalam aturan terbaru. Dalam
hal ini Pemerintah perlu tegas menyatakan bahwa biaya yang terjadi adalah
beban yang ditanggung oleh Mitra KSP.

 Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI)
-

Penambahan bentuk Pemanfaatan dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan
Infrastruktur (KSPI). Penambahan ini dilakukan untuk mengakomodasi
dinamisnya lingkup pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. KSPI
didefinisikan sebagai kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk
kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

-

Ketentuan mengenai KSPI ini diatur di Pasal 38 dan Pasal 39 yang berisi
ketentuan teknis seputar KSPI atas BMN/D.

 Mekanisme Tender
-

Terdapat penambahan bagian baru yang mengatur mengenai mekanisme
tender untuk KSP dan BGS/BSG (Pasal 40). Implikasi mekanisme tender ini
ialah batasan peserta tender diganti, dari yang semula ‘paling sedikit 5
(lima) peserta’, menjadi ‘paling sedikit 3 (tiga) peserta’.

-

Ketentuan lain seputar tender atas pemilihan calon mitra KSP dan
BGS/BSG diatur secara lengkap di Pasal 40 peraturan ini.

 Penyederhanaan birokrasi

 Pelaksana pemanfaatan BMN
-

Pengelola untuk BMN pada Pengelola

-

Pengguna untuk BMN pada Pengguna

 Jumlah peserta tender sekurang-kurangnya 3 peserta (telah dijelaskan di atas)
 Mitra KSP penugasan
 Harmonisasi pengaturan
Penambahan lingkup infrastruktur untuk setiap kegiatan Pemanfaatan BMN/D.
Implikasi dari perluasan lingkup ini adalah terdapat penambahan jangka waktu
pelaksanaan pemanfaatan yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur.
i. Pengamanan dan Pemeliharaan
 Harmonisasi peraturan

Terdapat penambahan ayat (5) dan (6) pada Pasal 44 tentang Pengamanan BMN/D.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut dari tata cara penyimpanan
dokumen kepemilikan BMN/D diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pada
peraturan sebelumnya ini tidak ditemukan, yang kemudian akan menyulitkan dalam
penyusunan aturan pelaksanaan seputar tata cara penyimpanan dokumen
kepemilikan BMN/D.
 Pengamanan BMN/D melalui kebijakan Asuransi

Bentuk pengamanan ini baru ditemukan di peraturan pengelolaan BMN/D terbaru.
Penyempurnaan ini bermaksud untuk mengakomodasi maraknya pengamanan aset
melalui kebijakan asuransi atau pertanggungan. Pengamanan BMN/D harus
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Menurut saya, ini merupakan
langkah strategis untuk dilakukan pemerintah guna meningkatkan pengamanan atas
BMN/D sekaligus mengendalikan risiko atas kerentanan BMN/D (hilang/rusak).
 Penambahan penjelasan terkait ketentuan mengenai tanggungan atas Biaya
Pemeliharaan BMN/D yang dimanfaatkan Pihak Lain.

Menurut peraturan terbaru, biaya pemeliharaan tersebut adalah tanggung jawab
sepenuhnya dari penyewa, peminjam, mitra KSP, mitra BGS/BSG, atau mitra
KSPI. Menurut saya ini perlu untuk menjamin kepastian hukum dan law
enforcement seputar biaya pemeliharaan BMN/D yang dimanfaatkan oleh pihak
lain.
j. Penilaian
Proses penilaian BMN/D selalu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Berbagai kesulitan hadir dalam proses penilaian BMN/D, namun demikian tetap
dibutuhkan mekanisme penilaian yang andal agar menjamin transparansi dan
akuntabilitas pelaporan BMN/D yang berada dalam pengelolaan pemerintah. Berikut
ini adalah beberapa penyempurnaan seputar kegiatan Penilaian BMN/D.
 Pengembangan manajemen aset negara

