RINGKASAN JURNAL hubungan antara konsep

NAMA
: Nadia Reyhani Bavaria
NIM
: 11161201630
KELAS
: VI/C (Gabungan)
MATA KULIAH : Psikologi Keluarga
NAMA DOSEN : Alma Yulianti, S.Psi,. M.si
RINGKASAN JURNAL MENGENAI “KESEHATAN MENTAL KELUARGA”

RINGKASAN JURNAL PERTAMA
Judul

: Hubungan Antara Konsep Diri Dan Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri
Istri Yang Tinggal Bersama Keluarga Suami (Volume 1 No.1, Juni 2012)
Penulis : Nova Anissa dan Agustin Handayani (Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan
Agung Semarang)
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui secara empirik hubungan antara konsep diri
dan kematangan emosi dengan penyesuaian diri istri yang tinggal bersama keluarga suami
dan mengetahui sumbangan efektif dari konsep diri dan kematangan emosi terhadap
penyesuaian diri istri yang tinggal. Populasi dalam penelitian ini adalah para istri di RW. 03

Desa Godong, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan dengan karakteristik, yaitu:
tinggal bersama keluarga suami, usia perkawinan kurang dari 5 tahun, dan pernikahan
pertama.
Permasalahan penyesuaian diri istri dalam keluarga suami pada dasarnya merupakan
masalah penyesuaian yang sangat penting dalam perkawinan, karena ikatan pernikahan itu
sendiri merupakan ikatan antara dua keluarga, yaitu keluarga suami dan keluarga istri.
Kesuksesan istri dalam menyesuaikan diri dengan keluarga suami akan ikut serta
menentukan kesehatan mental istri. Istri akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan,
kestabilan jiwa serta dapat menciptakan keharmonisan dalam kehidupan perkawinan ketika
berhasil mengadakan penyesuaian diri dengan pihak keluarga suami. Dalam proses
penyesuaian diri istri itu sendiri terkadang muncul berbagai hambatan. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan karakter anggota keluarga suami yang perlu disesuaikan dengan
sifat-sifat istri. Penyesuaian diri istri dipengaruhi oleh kematangan psikologis yang
ditunjukkan dengan tingginya konsep diri istri dan matangnya emosi yang dimiliki istri.
Konsep diri mendukung istri dalam merealisasikan hubungan sosialnya dengan lebih baik
sehingga istri dapat diterima lingkungan sosialnya. Istri yang memiliki konsep diri yang
positif mampu menerima dirinya dengan baik, sehingga akan dapat menerima orang lain
dengan baik pula. Kematangan emosi merupakan keadaan yang sangat membantu
proses penyesuaian diri istri dengan keluarga suami. Seorang istri yang memiliki
kematangan emosi akan memiliki kemampuan berpikir secara baik sehingga dapat

menempatkan persoalan secara lebih obyektif, yang pada akhirnya dapat membantu istri
dalam meningkatkan penyesuaian dirinya dalam lingkungan keluarga.
Hasil penelitian diperoleh diketahui bahwa penyesuaian diri istri termasuk dalam
kategori tinggi. Hasil yang diperoleh ini mengindikasikan bahwa sebagian besar istri
dapat melakukan proses penyesuaian diri yang baik dengan keluarga suami. Istri dapat
berinteraksi secara baik untuk mendapatkan hubungan yang serasi dengan anggota
keluarga suami. Kondisi demikian ternyata dipengaruhi oleh faktor konsep diri dan
kematangan emosi istri. Hasil penelitian menunjukkan besarnya sumbangan efektif dari
variabel konsep diri dan kematangan emosi terhadap penyesuaian diri sebesar 36,3%,

sedangkan sisanya 63,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep diri dan kematangan emosi merupakan faktor yang sangat
signifikan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri istri dalam keluarga suami.
Konsep diri adalah konsep dasar tentang diri sendiri, pikiran dan opini pribadi,
kesadaran tentang apa dan siapa dirinya, dan bagaimana perbandingan antara dirinya
dengan orang lain serta bagaimana beberapa idealisme yang telah dikembangkannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri istri termasuk tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa istri memiliki konsep diri yang positif dan memiliki sikap positif
terhadap segala sesuatu, pengharapan yang realistis, yakin akan keterampilan dan
kecakapan yang dimiliki, merasa setara dengan orang lain.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kematangan emosi istri termasuk tinggi.
Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar istri memiliki kematangan emosi yang
baik, dalam arti dapat mengontrol atau mengendalikan emosi sesuai dengan taraf
perkembangan emosinya, serta dapat berpikir secara matang, baik dan objektif.
Kematangan emosi ini ternyata berpengaruh signifikan terhadap penyesuaian diri istri
dalam keluarga suami. Kematangan emosi yang dimiliki istri dapat mendorong seorang
istri menyesuaikan diri dengan kondisi keluarga suami dimana dalam keluarga suami
tinggal beberapa anggota keluarga yang memiliki latar belakang berbeda.

