PERATURAN PERUSAHAAN P.T. X BERKEDUDUKAN
PERATURAN PERUSAHAAN
P.T. X
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
MAKALAH
Untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan
mata kuliah Perjanjian Kerja
Program Studi S1-Reguler
1.
2.
3.
4.
Dibuat Oleh:
IMAN FIRMANSYAH
03/167418/HK/16317
BUDI WIBOWO HALIM 07/252561/HK/17596
M. IQBAL HASBI ASIDIQ 07/252485/HK/17579
MUDZAKIR
08/273528/EHK/00540
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
I. PENDAHULUAN
1
II. TINJAUAN NORMATIF
3
1. Pengertian
5
2. Penyusunan Peraturan Perusahaan
6
3. Jumlah Peraturan Perusahaan
7
4. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan
7
5. Hubungan Antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja
Bersama
8
6. Pengesahan Peraturan Perusahaan
9
III. ANALISIS YURIDIS ATAS PERATURAN PERUSAHAAN PT. X,
BERKEDUDUKAN
DI JAKARTA
11
IV. KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
22
PERATURAN PERUSAHAAN
P.T. X
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
I. PENDAHULUAN
HukumPerburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak
yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja padaorang lain dengan
menerima upah.
1
Kata “per-buruh-an”, yaitu kejadian atau kenyataan di mana
seseorang biasanya disebut buruh,bekerja pada orang lain,biasanya disebut
majikan,dengan menerima upah, dengan sekaligus mengenyampingkan persoalan
antara pekerjaan bebas (di luar hubungan kerja) dan pekerjaan yang dilakukan di
bawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, mengenyampingkan pula persoalan
antara pekerjaan (arbeid) dan pekerja (arbeider).
2
Peristiwa perburuhan
merupakan suatu peristiwa hukum karena menimbulkan hak dan kewajiban bagi
buruh maupun majikan. Menurut Prof. Iswandari, hak merupakan setiap
kepentingan (belang) yang dilindungi hukum. Kepentingan sendiri merupakan
tuntutan perorangan atau kelompok yang diharaopkan akan dipenuhi. Sedangkan
kewajiban merupakan beban yang timbul dari suatu perikatan, baik perikatan
menurut undang-undang maupun perikatan berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini,
hak dan kewajiban buruh dan majikan timbul dari hubungan perburuhan yang
berdasarkan perjanjian, berupa perjanjian kerja.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pemberi
kerja/pengusaha/majikan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak (Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban mana diatur lebih spesifik dalam Peraturan Perusahaan dan
Perjanjian Kerja Bersama. Perjanjian Kerja sendiri tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 15 ayat 2 UU Ketenagakerjaan).
Peraturan Perusahaan dibuat oleh perusahaan yang memperkerjakan
minimal sepuluh (10) orang. Peraturan Perusahaan memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban buruh dan pengusaha secara lebih rinci serta tata tertib
perusahaan, yang dibuat oleh pemberi kerja/pengusaha, dapat disusun dengan
1
2
Prof.Iman Soepomo,S.H., 1999.Cet.12. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta.
Hal.3.
Ibid.
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan. Walau demikian, tanggung jawab pembuatan peraturan
perusahaan ada pada pihak pengusaha sepenuhnya, yang artinya lebih pada
kebijakan pengusaha untuk menentukan isi dari Peraturan Perusahaan tersebut.
Pembentuk undang-undang melihat bahwa keadaan tersebut akan membuat suatu
ketimpangan posisi antara buruh dan pengusaha sehingga dalam pasal 108 ayat 1
UU Ketenagakerjaan diatur bahwa Peraturan Perusahaan baru mulai berlaku
setelah mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam
tulisan ini, peneliti mengacu pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
diberi wewenang untuk mengesahkan Peraturan Perusahaan di Jakarta Selatan.
Peraturan Perusahaan diatur dalam Bagian Keenam Bab XI UU Ketenagakerjaan
jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta
Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Pengesahan ini dimaksudkan bahwa Pejabat yang berwenang untuk
memberi pengesahan, meneliti kelengkapan syarat formal serta substansi dari
Peraturan Perusahaan, yang mana kualitas substansinya tidak boleh lebih rendah
dari peraturan perundang-undangan untuk mengatasi ketimpangan posisi di atas.
Pengesahan ini berbeda dengan pendaftaran yang dilakukan untuk Perjanjian
Kerja Bersama karena Perjanjian Kerja Bersama dibuat bersama-sama oleh pihak
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pengusaha, yang mana berlaku syarat sahnya
perjanjian, sehingga pendaftaran disini dimaksudkan untuk menjadi alat
monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di
perusahaan dan sebagai rujukan utama apabila terjadi perselisihan pelaksanaan
Perjanjian Kerja Bersama.
Peneliti ingin meneliti isi dari Peraturan Perusahaan yang telah
mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwenang untuk mengetahui kerangka
sudut pandang Pengusaha sebagai penyusun peraturan Perusahaan yang
dibandingkan dengan ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan pada Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Peraturan Perusahaan dan pengesahannya.
II. TINJAUAN NORMATIF
Semula peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 1601 j sampai dengan
Pasal 1601 m Buku III KUH Perdata. Peraturan perusahaan hanya memuat syaratsyarat kerja tidak termasuk tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan tidak
diwajibkan kepada perusahaan. Buruh terikat pada peraturan perusahaan jika
dalam perjanjian kerja menyetujui secara tertulis mengenai peraturan perusahaan.
Adapun agar peraturan perusahaan yang dibuat pengusaha dapat mengikat buruh,
harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.
jika buruh secara tertulis telah menyetujui peraturan perusahaan tersebut;
2.
satu eksemplar peraturan perusahaan diberikan secara cuma-cuma kepada
buruh;
3.
satu eksemplar peraturan perusahaan diserahkan kepada Kementerian
Perburuhan yang tersedia untuk dibaca oleh umum;
4.
satu eksemplar peraturan perusahaan ditempelkan di perusahaan yang mudah
dibaca oleh buruh.
Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-
02/MEN/1976 tanggal 11 Juli 1976 tentang Peraturan Perusahaan Yang dimaksud
dengan Peraturan Perusahaan dalam peraturan Menteri ini adalah satu peraturan
yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
syarat-syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan. Selain
ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja, peraturan perusahaan dapat juga
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata tertib perusahaan. Dengan demikian,
peraturan perusahaan tidak hanya memuat syarat-syarat kerja saja, tapi juga
memuat ketentuan tentang tata tertib perusahaan.
Peraturan perusahaan diwajibkan kepada perusahaan yang mempekerjakan
50 (lima puluh) orang buruh/lebih. Peraturan perusahaan harus disahkan oleh:
Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Departemen
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi jika perusahaan itu ada di
wilayah beberapa Kantor Daerah Tenaga Kerja.
Kepala Kantor Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi, jika perusahaannya hanya ada di wilayah satu Kantor Daerah
Tenaga Kerja.
Setelah peraturan perusahaan disahkan, pimpinan perusahaan mempunyai
kewajiban sebagai berikut :
–
Memberikan peraturan perusahaan kepada buruh dengan cuma-cuma.
–
Peraturan perusahaan ditempel di perusahaan yang mudah dibaca buruh.
–
Peraturan perusahaan diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan
Perawatan dan Kepala Kantor Daerah Tenaga Kerja tempat perusahaan itu
berada.
Masa berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun. Jika
masa berlakunya peraturan perusahaan telah berakhir maka wajib dibuat peraturan
perusahaan yang baru atau dibuat perjanjian perburuhan. Kemudian Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi Nomor: PER02/MEN/1976 tentang Peraturan
Perusahaan dicabut oleh Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi Nomor: PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan
Perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan.
Menurut Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
Nomor: PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan
Pembuatan Perjanjian Perburuhan, peraturan perusahaan ialah peraturan yang
dibuat secara tertulis yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat
kerja serta tata tertib perusahaan. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 25 (dua
puluh lima) orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.
Peraturan perusahaan harus disahkan oleh:
Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Departemen
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, jika perusahaan itu terdapat
dalam daerah beberapa Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perlindungan
dan Perawatan Tenaga Kerja.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja,
jika perusahaan tersebut berada di daerah satu Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.
Setelah peraturan perusahaan disahkan, pengusaha mempunyai kewajiban:
Memberitahukan isi peraturan perusahaan yang telah disahkan kepada buruhburuhnya di hadapan pegawai Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Perawatan Tenaga Kerja.
Memberikan peraturan perusahaan kepada setiap buruhnya.
Menempelkan peraturan perusahaan di tempat yang mudah dibaca buruh.
