Pemahaman tentang Pembinaan Praksis bagi
Pemahaman tentang Pembinaan Praksis bagi Kaum Pergerakan Indonesia
Oleh: Aphrem Risdo Simangunsong
"Kita memang butuh praksis, tapi tunggu dulu apa yang kamu maksud dengan 'praksis'?"
"Tergantung juga dengan apa yang kamu maksud dengan 'butuh'?
(Dari pembicaraan dua teman mahasiswa, saat mulai berdiskusi soal pembinaan praksis)
Kata praksis e a g seri g diide tikka de ga tradisi pe ikira kau Kiri. Hal i ilah a g e uat
konsep ini agak segan digunakan dalam uraian-uraian umum, walhasil kurang dikenal secara luas.
Masyarakat awam (khususnya di Indonesia) sering mengira praksis itu sama dengan padanan lemahnya
praktis , di a a a g terakhir i i seri g le ih diko otasika se agai hal yang tidak ribet-ribet berteori,
yang penting dapat diterapkan dan manjur di tataran praktik.
Pengertian seperti itu tentu saja menyesatkan. Meski memang benar konsep pemikiran praksis sangat
e eka ka kesahiha pe erapa di lapa ga ke ataa
ahka awal a kata praktis/praktikal pu
seri g dipakai u tuk e gga arka praksis , a u jelas keliru jika praksisme dianggap tidak
didasarkan pada teori yang mendalam, apalagi jika akhirnya kita menyamakan praksis dengan pragmatis.
Maka ada baiknya sebelum beranjak langkah ke pemikiran tentang pembinaan praksis, kita menggali
kembali perkembangan pemaknaan akan istilah praksis, guna memantapkan pijakan pemahaman kita.
1. Perkembangan Pemaknaan Praksis
Penjelasan lugas tentang kata Yunani άξις a a: praxis) – yang merupakan asal istilah praksis ini –
sudah digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Guru filsafatnya Iskandar Agung ini
mendefenisikan praxis sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang yang merdeka. Ia lantas
mengkategorikan praxis sebagai kegiatan yang tujuannya adalah aksi nyata (untuk membedakan
dengan theoria, yang tujuannya adalah kebenarandan poiesis, yang tujuannya adalah produk)1. Praxis pun
dapat dimaknai sebagai sintesis sekaligus awal tesis baru bagi interaksi antara theoria dan poiesis, jika kita
boleh berandai-andai Hegel meminjamkan konsep dialektikanya pada pemahaman Aristoteles ini.
Sumbangsih pembedaan antara poiesis – karya yang produknya langsung terasa/terlihat, dengan theoria –
karya yang lebih kontemplatif (dalam term khas Latin vita activa vs vita contemplativa) juga datang dari
para Doktor Gereja Barat, St. Agustinus (354-430 M) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274 M)2. Sayang
penekanan yang berlebihan pada vita contemplativa dan penyempitan maknanya menjadi hanya sekedar
perenungan keagamaan, membuat Gereja Barat Abad Pertengahan akhirnya terjebak di awang-awang
mistikanya theoria-nya sendiri untuk akhirnya digeser ke dalam posisi ekstrim lain (penekanan vita activa)
1
Aristotle (2004) The Nicomachean Ethics. Trans. J. A. K. Thomson, London: Penguin hal: 207-209
Dalam Suma Tehologia, St. Thomas Aquinas meneruskan pembedaan antara vita contemplativa dan vita activa
ala St. Agustinus. Dalam beberapa artikel, jelas sekali Doktor Gereja ini kendati menghargai hidup yang sifatnya
kerja aktif, namun tetap menanggap hidup kontemplasi berada di atas hidup kerja aktif.
2
selepas Reformasi Protestan – yang dalam kacamata Weber memberi etika baru dengan menekankan
karya poiesis3.
Eropa Barat pun sekian lama kehilangan konsep praksis dalam beriman. Padahal dalam tradisi Gereja
Timur, kedua karya tadi telah disintesiskan dalam konsep praksis ortodoks, yaitu pengejewantahan ajaran
gereja dalam karya sehari-hari dan kegiatan religius dengan memandang ketiganya sebagai satu kesatuan
a g utuh di ahasaka se ara lugas oleh diktu “t.Ma i us: teologi tanpa tindakan, pada hakikatnya
adalah teologi dari setan”).4 Meski di Kekristenan Timur penekanan terhadap kegiatan religius akhirnya
juga sangat terasa (semisal banyaknya yang mengejar kehidupan membiara), demikian pula
perkembangan pemikiran selepas perpisahan dengan Gereja Barat (1054 M) hampir tidak ada lagi, namun
setidaknya Gereja Timur tidak mengidap skizofrenia rohani dengan membeda-bedakan derajat maupun
entitas antara ajaran gereja teoritis dengan praktik sehari-hari seseorang selaku umat gereja.
