Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGURUS YAYASAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

TANPA IZIN (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 275 K/ PID.SUS/ 2012 TENTANG YAYASAN UISU)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH:

NIM: 110200130 M IBNU HIDAYAH

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 195703261986011001 Dr. M Hamdan S.H., M.H.

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmalawaty,S.H.,M.Hum.

NIP. 196209071988112001 NIP. 197110051998011001

Dr. M. Eka Putra,S.H.M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

110200130 M IBNU HIDAYAH

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGURUS YAYASAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TANPA IZIN

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan UISU)


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGURUS YAYASAN YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TANPA IZIN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua, OK Iskandar S.H.,M.H dan Aziarni Hasibuan S.H., M.H yang telah memberikan dukungan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Azwar Mahyuzar S.H.,M.Hum selaku dosen Pembimbing Akademik;

6. Bapak Dr. M Hamdan S.H.,M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.

Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum pidana.

7. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum pidana.

8. Bapak Dr Muhammad Ekaputra S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing II.

Terimakasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang Bapak berikan selama ini dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai;

9. Ibu Nurmalawaty S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing I. Terimakasih atas

waktu, saran dan bimbingan yang Ibu berikan selama ini hingga saya menyelesaikan skripsi ini;


(5)

10.Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Kania Syafiza S.H. dan Muhammad Faqih Akbar, saudara penulis yang senantiasa

memberikan dukungan dan semangat dalam setiap kesempatan.

12.Sahabat penulis T. Azlanshah Alsani yang selalu bekerja sama dengan penulis

dalam segala kegiatan untuk mencapai kesuksesan bersama.;

13.Sahabat penulis Nurliza Chan yang telah bekerjasama dan selalu mendukung

penulis dalam kegiatan – kegiatan kemahasiswaan serta kegiatan akademik. Semoga proses yang telah dilewati selama ini menjani pengalaman berharga untuk menjadi lebih baik lagi.

14.Sahabat – sahabat penulis Rahmad Rivai, M Febriyandri, Tri Yanto Yeremia, M

Hadyan Yunhas Purba, Grace Sitinjak, Nida Syafwani, Natasya Rehulina, Ernanda, Nurul Fatimah yang telah bekerjasama dengan penulis dalam menjalani masa masa perkuliahan dari awal sampai sekarang;

15.Panitia Law Enforcement Fair 2013 dan 2014 Dika Ekaputra, Putri Indra Khairul,

Jodi, Fadli, serta seluruh panitia yang tidak dapat disebutkan semuanya.;

16.Divisi Kajian Keilmuan BTM Aladdinsyah Periode Virsa Aka, Saidesi, Lidya,

Retta Sari, Indah Dewi Elvika, Laila Fitriani,Dimas, dan seluruh keluarga besar divisi kajian keilmuan.;

17.Seluruh keluarga besar BTM Aladdinsyah SH Fakultas Hukum USU;

18.Seluruh Pengurus Kelompok Studi Insan Cita HMI FH USU;

19.Seluruh Anggota Biasa HMI Komisariat FH USU Bang Hary Azhar Ananda,

Bang Ihsan Anawali, Kak Nurul Atika, Kak Izma Suci Maivani, Tengku Devy Malinda, Putri Maysari, T. Azlanshah Alsani, M. Hadyan Yunhas Purba,


(6)

Bakhtiaruddin, Pupim Biddi, Winaldi, Shanditya, Rafikha Fazal, Ray Bachtian,Juangga, Anggie.;

20.Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA)

Randa Morgan, Nurul Amelia, Sarah Nova, Grace Dina, Nurul Ayu, Margaretha, Kiki Ayu Lestari, Putri Zulfita, Yogi Chaniago, Deni Hamdani, Harris Ketaren, Hafizham Addini, serta seluruh anggota IMADANA periode 2014-2015;

21.Untuk seluruh teman-teman terbaik selama di Fakultas Hukum USU yang tidak

dapat saya sebutkan satu per satu. Terima kasih telah memberikan dukungan dan semangat serta membuat hari-hari selama di perkuliahan menjadi lebih berarti;

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, April 2015

110200130 M Ibnu Hidayah


(7)