Perusahaan berlaku paling lama 2 (dua) tahun. Selama berlakunya
peraturan perusahaan, pengusaha tidak boleh menghalang-halangi terbentuknya
serikat buruh di perusahaan. Jika peraturan perusahaan telah berakhir masa
berlakunya, pengusaha wajib membuat peraturan perusahaan yang baru.
Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa
berlakunya masih tetap berlaku sampai disahkannya peraturan perusahaan yang
baru atau kalau dibuat perburuhan, sampai ditandatanganinya perjanjian
perburuhan tersebut. Ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan ini kemudian
diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo.
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama jo.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER-08/MEN/III/2006
tanggal 29 Maret 2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama.
1. Pengertian
Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib. Adapun yang
dimaksud dengan pengusaha adalah:
a.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara bcrdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b berkedudukan di wilayah Indonesia.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat Peraturan Perusahaan. Kewajiban membuat
Peraturan Perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah Perjanjian Kerja
Bersama.
Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a.
Hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.
syarat kerja;
d.
Tata tertib kerja;
e.
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dipandang dari segi kedudukannya, Perjanjian Kerja Bersama dan
Peraturan Perusahaan sebagai kaidah-kaidah otonom dapat menciptakan hubungan
kerja yang lebih aspiratif-demokratis, manusiawi, dan dapat terlaksana
(applicable),
adaintervensi
karena
perumusannya
diserahkan
pada
pemerintah.Sehingga,materi/substansi
akan
para
pihak
lebih
tanpa
mendekati
kepentingan para pihak. 3
2. Penyusunan Peraturan Perusahaan
Peraturan Perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab
Pengusaha.
Pengusaha
harus
menyampaikan
naskah
rencana
Peraturan
Perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk
mendapatkan saran dan pertimbangan.
Mengenai wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagai
berikut:
1.3 Dr.Agusmidah,S.H.,M.Hum,
wakil pekerja/buruh dipilih
oleh pekerja/bunih
secara demokratis
mewakili
2010. Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia.
Penerbit Ghalia
Indonesia. Bogor. Hal.47.
dari setiap unit kerja yang ada di perusahaan;
2.
dalam hal di penisahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh;
3.
dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, tetapi
keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan,
maka wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh
dan
wakil
pekerja/buruh
yang
tidak
menjadi
anggota
serikat
pekerja/serikat buruh.
Adapun saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan Peraturan Penisahaan hams
sudah diterima pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
Dalam hal wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan
pertimbangan maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh.
Apahila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, wakil pekerja/ buruh
tidak memberikan saran dan pertimbangan, pengusaha dapat meminta pengesahan
Peraturan Perusahaan dengan melampirkan bukti bahwa telah minta saran dan
pertimbangan kepada wakil pekerja/buruh.
Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap
Peraturan Perusahaan yang disampaikan oleh pengusaha.
3. Jumlah Peraturan Perusahaan
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) Peraturan Perusahaan
yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Dalam hal perusahaan memiliki cabang maka peraturan perusahaan induk
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat Peraturan Perusahaan
turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan. Peraturan Perusahaan
induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan, sedangkan Peraturan Perusahaan turunan memuat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan
masing-masing. Dalam hal Peraturan Perusahaan induk telah berlaku di
perusahaan tetapi dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang
perusahaan, maka Selama Peraturan Perusahaan turunan belum disahkan tetap
berlaku Peraturan Perusahaan induk.
Jika beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masingmasing
perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka masingmasing
perusahaan membuat Peraturan Perusahaan sendiri-sendiri.
4. Jangka Waktu berlakunya Peraturan Perusahaan
Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan
wajib diperbarui setelah habis masa berlakunya. Peraturan Perusahaan mulai
berlaku setelah disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan.
Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi Peraturan
Perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya Peraturan Perusahaan, maka
perubahan harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekeria/buruh apabila di perusahaan tidak
ada serikat pekerja/serikat buruh. Perubahan Peraturan Perusahaan harus dapat
pengesahan
dari
Kepala
Instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
Ketenagakerjaan. Apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan pengesahan,
perubahan Peraturan Perusahaan dianggap tidak ada.
Mengenai pembaruan Peraturan Perusahaan, pengusaha wajib mengajukan
pembaruan Peraturan Perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
berakhir masa berlakunya Peraturan Perusahaan kepada Kepala Instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang Ketenagakerjaan. Apabila pembaruan Peraturan
Perusahaan mendapat perubahan materi, maka harus didasarkan atas kesepakatan
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pckerja/buruh
apabila di perusahaan tidak terdapat serikat pekerja/serikat huruh.
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perusahaan yang telah berakhir
masa berlakunya masih tetap berlaku sampai disahkannya peraturan perusahaan
yang baru.
Selama
masa
berlakunya
peraturan
perusahaan,
apabila
serikat
pekerja/buruh menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha wajib melayani. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktunya.
5. Hubungan Antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
Hubungan antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
adalah sebagai berikut:
a.
Ketentuan-ketentuan Peraturan Perusahaan yang telah berakhir masa
berlakunya, masih tetap berlaku sampai ditanda datangani perjanjian kerja
bersama;
b.
Dalam hal di perusahaan telah di lakukan perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan maka
pengusaha
wajib
mengajukan
pengesahan
pembaruan
Peraturan
Perusahaan.
6. Pengesahan Peraturan Perusahaan
Agar dapat berlaku di perusahaan, Peraturan Perusahaan harus disahkan.
Mengenai prosedur pengesahan Peraturan Perusahaan sebagai berikut:
1.
Pengusaha
harus
mengajukan
permohonan
pengesahan
Peraturan
Pemsahaan kepada:
a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan di
provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu)
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1
(satu) provinsi.
2.
Permohonan pengesahan harus dilengkapi:
a. Permohonan tertulis yang harus memuat:
1. nama dan alamat perusahaan;
2. nama pimpinan perusahaan;
3. wilayah operasi perusahaan;
4. status perusahaan;
5. jenis bidang usaha;
6. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
7. status hubungan kerja;
8. upah tertinggi dan terendah;
9. nama dan alamat serikat pekerja/serikat bumh (kalau ada);
10. nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (kalau ada);
11. masa berlakunya peraturan perusahaan;
12. pengesahan peraturan perusahaan untuk yang ke berapa.
b. Naskah peraturan perusahaan dibuat rangkap 3 (tiga) yang telah
ditandatangani oleh pengusaha.
c. Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/buruh.
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan harus
meneliti kelengkapan dokumen dan meneliti materi peraturan perusahaan
yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang
berlaku.
Kepala
instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
Ketenagakerjaan mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan
Surat keputusan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya permohonan pengesahan yang memenuhi persyaratan di atas
dan tidak lebih rendah dari peraturan perun-dang-undangan yang berlaku.
4.
Dalam hal pengajuan permohonan pengesahan, peraturan perusahaan tidak
memenuhi kelengkapan dan/atau terdapat materi peraturan perusahaan
yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan
pengesahan, maka permohonan pengesahan dikembalikan secara tertulis
untuk dilengkapi atau diperbaiki. Pengusaha wajib menyampaikan
peraturan perusahaan yang telah dilengkapi atau diperbaiki dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak peraturan pemsahaan
dikembalikan. Apabila hal di atas tidak ditaati, maka perusahaan
dinyatakan
tidak
mengajukan
permohonan
pengesahan
peraturan
perusahaan. Dengan demikian, dianggap perusahaan tidak memiliki
peraturan perusahaan.
Adapun kewajiban Pengusaha setelah Peraturan Perusahaan disahkan oleh
Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan adalah
memberitahukan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahan kepada pekerja/buruh.
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan
perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, dan menempelkan di tempat yang mudah
dibaca oleh para pekerja/buruh atau memberikan penjelasan langsung kepada
pekerja/buruh.
Selain melakukan pemberitahuan dan pembagian naskah peraturan
perusahaan, pengusaha juga wajib memberikan penjelasan tentang isi peraturan
perusahaan tersebut kepada pekerja/buruh.
III.ANALISIS YURIDIS ATAS
PERATURAN
PERUSAHAAN
PT.