Apa yang terjadi dalam tradisi Kristiani soal perbedaan penekanan poiesis dan theoria, serta ada tidaknya
konsep praxis sebagai sintesisnya (secara kasar terlihat dalam perbedaan penekanan antara mazhab
Protestan, Katolik Roma dan Ortodoks Timur), kiranya juga terjadi dalam agama-agama lainnya. Tradisi
agama Timur umumnya mengenal konsep praxis dalam pengertiannya sebagai kesatuan dan pergulatan
sinambung antara ajaran dan praktik, meski bukan dalam formula yang lugas, sebab nyaris tidak ada kritik
terhadap ajaran. Pemahaman tradisi Timur soal keseimbangan dan harmoni (misal Yin-Yang dalam tradisi
Ci a pada hakikat a adalah ti daka praksis yang tersembunyi 5. Sementara Islam di awal
perkembangannya sampai Era Empat Imam Besar masih sangat menekankan poiesis. Ajaran-ajaran Islam
di masa itu terutama sekali menekankan perbuatan dan produk nyatanya. Meski demikian dalam
merumuskan bagaimana seseorang berbuat, para ulama sering kali berusaha membaca kenyataan dan
mencari analoginya pada Kitab Suci dan Hadits/Sunnah Rasul dengan metode itjihad sedangkan hasilnya
masih boleh dipertentangkan dengan hasil itjihad lain yang dianggap sahih (jadi boleh dikatakan sebagai
orientasi poiesis yang agak praxis meski kegiatannya hanya terbatas pada kaum elit, yaitu ulama/orang
yang dinilai mampu)6. Selepas perkenalan dengan filsafat Yunani (terutama Aristoteles yang
diperkenalkan oleh al-Kindi 801-873 M), dalam keislaman ilmu pengetahuan pun mulai berkembang dan
menjalani banyak aspek praksis. Namun hampir dapat dikatakan kegiatan praksis dalam ajaran pokok
agama adalah hal yang tabu. Agaknya hampir semua pemikir besar Islam mengambil sikap bahwa Kitab
Suci dan Hadits/Sunnah Rasul adalah theoria yang agung dan tidak boleh diutak-atik dalam tindakan
praksis, sedangkan theoria yang lain silahkan saja (bahkan harus) dipraksiskan sehingga menjadi ilmu yang
islami7.
Minggat dari tafsiran agamawi, Karl Marx (1818-1883) juga memberi sumbangsih soal praksis sebagai
tindakan politis-ekonomis. Sosiolog Antonio Labriola memang menyebut Filsafat Ekonomi-Politik Marx
sebagai filsafat praksis, ini ditunjukkan lewat sindiran Marx untuk teolog Feuerbach: Para filsuf
hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang paling penting adalah mengubah dunia. 8
3
Weber, Max (2002) "The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism" translated by Peter Baehr and Gordon C.
Wells. London: Penguin Books. Hal 14-15
4
Lihat Koleksi Edinburgh (2010): Mission among Other Faiths: An Orthodox Perspective
5
Lihat Palmquist, Stephen (2007) Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bab IV dan V
6
Lihat misalnya Maulana Muhammad Ali (1996) Islamologi. Jakarta: DK Islamiyah, Bab 3
7
Lihat misalnya Badri Yatim (1996) Sejarah Peradaban Islam II. Jakarta Raja Grafindo Persada,hal 56-57 atau
Montgomery Watt (1987) Sejarah Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, hal 54-113.
8
Marx, Karl (1845) Theses on Feurbach: XI dalam marxist.org
Walhasil sejak saat itu praksis sering dimaknai sebagai tindakan politis-ekonomis yang memberi
perubahan nyata. Suatu perjuangan kelas untuk pembebasan. Di Indonesia tafsiran seperti inilah yang
sering malah kebablasan dimaknai oleh kaum pergerakan (mahasiswa dan buruh), dengan menganggap
hanya tindakan ekonomis dan politis-lah (dalam pengertian sempitnya) yang layak disebut sebagai
kegiatan ber-praksis sehingga menganggap rendah kegiatan berdiskusi/berwacana yang cenderung dicap
teoritis9.