7

ABSTRAKSI

Nurmalawaty S.H., M.Hum. *

Dr. Muhammad Ekaputra S.H.,M.Hum. ** M Ibnu Hidayah ***

Pendidikan merupakan hal yang utama untuk mencapai kesejahteraan di masyarakat, sehingga diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Badan hukum Yayasan sebagai salah satu penyelenggaraan pendidikan swasta bertanggung jawab untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Namun pelaksanaannya sering terjadi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara tanpa izin oleh Yayasan melalui pengurusnya yang dapat menyebabkan ijazah yang dikeluarkan tidak sah. Salah satu contoh kasus penyelenggaraan tanpa izin tersebut adalah Kasus Yayasan UISU. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kedudukan pengurus yayasan terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia? bagaimana ketentuan

pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin? Bagaimana

pertanggungjawaban pengurus yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi berdasarkan putusan MA RI No. 275 k/ pid.sus/2012 tentang Yayasan UISU?

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan Undang-Undang, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan

menguraikan peraturan perundang - undangan yang terkait dengan

penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang dilakukan oleh pengurus yayasan. Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran di bidang administrasi, di bidang keuangan, dan yang paling utama adalah pembentukan statuta Perguruan Tinggi. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 adalah pidana penjara dan denda. Dimana ancaman pidana penjara adalah sepuluh tahun dan ancaman denda adalah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan UU No 12 Tahun 2012 menerapkan sanksi administratif. Pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin

Kata Kunci: Perbatasan, Indonesia dengan Malaysia, GBC, BNPP.

* Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II


(8)

8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 8

1.4 Keaslian Penulisan... 9

1.5 Tinjauan Kepustakaan ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 20

1.7 Sistematika Penulisan ... 23

BAB II A. Tugas dan Wewenang Pengurus Yayasan Berdasarkan Undang-Undang yayasan... 25

B. Kedudukan Pengurus Yayasan Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan di Perguruan Tinggi ... 36

BAB III A. Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional... 45 KEDUDUKAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TANPA IZIN


(9)

9

B. Ketentuan Sanksi Pidana Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional………55

C. Ketentuan Sanksi Pidana Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi ... ……63

BAB IV A. Yayasan UISU sebagai Penyelenggara Pendidikan Perguruan Tinggi ... 68

B. Putusan MA No Reg. 275 K/Pid.Sus/ 2012 ... 69

1.Kronologis Kasus ... 69

2.Dakwaan ... 73

3.Tuntutan ... 74

4.Putusan ... 77

5.Analisis Putusan ... 96

BAB V PENUTUP ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109 PERTANGGUNGJAWABAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PUTUSAN MA Reg No.275 K/Pid.Sus/2012


(10)

7

ABSTRAKSI

Nurmalawaty S.H., M.Hum. *

Dr. Muhammad Ekaputra S.H.,M.Hum. ** M Ibnu Hidayah ***

Pendidikan merupakan hal yang utama untuk mencapai kesejahteraan di masyarakat, sehingga diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Badan hukum Yayasan sebagai salah satu penyelenggaraan pendidikan swasta bertanggung jawab untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Namun pelaksanaannya sering terjadi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara tanpa izin oleh Yayasan melalui pengurusnya yang dapat menyebabkan ijazah yang dikeluarkan tidak sah. Salah satu contoh kasus penyelenggaraan tanpa izin tersebut adalah Kasus Yayasan UISU. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kedudukan pengurus yayasan terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia? bagaimana ketentuan

pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin? Bagaimana

pertanggungjawaban pengurus yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi berdasarkan putusan MA RI No. 275 k/ pid.sus/2012 tentang Yayasan UISU?

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan Undang-Undang, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan

menguraikan peraturan perundang - undangan yang terkait dengan

penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang dilakukan oleh pengurus yayasan. Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran di bidang administrasi, di bidang keuangan, dan yang paling utama adalah pembentukan statuta Perguruan Tinggi. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 adalah pidana penjara dan denda. Dimana ancaman pidana penjara adalah sepuluh tahun dan ancaman denda adalah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan UU No 12 Tahun 2012 menerapkan sanksi administratif. Pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin

Kata Kunci: Perbatasan, Indonesia dengan Malaysia, GBC, BNPP.

* Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II


(11)

10

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, sehingga manusia mampu mengembangkan kemampuan yang spesisifik, yang menyangkut daya cipta, rasa maupun karsa. Dengan akal budinya, maka kemampuan bersuara bisa menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi serta juga menyebabkan manusia mampu berpikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut sebagai makhluk pemikir.

Manusia adalah mahkluk yang memiliki akal dan tujuan dalam menjalani kehidupannya. Tujuan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, beberapa diantaranya yaitu dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tujuan ini dapat terwujud apabila manusia memiliki ilmu pengetahuan yang cukup di berbagai aspek dalam kehidupan. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan

gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.1

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Tujuan dari pendidikan sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk meningkatkan

1

Pasal 1 Butir 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi


(12)

keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang serta untuk kemajuan

peradaban serta kesejahteraan umat manusia.2

Untuk mencapai tujuan dari pendidikan tersebut, diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang baik. Pendidikan haruslah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, serta diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

Serta membantu terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

3

Pengelolaan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan tanggung jawab pemerintah melalui menteri. Dimana pemerintah menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dan pemerintah daerah melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sementara penyelenggaraan Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan di lembaganya.

2

Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

3

Chatamarrasjid Ais Badan Hukum Yayasan, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 185


(13)

Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses perkembangan di masyarakat. Karena Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan tertinggi, setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh Perguruan

Tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.4

Salah satu bentuk badan penyelenggara Perguruan Tinggi yang lazim ditemukan di masyarakat adalah berbentuk badan hukum Yayasan. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunnyai anggota.

Satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi adalah Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut berdasarkan penyelenggaranya terbagi atas dua, yaitu Perguruan Tinggi negeri dan Perguruan Tinggi swasta. Perguruan Tinggi negeri merupakan Perguruan Tinggi yang didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan Perguruan Tinggi swasta adalah Perguruan Tinggi yang didirikan oleh masyarakat.

5

Sebagai badan penyelenggara Perguruan Tinggi, Yayasan terbagi dalam organ – organ Yayasan yang terdiri dari tiga organ yaitu:

Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan memperoleh pengesahan dari kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

4

Pasal 1 Butir 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

5

Pasal 1 butir 1 Undang Undang Republik Indonesia No 16 tahun 2001 tentang Yayasan Jo Undang – undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang undang No 16 tahun 2001 tentang Yayasan


(14)

1. Pembina Yayasan adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas yang terdiri dari orang perseorangan yang merupakan pendiri Yayasan dan atau mereka yang berdasarkan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi

untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.6

2. Pengurus Yayasan adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan

Yayasan yang diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam anggaran dasar Yayasan, dan pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang

merugikan Yayasan.7

3. Pengawas Yayasan adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan

pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar, serta dapat memberhentikan pengurus Yayasan untuk sementara dengan mengemukakan alasan-alasan pemberhentian dan melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan pembina

6

Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 10

7


(15)

yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk seterusnya atau

pemberhentiannya dibatalkan.8

Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan berarti sangat bergantung terhadap organ – organ Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Hal ini berarti organ – organ Yayasan adalah pihak yang dapat menyelenggarakan pendidikan tersebut. Terutama pengurus Yayasan yang memiliki peran sangat dominan dalam melaksanakan kegiatan Yayasan, dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan.

Berbagai masalah timbul dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, baik itu permasalahan non akademis sampai permasalahan akademis. Permasalahan yang timbul disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya keadaan sosial di masyarakat, pengaruh negatif dari media ataupun konflik internal dari penyelenggara pendidikan yang berdampak terhadap para siswanya. Dalam beberapa tahun terakhir sering terdengar di media bahwa terjadi permasalahan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, dimana kasus yang terjadi banyak Perguruan Tinggi swasta yang dinyatakan illegal. Contohnya adalah kasus PTS Universitas Generasi Muda (UGM) Medan dan Universitas of

Sumatera9

8

Ibid, Hal. 19

, dimana Perguruan Tinggi swasta tersebut dinyatakan illegal karena dituduh tidak memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan, namun tetap membuka penerimaan mahasiswa dan tetap memberikan ijazah kepada mahasiswanya.