X,
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
Peraturan Perusahaan yang akan dibahas Penulis adalah Peraturan
Perusahaan PT. X, berkedudukan di Jakarta, yakni perusahaan berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Akta nomor 95, tanggal 25
Juli 1996, atas anggaran dasar tersebut telah mendapat pengesahan dari Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia seperti ternyata dari Surat
Keputusan nomor C2-7956.HT.01.01.TH.97 tanggal 14 Agustus 1997 dan telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 9 tanggal 29 Januari
1998, Tambahan nomor 649 (selanjutnya disebut perusahaan). Pada saat peraturan
perusahaan ini dibuat yakni tanggal 03 Januari 2006, belum berlaku UndangUndang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sehingga Perusahaan ini
tunduk pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UUPT lama). Peraturan Perusahaan ini dibuat oleh Direksi
yang telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengurus perseroan
(Pasal 1 ayat 4 UUPT lama), dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur, sesuai
dengan Anggaran Dasar Perseroan.
Bentuk dari Peraturan Perusahaan ini berupa Surat Keputusan Manajemen
PT. X Nomor 001/ALT/KM/I/2006 tentang Peraturan Perusahaan PT. X tanggal
03 Januari 2006. Bentuk ini, menurut penulis kurang tepat karena istilah
manajemen tidak dikenal sebagai anggota/organ dalam perusahaan baik dalam
Anggaran Dasar Perseroan (standard draft) maupun UUPT lama. Hal ini
berpengaruh terhadap dasar pengambilan kebijakan perusahaan termasuk di
dalamnya menetapkan Peraturan Perusahaan. Mengutip Pasal 1 ayat 4 UUPT
lama, maka seharusnya Peraturan Perusahaan ini berbentuk Surat Keputusan
Direksi PT. X.
Konstruksi Hukumnya SK tersebut telah mengikuti pola produk peraturan
perundang-undangan dengan terdapat bagian menimbang, mengingat dan
memutuskan. Hanya saja, di bagian mengingat, belum dicantumkan mengenai
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP232/MEN/2003 tentang Akibat Mogok yang tidak sah; dan Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta nomor 2093 tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP) tahun 2006 di Provinsi DKI Jakarta.
Isi Peraturan Perusahaan ini terdiri dari 17 bab (Bab I sampai dengan Bab
XVII) dan 59 Pasal. Format Peraturan Perusahaan ini sudah sesuai dengan Pasal
111 ayat 1 UU Ketenagakerjaan yakni memuat seperti dijelaskan dalam bagian II
poin 1 makalah ini.
Isi Pasal demi Pasal :
1.
Pasal 1 sampai dengan pasal 7 berisi tentang Bagian-bagian umum dari
Peraturan Perusahaan ini meliputi berturut-turut : Ketentuan Umum;
Struktur Organisasi Perusahaan; Tanggung Jawab Direksi dan Karyawan;
Kewenangan berkaitan dengan masalah keuangan Perusahaan; Produk
Hukum dalam Manajemen Perusahaan; Keputusan dan Surat Keputusan;
dan Hirarki Peraturan Perusahaan.
2.
Pasal 8 sampai dengan pasal 12 berisi tentang Penerimaan Karyawan,
meliputi berturut-turut : Dasar-Dasar Penerimaan, Penempatan dan Mutasi
Karyawan;
Penerimaan
Karyawan;
Proses
Seleksi;
Pengangkatan
Karyawan; dan Masa Percobaan.
Dari pasal 11 dan pasal 12 dapat disimpulkan bahwa perusahaan ini
menggunakan karyawan tidak tetap (dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu/PKWT) dan karyawan tetap (dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu/PKWTT). Pasal 12 ayat (2) PP diatur menurut Pasal 154
poin a yang mengatur PHK dalam masa percobaan tanpa prosedur apapun.
Pasal 12 ayat (6) dan ayat (7) PP mengutip Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2)
UU Ketenagakerjaan yang meniadakan masa Percobaan dalam PKWT.
Pasal 12 ayat (5) :
PP
UU Ketenagakerjaan
Pasal 12 ayat (5)
Pasal 60 ayat (1)
Karyawan akan memperoleh
kedudukan
sebagai
Karyawan Tetap setelah yang
bersangkutan
menjalani
masa percobaan selama 3
(tiga) bulan hingga 6 (enam)
bulan dan hasil evaluasinya
menunjukkan
bahwa
Karyawan tersebut dapat diterima sebagai Karyawan
Tetap.
3.
Tanggapan
Karena lebih dari 3
bulan yang diatur dalam
Perjanjian kerja untuk
Undang-Undang, maka
waktu tidak tertentu dapat
dianggap 3 bulan setelah
mensyaratkan masa permasa percobaan itu
cobaan kerja paling lama
sudah berstatus sebagai
3 (tiga) bulan.
Karyawan Tetap, karena
masih
diperkerjakan
setelah
lewat
masa
percobaan.
Pasal 13 PP mengatur mengenai masa kerja dalam hubungan kerja.
PP
UU Ketenagakerjaan
Tanggapan
Pasal 13 ayat (1)
Pasal 61 ayat (1)
Hubungan
kerja
antara
Karyawan dan perusahaan
terjadi sejak ditandatanganinya perjanjian kerja oleh
kedua belah pihak dan akan
berakhir pada saat pemutusan hubungan kerja oleh para
pihak.
Perjanjian kerja berakhir
apabila :
a. pekerja meninggal
dunia;
b. berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan
atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan
Dalam Pasal 13 ayat (1)
PP disebutkan bahwa
hubungan kerja berakhir
pada saat pemutusan
hubungan kerja oleh para
pihak. Walaupun dilihat
dari
UU
Ketenagakerjaan,
keadaannya
kurang
disebutkan,
namun
dalam Pasal 55 ayat (2)
hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau
kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama yang dapat
menyebabkan
berakhirnya
hubungan
kerja.
4.
mengatur
bahwa
ketentuan PP mengenai
PHK mengacu pada UU
Ketenagakerjaan,
sehingga tetap berlaku 4
keadaan
berakhirnya
perjanjian
kerja
di
samping.
Pasal 14 sampai dengan pasal 18 PP mengatur tentang berturut-turut :
Pengangkatan menjadi Karyawan Tetap; Status dan Golongan Karyawan;
Mutasi; Promosi; dan Demosi;
5.
Pasal 19 sampai dengan pasal 24 PP mengatur tentang Peraturan Kerja,
meliputi berturut-turut : Kartu Tanda Pengenal; Tanggung Jawab
Perusahaan; Tanggung Jawab Karyawan; Rahasia Jabatan; Tanggung
Jawab Pengawasan; dan Hak Milik Intelektual;
6.
Pasal 25 sampai dengan pasal 27 PP mengatur tentang waktu kerja,
meliputi berturut-turut : Jam kerja; mangkir; dan hari libur resmi;
PP
UU Ketenagakerjaan
Pasal 25
Hari kerja
Waktu kerja 5 hari dalam
seminggu, senin-jum’at, dari
08.30 WIB sampai dengan
17.00 WIB, jam istirahat
12.00 WIB sampai dengan
13.00 WIB, jadi waktu kerja
7,5 jam/hari.
Tanggapan
Jam kerja pada PP tidak
melebihi batas maksimal
Pasal 77 ayat (2) huruf b
ketentuan
UU
8 (delapan) jam 1 (satu) Ketengakerjaan
hari dan 40 (empat puluh) sedangkan jam istirahat
jam 1 (satu) minggu un- pada PP melebihi batas
tuk 5 (lima) hari kerja minimal ketentuan UU
dalam 1 (satu) minggu
Ketenagakerjaan.
Pasal 79 ayat (2) huruf a
istirahat antara jam kerja,
sekurang
kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja
Pasal 26 ayat (2)
Pasal 168 ayat (1)
Bila seorang Karyawan
melakukan mangkir selama 5
(lima) hari kerja berturut-turut
ataupun
Karyawan
melakukan mangkir selama
Pekerja/buruh
yang
mangkir selama 5 (lima)
hari kerja atau lebih
berturut-turut
tanpa
keterangan secara ter tulis
PP sudah sesuai dengan
UU ketenagakerjaan
10 hari tidak berturut-turut
dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan maka perusahaan akan
memanggil Karyawan tersebut secara patut dan tertulis
maksimal 2 (dua) kali. Apabila perusahaan tidak mendapatkan tanggapan maka
Karyawan dianggap telah
mengundurkan diri dari perusahaan dan berdasarkan
hal tersebut perusahaan akan
mengirimkan pemberitahuan
tertulis kepada karyawan,
dan akan diproses sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
Pasal 27
7.
yang dilengkapi dengan
bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha
2 (dua) kali secara patut
dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
Pasal 28 sampai dengan pasal 34 PP mengatur mengenai Cuti Karyawan,
meliputi berturut-turut : Cuti Tahunan; Penggunaan Hak Cuti Tahunan;
Gugurnya Hak Cuti; Cuti Haid; Cuti Hamil dan Keguguran; Cuti
Istimewa; dan Cuti Sakit.