Sumbangan lebih anyar dan mumpuni tentang praksis memang datang dari penerus sekaligus kritikus
tradisi Marxian. Untuk kesempatan kali ini, cukuplah kita catatkan dua tokoh sosial-politik, Juergen
Habermas (1929 - … dan Hannah Arendt (1906-1975) serta satu tokoh pendidikan, Paulo Freire (19211997).
Dalam pengertian Habermas ada kritik terhadap konsep praksis Marxian yang belakangan sering jadi
terlalu mengarah pada kerja poiesis politik-ekonomi. Bagi Habermas praksis adalah tindakan komunikatif.
Dalam tindakan komunikatif inilah, individu menjadi obyek aktif dari perubahan sosial.10 Jadi dalam
pengertian ini, bolehlah dikatakan bahwa alm. Nurcholish Madjid (1939-2005), misalnya, adalah juga
tokoh yang ber-praksis. Karena meski hampir seluruh karyanya hanya ada di tataran wacana (entah
tulisan, diskusi, ceramah, dll.) namun itu bukanlah wacana mengawang theoria semata. Jelas sekali diakui
pembacaannya atas kenyataan dan sumbangsihnya bagi perubahan cara pandang kaum Islam Indonesia.
Hal yang sama tentu dapat pula disematkan pada Marx bukan? Sebab Marx pun seringnya berwacana, ia
bukanlah Lenin, Mao atau Che, yang berwacana sekaligus memimpin revolusi.
Arendt nampaknya ingin mengembalikan simpanan pengertian praksis Aristotelian beserta bunganya.
Dalam The Human Condition, filsuf perempuan ini berpendapat bahwa kapasitas kita untuk terlibat aktif
dalam praksis, yaitu kegiatan menganalisis ide-ide sekaligus bergelut nyata dengan ide-ide tersebut,
adalah hal unik yang membedakan manusia dari makhluk lain. Karenanya Arendt menyebut praksis
sebagai tingkatan tertinggi dan terpenting dalam tindak-hidup manusia.11
Sementara itu Freire, tokoh revolusi pendidikan Amerika Selatan yang juga telah mengerjakan praktik
pe didika , e defe isika praksis se agai refleksi sekaligus tindakan nyata terhadap dunia dalam
rangka mengubahnya . Bagi Freire pe isaha a tara refleksi da ti daka , de ga pe eka a a g satu
dan pengorbanan yang lain, bukanlah perjuangan, bukan pula pendidikan (pembinaan). Pemisahan itu
hanya akan menghasilkan verbalisme yang bermuara slogan di satu sisi (mengorbankan tindakan), atau
aktivisme yang bermuara rentetan program kerja di sisi ekstrim lain (mengorbankan refleksi). Lebih lanjut
Freire e eri o toh ahwa kata adalah sa pel a g tepat untuk sebuah praksis. Tidak pernah ada
kata sejati yang bukan merupakan hasil sintesis antara refleksi dan tindakan.12
Dari beberapa perkembangan pemahaman tadi dapatlah kita menyimpulkan bahwa praksis adalah suatu
tindakan dengan kualitas-kualitas: (1) kemerdekaan pelakunya, (2) kesatuan dan sintesis utuh antara
pengetahuan teori dan praktik, ini mengandung makna pengetahuan adalah sekaligus keterlibatan, (3)
berpijak dari kenyataan dan pembacaan dunia pelakunya, (4) menghasilkan kerja nyata yang mengubah
Lihat misalnya Firdaus Putra A. (2008). Praksis – Praxis? dalam Mengintipdunia.blogspot.com
Habermas, J. (1973). Theory and Practice. trans. J. Viertel, Boston, MA.: Beacon Press/ Cambridge: Polity Press.
Bab 7
11
Arendt, Hannah (1958) The Human Condition hal 97:, dalam Women-philosophers.com.
12
Freire, P (2008). Pendidikan Kaum terindas. Terj Tim LP3ES, Jakarta: LP3ES. Bab 3.