9

Medan Bisnis Daily, Dua PTS Dilaporkan Kopertis Ke Kepolisian, diakses dari:


(16)

Permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi tidak dapat dipisahkan dengan undang undang yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional dan Pendidikan Tinggi. Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur mengenai ketentuan pidana dari penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dalam Pasal 71 dimana Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling

banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dan juga mengenai ketentuan

pidana tentang pemberian ijazah tanpa hak yaitu Pasal 67 ayat (1) dimana Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sementara Undang – undang no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai penyelenggara Pendidikan Tinggi yang terdapat di dalam Pasal 42 ayat (4) dimana penyelenggara Pendidikan Tinggi harus memiliki hak untuk memberikan ijazah, dan apabila melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).10

Salah satu kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang juga menjadi sorotan di masyarakat adalah kasus penyelenggaraan pendidikan oleh

10

Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi


(17)

Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang disebabkan oleh konflik internal Yayasan sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan legalitas dan izin operasional pendidikan. Permasalahan ini berujung ke permasalahan pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan dimana Mahkamah Agung RI melalui

putusan No: NO 275 K/PID.SUS/2012 akhirnya menjatuhkan pidana terhadap

pengurus Yayasan UISU yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, dimana dalam putusan tersebut, yang dijatuhkan pidana adalah pengurus Yayasan, dalam hal ini ketua Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara. Hal ini perlu dikaji lebih dalam karena dalam Kasus Yayasan UISU tersebut yang menjadi penyebab permasalahan izin penyelenggaraan pendidikan tersebut dikarenakan adaya konflik internal dari Pengurus Yayasan.

Izin penyelenggaraan pendidikan merupakan hal yang esensial dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas, karena apabila suatu universitas tidak memiliki izin penyelenggaraan, pihak yang paling dirugikan adalah mahasiswa serta alumni lulusan universitas tersebut. Ijazah yang dikeluarkan oleh Universitas yang tidak memiliki izin dianggap tidak sah dan tidak berlaku, dan gelar akademik yang diperoleh tidak dapat digunakan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kepentingan mahasiswa kedepannya karena akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.

Berdasarkan latar belakang diatas serta berbagai permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan, terutama masalah tentang pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin serta tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin tersebut perlu diteliti lebih dalam, karena


(18)

berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan dunia pendidikan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan

pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan

tanpa izin?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam

penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/2012 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan

pendidikan di Perguruan Tinggi.

2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan


(19)

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012.

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Secara Teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

2. Secara Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.

b. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah

waawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No 275 k/pid.sus/2012


(20)

Tentang Yayasan UISU)”. Pembahasan pada skripsi ini dititikberatkan untuk melihat aspek pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan tanpa izin di Perguruan Tinggi.

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Jurnal Mahupiki), belum ada judul yang membahas mengenai dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP. Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu Pasal dalam KUHP, yang dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah


(21)

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan

merupakan “subyek” tindak pidana.11

Didalam peraturan perUndang – undangan di Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini

merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.12 Para ahli hukum pidana umumnya

masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian dengan apa yang didefinisikan oleh simons dan van hamel. Simons

mengatakan strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana,

bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan

oleh orang yang mampu bertanggungjawab.13 Sedangkan Van Hamel mengatakan

bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang –

undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan.14

Dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana di Negara – Negara civil

law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun

demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perUndang – undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tindak pidana berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama – tama suatu tindak pidana berisi

11

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT.Eresco, 2000), Hal. 55

12

Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), Hal. 26

13

S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia danPpenerapannya, ( Jakarta: Alumni Ahaem-Pthaem, 1986), Hal. 205

14


(22)

larangan terhadap kelakuan – kelakuan tertentu. Tindak pidana berisi rumusan

tentang akibat – akibat yang terlarang untuk diwujudkan15

2. Pertanggungjawaban Pidana

.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang

pembunuhan, perampokan, dsb)16. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai

pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi

pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana17

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai factor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Setiap sistem hukum modern mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah

melakukan tindak pidana. Baik di Negara – Negara civil law maupun common

law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negative. Hal ini

. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

15

Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 31

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta Balai Pustaka, 1991), hal. 1006