 Penilai kini dibedakan atas Penilai pemerintah dan Penilai publik yang
ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota
 Penilaian dilakukan dalam rangka mendapatkan hanya untuk mencari nilai
wajar (tanpa adanya pembatasan estimasi terendah dengan NJOP)
 Penyederhanaan birokrasi

 Penilaian BMN/D dikecualikan untuk:
-

Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai; dan

-

Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah

 Harmonisasi pengaturan

 Dalam kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat melakukan Penilaian kembali
atas nilai BMN/D yang telah ditetapkan dalam neraca Pemerintah Pusat/Daerah.
 Keputusan mengenai Penilaian kembali atas nilai BMN dilaksanakan
berdasarkan ketentuan Pemerintah yang berlaku secara nasional.

k. Pemindahtanganan
 Pengembangan manajemen aset negara

 Pengkinian definisi lelang (disesuaikan dengan peraturan Pengadaan Barang
dan Jasa terbaru) – dikenal istilah perhitungan faktor penyesuaian untuk
penentuan nilai penjualan secara lelang. Hal ini tidak diatur di peraturan
sebelumnya karena masih mengacu pada peraturan Pengadaan Barang dan Jasa
yang lalu (Keppres 80 Tahun 2003).
 Perhitungan nilai limit penjualan
Nilai penjualan yang ditentukan secara lelang dengan memperhitungkan faktor
penyesuaian merupakan batas terendah yang ditetapkan sebagai dasar penetapan
nilai limit. Sebelumnya tidak ada ketentuan yang lebih jelas mengenai
mekanisme penentuan nilai penjualan dari proses lelang BMN/D.
 Perluasan cakupan mitra tukar-menukar
Terdapat penambahan mitra tukar-menukar, yaitu Pemerintah Negara Lain.
Sebelumnya mitra Tukar-Menukar hanya Pemerintah Daerah, BUMN/D atau
Badah Hukum milik pemerintah lainnya, dan Swasta. Penambahan lingkup ini
menandai antisipasi pemerintah dalam menyambut geliat globalisasi yang
semakin berkembang.
 Perluasan pertimbangan hibah
Pertimbangan hibah atas BMN/D menurut PP Nomor 27 Tahun 2014 adalah:
-

Kepentingan sosial;

-

Budaya; (baru)

-

Keagamaan;

-

Kemanusiaan;

-

Pendidikan yang bersifat nonkomersial; (baru) dan

-

Penyelenggaraan pemerintahan negara/daearah.

 Bentuk Penyertaan Modal Pemerintah Pusat / Daerah
Dalam PP No 27 Tahun 2014 diatur bahwa tanah dan/atau bangunan pada
Pengguna Barang juga dapat disertakan dalam bentuk PMPP/D. Pada aturan
sebelumnya, tidak diatur demikian. Bahkan, ada kriteria BMN/D yang
sebelumnya dapat disertakan sebagai modal pemerintah pusat/daerah, namun
kini tidak dapat lagi. BMN/D tersebut ialah tanah dan/atau bangunan yang dari
awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah
pusat/daerah sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran.
 Penyederhanaan birokrasi

 Pendelegasian sebagian kewenangan Pengelola kepada Pengguna
-

Dahulu diatur bahwa seluruh pemindahtangan BMN dilaksanakan oleh
Pengelola Barang dengan atau tanpa persetujuan presiden (bergantung nilai
BMN/D). Sekarang, dilakukan pendelegasian pemindahtangan BMN yang
mana untuk BMN yang berada pada Pengguna Barang pemindahtangannya
dilakukan oleh Pengguna Barang itu sendiri. Pendelegasian ini berlaku baik
untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan maupun BMN selain tanah
dan/atau bangunan.

-

Meski demikian, untuk BMD, proses pemindahtanganan masih berada di
Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota.

