BAB II KEDUDUKAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA 1. Tugas dan Wewenang Pengurus Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Yayasan - Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan

BAB II KEDUDUKAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA 1. Tugas dan Wewenang Pengurus Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Yayasan Pengurus merupakan organ eksekutif dalam Yayasan, karena pengurus yang

  melakukan pengurusan baik di dalam dan di luar Yayasan. Pengurus menjalankan roda Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

  Anggota pengurus yang telah diangkat dalam rapat Pembina, memiliki masa jabatan yang terbatas seperti pada umumnya yang berlaku pada pejabat Negara/ Pemerintah maupun pejabat perusahaan. Untuk pengurus Yayasan, Pasal 23 ayat (1) Undang – undang Yayasan menyebutkan, bahwa masa jabatan pengurus Yayasan adalah lima tahun dan dapat diangkat kembali. Pembatasan pengangkatan pengurus Yayasan tidak dibatasi oleh Undang – undang, namun

   dapat dibatasi oleh anggaran daasar Yayasan.

  Dalam suatu Yayasan tidak mungkin diurus oleh satu orang pengurus saja. Didalam Undang – undang Yayasan dikehendaki pengurus lebih dari satu orang, agar pekerjaan pengurus dapat dibagi – bagi dengan pengurus – pengurus lainnya, sehingga beban kepengurusan dapat menjadi ringan untuk dipikul secara bersama

  • – sama. Dalam Pasal 32 ayat (2) Undang – undang Yayasan telah mengatur, bahwa susunan pengurus Yayasan minimal harus ada tiga orang yang menduduki jabatan yaitu sebagai berikut:
  • 36 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia ,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal.
a.

  Ketua Yayasan b.

  Sekertaris Yayasan c. Bendahara Yayasan

  Namun apabila Yayasan tergolong maju dan memiliki kegiatan yang banyak, pengurus Yayasan haruslah dikembangkan. Dalam hal ini pengembangan susunan pengurus Yayasan tersebut dapat dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan, agar semua pengurus Yayasan menjadi terikat.

  Pengurus Yayasan dalam menjalankan tugasnya wajib dilakukan dengan itikad baik. Kewajiban tersebut dengan tegas diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Undang – undang Yayasan yang menyebutkan bahwa setiap anggota pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Sebagai konsekuensi dari tugas dan tanggungjawab tersebut, maka apabila pengurus menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga, Pasal 35 ayat (5) undang undang Yayasan memberi sanksi,

   bahwa setiap pengurus bertanggung jawab secara pribadi.

  Kata setiap pengurus dalam Pasal tersebut berarti ‘masing – masing anggota pengurus’. Kerugian yang terjadi bukan dibebankan kepada anggota pengurus yang menyebabkan timbulnya kerugian, melainkan kepada seluruh pengurus Yayasan yang dananya berasal dari harta pribadi. Sebenarnya kata yang 37 dirasa tepat untuk pertanggungjawaban pengurus yang demikian, seperti dalam Undang – undang hukum dagang (KUHD) istilah yang digunakan adalah bertanggungjawab secara tanggung – menanggung mempunyai maksud dan tujuan yang sama.

  Bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh pengurus Yayasan seperti dimaksud itu maka jika melakukan gugatan ke pengadilan tetap menggugat kepada Yayasan, bukan kepada pengurus Yayasan, karena perbuatan pengurus dilakukan atas nama Yayasan. Yayasan juga tetap harus bertanggungjawab sepenuhnya kepada pihak ketiga, sedangkan untuk urusan ke dalam yang diderita

38 Yayasan dibebankan pada pengurus.

  Pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan Yayasan, baik untuk kepentingan maupun tujuan Yayasan serta mewakili Yayasan, baik didalam maupun diluar pengadilan, sesuai dengan asas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa pengurus mewakili Yayasan dalam melakukan gugatan atau digugat. Pengurus bertanggungjawab secara pribadi apabila yang bersangkutan

   dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar.

  Berdasarkan Pasal 35 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001, tugas dan wewenang Yayasan adalah: a.

  Bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan

  38 39 Ibid, Hal. 95

  b.

  Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.

  c.

  Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.

  d.

  Ketentuan tentang syarat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam anggaran dasar Yayasan e.

  Setiap pengurus bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.

  Kemudian Pasal 39 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001 : a.

  Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut,maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

  b.

  Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggungjawaab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Dari ketentuan dalam Pasal 35 tersebut, yang menyatakan bahwa pengurus harus melakukan tugasnya dengan itikad baik, menunjukan bahwa pengurus dalam melakukan tugasnya berdasarkan fiduciary duty. Sedangkan ketentuan yang menyatakan bahwa pengurus dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh anggaran dasar (statytory duty).

  Kemudian ketentuan Pasal 39 Undang undang Yayasan No 16 tahun 2001 memperlihatkan bahwa pengurus tidak boleh menimbulkan kerugian bagi Yayasan, yang disebabkan ketidakcakapannya ataupun kelalaiannya. Hal ini menunjukan bahwa pengurus dalam menjalankan tugasnya juga bertolak dari duty

   of skill and care.

  Dari pembahasan di atas dapat terlihat bahwa dalam menjalankan

  

  tugasnya, seorang pengurus harus berlandaskan : a.

  Fiduciary duty b.

  Duty of Skill And Care c. Statutory duty 1.

   Fiduciary duty

  Pengurus dalam melakukan tugasnya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh Pembina atau pendiri, untuk kepentingan Yayasan secara keseluruhan dan bukanlah untuk kepentingan pribadi organ Yayasan, serta harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. Bilamana pengurus berbuat untuk keuntungan bagi diri mereka sendiri, atau pihak ketiga, atau merugikan Yayasan, perbuatan tersebut memperlihatkan tidak adanya itikad baik dari para pengurus Yayasan tersebut. Ada dua prinsip standar yang harus dipenuhi oleh pengurus dalam membuat keputusan. Pertama, harus dilakukan dengan itikad baik untuk 40 41 Ibid, Hal. 107

  kepentingan Yayasan, dan kedua, harus dibuat untuk tujuan yang benar sesuai dengan tujuan Yayasan.

42 Prinsip – prinsip dalam fiduciary duty adalah sebagai berikut

  

  a. Pengurus dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan dan atau sepengetahuan Yayasan. (the conflict rule)

  :

  b. Pengurus tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan Yayasan (the profit rule)

  c. Pengurus tidak boleh mempergunakan atau menyalahgunakan milik Yayasan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga (the

  misappropriation rule)

  Prinsip diatas konsepnya berbeda satu sama lain, tetapi sering kali diterapkan secara bersamaan dan berhimpitan. Dalam hubungan dengan pengurus tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya. Sehingga diantara tindakan pengurus yang dapat merugikan Yayasan adalah melakukan transaksi antara Yayasan dan dirinya sendiri ataupun mengambil kesempatan memperoleh keuntungan yang seharusnya untuk Yayasan, dilaksanakan sendiri bagi kepentingan sendiri.

  Pengurus berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap keuntungan pribadi yang diperoleh karena jabatannya kepada Yayasan. Lebih jauh pengurus tidak boleh berada dalam posisi di mana kewajibannya terhadap 42 Ibid, Hal. 108 43 perseroan bertentangan dengan kepentingan pribadinya (the profit rule). Dengan demikian, umpamanya pengurus tidak dapat menjual miliknya pribadi kepada Yayasan karena dalam hal ini terdapat pertentangan kepentingan antara pribadi pengurus dan kepentingan Yayasan. Pribadi pengurus menghendaki agar miliknya dapat terjual dengan harga setinggi – tingginya, sebaliknya pengurus berkewajiban agar Yayasan dapat membeli dengan harga serendah mungkin.

  Pengurus harus menghindari konflik tersebut karena tidak satupun pengurus boleh melibatkan diri dalam suatu kontrak dimana ia memiliki kepentingan pribadi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik kepentingan dengan kepentingan perusahaan yang harus dilindunginya.