RINGKASAN JURNAL KEDUA
Judul

: Psychological Well-Being Pada Remaja Yang Orang Tua Bercerai Dan Yang Tidak
Bercerai atau Utuh (Vol. 01 No. 02, Thn. 2013)
Penulis : Puri Werdyaningrum (Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang)
Psychological well-being di kalangan remaja adalah penting, tetapi untuk mencapai
keadaan tersebut khususnya bagi remaja dari keluarga yang bermasalah tidak mudah
diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
psychological well-being yang signifikan antara remaja yang orang tuanya bercerai dengan
remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh). Metode penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dengan analisis signifikansi perbedaan kelompok. Subjek penelitian adalah 102
remaja usia 14-19 tahun yang terdiri dari 51 remaja yang orang tuanya bercerai, dan 51
remaja yang orang tuanya utuh.
Psychological well-being adalah konsep kesejahteraan psikologis individu yang
mampu menerima diri apa adanya, tidak terdapat gejala-gejala depresi dan selalu
memiliki tujuan hidup yang dipengaruhi oleh fungsi psikologi positif berupa aktualisasi diri,
penguasaan lingkungan sosial dan perkembangan pribadi. Konsep psychological well-being
yang digambarkan oleh Ryff (1989) terdiri dari enam dimensi, yaitu: penerimaan diri (selfacceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi
(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life),
dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Papalia, Olds, dan Feldman (2009)
menjelaskan sehubungan dengan penelitian Ryff dan Singer mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat psychological well-being. Maturation (kedewasaan), semakin
dewasa individu dalam menyikapi hidupnya, semakin baik psychological well-being.
Kelompok yang berpendidikan tinggi memiliki dimensi tujuan hidup dan dimensi
pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang berpendidikan
rendah.

Perbedaan psychological well-being pada remaja yang orang tuanya bercerai dan
yang tidak bercerai mempengaruhi besarnya nilai tiap dimensi psychological well-being.
Adanya tekanan batin seperti konflik keluarga yang harus dihadapi, rasa bersalah dan

munculnya rasa kesepian menyebabkan remaja memiliki nilai psychological well-being yang
rendah. Terbukti dengan nilai dimensi penerimaan diri remaja yang orang tua bercerai
memiliki nilai terendah kemudian mempengaruhi dimensi penguasaan lingkungan dan
tujuan hidup menjadi rendah. Sehingga pada saat berinteraksi di lingkungan sosial remaja
menjadi kesulitan, terbukti dengan munculnya nilai dimensi hubungan positif dengan orang
lain yang rendah. Berbeda dengan dimensi otonomi dan pertumbuhan diri yang cenderung
tinggi, karena secara tidak langsung lingkungan sosial menuntut remaja untuk mandiri dan
berkembang menjadi lebih baik dari keadaan yang telah mereka alami.
Berbeda dengan remaja yang berasal dari orang tua tidak bercerai (utuh) yang
cenderung memiliki tingkat psychological well-being lebih tinggi. Adanya perhatian yang
didapatkan dari kedua orang tua dan terciptanya suasana yang harmonis di keluarga
mengakibatkan remaja memiliki nilai psychological well-being yang lebih baik. Terbuktikan
dengan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh) memiliki nilai tertinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain dibandingkan dimensi lainnya. Remaja dari orang tua
utuh juga tidak harus mengalami tekanan ataupun konflik keluarga seperti yang dialami oleh
remaja yang orang tuanya bercerai. Sehingga muncul rasa percaya diri yang mengakibatkan
nilai dimensi penguasaan lingkungan juga tinggi. Adanya penerimaan diri yang baik juga
mempengaruhi dimensi tujuan hidup remaja menjadi baik. Perhatian yang terpenuhi dari
kedua orang tua menyebabkan nilai dimensi otonomi remaja menjadi rendah karena dalam
mengambil keputusan dalam hidup remaja masih mendapatkan bantuan dari pihak keluarga.

Rasa aman yang didapatkan dari keluarga juga mempengaruhi dimensi pertumbuhan diri
remaja menjadi yang paling rendah, karena remaja merasa hidupnya tidak terancam dan
harus segera melakukan perbaikan. Hal inilah yang menjadikan psychological well-being
berbeda antara remaja yang orang tuanya bercerai dengan remaja yang orang tua tidak
bercerai (utuh).
Secara statistik dengan uji t-test jika ditinjau dari jenis kelamin tidak ditemukan
perbedaan psychological well-being yang signifikan bagi remaja laki-laki dan perempuan.
Jenis kelamin remaja yang orang tua bercerai keduanya memiliki nilai psychological wellbeing yang rendah, dan yang orang tua utuh keduanya memiliki nilai yang tinggi. Usia yang
sama dalam kategori remaja mengakibatkan remaja laki-laki dan perempuan memiliki tahap
kognitif yang sama sehingga pola pikir dalam menghadapi permasalahan pun cenderung
sama.
Psychological well-being remaja dari orang tua bercerai juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan sosial. Adanya perhatian dari keluarga besar dan teman-teman terdekat dapat
membantu anak menjadi merasa tidak diabaikan sepenuhnya. Lama perceraian orang tua
dan usia anak saat orang tua bercerai juga dapat mempengaruhi coping stress yang
menjadikan anak dapat mengatasi konflik keluarga yang dihadapi.