 Diatur pula mengenai usulan untuk memperoleh persetujuan Presiden atas
pemindahtanganan BMN yang diajukan oleh Pengelola Barang. (sebelumnya
tidak diatur)

l. Pemusnahan
Pemusnahan adalah hal baru yang diatur di PP Nomor 27 Tahun 2014 sebagai bentuk
pengembangan pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pada peraturan sebelumnya
tidak ada ketentuan mengenai Pemusnahan. Latarbelakang dari kegiatan pemusnahan ini
ialah karena selama ini belum ada prosedur resmi yang mengatur mengenai tata cara
pemusnahan BMN/D yang tidak dapat digunakan/tidak dapat dimanfaatkan/tidak dapat
dipindahtangankan. Akibatnya, BMN/D hanya ditampung saja di gudang Pengguna Barang
tanpa ada mekanisme lebih lanjut. Padahal sesungguhnya akan lebih efisien apabila
BMN/D seperti ini dimunsnahkan saja.
Berikut ini adalah beberapa hal tentang Pemusnahan yang diatur dalam PP Nomor 27
Tahun 2014.
 Pengembangan manajemen aset negara

Pemusnahan

dilakukan

dengan

cara

dibakar,

dihancurkan

ditimbun,

ditenggelamkan atau cara lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan
 Penyederhanaan birokrasi

 Pendelegasian sebagian kewenangan Pengelola kepada Pengguna
 Subyek pelaksana pemusnahan

m. Penghapusan
 Penyederhanaan birokrasi

 Penghapusan BMD dilakukan setelah terbit keputusan Penghapusan dari
Pengelola Barang (sebelumnya Pengguna Barang) setelah mendapat
persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah.
 Pendelegasian

kewenangan

Gubernur/Bupati/Walikota

kepada

Pengelola

Barang (Sekda) terkait Penghapusan BMD berupa Barang Persediaan.
 Pendelegasian sebagian kewenangan Pengelola Barang kepada Pengguna
Barang
 Pengecualian persetujuan penghapusan dari Pengelola yang didahului kegiatan
yang telah mendapat persetujuan Pengelol, yaitu untuk BMN/D yang
dihapuskan karena:
-

Pengalihan status Penggunaan;

-

Pemindahtanganan; dan

-

Pemusnahan

n. Penatausahaan
Penatausahaan yang baik merupakan kunci dari pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian BMN/D yang memadai. Berikut ini adalah beberapa penyempurnaan
seputar kegiatan pengatausahaan BMN/D yang dimuat dalam PP 27 Tahun 2014.
 Harmonisasi Pengaturan Pelaporan BMN/D disusun menurut perkiraan neraca yang
terdiri dari :

 Aset Lancar, berupa Barang Persediaan,
 Aset Tetap, berupa:
-

Tanah

-

Gedung dan Bangunan

-

Peralatan dan Mesin

-

Jalan, Irigasi, dan Jaringan

-

Aset Tetap Lainnya,

-

Konstruksi Dalam Pengerjaan

 Aset Lainnya. Sebelumnya, penjelasan ada dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Harmonisasi ini disesuaikan dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
Berbasis Akrual yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2010.
 Pengembangan manajemen aset negara