  Ide sentral dari hubungan fiduciary adalah melayani kepentingan pihak lain. Suatu hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berhak mengharapkan pihak lain untuk berbuat bagi kepentingan pihak pertama itu atau dalam kepentingan bersama mengesampingkan secara terpisah kepentingan pihak kedua.

  Kewajiban untuk melayani kepentingan pihak lain memberikan implikasi mengharuskan pihak yang melayani untuk menghindari menempatkan dirinya dalam posisi cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri atau kepentingan

   pihak lain yang bukan seharusnya dilayani.

  Bila seorang pengurus melanggar fiduciary duty, pengurus yang memperoleh keuntungan dari pelanggaran tersebut diwajibkan memegangnya sebagaimana seorang constructive trustee. Begitu pula setiap orang yang diketahui

  44 membantu terjadinya pelanggaran atau menerima keuntungan juga dibebani

   kewajiban untuk bertindak sebagai seorang constructive trustee.

  Konflik kepentingan ini terutama timbul bila pengurus secara pribadi melakukan transaksi dengan Yayasan atau pengurus memperkerjakan dirinya sendiri untuk memperoleh kontra prestasi dari Yayasan.

2. Duty of Skill And Care

   Doktrin duty of skill and care seperti diuraikan di awal tadi telah dianut

  oleh Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001, antara lain dalam Pasal 39..

  Pasal 39 Undang Undang Nomor 16 tahun 2001 (1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan

  Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.

  Secara bahasa apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, duty of skill and

  

care kewajiban dan kemampuan dalam bekerja. Kata duty dapat berarti sebagai

  tugas ataupun kewajiban. Sedangkan kata skill berkaitan dengan kesanggupan serta profesionalisme. Dan kata care mencakup arti tentang kepedulian terhadap sesuatu, kehati – hatian, rajin dan bekerja. Tugas dan kewajiban pengurus dalam 45 hubungan duty of skill and care bersumber dari kontrak, kepatutan/kewajaran, peraturan perUndang – undangan serta anggaran dasar Yayasan.

  Kesukaran timbul dalam menentukan batas minimal kemampuan dan kehati – hatian yang harus dimiliki oleh seorang pengurus. Hal ini terutama karena pada mulanya seorang pengurus biasanya masih amatir dan tidak memiliki kemampuan seorang professional. Persoalannya adalah Undang – undang tidak memberikan ukuran atau standar bagi apa yang dimaksud dengan kecakapan yang dibutuhkan bagi seorang pengurus dan juga batasan dari suatu perbuatan yang merupakan suatu kelalaian. Bertolak dari pandangan bahwa pada mulanya pengurus Yayasan adalah seorang amatir, tidaklah beralasan untuk menetapkan standar yang sama bagi kecakapan dan kelalaian itu.

  Namun, jika pengurus jujur dalam melakukan tugas dan wewenangnya, dia tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, kecuali kesahalahan yang timbul karena kelalaian yang sangat besar. Diperlukan suatu pernyataan yang tepat mengenai pertanggungjawaban pengurus ini. Pada dasarnya seseorang tidak dapat dinyatakan melakukan kesalahan karena kelalaian, besar atau kecil kecuali dapat ditentukan sampai berapa jauh atau luas tugas yang diduga telah dilalaikan.

  Tugas seorang pengurus adalah melakukan kegiatannya dengan kehati – hatian yang beralasan dapat diharapkan dari dirinya, sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.

  Permasalahan yang timbul adalah mengenai kewenangan bertindak pengurus serta pertanggungjawaban Yayasan sebagai suatu badan hukum atas tindakan- tindakan yang dilakukan pengurus terhadap pihak ketiga. Pengurus Yayasan mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan. Dalam hubungan ini ada dua sisi yang harus diperhatikan, yaitu kekuasaan pengurus untuk mewakili, guna bertindak untuk serta dan atas nama Yayasan. Sedangkan pada sisi lain, kewenangan pengurus mewakili Yayasan ataupun kewenangan pengurus dengan segala persyaratan serta pembatasannya sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar.

