PERLINDUNGAN KONSUMEN Dipersembahkan unt badan hukum perdata

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dipersembahkan untuk Hukum Perdata Dagang

Disusun Oleh :

Anne Analia (8143136661)
Indri Nuaristiani (8143136646)
Ria Vinola Widia Wati (8143136659)
Sanur Gita Uli Samosir (8143136682)
Siti Nur Wulan (8143136660)
D3 Sekretari 2013
JURUSAN EKONOMI DAN ADMINISTRASI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014

I.

Pengertian
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
member perlindungan kepada konsumen.

II. Hak dan Kewajiban bagi Konsumen dan Pelaku
Usaha
Berdasarkan pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan kewajiban
konsumen antara lain:

a. Hak dan Kewajiban Konsumen
 Hak konsumen
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)


Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau
jasa
Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa, sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosialnya
Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/ atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

 Kewajiban konsumen
1. Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang
dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

b.

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban
pelaku usaha, sebagai berikut.

 Hak pelaku usaha
1)

hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik

3)

hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen
4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

 Kewajiban pelaku usaha
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen

Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar nutu barang atau jasa yang berlaku
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa
tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat maupun yang
diperdagangkan
Memberi kompensasi, ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan
Memberi kompensasi ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian.

III. Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yakni:
1. Asas Manfaat
Adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan

Adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Adalah pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

IV. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan perlindungan konsumen meliputi:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif
pemakaian barang dan/ atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen,

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

V. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha














Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17

UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni
pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;

Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluwarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.







Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri.Misalnya kegiatan usaha di bidang
makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Tak jarang pula,
tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha.Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui
label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan
tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang

sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.Menurut saya rusak berarti
benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.Sedangkan tercemar berarti pada awalnya
benda tersebut baik dan utuh.Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan
benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

VI. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA






Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.di
dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas
kerugian yand diderita konsumen, apabila :
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
Cacat barang timbul pada kemudian hari.
Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan

VII. SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Sanksi
Perdata
:
Ganti
rugi
dalam
bentuk
:
-Pengembalian
uang
atau
-Penggantian
barang
atau
-Perawatan
kesehatan,
dan/atau
-Pemberian
santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi
:
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat
(2)
dan
(3),
20,
25
Sanksi
Pidana
:
Kurungan
:
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat
(2),
15,
17
ayat
(1)
huruf
a,
b,
c,
dan
e
dan
Pasal
18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat
(1),
14,
16
dan
17
ayat
(1)
huruf
d
dan
f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
*
Hukuman
tambahan
,
antara
lain
:
o
Pengumuman
keputusan
Hakim
o
Pencabuttan
izin
usaha.
o
Dilarang
memperdagangkan
barang
dan
jasa.
o
Wajib
menarik
dari
peredaran
barang
dan
jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen 1

“Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT”
Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari
Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan
Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang
di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi
Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan
pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan
syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker
lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya
karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang
sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang
dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang).
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke
Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang
pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah
menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian
(Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi
kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini
menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk
harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada
kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan
akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih
tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1. a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan, peraturan yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan
jumlah yang sebenarnya.

2.
a.

b.

3.
a.
b.
c.
4.
a.
b.
c.
5.
6.
a.
b.

b. Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang
dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan, kondisi,
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode atau penggunaan tertentu, janji yang diberikan.
c. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling
baik atas barang tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
d. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label
e. Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama
dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus
dipasang atau dibuat.
f. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu
tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu, dalam
keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan
kelengkapan dari barang tertentu.
Secara tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen, langsung/tidak langsung merendahkan
barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap, menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan
maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan
menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang
mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan
mengenai :
Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan
tidak mengandung cacat tersembunyi.
Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.

c.

Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud
menjual barang lain.

Analisis

1.
2.
3.
4.
5.
6.

a.
b.

c.
d.

Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai
konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan
adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:
Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
Teliti sebelum membeli;
Biasakan belanja sesuai rencana;
Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1
kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak
jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat
mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya
penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan
terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan
(seperti rhodamin B dan methanil yellow).
Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa”.
Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam
dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan
mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui
informasi komposisi bahan makanannya.

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen 2

“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih
marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales
perusahaan penjual motor menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang
tukang becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai
timbul ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan
mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming
kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia, dimana
persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak

pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku yang telah ditetapkan
pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk
itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki
hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam
mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF.
Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut.
Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan
telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada
cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan
sepeda motor dari PT. AF.
Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan
Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara
penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan
penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.
Penanganan Kasus
Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan
menggali 2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan
telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga
Fidusia, sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang
merupakan klausula baku. Saat konsumen
mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi
ketentuan Ps. 18 UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor yang dibeli konsumen;
b. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen
secara angsuran.
c. Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya
batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.
2. Pendaftaran Jaminan Fidusia
PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia,
sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya perjanjian jaminan
fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa
(akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung
(parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen.
Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap

objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu
penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.
3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran
ketujuh.Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat
dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor
(konsumen) dan sebagian hak milik kreditor.
Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh
lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah
tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu.
2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama
mengenai:
a. hak-hak dan kewajiban para pihak
b. kapan perjanjian itu jatuh tempo;
c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta
merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan
ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta
pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Contoh Kasus Pelindungan Konsumen 3

“Kasus Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings
Air”
KASUS
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings
Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat
bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara
konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion)
yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul
08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket,
ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia
merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu
di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan
untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang
berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ANALISA

KASUS

Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan
Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam
arti
Luas.
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof.
Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu
corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang
menghambat
perekonomian
dan
kemakmuran
rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk
yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana
ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit
adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang
7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah
tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang
lain
yang
mengatur
tentang
tindak
pidana
ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings
Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan
tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya
dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan
tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan
dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam
perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan
dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
yang
sebesar-besarnya
oleh
pelaku
usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan
adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama
disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK
diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen
secara
integrative
dan
komprehensif
dapat
dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan
konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah
konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali
atau
reseller
consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5
asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya
secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan

Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta
negara
menjamin
kepastian
hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan
dan
keselamatan
konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum
Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya
penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum
Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya,
dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya
dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP.
2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan
berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain.
Sebagaimana
ditentukan
berdasarkan
Pasal
18
UUPK
yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian
apabila:
a.
menyatakan
pengalihan
tanggung
jawab
pelaku
usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan
batal
demi
hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang
ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari
pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan
pelaku
usaha
berdasarkan
prinsip
kebebasan
berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan
perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung
jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat
klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan
oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan
datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal

tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam
tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan
pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada
penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan
konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang
timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air
bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan
pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum
berjalan dengan efektif dan sesuai harapan.Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih
marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini
pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman
klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa UndangUndang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini
baru
samapi
pada
tahap pemahaman
dan
sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana
perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa
kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa
dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi
terhadap
konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan
membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan
social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum
Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi
hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan
jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.

DAFTAR PUSTAKA
http://widiawati-blogs.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
http://silmi-sabila.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
http://cuzzyncuz.wordpress.com/2013/05/20/perlindungan-konsumen-dan-contoh-kasus/
http://agussetiadis.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
http://nadi4rahayu.blogspot.com/2012/12/makalah-perlindungan-konsumen.html
http://arditanunung.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-bisnis-tentang.html