9
10
dan refleksi yang tajam membaca dunia, (5) bersifat komunikatif, tidak pernah satu arah, dan (6) bersifat
dialektis sinambung antara pengerjaan dan refleksi.
2. Praksis Sebagai Bentuk Pembinaan
Pengertian tadi agaknya lebih mengena pada apa yang kita maksudkan, saat membahas pembinaan
praksis. Kesatuan utuh antara refleksi dengan tindakan nyata terhadap dunia, itulah yang kita harapkan
terjadi dalam pembinaan. Orang yang mengalami pembinaan memperoleh pengetahuan dalam
keterlibatannya dengan dunia, yaitu dengan membaca sekaligus berusaha mengubah dunianya. Kerja
perenungannya mengarah pada upaya nyata, dan kerjanya di upaya nyata mengarah pada pembaruan
perenungannya. Ini bukanlah pembinaan dengan menjejal-diktekan banyak-banyak pengetahuan asing,
bukan pula pembinaan dengan menyuruh-arahkan untuk melakukan ini-itu kerja asing. Tapi pembinaan
dengan pembacaan (refleksi) atas dunia kita sendiri dan upaya yang muncul secara mandiri – sebagai hasil
pembacaan tadi – untuk mengubah dunia kita, lantas perubahan tadi akan memberikan pembacaan yang
baru.
Tentu saja acuan yang digunakan sebagai dasar refleksi dan tindakan nyata-nya bisa beragam, serta
menghasilkan pembacaan dan pengubahan dunia yang juga beragam. Freire nampaknya berpijak dari
humanisme Marxis dalam latar ajaran Kristiani (sebagaimana lazim kita temui pada penganut Teologi
Pembebasan), tapi itu tentu bukan satu-satunya pilihan. Mungkin saja titik pijakan yang berbeda pada
akhirnya menghasilkan pembacaan dan pengubahan yang bisa bekerja sama. Tapi metodologi praksis itu
sendiri harus diejawantahkan terlebih dahulu agar kita bisa menemui sintesis antar berbagai pijakan.
3. Permasalahan Pembinaan Praksis bagi Kaum Pergerakan Indonesia
Permasalahan kita sekarang, terutama kaum pergerakan Indonesia, pembinaan praksis yang sedemikian
memang minim. Hampir tidak dijumpai dalam pergerakan yang berbasis pendidikan, tidak dalam
pergerakan yang berbasis agama, tidak juga dalam basis nasionalis dan sosialis ataupun kesenian kita.
Pe didika kita ke a aka
asih e ga ut siste , a g dala ter Freire dise ut se agai pe didika
ga a a k , a g ri uh e jejejalka il u pada ara-didik agar bisa menjadi mesin penjawab soal yang
ulung. Pergerakan keagamaan pun kini cenderung pragmatis dan verbalistik, semakin tak tahu malu
dengan slogan-slogannya mengkafirkan banyak kerja pemikiran kritis. Sementara kaum nasionalis dan
sosialis sering hanya berkutat di poiesis (aktivisme, kalau dalam istilah Freire) ekonomi-politik, tanpa
wacana, tanpa dasar teori tapi terus bergerak atau malah sibuk dengan eksperimen pemikiran yang tidak
bisa membaca kenyataan. Kesenian? Kita mungkin bingung mana yang layak disebut sebagai pergerakan
kesenian di negeri ini. (Meski kita harus mengakui tanpa pesisimisme bahwa di beberapa elemen
pergerakan tadi memang sudah ada yang ber-praksis).
Sistem yang sudah sangat terbiasa dengan gaya pembinaan non-praksis memang akan limbung saat mulai
mencoba ber-praksis. Ada halangan budaya dan halangan kekuasaan yang harus dilalui oleh perjuangan,
saat kita mulai menggagas pembinaan praksis. Namun demikian, halangan itu tidak boleh dihadapi dengan
cara-cara non praksis oleh para pejuang pembinaan praksis, sebab hal tersebut adalah pengkhianatan
terhadap praksis itu sendiri. (Prinsip ini mungkin tidak selalu bersetuju dengan pandangan kaum
revolusioner, yang mengutamakan perubahan, namun akan dibahas lebih lanjut di kesempatan lain).
Lantas bagaimana mengubah pembinaan non-praksis dalam kaum pergerakan kita bisa diubah menjadi
praksis yang mumpuni? Agaknya kita perlu mulai membaca-ubah dunia kita kini saat kita mulai mencoba
untuk menjawab dan mengerjakan jawabannya.