3. Statutory Duty

  Kewenangan bertindak pengurus Yayasan, seperti halnya kewenangan bertindak pengurus suatu badan hukum dirumuskan dalam anggaran dasarnya.

  Anggaran dasar merupakan hukum positif yang mengikat organ Yayasan. Kekuatan mengikat anggaran dasar tidak dapat dikesampingkan. Dalam hal ingin melakukan hal – hal yang bertentangan atau tidak sejalan dengan anggaran dasar, maka yang dapat dilakukan adalah mengubah anggaran dasar sesuai dengan ketentuan Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001 dan anggaran dasar itu sendiri. Dengan demikian, pengurus Yayasan menjakankan apa yang dikenal

   sebagai perwakilan statute, yaitu perwakilan yang berdasarkan anggaran dasar.

  Wewenang pengurus tidak timbul dari peraturan perUndang – undangan, jadi hanya berdasarkan anggaran dasar, tidak dapat dipaksakan oleh pihak ketiga atau terhadap pihak lain. Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001 sendiri membatasi wewenang pengurus Yayasan dalam hal terjadi perkara antara Yayasan dan anggota pengurus Yayasan yang bersangkutan atau dalam hal 46 anggota pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan Yayasan.

  Pasal 36 Undang – undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 (1) Anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila:

  a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang bersangkutan; atau b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan. (2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berhak mewakili Yayasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

  Pengaturan tersebut untuk menghindari adanya conflict of interest dari anggota pengurus, yang akan berakibat merugikan Yayasan. Dapat terjadi status

  

conflict , di mana seorang anggota pengurus di satu pihak dalam kapasitasnya

  mewakili Yayasan, sedangkan di lain pihak mewakili dirinya sebagai anggota pengurus Yayasan, sehingga akan terjadi dua kepentingan yang berbeda, di satu pihak harus membela kepentingan Yayasan, dan di lain pihak harus membela kepentingan diri sendiri selaku anggota pengurus Yayasan.

  Untuk mengatasi masalahnya, tidak dapat Yayasan meminta bantuan hukum kepada seorang advokat, kemudian yang memberi dan menandatangani surat kuasa adalah pengurus Yayasan, ini sama saja persoalannya. Adapun jalan keluarnya menurut Pasal 36 ayat (6) yang berhak mewakili Yayasan ditetapkan dalam anggaran dasar. Ketika membuat anggaran dasar hal ini harus diatur lebih dahulu siapa yang berwenang, jangan pada waktu terjadi sengketa ketentuannya belum ada, sehingga terjadi kekosongan aturan yang dapat mengakibatkan kerugian Yayasan. Sebaiknya dalam hal – hal tertentu ini, menurut hemat kami dapat diberikan kepada pengawas untuk mewakili Yayasan, dengan cara

   mencantumkan pada anggaran dasarnya terlebih dahulu.

  Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, organ Yayasan lainnya, dan karyawan Yayasan, kecuali bila hal tersebut bermanfaat bagi tercapainya tujuan Yayasan. Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam mengurus Yayasan yang mengakibatkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu lima tahun setelah putusan tersebut tidak dapat diangkat menjadi pengurus Yayasan manapun. Pengurus yang karena kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan Yayasan pailit dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, bertanggungjawab

   secara tanggug renteng atas kerugian tersebut.

  B.

  

Kedudukan Pengurus Yayasan Terhadap Penyelenggaraan Perguruan

Tinggi di Indonesia

  Dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia terdapat beberapa

  

  prinsip yaitu a.

  Pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika b.

  Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, 47 kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; 48 Gatot Supramono, Op.Cit, Hal. 96 49 Pasal 39 Undang – undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan

  c.

  Pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika d.

  Pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat e.

  Keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; f.

  Pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang; g.

  Kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa; h.

  Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna i. Keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi j.

  Pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi

  Prinsip – prinsip tersebut merupakan hal yang ideal agar tujuan dari penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dapat tercapai dan berjalan dengan semestinya. Sehingga untuk mencapai penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, pihak penyelenggara pendidikan, baik pemerintah dan penyelenggara swasta seperti Yayasan wajib menjunjung tinggi prinsip – prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut.

  Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang – undang Sisdiknas, penyelenggaraan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat harus berbentuk atau dibawah badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik dengan prinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Hal ini juga berlaku terhadap penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.

  Dampak dari ketentuan Pasal 53 tersebut menyebabkan eksistensi dari Undang – undang no 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Nasional. Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Nasional tersebut dikarenakan beberapa hal yaitu:

   a.

  UU BHP secara keseluruhan dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

  b.

  Majelis hakim MK menilai UU BHP berusaha menyeragamkan pendidikan dan mempersempit akses masyarakat miskin dalam memperoleh hak di bidang pendidikan. Penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945.

  c.

  MK menilai UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. UU itu dianggap bertentangan dengan Pasal 28 d Ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945.

  d.

  Majelis hakim MK menyatakan UU BHP memiliki kelemahan dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Pengaturan badan hukum pendidikan dalam UU BHP dinilai tidak sesuai dengan 50 Payung Yayasan Pendidikan, rambu-rambu yang pernah diberikan MK dalam putusan sebelumnya, terkait dengan Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas e.

  Pemberian otonomi kepada PTN berakibat beragam, misalnya lebih banyak PTN tidak mampu menghimpun dana karena keterbatasan pasar usaha di tiap daerah, dan hal ini bisa mengganggu penyelenggaraan pendidikan Terhadap dibatalkannya UU BHP ini, Mendiknas awalnya menafsirkan bahwa pembatalan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP berimplikasi pada adanya kevakuman hukum bagi Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Alasannya di dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, disebutkan bahwa Yayasan tidak boleh menyelenggarakan pendidikan secara langsung tetapi harus membentuk badan usaha, dan konsekuensinya mencari untung. Jika mencari untung maka bertentangan dengan prinsip pendidikan. Karena itu, Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan setelah batalnya UU BHP perlu payung hukum baru. Jika tidak, maka kegiatan Yayasan dianggap tidak sah.

  Pada dasarnya kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran yang cukup besar baik di bidang administrasi maupun di bidang keuangan. Namun, hal yang paling utama dari kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi adalah pembentukan statuta Perguruan Tinggi.

  Statuta adalah peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di

51 Perguruan Tinggi. Hal ini berarti ketentuan mengenai organisasi dan tata kelola

  Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Yayasan haruslah berdasarkan statuta Perguruan Tinggi.

  Statuta Perguruan Tinggi tersebut paling sedikit memuat: 1.

  Ketentuan Umum 2. Identitas 3. Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tingi 4. Sistem penjaminan mutu internal 5. Bentuk dan tata cara Penetapan Peraturan 6. Pendanaan dan kekayaan 7. Ketentuan Peralihan dan 8. Ketentuan Penutup

  Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pengurus Yayasan memiliki kedudukan dan peranan yang cukup besar dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi, yaitu dari pembuatan statuta Perguruan Tinggi yang juga mencakup tentang peraturan Perguruan Tinggi, pendanaan, serta sistem penyelenggaraannya.

  Dalam penyelenggaraannya, Perguruan Tinggi juga memiliki akuntabilitas publik, yang diwujudkan melalui pemenuhan atas kewajiban untuk menjalankan visi dan misi Pendidikan Tinggi nasional sesuai izin Perguruan Tinggi dan sesuai izin program studi yang ditetapkan oleh menteri. Dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi swasta, target kinerja tersebut juga ditetapkan oleh badan penyelenggara, dalam hal ini pengurus Yayasan penyelenggara Perguruan 51 Pasal 1 Butir 16 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi

52 Tinggi. Karena ketentuan mengenai akuntabilitas publik Perguruan Tinggi tersebut diatur di dalam statuta masing – masing Perguruan Tinggi.