 Pengelola Barang wajib menyusun Laporan Barang Pengelola Semesteran dan
Tahunan atas BMN/D yang berada dibawah kekuasaannya.
 Pengelola Barang menghimpun Laporan Barang Pengguna Semesteran dan
Tahunan serta Laporan Barang Pengelola sebagai bahan penyusunan Laporan
Barang Milik Negara/Daerah
o. Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian
Dewasa ini terdapat begitu banyak aset negara dalam wujud BMN/D yang tidak
dikelola dengan efektif, terutama pada tahapan pengawasan dan pengendaliannya.
Dampaknya adalah aset-aset tersebut menjadi tidak ditatausahakan sebagaimana
mestinya. Terdapat beberapa kasus dimana Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa atas
aset yang dimiliki yang “dikuasai” oleh pihak lain yang tidak sepatutnya menguasai
aset tersebut. Sebagai contoh perkara Rumah negara pada eselon I Direktorat Jenderal
Pajak – Kementerian Keuangan yang ironisnya dikuasai oleh pensiunan pegawai negeri
sipil eselon I tersebut sampai periode waktu yang tidak dapat ditentukan. Hal tersebut
adalah gambaran betapa buruknya manajemen pengawasan dan pengendalian Barang
Milik Negara dan Barang Milik Daerah di negeri kita saat ini.
Untuk itu perlu ada penyempurnaan dalam regulasi pengelolaan BMN/D. Di
bawah ini adalah beberapa wujud penyempurnaan yang termuat dalam PP Nomor 27
Tahun 2014.
 Menteri Keuangan tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan terkait pengelolaan
BMN, tetapi di peraturan terbaru PP 27 Tahun 2014 ini diatur bahwasanya Menteri
Keuangan turut melakukan pembinaan pengelolaan BMN. Demikian juga dengan
Menteri Dalam Negeri dalam hal pengelolaan BMD.

 Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian BMN/D langsung dibagi ke dalam dua
perspektif di awal bab Pengawasan dan Pengendalian, yaitu Pengawasan dan
Pengendalian BMN/D oleh Pengguna Barang melalui pemantauan dan penertiban
serta oleh Pengelola Barang melalui pemantauan dan investigasi. Dengan begini

terdapat kejelasan atas tanggung jawab Pengawasan dan Pengendalian oleh masingmasing Pengelola Barang dan Pengguna Barang.

 Diatur mengenai tanggung jawab Pengguna Baran dalam menetapkan indikator
kinerja di bidang pengelolaan BMN pada unit yang membidangi pengelolaan BMN.
Ini dilakukan sebagai wujud penciptaan good governance dalam pengelolaan BMN.

 Terdapat penegasan untuk pengalihan wewenang menerbitkan peraturan tentang
tata cara pelaksanaan pengawasan dan pengendalian atas BMD kepada Menteri
Dalam Negeri.

p. Ketentuan Tambahan yang Baru Diatur di PP 27 Tahun 2014
 Pengelolaan BMN/D pada Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah

Badan Layanan Umum dan Badan Layanan Umum Daerah merupakan bagian dari
kekayaan negara. Demikian halnya dengan aset-aset yang dikelola oleh
BLU/BLUD ini juga merupakan BMN/D yang juga harus dikelola oleh pemerintah
layaknya BMN/D pada umumnya. Permasalahannya saat ini, BLU dan BLUD
tersebut adalah “barang baru” yang baru berkembang pesat dalam lima tahun
terakhir yang berkembang akibat urgensi pemerintah untuk meningkatkan
pelayanan ke masyarakat.

Maka dari itu, seiring dengan peningkatan jumlah BLU/BLUD dalam lingkup
keuangan negara, BMN/D yang berada di bawah penguasaan BLU/BLUD ini juga
perlu diatur pengelolaannya dalam peraturan pemerintah terkait Pengelolaan
BMN/D. Akuntabilitas dan transparansi BLU/BLUD perlu dijaga dan ditingkatkan
guna maksimalisasi pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat.

 Penambahan aturan terkait BMN/D Berupa Rumah Negara.

Selama ini ada banyak sekali kasus di beberapa Kementerian/Lembaga yang
berhubungan dengan penggunaan Rumah Negara yang tidak sesuai dengan

tujuannya. Misalnya saja Rumah Negara di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
yang dihuni oleh Pensiunan secara tidak taat asas. Beberapa dari Rumah Negara
tersebut bahkan dimanfaatkan dengan jalan disewakan kepada Pihak Lain.

Hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah. Pengawasan dan pengendalian atas
Rumah Negara perlu diatur secara spesifik sebagai bagian dari pengelolaan
BMN/D. Dengan begini penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian BMN/D
berupa Rumah Negara akan mempunyai payung hukum yang kuat dalam
melaksanakan law enforcement bagi setiap pengguna Rumah Negara yang tidak taat
asas.

 PNBP dari pengelolaan BMN

PNBP yang diperoleh dari pengelolaan BMN/D terutama dari pemanfaatannya
merupakan bagian yang perlu diperhatikan. Selama ini PNBP terkesan menjadi
sumber penerimaan yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Padahal
sesungguhnya PNBP memiliki potensi yang cukup besar apabila dapat dikelola
dengan efektif. Porsi PNBP dari pemanfaatan BMN/D dimasukkan dalam
klasifikasi PNBP lain-lain. Di antara seluruh jenis PNBP di APBN, PNBP Lain-lain
adalah yang paling besar tingkat kebocorannya. Hal utama yang menyebabkan ini
adalah ketiadaan regulasi yang memungkinkan Pemerintah melakukan pengawasan
atas PNBP jenis tersebut. Akibatnya, pemungut PNBP di masing-masing K/L
biasanya menyimpan sendiri dengan tidak menyetorkannnya ke Kas Umum Negara.
Oleh karena itu, memasukkan pengaturan terkait PNBP atas pengelolaan BMN/D
adalah langkah penting yang seharusnya telah sejak lama diberlakukan oleh
Pemerintah.

 Implementasi good governance (Indikator Kinerja pengelolaan BMN)

Pemerintah saat ini sangat mengehendaki terciptanya good governance dalam
pemerintahan. Salah satu langkah nyata untuk mengimplementasikan good
governance ini adalah menciptakan Indikator Kinterja dalam pengelolaan BMN/D,
terutama dalam kegiatan Pengawasan dan Pengendalian BMN/D. Dengan adanya
Indikator Kinerja semacam ini, kegiatan pengelolaan BMN/D akan dapat berjalan

secara terukur dan dapat dievaluasi lalu ditingkatkan di periode-periode
selanjutnya.

 Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS)

BPYBDS merupakan Barang Milik Negara (BMN) hasil kegiatan proyek
Kementerian/Lembaga (K/L) yang bersumber dari Daftar Isian Proyek (DIP)
maupun Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang kemudian diserahterimaoperasionalkan melalui Berita Acara Serah Terima Operasional (BASTO) dari K/L
kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Atas dasar BASTO tersebut, BUMN
mencatat/membukukan aset yang diterima tersebut ke dalam akun ekuitas subakun
BPYBDS.
Jika dapat digambarkan, BPYBDS merupakan “spesies” baru dalam dunia
kekayaan negara yang muncul akibat kelalaian penyelesaian legal-administrasi
dalam proses pemindahtanganan BMN kepada BUMN di masa lampau.
Pemindahtanganan fisik yang seharusnya diawali dengan persetujuan Menteri
Keuangan diabaikan, sehingga
keberadaan fisik aset pada BUMN tidak didasari dengan legal-administrasi yang
benar. Secara berkelakar, BPYBDS diibaratkan anak yang lahir dari pernikahan siri
yang masih memerlukan pengakuan formal dari Negara. Sehingga menjadi tugas
DJKN sebagai unit yang bertugas mengamankan aset negara untuk memberi status
yang jelas pada “anak” yang sudah terlanjur lahir ke dunia tersebut.
Sampai dengan Triwulan III Tahun 2012, total nilai BPYBDS yang telah ditetapkan
sebagai penambahan PMN adalah sebesar Rp8,29 triliun yang tersebar di 16
BUMN dan bersumber dari BMN pada 6 Kementerian/Lembaga (K/L). Berbagai
upaya percepatan penyelesaian BPYBDS yang telah dilakukan telah menunjukkan
hasilnya, di tahun 2012, BPYBDS yang telah diusulkan oleh K/L dan sedang dalam
proses untuk ditetapkan sebagai penambahan PMN naik cukup signifikan sejumlah
Rp28,91 triliun.(Sumber Media Kekayaan Negara: Edisi 10 Tahun 2012)
Untuk mengantisipasi peningkatan nilai BPYBDS yang setiap tahun meningkat,
sesuai dengan rekomendasi BPK, DJKN telah berkoordinasi dengan pihak-pihak
terkait, khususnya Dit. Jenderal Anggaran (DJA), Dit. Jenderal Pengelolaan Utang
dan K/L untuk menetapkan kebijakan yang jelas mengenai perencanaan dan
penganggaran atas BMN yang akan diserahkan kepada BUMN sebagai PMN.
Di PP 27 Tahun 2014, mulai diatur mengenai status BPYBDS ini dalam upaya
untuk mengakomodasi sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dari BMN/D,
namun sampai saat sebelum PP 27 Tahun 2014 terbit itu belum diatur.