17


(23)

berarti, dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana sistem civil law lainnya, Undang – undang justru merumuskan keadaan – keadaan yang dapat

menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.18 Dengan demikian, yang

diatur adalah keadaan – keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan

dalam praktik peradilan di negara –negara common law, diterima berbagai alasan

umum pembelaan (General Defence) ataupun alasan umum peniadaan

pertanggungjawaban (general excusing liability)19

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan alasan

penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan

sepanjang pembuat tidak memiliki ‘defence’, ketika melakukan suatu tindak

pidana. Dalam lapangan acara pidana hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat

membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak

pidana itu. Untuk menghindari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika

melakukan tindak pidana.20

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus

18

Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), Hal. 260

19

Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 63

20


(24)

dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana

b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan sengaja atau kealpaan

d. Tidak adanya alasan pemaaf

3. Penyelenggaraan Pendidikan

Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi pelaksanaan jalur, jenjang, dan jenis Pendidikan Tinggi oleh Menteri untuk

mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.21

Penyelenggaraan pendidikan merupakan sistem pelaksanaan pendidikian baik dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat/ swasta. Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah Penyelenggaraan pendidikan tanpa izin merupakan salah satu tindak pidana di bidang pendidikan. tujuan pendidikan pada hakekatnya memiliki orientasi yang sangat mulia, namun di sisi lain bahwa dalam pelaksanaan pendidikan sering terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap norma – norma hukum atau kaidah – kaidah hukum yang ada. Pelanggaran-pelanggaran terhadap

21

Pasal 1 Butir 1 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi


(25)

kaidah-kaidah normatif pendidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

pendidikan.22

a. Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di

dalamnya

Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa tindak pidana pendidikan adalah suatu sikap tindak yang :

b. Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya

c. Baik disengaja maupun tidak disengaja

d. Pelakunya dapat siapa saja , baik ia itu seorang pengajar baik di dalam

ataupun di luar lembaga pendidikan formal, ataupun seorang murid, ataupun pihak orang tua/wali murid ataupun mungkin juga orang lain lagi yang sikap tindaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung mendatangkan pengaruh yang buruk pula terhadap kelangsungan suatu pendidikan, baikpendidikan tersebut bersifat formal maupun nonformal

e. Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah di atur maupun yang

belum di atur secara yuridis dalam peraturanperaturan hukum yang

berlaku23

4. Badan Hukum Yayasan

Yayasan merupakan salah satu badan hukum yang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di

22

A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan Suatu Ttinjauan Filosofis-Edukatif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 108

23


(26)

bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai

anggota.24

1. Pembina

Dalam pelaksanaannya Yayasan terdiri dari tiga organ Yayasan yaitu:

Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang – undang

ini atau anggaran dasar, kewenangan Pembina Yayasan meliputi25

a. Keputusan mengenai perubahan anggaran dasar

:

b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota

pengawas

c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan anggaran dasar

d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan

e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran

Yayasan.

Anggota Pembina diangkat dari orang – perseorangan yang adalah pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Pembina mempunyai semua kewenangan yang tidak diserahkan, baik kepada pengurus maupun pengawas oleh Undang –

undang ataupun anggaran dasar.26

24

Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 2

25

Pasal 28 ayat (2) Undang – undang RI no 16 tahun 2001 tentang Yayasan Jo. Undang – undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang undang No 16 tahun 2001 tentang Yayasan

26


(27)

Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh penguus atau pengawas. Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas. Selanjutnya, anggota Pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota organ suatu badan usaha yang didirikan Yayasan bersangkutan atau badan usaha di

mana Yayasan bersangkutan menanamkan modalnya.27

2. Pengurus

Peranan pengurus sangat dominan pada suatu organisasi. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengawas. Larangan perangkapan jabatan dimaksud untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggungjawab antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan

kepentingan Yayasan atau pihak lain.28

Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam anggaran dasar Yayasan. Pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang merugikan

27

Ibid, Hal. 11

28


(28)

jabatan.29

Pengurus Yayasan, sesuai dengan asas persona standi in judicio, mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan. Jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, anggaran dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan Yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit. Selanjutnya pengurus Yayasan juga dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, organ Yayasan, dan karyawan Yayasan, kecuali bila perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya tujuan Yayasan. Pengurus yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam mengurusi suatu Yayasan, selama lima tahun sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat menjadi pengurus Yayasan manapun.