  Dalam pengelolaan Pendidikan Tinggi terdapat pengaturan yang meliputi otonomi Perguruan Tinggi, pola pengelolaan Perguruan Tinggi, tata kelola Perguruan Tinggi dan akuntabilitas publik. Hal ini berarti Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridharma Perguruan Tinggi, termasuk juga Perguruan Tinggi swasta.

  Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi meliputi bidang akademik, yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang – undangan. Kemudian otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Otonomi pengelolaan pada Perguruan Tinggi swasta diatur oleh badan penyelenggara, dalam hal ini adalah Yayasan

   sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang – undangan.

  Namun dalam praktiknya, Perguruan Tinggi swasta yang bernaung di bawah Yayasan, secara operasional sering terjadi ”benturan” dengan Yayasan.

  Dan yang telah menjadi kasus umum adalah tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan antara Yayasan dan PTS. Yayasan merasa sebagai pemilik, berhak 52 Pasal 33 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan

  Pengelolaan Perguruan Tinggi 53 Pasal 22 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi mencampuri urusan operasional, sampai pada masalah-masalah pengaturan ruangan, posisi ruangan, proses seleksi dosen, sementara pihak universitas (PTS) merasa Yayasan terlalu jauh mengintervensi pelaksanaan operasional universitas. Sikap yang terlalu hati-hati terkesan tidak adanya kepercayaan Yayasan terhadap manajemen Perguruan Tinggi swasta, apalagi kalau berurusan dengan proyek, dana dan pengadaan barang tertentu.

  Sebaliknya universitas terlalu mencurigai Yayasan dalam berbagai hal, karena tingkah polahnya yang terlalu kuat mendominasi, termasuk hal-hal ”sepele” yang dapat digolongkan pelanggaran terhadap statuta. Hal ini diperparah dengan komunikasi yang tidak transparan, pelanggaran hak dan wewenang pekerjaan membuat lingkup dan koridor wewenang semakin tidak jelas. Kondisi inilah yang menjadi isu utama terjadinya perpecahan serta tarik menarik kekuasaan antara Yayasan dan universitas.

  Pada akhirnya Perguruan Tinggi swasta yang didirikan oleh Yayasan mirip perusahaan keluarga, termasuk personil yang menduduki jabatan dalam manajemen Perguruan Tinggi swasta masih dalam ikatan kekerabatan, sehingga Perguruan Tinggi swasta seolah menjadi milik pribadi atau milik kelompoknya.

  Masalahnya, Yayasan dan manajemen Perguruan Tinggi swasta menjadi sangat harmonis, sehingga mudah tergoda secara masif dan kompak menyimpang pada tujuan semula. Hal tersebut yang menyebabkan Pemerintah merasa perlu mengatur hal ini, melalui Undang-Undang Yayasan (UU No.16 tahun 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 28 tahun 2004), agar akuntabilitas dan mutu pendidikan yang dikelolanya dapat lebih dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

  Pengurus Yayasan sangat berperan dalam ikut mengelola suatu Perguruan Tinggi swasta karena pengurus Yayasan ikut serta mengurusi bidang administrasi dan keuangan dan bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Sementara pengelolaan bidang akademik diserahkan kepada PTS masing-masing. Hanya satu pengurus Yayasan yang sama sekali tidak turut campur mengelola bidang keuangan maupun bidang administrasi. administrasi. Meskipun sudah ada pimpinan universitas dan jajaran di bawahnya, peran pengurus Yayasan dalam ikut serta mengelola PTS sangat dominan.

  Terjadinya perselisihan pendapat antara pengurus Yayasan dengan pengelola Perguruan Tinggi swasta pada umumnya disebabkan masalah keuangan dan pengelolaan administrasi. Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi perselisihan tersebut adalah melalui musyawarah dan rapat internal. Pengelolaan bidang administrasi, keuangan, maupun akademik di Perguruan Tinggi swasta sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

  Pengurus Yayasan hendaknya lebih fokus memikirkan kebijakan untuk pengembangan kegiatan Yayasan. Pemisahan kewenangan tersebut sangat penting untuk menghindari timbulnya perselisihan antara pengurus Yayasan dengan

   pengelola Perguruan Tinggi swasta.