2. Matriks Perbandingan PP 6 Tahun 2006 jo. PP 38 Tahun 2008 dengan PP 27 Tahun 2014 (Sumber: Bahan Sosialisasi DJKN)
No
1

2

Pokok Pengaturan

PP 6/2006 jo. PP 38/2008

Siklus Pengelolaan BMN/D
a. Ruang lingkup
Ruang lingkup pengelolaan BMN meliputi:
pengelolaan
a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
BMN/D
b. Pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. Pengamanan dan Pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Penghapusan;
h. Pemindahtanganan;
i. Penatausahaan; dan
j. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian.

Kewenangan dan Tanggung jawab BMN
a. Pengelola BMN
Menteri Keuangan selaku bendahara umum
negara adalah Pengelola BMN
b. Pengguna BMN
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pimpinan
Kementerian/ Lembaga adalah Pengguna BMN
c. Kuasa
BMN

Pengguna

Kepala kantor dalam lingkungan K/L adalah
Kuasa Pengguna BMN dalam lingkungan kantor
yang dipimpinnya

PP 27/2014
Ruang lingkup pengelolaan BMN meliputi:
a. Perencanaan
kebutuhan
dan
penganggaran;
b. pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Pemindahtanganan;
h. Pemusnahan;
i. Penghapusan;
j. Penatausahaan; dan
k. Pembinaan,
Pengawasan
dan
Pengendalian.

Keterangan
Penyempurnaan
siklus pengelolaan
BMN/D

Menteri Keuangan selaku bendahara umum Tetap
negara adalah Pengelola BMN
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pimpinan Tetap
Kementerian/ Lembaga adalah Pengguna
BMN
Kepala kantor dalam lingkungan K/L adalah Kuasa
Tetap
Pengguna BMN dalam lingkungan kantor yang
dipimpinnya

No
3

4

No

Pokok Pengaturan

PP 6/2006 jo. PP 38/2008

Kewenangan dan Tanggung jawab BMD
a. Pemegang
Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang
kekuasaan
kekuasaan pengelolaan BMD
pengelolaan BMD
b. Pengelola BMD
Sekretaris Daerah adalah Pengelola
BMD
c. Pengguna BMD
Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah
pengguna BMD
d. Pendelegasian
Kewenangan

PP 27/2014

Keterangan

Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang Tetap
kekuasaan pengelolaan BMD
Sekretaris Daerah adalah Pengelola
BMD
Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah
pengguna BMD
Pengguna BMN dapat mendelegasikan
kewenangan dan tanggung jawab tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
Kuasa Pengguna Barang

Tetap
Tetap
Penyederhanaan
Bir

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Perbandingan perilaku prososial antara orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan yang belum pada Ibu-Ibu majelis ta'lim

0 22 126

Perbandingan Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Antara Bubur Ayam Instan Dan Tradisional

2 37 68

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Analisis Sistem Informasi Pengelolaan STNK Di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Wilayah XX/Samsat Bandung Barat

15 155 60

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17