Oleh: Aphrem Risdo Simangunsong
"Kita memang butuh praksis, tapi tunggu dulu apa yang kamu maksud dengan 'praksis'?"
"Tergantung juga dengan apa yang kamu maksud dengan 'butuh'?
(Dari pembicaraan dua teman mahasiswa, saat mulai berdiskusi soal pembinaan praksis)
Kata praksis e a g seri g diide tikka de ga tradisi pe ikira kau Kiri. Hal i ilah a g e uat
konsep ini agak segan digunakan dalam uraian-uraian umum, walhasil kurang dikenal secara luas.
Masyarakat awam (khususnya di Indonesia) sering mengira praksis itu sama dengan padanan lemahnya
praktis , di a a a g terakhir i i seri g le ih diko otasika se agai hal yang tidak ribet-ribet berteori,
yang penting dapat diterapkan dan manjur di tataran praktik.
Pengertian seperti itu tentu saja menyesatkan. Meski memang benar konsep pemikiran praksis sangat
e eka ka kesahiha pe erapa di lapa ga ke ataa
ahka awal a kata praktis/praktikal pu
seri g dipakai u tuk e gga arka praksis , a u jelas keliru jika praksisme dianggap tidak
didasarkan pada teori yang mendalam, apalagi jika akhirnya kita menyamakan praksis dengan pragmatis.
Maka ada baiknya sebelum beranjak langkah ke pemikiran tentang pembinaan praksis, kita menggali
kembali perkembangan pemaknaan akan istilah praksis, guna memantapkan pijakan pemahaman kita.
1. Perkembangan Pemaknaan Praksis
Penjelasan lugas tentang kata Yunani άξις a a: praxis) – yang merupakan asal istilah praksis ini –
sudah digagas oleh Aristoteles (384-322 SM). Guru filsafatnya Iskandar Agung ini
mendefenisikan praxis sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang yang merdeka. Ia lantas
mengkategorikan praxis sebagai kegiatan yang tujuannya adalah aksi nyata (untuk membedakan
dengan theoria, yang tujuannya adalah kebenarandan poiesis, yang tujuannya adalah produk)1. Praxis pun
dapat dimaknai sebagai sintesis sekaligus awal tesis baru bagi interaksi antara theoria dan poiesis, jika kita
boleh berandai-andai Hegel meminjamkan konsep dialektikanya pada pemahaman Aristoteles ini.
Sumbangsih pembedaan antara poiesis – karya yang produknya langsung terasa/terlihat, dengan theoria –
karya yang lebih kontemplatif (dalam term khas Latin vita activa vs vita contemplativa) juga datang dari
para Doktor Gereja Barat, St. Agustinus (354-430 M) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274 M)2. Sayang
penekanan yang berlebihan pada vita contemplativa dan penyempitan maknanya menjadi hanya sekedar
perenungan keagamaan, membuat Gereja Barat Abad Pertengahan akhirnya terjebak di awang-awang
mistikanya theoria-nya sendiri untuk akhirnya digeser ke dalam posisi ekstrim lain (penekanan vita activa)
1
Aristotle (2004) The Nicomachean Ethics. Trans. J. A. K. Thomson, London: Penguin hal: 207-209
Dalam Suma Tehologia, St. Thomas Aquinas meneruskan pembedaan antara vita contemplativa dan vita activa
ala St. Agustinus. Dalam beberapa artikel, jelas sekali Doktor Gereja ini kendati menghargai hidup yang sifatnya
kerja aktif, namun tetap menanggap hidup kontemplasi berada di atas hidup kerja aktif.
2
selepas Reformasi Protestan – yang dalam kacamata Weber memberi etika baru dengan menekankan
karya poiesis3.
Eropa Barat pun sekian lama kehilangan konsep praksis dalam beriman. Padahal dalam tradisi Gereja
Timur, kedua karya tadi telah disintesiskan dalam konsep praksis ortodoks, yaitu pengejewantahan ajaran
gereja dalam karya sehari-hari dan kegiatan religius dengan memandang ketiganya sebagai satu kesatuan
a g utuh di ahasaka se ara lugas oleh diktu “t.Ma i us: teologi tanpa tindakan, pada hakikatnya
adalah teologi dari setan”).4 Meski di Kekristenan Timur penekanan terhadap kegiatan religius akhirnya
juga sangat terasa (semisal banyaknya yang mengejar kehidupan membiara), demikian pula
perkembangan pemikiran selepas perpisahan dengan Gereja Barat (1054 M) hampir tidak ada lagi, namun
setidaknya Gereja Timur tidak mengidap skizofrenia rohani dengan membeda-bedakan derajat maupun
entitas antara ajaran gereja teoritis dengan praktik sehari-hari seseorang selaku umat gereja.