Susunan pengurus Yayasan terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara.

30

3. Pengawas

Pengawas merupakan organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengurus Yayasan. Wewenang, tugas dan tanggung jawab pengawas Yayasan diatur dalam anggaran dasar Yayasan itu sendiri. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengurus. Pengawas diangkat dan sewaktu – waktu

29

Ibid.

30


(29)

dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.

Pengawas dapat memberhentikan pengurus untuk sementara dengan mengemukakan alasan alasan pemberhentian dan melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan Pembina yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk

seterusnya atau justru pemberhentian dibatalkan.31

Pengawas dalam melakukan tugasnya harus berdasarkan ”duty of

skill and care”, yaitu harus berdasarkan kecakapan dan kehati – hatian yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengawas. Oleh karena itu, bila kepailitan terjadi karena kesalahan dan atau kelalaian, seperti juga pada pengurus, setiap anggota pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut, kecuali anggota yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaian anggota tersebut. Anggota pengawas yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu paling lama lima

Pengawas diangkat oleh Pembina untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pembina wajib memberitahukan secara tertulis perihal penggantian ini kepada menteri hukum dan hak asasi manusia, dan kepada instansi terkait. Penggantian pengawas harus sesuai dengan anggaran dasar.

31


(30)

tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat

menjadi pengawas Yayasan manapun.32

Dalam penelitian skripsi ini, metode penelitian diperlukan agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan – peraturan mengenai pertanggungjawaban pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet, Koran dan sebagainya

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

33

Penggunaan metode hukum normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normative seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perUndang – undangan

.

32

Ibid, Hal. 20

33

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad 20, (bandung: penerbit Alumni, 1994), Hal. 139


(31)

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang

dianggap pantas.34

Sifat penelitian yang dipergunakan adalah menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan objek atau masalah tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi objek kajian.

2. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perUndang – undangan yang

ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

3. Sifat Penelitian

35

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat

yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Seperti berbagai peraturan perundang undangan yang meliputi Undang – undang, peraturan pemerintah, dll.

4. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan data sekunder yang terdiri atas:

34

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 118

35

H. Zainudin Ali, Metode penelitian hukum, ( Jakarta: Sinar grafika, 2009), Hal. 175-177


(32)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku – buku, dan pendapat para ahli hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)

5. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku, literatur, peraturan perundang-undangan dan artikel yang selanjutnya dicatat relevansinya dalam rangka memecahkan masalah.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.

Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder berupa dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.


(33)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap sub – sub bab, agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, sub bab ini merupakan gambaran umum yang berisi

tentang , Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika penulisan.

BAB II: Pembahasan mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam

penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan hukum positif di Indonesia, yang dimulai dengan bagaimana tugas dan wewenang dari pengurus Yayasan sebagai organ Yayasan, kemudian mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.

BAB III: Pembahasan mengenai pengaturan ketentuan tindak pidana

penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yaitu ditinjau dari Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan dari undang undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

BAB IV: Pembahasan mengenai aspek pertanggungjawaban pengurus

Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan MA no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 yang dimulai dari pembahasan secara umum mengenai Yayasan UISU sebagai


(34)

penyelenggara pendidikan, kemudian dilanjutkan pembahasan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 dimulai dari kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, putusan, serta analisis putusan tersebut.

BAB V: Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab – bab

sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian skripsi ini dilengkapi dengan saran – saran.