Pasal 28 PP mengatur cuti tahunan selama 12 hari, bagi pekerja yang telah
bekerja selama 12 bulan berturut-turut, sesuai dengan pasal 79 ayat (2)
huruf c.
Pasal 30 PP mengatur gugurnya hak cuti yang tidak diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, walaupun UU Ketenagakerjaan membuka peluang
gugurnya cuti tahunan seperti ternyata pada pasal 156 ayat (4) huruf a.
Pasal 31, pasal 32, pasal 33 dan pasal 34 masing-masing berturut-turut
mengatur Cuti Haid; Cuti Hamil dan Keguguran; Cuti Istimewa; dan Cuti
Sakit yang masing-masing berturut-turut sesuai dengan dan merupakan
pengaturan lebih lanjut dari pasal 81, pasal 82, pasal 83, dan pasal 93 UU
Ketenagakerjaan.
8.
Pasal 35 sampai dengan pasal 38 PP mengatur mengenai pengupahan,
meliputi berturut-turut : Dasar-dasar Pengupahan; Masa Perhitungan
Upah;
Pemotongan
Upah;
dan
Pengganti
Upah
jika
Tetap
ditahan/dipenjara. Pasal 35 PP mengenai Dasar-dasar pengupahan
mengacu pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 2093
tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun
2006 di Provinsi DKI Jakarta yang menyebutkan upah minimum provinsi
sebesar Rp. 819.100,- (delapan ratus Sembilan ratus ribu seratus Rupiah).
Pasal 37 PP mengenai pemotongan upah untuk jamsostek akan dibahas
pada pasal 44 PP.
Pasal 38 PP mengacu pada pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
9.
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 PP mengatur mengenai Kesejahteraan
dan Tunjangan Kesejahteraan, meliputi berturut-turut : Tunjangan Hari
Raya; Tunjangan Kesehatan; dan Tunjangan Kecelakaan Kerja dan
Kematian.
Pasal 39 PP mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di
Perusahaan.
Pasal 40 PP menjabarkan lebih lanjut kewajiban perusahaan dalam
memberikan tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
dan pasal 100 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 41 PP mengacu pada pasal 37 PP dan UU Jamsostek.
10.
Pasal 42 PP mengatur mengenai lembur sesuai dengan pasal 78 UU
Ketenagakerjaan. Mengenai penghitungan upah lembur sudah sesuai
dengan pasal 11 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur.
11.
Pasal 43 mengatur mengenai Keselamatan dan kesehatan kerja.
12.
Pasal 44 mengatur mengenai Jaminan Sosial Tenaga kerja sudah sesuai
dengan Pasal 20 ayat (1) Bab V Iuran, Besarnya jaminan iuran dan tata
cara pembayaran Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek) yang
menyebutkan bahwa : “Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, iuran Jaminan
Kematian, dan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh
pengusaha”. Sedangkan Pasal 20 ayat (2) UU Jamsostek menyebutkan
bahwa iuran Jamsostek untuk jaminan hari tua ditanggung oleh pengusaha
dan tenaga kerja.
13.
Pasal 45 sampai dengan pasal 51 PP mengatur mengenai Disiplin dan tata
Tertib Perusahaan, meliputi berturut-turut : Ketentuan-ketentuan umum;
Ketentuan-ketentuan tata tertib kerja; Sanksi terhadap pelanggaran disiplin
dan tata tertib perusahaan; teguran dan surat peringatan; pemberian surat
peringatan tertulis; akibat pemberian surat teguran/surat peringatan; dan
skorsing.
Skorsing sebagai sanksi tidak diatur secara spesifik dalam UU
ketenagakerjaan, namun disebutkan dalam pasal 155 ayat (3) dimana
apabila seorang tenaga kerja diskors maka upah tetap dibayarkan, dalam
keadaan terjadi perselisihan hubungan industrial yang belum tercapai
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Keadaan tersebut dapat
dianalogikan bagi skorsing sebagai sanksi.
14.
Pasal 52 sampai dengan pasal 53 PP mengatur tentang tata cara
penyelesaian keluhan dan pengaduan.
15.
Pasal 54 mengatur mengenai tindakan penyelesaian perselisihan.
Ayat (3) pasal ini menyebut tentang pemogokan illegal, yang mana sesuai
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP232/MEN/2003 tentang Akibat dari pemogokan yang tidak sah. Hanya saja
pengaturan di PP kurang tepat karena Pengusaha melakukan PHK terhadap
pekerja yang melakukan pemogokkan illegal, seharusnya PP mengikuti
pengaturan dalam pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi nomor KEP-232/MEN/2003 tentang Akibat dari pemogokan
yang tidak sah yakni bahwa pekerja yang melakukan mogok tidak sah
dianggap mengundurkan diri.
16.
Pasal 55 sampai dengan pasal 57 mengatur mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), meliputi berturut-turut : Pemutusan Hubungan
Kerja oleh Perusahaan dan Atas Permintaan Karyawan; Alasan
Terputusnya Hubungan Kerja; dan Prosedur dan Kompensasi dari PHK.
Ketentuan keadaan yang menyebabkan PHK dalam Pasal 55 PP tidak
melanggar larangan PHK dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
sehingga keadaan yang menyebabkan PHK sah secara hukum.
Pasal 56 dan pasal 57 PP menyebutkan pengaturan di dalamnya mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
17.
Pasal 58 dan pasal 59 PP mengatur mengenai Ketentuan Penutup, meliputi
berturut-turut : Peraturan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Pasal 59 ayat (5) PP yang mengatur jangka waktu berlakunya PP selama 2
tahun sejak tanggal disahkan sudah sesuai dengan Pasal 111 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan.
IV. KESIMPULAN
Peraturan Perusahaan ini sebagian besar sudah mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak hanya UU Ketenagakerjaan, namun
Undang-Undang dan peraturan/keputusan menteri terkait, dan telah memuat (1)
hak dan kewajiban pengusaha; (2) hak dan kewajiban pekerja/buruh; (3) syarat
kerja; (4) tata tertib perusahaan; dan (5) jangka waktu berlakunya peraturan
perusahaan sesuai dengan Pasal 111 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ini juga sudah mengatur
secara lebih spesifik apa yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, namun
sebagian yang lain tidak diatur secara spesifik melainkan hanya ditulis “mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang mana menunjuk
pengaturan pada peraturan perundang-undangan sehingga belum penuh dalam
memenuhi persyaratan peraturan perusahaan yakni sebagaimana tersebut dalam
pasal 2 ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tanggal 8
April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan
serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, yang berbunyi :
“Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan
perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih
baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan”.
Tata tertib dan displin perusahaan pun telah dijelaskan secara rinci yang
dapat digunakan sebagai pedoman bekerja bagi pekerja.
Singkat kata, Peraturan Perusahaan ini telah memenuhi sebagian kriteria
yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
sedikit ketentuan yang perlu disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Prof.Iman Soepomo,S.H., 1999. Cet.12. Pengantar Hukum Perburuhan.
Djambatan. Jakarta.
Dr.Agusmidah,S.H.,M.Hum, 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Penerbit
Ghalia Indonesia. Bogor.
Djumialdji,S.H. 2006. Perjanjian Kerja. Sinar Grafika. Jakarta.
Darwan Prinst,S.H., 1994. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan
Bagi Perkerja Untuk Mempertahankan Hak-Haknya). P.t.citra adityabakti.
Bandung.
2. Peraturan Perundang-undangan
-
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
-
Undang-Undang nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
-
Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-
Keputusan
Menteri Tenaga
Kerja
dan Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
-
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur;
-
Keputusan
Menteri Tenaga
Kerja
dan Transmigrasi
Nomor:
KEP-
232/MEN/2003 tentang Akibat Mogok yang tidak sah;
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di Perusahaan;
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi Nomor: PER02/MEN/1976
tentang Peraturan Perusahaan;
-
Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan
Perjanjian Perburuhan;
-
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 2093 tahun 2005 tentang
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2006 di Provinsi DKI
Jakarta.
LAMPIRAN PERATURAN PERUSAHAAN
P.T. X
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
MAKALAH
Untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan
mata kuliah Perjanjian Kerja
Program Studi S1-Reguler
1.
2.
3.
4.