Apa yang terjadi dalam tradisi Kristiani soal perbedaan penekanan poiesis dan theoria, serta ada tidaknya
konsep praxis sebagai sintesisnya (secara kasar terlihat dalam perbedaan penekanan antara mazhab
Protestan, Katolik Roma dan Ortodoks Timur), kiranya juga terjadi dalam agama-agama lainnya. Tradisi
agama Timur umumnya mengenal konsep praxis dalam pengertiannya sebagai kesatuan dan pergulatan
sinambung antara ajaran dan praktik, meski bukan dalam formula yang lugas, sebab nyaris tidak ada kritik
terhadap ajaran. Pemahaman tradisi Timur soal keseimbangan dan harmoni (misal Yin-Yang dalam tradisi
Ci a pada hakikat a adalah ti daka praksis yang tersembunyi 5. Sementara Islam di awal
perkembangannya sampai Era Empat Imam Besar masih sangat menekankan poiesis. Ajaran-ajaran Islam
di masa itu terutama sekali menekankan perbuatan dan produk nyatanya. Meski demikian dalam
merumuskan bagaimana seseorang berbuat, para ulama sering kali berusaha membaca kenyataan dan
mencari analoginya pada Kitab Suci dan Hadits/Sunnah Rasul dengan metode itjihad sedangkan hasilnya
masih boleh dipertentangkan dengan hasil itjihad lain yang dianggap sahih (jadi boleh dikatakan sebagai
orientasi poiesis yang agak praxis meski kegiatannya hanya terbatas pada kaum elit, yaitu ulama/orang
yang dinilai mampu)6. Selepas perkenalan dengan filsafat Yunani (terutama Aristoteles yang
diperkenalkan oleh al-Kindi 801-873 M), dalam keislaman ilmu pengetahuan pun mulai berkembang dan
menjalani banyak aspek praksis. Namun hampir dapat dikatakan kegiatan praksis dalam ajaran pokok
agama adalah hal yang tabu. Agaknya hampir semua pemikir besar Islam mengambil sikap bahwa Kitab
Suci dan Hadits/Sunnah Rasul adalah theoria yang agung dan tidak boleh diutak-atik dalam tindakan
praksis, sedangkan theoria yang lain silahkan saja (bahkan harus) dipraksiskan sehingga menjadi ilmu yang
islami7.
Minggat dari tafsiran agamawi, Karl Marx (1818-1883) juga memberi sumbangsih soal praksis sebagai
tindakan politis-ekonomis. Sosiolog Antonio Labriola memang menyebut Filsafat Ekonomi-Politik Marx
sebagai filsafat praksis, ini ditunjukkan lewat sindiran Marx untuk teolog Feuerbach: Para filsuf
hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang paling penting adalah mengubah dunia. 8
3
Weber, Max (2002) "The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism" translated by Peter Baehr and Gordon C.
Wells. London: Penguin Books. Hal 14-15
4
Lihat Koleksi Edinburgh (2010): Mission among Other Faiths: An Orthodox Perspective
5
Lihat Palmquist, Stephen (2007) Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bab IV dan V
6
Lihat misalnya Maulana Muhammad Ali (1996) Islamologi. Jakarta: DK Islamiyah, Bab 3
7
Lihat misalnya Badri Yatim (1996) Sejarah Peradaban Islam II. Jakarta Raja Grafindo Persada,hal 56-57 atau
Montgomery Watt (1987) Sejarah Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, hal 54-113.
8
Marx, Karl (1845) Theses on Feurbach: XI dalam marxist.org
Walhasil sejak saat itu praksis sering dimaknai sebagai tindakan politis-ekonomis yang memberi
perubahan nyata. Suatu perjuangan kelas untuk pembebasan. Di Indonesia tafsiran seperti inilah yang
sering malah kebablasan dimaknai oleh kaum pergerakan (mahasiswa dan buruh), dengan menganggap
hanya tindakan ekonomis dan politis-lah (dalam pengertian sempitnya) yang layak disebut sebagai
kegiatan ber-praksis sehingga menganggap rendah kegiatan berdiskusi/berwacana yang cenderung dicap
teoritis9.