(35)

25

BAB II

KEDUDUKAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

1. Tugas dan Wewenang Pengurus Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Yayasan

Pengurus merupakan organ eksekutif dalam Yayasan, karena pengurus yang melakukan pengurusan baik di dalam dan di luar Yayasan. Pengurus menjalankan roda Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Anggota pengurus yang telah diangkat dalam rapat Pembina, memiliki masa jabatan yang terbatas seperti pada umumnya yang berlaku pada pejabat Negara/ Pemerintah maupun pejabat perusahaan. Untuk pengurus Yayasan, Pasal 23 ayat (1) Undang – undang Yayasan menyebutkan, bahwa masa jabatan pengurus Yayasan adalah lima tahun dan dapat diangkat kembali. Pembatasan pengangkatan pengurus Yayasan tidak dibatasi oleh Undang – undang, namun

dapat dibatasi oleh anggaran daasar Yayasan. 36

Dalam suatu Yayasan tidak mungkin diurus oleh satu orang pengurus saja.

Didalam Undang – undang Yayasan dikehendaki pengurus lebih dari satu orang, agar pekerjaan pengurus dapat dibagi – bagi dengan pengurus – pengurus lainnya, sehingga beban kepengurusan dapat menjadi ringan untuk dipikul secara bersama – sama. Dalam Pasal 32 ayat (2) Undang – undang Yayasan telah mengatur, bahwa susunan pengurus Yayasan minimal harus ada tiga orang yang menduduki jabatan yaitu sebagai berikut:

36

Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia ,(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal. 85 - 86


(36)

a. Ketua Yayasan

b. Sekertaris Yayasan

c. Bendahara Yayasan

Namun apabila Yayasan tergolong maju dan memiliki kegiatan yang

banyak, pengurus Yayasan haruslah dikembangkan. Dalam hal ini pengembangan susunan pengurus Yayasan tersebut dapat dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan, agar semua pengurus Yayasan menjadi terikat.

Pengurus Yayasan dalam menjalankan tugasnya wajib dilakukan dengan

itikad baik. Kewajiban tersebut dengan tegas diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Undang – undang Yayasan yang menyebutkan bahwa setiap anggota pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Sebagai konsekuensi dari tugas dan tanggungjawab tersebut, maka apabila pengurus menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga, Pasal 35 ayat (5) undang undang Yayasan memberi sanksi,

bahwa setiap pengurus bertanggung jawab secara pribadi.37

Kata setiap pengurus dalam Pasal tersebut berarti ‘masing – masing

anggota pengurus’. Kerugian yang terjadi bukan dibebankan kepada anggota pengurus yang menyebabkan timbulnya kerugian, melainkan kepada seluruh pengurus Yayasan yang dananya berasal dari harta pribadi. Sebenarnya kata yang

37


(37)

dirasa tepat untuk pertanggungjawaban pengurus yang demikian, seperti dalam Undang – undang hukum dagang (KUHD) istilah yang digunakan adalah bertanggungjawab secara tanggung – menanggung mempunyai maksud dan tujuan yang sama.

Bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh pengurus Yayasan seperti

dimaksud itu maka jika melakukan gugatan ke pengadilan tetap menggugat kepada Yayasan, bukan kepada pengurus Yayasan, karena perbuatan pengurus dilakukan atas nama Yayasan. Yayasan juga tetap harus bertanggungjawab sepenuhnya kepada pihak ketiga, sedangkan untuk urusan ke dalam yang diderita

Yayasan dibebankan pada pengurus.38

Pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan Yayasan, baik

untuk kepentingan maupun tujuan Yayasan serta mewakili Yayasan, baik

didalam maupun diluar pengadilan, sesuai dengan asas persona standi in judicio.

Ini berarti bahwa pengurus mewakili Yayasan dalam melakukan gugatan atau digugat. Pengurus bertanggungjawab secara pribadi apabila yang bersangkutan

dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar.39

a. Bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk

kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan

Berdasarkan Pasal 35 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001,

tugas dan wewenang Yayasan adalah:

38

Ibid, Hal. 95

39


(38)

b. Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.

c. Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),

pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.

d. Ketentuan tentang syarat mengangkat dan memberhentikan pelaksana

kegiatan Yayasan diatur dalam anggaran dasar Yayasan

e. Setiap pengurus bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang

bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.

Kemudian Pasal 39 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001 :

a. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengurus

dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut,maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

b. Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan

karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggungjawaab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.