Dibuat Oleh:
IMAN FIRMANSYAH
03/167418/HK/16317
BUDI WIBOWO HALIM 07/252561/HK/17596
M. IQBAL HASBI ASIDIQ 07/252485/HK/17579
MUDZAKIR
08/273528/EHK/00540
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
I. PENDAHULUAN
1
II. TINJAUAN NORMATIF
3
1. Pengertian
5
2. Penyusunan Peraturan Perusahaan
6
3. Jumlah Peraturan Perusahaan
7
4. Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan
7
5. Hubungan Antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja
Bersama
8
6. Pengesahan Peraturan Perusahaan
9
III. ANALISIS YURIDIS ATAS PERATURAN PERUSAHAAN PT. X,
BERKEDUDUKAN
DI JAKARTA
11
IV. KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
22
PERATURAN PERUSAHAAN
P.T. X
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
I. PENDAHULUAN
HukumPerburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak
yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja padaorang lain dengan
menerima upah.
1
Kata “per-buruh-an”, yaitu kejadian atau kenyataan di mana
seseorang biasanya disebut buruh,bekerja pada orang lain,biasanya disebut
majikan,dengan menerima upah, dengan sekaligus mengenyampingkan persoalan
antara pekerjaan bebas (di luar hubungan kerja) dan pekerjaan yang dilakukan di
bawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, mengenyampingkan pula persoalan
antara pekerjaan (arbeid) dan pekerja (arbeider).
2
Peristiwa perburuhan
merupakan suatu peristiwa hukum karena menimbulkan hak dan kewajiban bagi
buruh maupun majikan. Menurut Prof. Iswandari, hak merupakan setiap
kepentingan (belang) yang dilindungi hukum. Kepentingan sendiri merupakan
tuntutan perorangan atau kelompok yang diharaopkan akan dipenuhi. Sedangkan
kewajiban merupakan beban yang timbul dari suatu perikatan, baik perikatan
menurut undang-undang maupun perikatan berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini,
hak dan kewajiban buruh dan majikan timbul dari hubungan perburuhan yang
berdasarkan perjanjian, berupa perjanjian kerja.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pemberi
kerja/pengusaha/majikan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak (Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban mana diatur lebih spesifik dalam Peraturan Perusahaan dan
Perjanjian Kerja Bersama. Perjanjian Kerja sendiri tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 15 ayat 2 UU Ketenagakerjaan).
Peraturan Perusahaan dibuat oleh perusahaan yang memperkerjakan
minimal sepuluh (10) orang. Peraturan Perusahaan memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban buruh dan pengusaha secara lebih rinci serta tata tertib
perusahaan, yang dibuat oleh pemberi kerja/pengusaha, dapat disusun dengan
1
2
Prof.Iman Soepomo,S.H., 1999.Cet.12. Pengantar Hukum Perburuhan. Djambatan. Jakarta.
Hal.3.
Ibid.
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan. Walau demikian, tanggung jawab pembuatan peraturan
perusahaan ada pada pihak pengusaha sepenuhnya, yang artinya lebih pada
kebijakan pengusaha untuk menentukan isi dari Peraturan Perusahaan tersebut.
Pembentuk undang-undang melihat bahwa keadaan tersebut akan membuat suatu
ketimpangan posisi antara buruh dan pengusaha sehingga dalam pasal 108 ayat 1
UU Ketenagakerjaan diatur bahwa Peraturan Perusahaan baru mulai berlaku
setelah mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam
tulisan ini, peneliti mengacu pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
diberi wewenang untuk mengesahkan Peraturan Perusahaan di Jakarta Selatan.
Peraturan Perusahaan diatur dalam Bagian Keenam Bab XI UU Ketenagakerjaan
jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta
Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Pengesahan ini dimaksudkan bahwa Pejabat yang berwenang untuk
memberi pengesahan, meneliti kelengkapan syarat formal serta substansi dari
Peraturan Perusahaan, yang mana kualitas substansinya tidak boleh lebih rendah
dari peraturan perundang-undangan untuk mengatasi ketimpangan posisi di atas.
Pengesahan ini berbeda dengan pendaftaran yang dilakukan untuk Perjanjian
Kerja Bersama karena Perjanjian Kerja Bersama dibuat bersama-sama oleh pihak
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pengusaha, yang mana berlaku syarat sahnya
perjanjian, sehingga pendaftaran disini dimaksudkan untuk menjadi alat
monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di
perusahaan dan sebagai rujukan utama apabila terjadi perselisihan pelaksanaan
Perjanjian Kerja Bersama.
Peneliti ingin meneliti isi dari Peraturan Perusahaan yang telah
mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwenang untuk mengetahui kerangka
sudut pandang Pengusaha sebagai penyusun peraturan Perusahaan yang
dibandingkan dengan ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan pada Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Peraturan Perusahaan dan pengesahannya.
II. TINJAUAN NORMATIF
Semula peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 1601 j sampai dengan
Pasal 1601 m Buku III KUH Perdata. Peraturan perusahaan hanya memuat syaratsyarat kerja tidak termasuk tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan tidak
diwajibkan kepada perusahaan. Buruh terikat pada peraturan perusahaan jika
dalam perjanjian kerja menyetujui secara tertulis mengenai peraturan perusahaan.
Adapun agar peraturan perusahaan yang dibuat pengusaha dapat mengikat buruh,
harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.
jika buruh secara tertulis telah menyetujui peraturan perusahaan tersebut;
2.
satu eksemplar peraturan perusahaan diberikan secara cuma-cuma kepada
buruh;
3.
satu eksemplar peraturan perusahaan diserahkan kepada Kementerian
Perburuhan yang tersedia untuk dibaca oleh umum;
4.
satu eksemplar peraturan perusahaan ditempelkan di perusahaan yang mudah
dibaca oleh buruh.
Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-
02/MEN/1976 tanggal 11 Juli 1976 tentang Peraturan Perusahaan Yang dimaksud
dengan Peraturan Perusahaan dalam peraturan Menteri ini adalah satu peraturan
yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
syarat-syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan. Selain
ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja, peraturan perusahaan dapat juga
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata tertib perusahaan. Dengan demikian,
peraturan perusahaan tidak hanya memuat syarat-syarat kerja saja, tapi juga
memuat ketentuan tentang tata tertib perusahaan.
Peraturan perusahaan diwajibkan kepada perusahaan yang mempekerjakan
50 (lima puluh) orang buruh/lebih. Peraturan perusahaan harus disahkan oleh:
Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Departemen
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi jika perusahaan itu ada di
wilayah beberapa Kantor Daerah Tenaga Kerja.
Kepala Kantor Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi, jika perusahaannya hanya ada di wilayah satu Kantor Daerah
Tenaga Kerja.
Setelah peraturan perusahaan disahkan, pimpinan perusahaan mempunyai
kewajiban sebagai berikut :
–
Memberikan peraturan perusahaan kepada buruh dengan cuma-cuma.
–
Peraturan perusahaan ditempel di perusahaan yang mudah dibaca buruh.
–
Peraturan perusahaan diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan
Perawatan dan Kepala Kantor Daerah Tenaga Kerja tempat perusahaan itu
berada.
Masa berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun. Jika
masa berlakunya peraturan perusahaan telah berakhir maka wajib dibuat peraturan
perusahaan yang baru atau dibuat perjanjian perburuhan. Kemudian Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi Nomor: PER02/MEN/1976 tentang Peraturan
Perusahaan dicabut oleh Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi Nomor: PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan
Perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan.
Menurut Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
Nomor: PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan
Pembuatan Perjanjian Perburuhan, peraturan perusahaan ialah peraturan yang
dibuat secara tertulis yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat
kerja serta tata tertib perusahaan. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 25 (dua
puluh lima) orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.
Peraturan perusahaan harus disahkan oleh:
Direktur Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Departemen
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, jika perusahaan itu terdapat
dalam daerah beberapa Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perlindungan
dan Perawatan Tenaga Kerja.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja,
jika perusahaan tersebut berada di daerah satu Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.
Setelah peraturan perusahaan disahkan, pengusaha mempunyai kewajiban:
Memberitahukan isi peraturan perusahaan yang telah disahkan kepada buruhburuhnya di hadapan pegawai Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Perawatan Tenaga Kerja.
Memberikan peraturan perusahaan kepada setiap buruhnya.
Menempelkan peraturan perusahaan di tempat yang mudah dibaca buruh.
Perusahaan berlaku paling lama 2 (dua) tahun. Selama berlakunya
peraturan perusahaan, pengusaha tidak boleh menghalang-halangi terbentuknya
serikat buruh di perusahaan. Jika peraturan perusahaan telah berakhir masa
berlakunya, pengusaha wajib membuat peraturan perusahaan yang baru.
Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa
berlakunya masih tetap berlaku sampai disahkannya peraturan perusahaan yang
baru atau kalau dibuat perburuhan, sampai ditandatanganinya perjanjian
perburuhan tersebut. Ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan ini kemudian
diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo.
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama jo.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER-08/MEN/III/2006
tanggal 29 Maret 2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama.
1. Pengertian
Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib. Adapun yang
dimaksud dengan pengusaha adalah:
a.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara bcrdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b berkedudukan di wilayah Indonesia.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat Peraturan Perusahaan. Kewajiban membuat
Peraturan Perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah Perjanjian Kerja
Bersama.
Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a.
Hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.
syarat kerja;
d.
Tata tertib kerja;
e.
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dipandang dari segi kedudukannya, Perjanjian Kerja Bersama dan
Peraturan Perusahaan sebagai kaidah-kaidah otonom dapat menciptakan hubungan
kerja yang lebih aspiratif-demokratis, manusiawi, dan dapat terlaksana
(applicable),
adaintervensi
karena
perumusannya
diserahkan
pada
pemerintah.Sehingga,materi/substansi
akan
para
pihak
lebih
tanpa
mendekati
kepentingan para pihak. 3
2. Penyusunan Peraturan Perusahaan
Peraturan Perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab
Pengusaha.
Pengusaha
harus
menyampaikan
naskah
rencana
Peraturan
Perusahaan kepada wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk
mendapatkan saran dan pertimbangan.
Mengenai wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh sebagai
berikut:
1.3 Dr.Agusmidah,S.H.,M.Hum,
wakil pekerja/buruh dipilih
oleh pekerja/bunih
secara demokratis
mewakili
2010. Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia.
Penerbit Ghalia
Indonesia. Bogor. Hal.47.
dari setiap unit kerja yang ada di perusahaan;
2.
dalam hal di penisahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, maka
wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh;
3.
dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, tetapi
keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di perusahaan,
maka wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh
dan
wakil
pekerja/buruh
yang
tidak
menjadi
anggota
serikat
pekerja/serikat buruh.
Adapun saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan Peraturan Penisahaan hams
sudah diterima pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
Dalam hal wakil pekerja/buruh telah menyampaikan saran dan
pertimbangan maka pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh.
Apahila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, wakil pekerja/ buruh
tidak memberikan saran dan pertimbangan, pengusaha dapat meminta pengesahan
Peraturan Perusahaan dengan melampirkan bukti bahwa telah minta saran dan
pertimbangan kepada wakil pekerja/buruh.
Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap
Peraturan Perusahaan yang disampaikan oleh pengusaha.
3. Jumlah Peraturan Perusahaan
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) Peraturan Perusahaan
yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Dalam hal perusahaan memiliki cabang maka peraturan perusahaan induk
berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat Peraturan Perusahaan
turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan. Peraturan Perusahaan
induk memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
perusahaan, sedangkan Peraturan Perusahaan turunan memuat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan
masing-masing. Dalam hal Peraturan Perusahaan induk telah berlaku di
perusahaan tetapi dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang
perusahaan, maka Selama Peraturan Perusahaan turunan belum disahkan tetap
berlaku Peraturan Perusahaan induk.
Jika beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masingmasing
perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri, maka masingmasing
perusahaan membuat Peraturan Perusahaan sendiri-sendiri.
4. Jangka Waktu berlakunya Peraturan Perusahaan
Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan
wajib diperbarui setelah habis masa berlakunya. Peraturan Perusahaan mulai
berlaku setelah disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan.
Dalam hal perusahaan akan mengadakan perubahan isi Peraturan
Perusahaan dalam tenggang waktu masa berlakunya Peraturan Perusahaan, maka
perubahan harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekeria/buruh apabila di perusahaan tidak
ada serikat pekerja/serikat buruh. Perubahan Peraturan Perusahaan harus dapat
pengesahan
dari
Kepala
Instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
Ketenagakerjaan. Apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan pengesahan,
perubahan Peraturan Perusahaan dianggap tidak ada.
Mengenai pembaruan Peraturan Perusahaan, pengusaha wajib mengajukan
pembaruan Peraturan Perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
berakhir masa berlakunya Peraturan Perusahaan kepada Kepala Instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang Ketenagakerjaan. Apabila pembaruan Peraturan
Perusahaan mendapat perubahan materi, maka harus didasarkan atas kesepakatan
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pckerja/buruh
apabila di perusahaan tidak terdapat serikat pekerja/serikat huruh.
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perusahaan yang telah berakhir
masa berlakunya masih tetap berlaku sampai disahkannya peraturan perusahaan
yang baru.
Selama
masa
berlakunya
peraturan
perusahaan,
apabila
serikat
pekerja/buruh menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama,
maka pengusaha wajib melayani. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktunya.
5. Hubungan Antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
Hubungan antara Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
adalah sebagai berikut:
a.
Ketentuan-ketentuan Peraturan Perusahaan yang telah berakhir masa
berlakunya, masih tetap berlaku sampai ditanda datangani perjanjian kerja
bersama;
b.
Dalam hal di perusahaan telah di lakukan perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama tetapi belum mencapai kesepakatan maka
pengusaha
wajib
mengajukan
pengesahan
pembaruan
Peraturan
Perusahaan.
6. Pengesahan Peraturan Perusahaan
Agar dapat berlaku di perusahaan, Peraturan Perusahaan harus disahkan.
Mengenai prosedur pengesahan Peraturan Perusahaan sebagai berikut:
1.
Pengusaha
harus
mengajukan
permohonan
pengesahan
Peraturan
Pemsahaan kepada:
a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu)
wilayah Kabupaten/Kota;
b. Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan di
provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu)
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1
(satu) provinsi.
2.
Permohonan pengesahan harus dilengkapi:
a. Permohonan tertulis yang harus memuat:
1. nama dan alamat perusahaan;
2. nama pimpinan perusahaan;
3. wilayah operasi perusahaan;
4. status perusahaan;
5. jenis bidang usaha;
6. jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
7. status hubungan kerja;
8. upah tertinggi dan terendah;
9. nama dan alamat serikat pekerja/serikat bumh (kalau ada);
10. nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (kalau ada);
11. masa berlakunya peraturan perusahaan;
12. pengesahan peraturan perusahaan untuk yang ke berapa.
b. Naskah peraturan perusahaan dibuat rangkap 3 (tiga) yang telah
ditandatangani oleh pengusaha.
c. Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/buruh.
3.
Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan harus
meneliti kelengkapan dokumen dan meneliti materi peraturan perusahaan
yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan yang
berlaku.
Kepala
instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
Ketenagakerjaan mengesahkan peraturan perusahaan dengan menerbitkan
Surat keputusan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya permohonan pengesahan yang memenuhi persyaratan di atas
dan tidak lebih rendah dari peraturan perun-dang-undangan yang berlaku.
4.
Dalam hal pengajuan permohonan pengesahan, peraturan perusahaan tidak
memenuhi kelengkapan dan/atau terdapat materi peraturan perusahaan
yang bertentangan dengan peraturan perundangan, maka dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan
pengesahan, maka permohonan pengesahan dikembalikan secara tertulis
untuk dilengkapi atau diperbaiki. Pengusaha wajib menyampaikan
peraturan perusahaan yang telah dilengkapi atau diperbaiki dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak peraturan pemsahaan
dikembalikan. Apabila hal di atas tidak ditaati, maka perusahaan
dinyatakan
tidak
mengajukan
permohonan
pengesahan
peraturan
perusahaan. Dengan demikian, dianggap perusahaan tidak memiliki
peraturan perusahaan.
Adapun kewajiban Pengusaha setelah Peraturan Perusahaan disahkan oleh
Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan adalah
memberitahukan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahan kepada pekerja/buruh.
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan
perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, dan menempelkan di tempat yang mudah
dibaca oleh para pekerja/buruh atau memberikan penjelasan langsung kepada
pekerja/buruh.
Selain melakukan pemberitahuan dan pembagian naskah peraturan
perusahaan, pengusaha juga wajib memberikan penjelasan tentang isi peraturan
perusahaan tersebut kepada pekerja/buruh.
III.ANALISIS YURIDIS ATAS
PERATURAN
PERUSAHAAN
PT.