Sumbangan lebih anyar dan mumpuni tentang praksis memang datang dari penerus sekaligus kritikus
tradisi Marxian. Untuk kesempatan kali ini, cukuplah kita catatkan dua tokoh sosial-politik, Juergen
Habermas (1929 - … dan Hannah Arendt (1906-1975) serta satu tokoh pendidikan, Paulo Freire (19211997).
Dalam pengertian Habermas ada kritik terhadap konsep praksis Marxian yang belakangan sering jadi
terlalu mengarah pada kerja poiesis politik-ekonomi. Bagi Habermas praksis adalah tindakan komunikatif.
Dalam tindakan komunikatif inilah, individu menjadi obyek aktif dari perubahan sosial.10 Jadi dalam
pengertian ini, bolehlah dikatakan bahwa alm. Nurcholish Madjid (1939-2005), misalnya, adalah juga
tokoh yang ber-praksis. Karena meski hampir seluruh karyanya hanya ada di tataran wacana (entah
tulisan, diskusi, ceramah, dll.) namun itu bukanlah wacana mengawang theoria semata. Jelas sekali diakui
pembacaannya atas kenyataan dan sumbangsihnya bagi perubahan cara pandang kaum Islam Indonesia.
Hal yang sama tentu dapat pula disematkan pada Marx bukan? Sebab Marx pun seringnya berwacana, ia
bukanlah Lenin, Mao atau Che, yang berwacana sekaligus memimpin revolusi.
Arendt nampaknya ingin mengembalikan simpanan pengertian praksis Aristotelian beserta bunganya.
Dalam The Human Condition, filsuf perempuan ini berpendapat bahwa kapasitas kita untuk terlibat aktif
dalam praksis, yaitu kegiatan menganalisis ide-ide sekaligus bergelut nyata dengan ide-ide tersebut,
adalah hal unik yang membedakan manusia dari makhluk lain. Karenanya Arendt menyebut praksis
sebagai tingkatan tertinggi dan terpenting dalam tindak-hidup manusia.11
Sementara itu Freire, tokoh revolusi pendidikan Amerika Selatan yang juga telah mengerjakan praktik
pe didika , e defe isika praksis se agai refleksi sekaligus tindakan nyata terhadap dunia dalam
rangka mengubahnya . Bagi Freire pe isaha a tara refleksi da ti daka , de ga pe eka a a g satu
dan pengorbanan yang lain, bukanlah perjuangan, bukan pula pendidikan (pembinaan). Pemisahan itu
hanya akan menghasilkan verbalisme yang bermuara slogan di satu sisi (mengorbankan tindakan), atau
aktivisme yang bermuara rentetan program kerja di sisi ekstrim lain (mengorbankan refleksi). Lebih lanjut
Freire e eri o toh ahwa kata adalah sa pel a g tepat untuk sebuah praksis. Tidak pernah ada
kata sejati yang bukan merupakan hasil sintesis antara refleksi dan tindakan.12
Dari beberapa perkembangan pemahaman tadi dapatlah kita menyimpulkan bahwa praksis adalah suatu
tindakan dengan kualitas-kualitas: (1) kemerdekaan pelakunya, (2) kesatuan dan sintesis utuh antara
pengetahuan teori dan praktik, ini mengandung makna pengetahuan adalah sekaligus keterlibatan, (3)
berpijak dari kenyataan dan pembacaan dunia pelakunya, (4) menghasilkan kerja nyata yang mengubah
Lihat misalnya Firdaus Putra A. (2008). Praksis – Praxis? dalam Mengintipdunia.blogspot.com
Habermas, J. (1973). Theory and Practice. trans. J. Viertel, Boston, MA.: Beacon Press/ Cambridge: Polity Press.
Bab 7
11
Arendt, Hannah (1958) The Human Condition hal 97:, dalam Women-philosophers.com.
12
Freire, P (2008). Pendidikan Kaum terindas. Terj Tim LP3ES, Jakarta: LP3ES. Bab 3.
9
10
dan refleksi yang tajam membaca dunia, (5) bersifat komunikatif, tidak pernah satu arah, dan (6) bersifat
dialektis sinambung antara pengerjaan dan refleksi.
2. Praksis Sebagai Bentuk Pembinaan
Pengertian tadi agaknya lebih mengena pada apa yang kita maksudkan, saat membahas pembinaan
praksis. Kesatuan utuh antara refleksi dengan tindakan nyata terhadap dunia, itulah yang kita harapkan
terjadi dalam pembinaan. Orang yang mengalami pembinaan memperoleh pengetahuan dalam
keterlibatannya dengan dunia, yaitu dengan membaca sekaligus berusaha mengubah dunianya. Kerja
perenungannya mengarah pada upaya nyata, dan kerjanya di upaya nyata mengarah pada pembaruan
perenungannya. Ini bukanlah pembinaan dengan menjejal-diktekan banyak-banyak pengetahuan asing,
bukan pula pembinaan dengan menyuruh-arahkan untuk melakukan ini-itu kerja asing. Tapi pembinaan
dengan pembacaan (refleksi) atas dunia kita sendiri dan upaya yang muncul secara mandiri – sebagai hasil
pembacaan tadi – untuk mengubah dunia kita, lantas perubahan tadi akan memberikan pembacaan yang
baru.
Tentu saja acuan yang digunakan sebagai dasar refleksi dan tindakan nyata-nya bisa beragam, serta
menghasilkan pembacaan dan pengubahan dunia yang juga beragam. Freire nampaknya berpijak dari
humanisme Marxis dalam latar ajaran Kristiani (sebagaimana lazim kita temui pada penganut Teologi
Pembebasan), tapi itu tentu bukan satu-satunya pilihan. Mungkin saja titik pijakan yang berbeda pada
akhirnya menghasilkan pembacaan dan pengubahan yang bisa bekerja sama. Tapi metodologi praksis itu
sendiri harus diejawantahkan terlebih dahulu agar kita bisa menemui sintesis antar berbagai pijakan.
3. Permasalahan Pembinaan Praksis bagi Kaum Pergerakan Indonesia
Permasalahan kita sekarang, terutama kaum pergerakan Indonesia, pembinaan praksis yang sedemikian
memang minim. Hampir tidak dijumpai dalam pergerakan yang berbasis pendidikan, tidak dalam
pergerakan yang berbasis agama, tidak juga dalam basis nasionalis dan sosialis ataupun kesenian kita.
Pe didika kita ke a aka
asih e ga ut siste , a g dala ter Freire dise ut se agai pe didika
ga a a k , a g ri uh e jejejalka il u pada ara-didik agar bisa menjadi mesin penjawab soal yang
ulung. Pergerakan keagamaan pun kini cenderung pragmatis dan verbalistik, semakin tak tahu malu
dengan slogan-slogannya mengkafirkan banyak kerja pemikiran kritis. Sementara kaum nasionalis dan
sosialis sering hanya berkutat di poiesis (aktivisme, kalau dalam istilah Freire) ekonomi-politik, tanpa
wacana, tanpa dasar teori tapi terus bergerak atau malah sibuk dengan eksperimen pemikiran yang tidak
bisa membaca kenyataan. Kesenian? Kita mungkin bingung mana yang layak disebut sebagai pergerakan
kesenian di negeri ini. (Meski kita harus mengakui tanpa pesisimisme bahwa di beberapa elemen
pergerakan tadi memang sudah ada yang ber-praksis).
Sistem yang sudah sangat terbiasa dengan gaya pembinaan non-praksis memang akan limbung saat mulai
mencoba ber-praksis. Ada halangan budaya dan halangan kekuasaan yang harus dilalui oleh perjuangan,
saat kita mulai menggagas pembinaan praksis. Namun demikian, halangan itu tidak boleh dihadapi dengan
cara-cara non praksis oleh para pejuang pembinaan praksis, sebab hal tersebut adalah pengkhianatan
terhadap praksis itu sendiri. (Prinsip ini mungkin tidak selalu bersetuju dengan pandangan kaum
revolusioner, yang mengutamakan perubahan, namun akan dibahas lebih lanjut di kesempatan lain).
Lantas bagaimana mengubah pembinaan non-praksis dalam kaum pergerakan kita bisa diubah menjadi
praksis yang mumpuni? Agaknya kita perlu mulai membaca-ubah dunia kita kini saat kita mulai mencoba
untuk menjawab dan mengerjakan jawabannya.