X,
BERKEDUDUKAN DI JAKARTA
Peraturan Perusahaan yang akan dibahas Penulis adalah Peraturan
Perusahaan PT. X, berkedudukan di Jakarta, yakni perusahaan berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Akta nomor 95, tanggal 25
Juli 1996, atas anggaran dasar tersebut telah mendapat pengesahan dari Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia seperti ternyata dari Surat
Keputusan nomor C2-7956.HT.01.01.TH.97 tanggal 14 Agustus 1997 dan telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 9 tanggal 29 Januari
1998, Tambahan nomor 649 (selanjutnya disebut perusahaan). Pada saat peraturan
perusahaan ini dibuat yakni tanggal 03 Januari 2006, belum berlaku UndangUndang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sehingga Perusahaan ini
tunduk pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UUPT lama). Peraturan Perusahaan ini dibuat oleh Direksi
yang telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengurus perseroan
(Pasal 1 ayat 4 UUPT lama), dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur, sesuai
dengan Anggaran Dasar Perseroan.
Bentuk dari Peraturan Perusahaan ini berupa Surat Keputusan Manajemen
PT. X Nomor 001/ALT/KM/I/2006 tentang Peraturan Perusahaan PT. X tanggal
03 Januari 2006. Bentuk ini, menurut penulis kurang tepat karena istilah
manajemen tidak dikenal sebagai anggota/organ dalam perusahaan baik dalam
Anggaran Dasar Perseroan (standard draft) maupun UUPT lama. Hal ini
berpengaruh terhadap dasar pengambilan kebijakan perusahaan termasuk di
dalamnya menetapkan Peraturan Perusahaan. Mengutip Pasal 1 ayat 4 UUPT
lama, maka seharusnya Peraturan Perusahaan ini berbentuk Surat Keputusan
Direksi PT. X.
Konstruksi Hukumnya SK tersebut telah mengikuti pola produk peraturan
perundang-undangan dengan terdapat bagian menimbang, mengingat dan
memutuskan. Hanya saja, di bagian mengingat, belum dicantumkan mengenai
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP232/MEN/2003 tentang Akibat Mogok yang tidak sah; dan Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta nomor 2093 tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum
Provinsi (UMP) tahun 2006 di Provinsi DKI Jakarta.
Isi Peraturan Perusahaan ini terdiri dari 17 bab (Bab I sampai dengan Bab
XVII) dan 59 Pasal. Format Peraturan Perusahaan ini sudah sesuai dengan Pasal
111 ayat 1 UU Ketenagakerjaan yakni memuat seperti dijelaskan dalam bagian II
poin 1 makalah ini.
Isi Pasal demi Pasal :
1.
Pasal 1 sampai dengan pasal 7 berisi tentang Bagian-bagian umum dari
Peraturan Perusahaan ini meliputi berturut-turut : Ketentuan Umum;
Struktur Organisasi Perusahaan; Tanggung Jawab Direksi dan Karyawan;
Kewenangan berkaitan dengan masalah keuangan Perusahaan; Produk
Hukum dalam Manajemen Perusahaan; Keputusan dan Surat Keputusan;
dan Hirarki Peraturan Perusahaan.
2.
Pasal 8 sampai dengan pasal 12 berisi tentang Penerimaan Karyawan,
meliputi berturut-turut : Dasar-Dasar Penerimaan, Penempatan dan Mutasi
Karyawan;
Penerimaan
Karyawan;
Proses
Seleksi;
Pengangkatan
Karyawan; dan Masa Percobaan.
Dari pasal 11 dan pasal 12 dapat disimpulkan bahwa perusahaan ini
menggunakan karyawan tidak tetap (dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu/PKWT) dan karyawan tetap (dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu/PKWTT). Pasal 12 ayat (2) PP diatur menurut Pasal 154
poin a yang mengatur PHK dalam masa percobaan tanpa prosedur apapun.
Pasal 12 ayat (6) dan ayat (7) PP mengutip Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2)
UU Ketenagakerjaan yang meniadakan masa Percobaan dalam PKWT.
Pasal 12 ayat (5) :
PP
UU Ketenagakerjaan
Pasal 12 ayat (5)
Pasal 60 ayat (1)
Karyawan akan memperoleh
kedudukan
sebagai
Karyawan Tetap setelah yang
bersangkutan
menjalani
masa percobaan selama 3
(tiga) bulan hingga 6 (enam)
bulan dan hasil evaluasinya
menunjukkan
bahwa
Karyawan tersebut dapat diterima sebagai Karyawan
Tetap.
3.
Tanggapan
Karena lebih dari 3
bulan yang diatur dalam
Perjanjian kerja untuk
Undang-Undang, maka
waktu tidak tertentu dapat
dianggap 3 bulan setelah
mensyaratkan masa permasa percobaan itu
cobaan kerja paling lama
sudah berstatus sebagai
3 (tiga) bulan.
Karyawan Tetap, karena
masih
diperkerjakan
setelah
lewat
masa
percobaan.
Pasal 13 PP mengatur mengenai masa kerja dalam hubungan kerja.
PP
UU Ketenagakerjaan
Tanggapan
Pasal 13 ayat (1)
Pasal 61 ayat (1)
Hubungan
kerja
antara
Karyawan dan perusahaan
terjadi sejak ditandatanganinya perjanjian kerja oleh
kedua belah pihak dan akan
berakhir pada saat pemutusan hubungan kerja oleh para
pihak.
Perjanjian kerja berakhir
apabila :
a. pekerja meninggal
dunia;
b. berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan
atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan
Dalam Pasal 13 ayat (1)
PP disebutkan bahwa
hubungan kerja berakhir
pada saat pemutusan
hubungan kerja oleh para
pihak. Walaupun dilihat
dari
UU
Ketenagakerjaan,
keadaannya
kurang
disebutkan,
namun
dalam Pasal 55 ayat (2)
hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau
kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama yang dapat
menyebabkan
berakhirnya
hubungan
kerja.
4.
mengatur
bahwa
ketentuan PP mengenai
PHK mengacu pada UU
Ketenagakerjaan,
sehingga tetap berlaku 4
keadaan
berakhirnya
perjanjian
kerja
di
samping.
Pasal 14 sampai dengan pasal 18 PP mengatur tentang berturut-turut :
Pengangkatan menjadi Karyawan Tetap; Status dan Golongan Karyawan;
Mutasi; Promosi; dan Demosi;
5.
Pasal 19 sampai dengan pasal 24 PP mengatur tentang Peraturan Kerja,
meliputi berturut-turut : Kartu Tanda Pengenal; Tanggung Jawab
Perusahaan; Tanggung Jawab Karyawan; Rahasia Jabatan; Tanggung
Jawab Pengawasan; dan Hak Milik Intelektual;
6.
Pasal 25 sampai dengan pasal 27 PP mengatur tentang waktu kerja,
meliputi berturut-turut : Jam kerja; mangkir; dan hari libur resmi;
PP
UU Ketenagakerjaan
Pasal 25
Hari kerja
Waktu kerja 5 hari dalam
seminggu, senin-jum’at, dari
08.30 WIB sampai dengan
17.00 WIB, jam istirahat
12.00 WIB sampai dengan
13.00 WIB, jadi waktu kerja
7,5 jam/hari.
Tanggapan
Jam kerja pada PP tidak
melebihi batas maksimal
Pasal 77 ayat (2) huruf b
ketentuan
UU
8 (delapan) jam 1 (satu) Ketengakerjaan
hari dan 40 (empat puluh) sedangkan jam istirahat
jam 1 (satu) minggu un- pada PP melebihi batas
tuk 5 (lima) hari kerja minimal ketentuan UU
dalam 1 (satu) minggu
Ketenagakerjaan.
Pasal 79 ayat (2) huruf a
istirahat antara jam kerja,
sekurang
kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja
Pasal 26 ayat (2)
Pasal 168 ayat (1)
Bila seorang Karyawan
melakukan mangkir selama 5
(lima) hari kerja berturut-turut
ataupun
Karyawan
melakukan mangkir selama
Pekerja/buruh
yang
mangkir selama 5 (lima)
hari kerja atau lebih
berturut-turut
tanpa
keterangan secara ter tulis
PP sudah sesuai dengan
UU ketenagakerjaan
10 hari tidak berturut-turut
dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan maka perusahaan akan
memanggil Karyawan tersebut secara patut dan tertulis
maksimal 2 (dua) kali. Apabila perusahaan tidak mendapatkan tanggapan maka
Karyawan dianggap telah
mengundurkan diri dari perusahaan dan berdasarkan
hal tersebut perusahaan akan
mengirimkan pemberitahuan
tertulis kepada karyawan,
dan akan diproses sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
Pasal 27
7.
yang dilengkapi dengan
bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha
2 (dua) kali secara patut
dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
Pasal 28 sampai dengan pasal 34 PP mengatur mengenai Cuti Karyawan,
meliputi berturut-turut : Cuti Tahunan; Penggunaan Hak Cuti Tahunan;
Gugurnya Hak Cuti; Cuti Haid; Cuti Hamil dan Keguguran; Cuti
Istimewa; dan Cuti Sakit.
Pasal 28 PP mengatur cuti tahunan selama 12 hari, bagi pekerja yang telah
bekerja selama 12 bulan berturut-turut, sesuai dengan pasal 79 ayat (2)
huruf c.
Pasal 30 PP mengatur gugurnya hak cuti yang tidak diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, walaupun UU Ketenagakerjaan membuka peluang
gugurnya cuti tahunan seperti ternyata pada pasal 156 ayat (4) huruf a.
Pasal 31, pasal 32, pasal 33 dan pasal 34 masing-masing berturut-turut
mengatur Cuti Haid; Cuti Hamil dan Keguguran; Cuti Istimewa; dan Cuti
Sakit yang masing-masing berturut-turut sesuai dengan dan merupakan
pengaturan lebih lanjut dari pasal 81, pasal 82, pasal 83, dan pasal 93 UU
Ketenagakerjaan.
8.
Pasal 35 sampai dengan pasal 38 PP mengatur mengenai pengupahan,
meliputi berturut-turut : Dasar-dasar Pengupahan; Masa Perhitungan
Upah;
Pemotongan
Upah;
dan
Pengganti
Upah
jika
Tetap
ditahan/dipenjara. Pasal 35 PP mengenai Dasar-dasar pengupahan
mengacu pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 2093
tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun
2006 di Provinsi DKI Jakarta yang menyebutkan upah minimum provinsi
sebesar Rp. 819.100,- (delapan ratus Sembilan ratus ribu seratus Rupiah).
Pasal 37 PP mengenai pemotongan upah untuk jamsostek akan dibahas
pada pasal 44 PP.
Pasal 38 PP mengacu pada pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
9.
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 PP mengatur mengenai Kesejahteraan
dan Tunjangan Kesejahteraan, meliputi berturut-turut : Tunjangan Hari
Raya; Tunjangan Kesehatan; dan Tunjangan Kecelakaan Kerja dan
Kematian.
Pasal 39 PP mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di
Perusahaan.
Pasal 40 PP menjabarkan lebih lanjut kewajiban perusahaan dalam
memberikan tunjangan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
dan pasal 100 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 41 PP mengacu pada pasal 37 PP dan UU Jamsostek.
10.
Pasal 42 PP mengatur mengenai lembur sesuai dengan pasal 78 UU
Ketenagakerjaan. Mengenai penghitungan upah lembur sudah sesuai
dengan pasal 11 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur.
11.
Pasal 43 mengatur mengenai Keselamatan dan kesehatan kerja.
12.
Pasal 44 mengatur mengenai Jaminan Sosial Tenaga kerja sudah sesuai
dengan Pasal 20 ayat (1) Bab V Iuran, Besarnya jaminan iuran dan tata
cara pembayaran Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut UU Jamsostek) yang
menyebutkan bahwa : “Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, iuran Jaminan
Kematian, dan iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh
pengusaha”. Sedangkan Pasal 20 ayat (2) UU Jamsostek menyebutkan
bahwa iuran Jamsostek untuk jaminan hari tua ditanggung oleh pengusaha
dan tenaga kerja.
13.
Pasal 45 sampai dengan pasal 51 PP mengatur mengenai Disiplin dan tata
Tertib Perusahaan, meliputi berturut-turut : Ketentuan-ketentuan umum;
Ketentuan-ketentuan tata tertib kerja; Sanksi terhadap pelanggaran disiplin
dan tata tertib perusahaan; teguran dan surat peringatan; pemberian surat
peringatan tertulis; akibat pemberian surat teguran/surat peringatan; dan
skorsing.
Skorsing sebagai sanksi tidak diatur secara spesifik dalam UU
ketenagakerjaan, namun disebutkan dalam pasal 155 ayat (3) dimana
apabila seorang tenaga kerja diskors maka upah tetap dibayarkan, dalam
keadaan terjadi perselisihan hubungan industrial yang belum tercapai
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Keadaan tersebut dapat
dianalogikan bagi skorsing sebagai sanksi.
14.
Pasal 52 sampai dengan pasal 53 PP mengatur tentang tata cara
penyelesaian keluhan dan pengaduan.
15.
Pasal 54 mengatur mengenai tindakan penyelesaian perselisihan.
Ayat (3) pasal ini menyebut tentang pemogokan illegal, yang mana sesuai
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP232/MEN/2003 tentang Akibat dari pemogokan yang tidak sah. Hanya saja
pengaturan di PP kurang tepat karena Pengusaha melakukan PHK terhadap
pekerja yang melakukan pemogokkan illegal, seharusnya PP mengikuti
pengaturan dalam pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi nomor KEP-232/MEN/2003 tentang Akibat dari pemogokan
yang tidak sah yakni bahwa pekerja yang melakukan mogok tidak sah
dianggap mengundurkan diri.
16.
Pasal 55 sampai dengan pasal 57 mengatur mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), meliputi berturut-turut : Pemutusan Hubungan
Kerja oleh Perusahaan dan Atas Permintaan Karyawan; Alasan
Terputusnya Hubungan Kerja; dan Prosedur dan Kompensasi dari PHK.
Ketentuan keadaan yang menyebabkan PHK dalam Pasal 55 PP tidak
melanggar larangan PHK dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
sehingga keadaan yang menyebabkan PHK sah secara hukum.
Pasal 56 dan pasal 57 PP menyebutkan pengaturan di dalamnya mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
17.
Pasal 58 dan pasal 59 PP mengatur mengenai Ketentuan Penutup, meliputi
berturut-turut : Peraturan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Pasal 59 ayat (5) PP yang mengatur jangka waktu berlakunya PP selama 2
tahun sejak tanggal disahkan sudah sesuai dengan Pasal 111 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan.
IV. KESIMPULAN
Peraturan Perusahaan ini sebagian besar sudah mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak hanya UU Ketenagakerjaan, namun
Undang-Undang dan peraturan/keputusan menteri terkait, dan telah memuat (1)
hak dan kewajiban pengusaha; (2) hak dan kewajiban pekerja/buruh; (3) syarat
kerja; (4) tata tertib perusahaan; dan (5) jangka waktu berlakunya peraturan
perusahaan sesuai dengan Pasal 111 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ini juga sudah mengatur
secara lebih spesifik apa yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, namun
sebagian yang lain tidak diatur secara spesifik melainkan hanya ditulis “mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang mana menunjuk
pengaturan pada peraturan perundang-undangan sehingga belum penuh dalam
memenuhi persyaratan peraturan perusahaan yakni sebagaimana tersebut dalam
pasal 2 ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tanggal 29 Maret 2006 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tanggal 8
April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan
serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, yang berbunyi :
“Dalam hal peraturan perusahaan akan mengatur kembali materi dari peraturan
perundangan maka ketentuan dalam peraturan perusahaan tersebut harus lebih
baik dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan”.
Tata tertib dan displin perusahaan pun telah dijelaskan secara rinci yang
dapat digunakan sebagai pedoman bekerja bagi pekerja.
Singkat kata, Peraturan Perusahaan ini telah memenuhi sebagian kriteria
yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan
sedikit ketentuan yang perlu disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Prof.Iman Soepomo,S.H., 1999. Cet.12. Pengantar Hukum Perburuhan.
Djambatan. Jakarta.
Dr.Agusmidah,S.H.,M.Hum, 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Penerbit
Ghalia Indonesia. Bogor.
Djumialdji,S.H. 2006. Perjanjian Kerja. Sinar Grafika. Jakarta.
Darwan Prinst,S.H., 1994. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan
Bagi Perkerja Untuk Mempertahankan Hak-Haknya). P.t.citra adityabakti.
Bandung.
2. Peraturan Perundang-undangan
-
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
-
Undang-Undang nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
-
Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-
Keputusan
Menteri Tenaga
Kerja
dan Transmigrasi
Nomor:
KEP-
48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER-08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
-
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur;
-
Keputusan
Menteri Tenaga
Kerja
dan Transmigrasi
Nomor:
KEP-
232/MEN/2003 tentang Akibat Mogok yang tidak sah;
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan bagi pekerja di Perusahaan;
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi Nomor: PER02/MEN/1976
tentang Peraturan Perusahaan;
-
Peraturan menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan
Perjanjian Perburuhan;
-
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 2093 tahun 2005 tentang
Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2006 di Provinsi DKI
Jakarta.
LAMPIRAN PERATURAN PERUSAHAAN