Dari ketentuan dalam Pasal 35 tersebut, yang menyatakan bahwa pengurus harus melakukan tugasnya dengan itikad baik, menunjukan bahwa pengurus


(39)

menyatakan bahwa pengurus dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh

anggaran dasar (statytory duty).

Kemudian ketentuan Pasal 39 Undang undang Yayasan No 16 tahun 2001 memperlihatkan bahwa pengurus tidak boleh menimbulkan kerugian bagi Yayasan, yang disebabkan ketidakcakapannya ataupun kelalaiannya. Hal ini

menunjukan bahwa pengurus dalam menjalankan tugasnya juga bertolak dari duty

of skill and care.40

Dari pembahasan di atas dapat terlihat bahwa dalam menjalankan

tugasnya, seorang pengurus harus berlandaskan41

a. Fiduciary duty

:

b. Duty of Skill And Care c. Statutory duty

1. Fiduciary duty

Pengurus dalam melakukan tugasnya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh Pembina atau pendiri, untuk kepentingan Yayasan secara keseluruhan dan bukanlah untuk kepentingan pribadi organ Yayasan, serta harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. Bilamana pengurus berbuat untuk keuntungan bagi diri mereka sendiri, atau pihak ketiga, atau merugikan Yayasan, perbuatan tersebut memperlihatkan tidak adanya itikad baik dari para pengurus Yayasan tersebut. Ada dua prinsip standar yang harus dipenuhi oleh pengurus dalam membuat keputusan. Pertama, harus dilakukan dengan itikad baik untuk

40

Ibid, Hal. 107

41


(40)

kepentingan Yayasan, dan kedua, harus dibuat untuk tujuan yang benar sesuai

dengan tujuan Yayasan.42

Prinsip – prinsip dalam fiduciary duty adalah sebagai berikut43

a. Pengurus dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk

kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan

dan atau sepengetahuan Yayasan. (the conflict rule)

:

b. Pengurus tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus

untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak

ketiga, kecuali atas persetujuan Yayasan (the profit rule)

c. Pengurus tidak boleh mempergunakan atau menyalahgunakan milik

Yayasan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga (the

misappropriation rule)

Prinsip diatas konsepnya berbeda satu sama lain, tetapi sering kali diterapkan secara bersamaan dan berhimpitan. Dalam hubungan dengan pengurus tidak boleh memperoleh keuntungan pribadi karena posisi yang dijabatnya. Sehingga diantara tindakan pengurus yang dapat merugikan Yayasan adalah melakukan transaksi antara Yayasan dan dirinya sendiri ataupun mengambil kesempatan memperoleh keuntungan yang seharusnya untuk Yayasan, dilaksanakan sendiri bagi kepentingan sendiri.

Pengurus berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap keuntungan pribadi yang diperoleh karena jabatannya kepada Yayasan. Lebih jauh pengurus tidak boleh berada dalam posisi di mana kewajibannya terhadap

42

Ibid, Hal. 108

43


(41)

perseroan bertentangan dengan kepentingan pribadinya (the profit rule). Dengan demikian, umpamanya pengurus tidak dapat menjual miliknya pribadi kepada Yayasan karena dalam hal ini terdapat pertentangan kepentingan antara pribadi pengurus dan kepentingan Yayasan. Pribadi pengurus menghendaki agar miliknya dapat terjual dengan harga setinggi – tingginya, sebaliknya pengurus berkewajiban agar Yayasan dapat membeli dengan harga serendah mungkin. Pengurus harus menghindari konflik tersebut karena tidak satupun pengurus boleh melibatkan diri dalam suatu kontrak dimana ia memiliki kepentingan pribadi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik kepentingan dengan kepentingan perusahaan yang harus dilindunginya.

Ide sentral dari hubungan fiduciary adalah melayani kepentingan pihak

lain. Suatu hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berhak mengharapkan

pihak lain untuk berbuat bagi kepentingan pihak pertama itu atau dalam kepentingan bersama mengesampingkan secara terpisah kepentingan pihak kedua. Kewajiban untuk melayani kepentingan pihak lain memberikan implikasi mengharuskan pihak yang melayani untuk menghindari menempatkan dirinya dalam posisi cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri atau kepentingan

pihak lain yang bukan seharusnya dilayani.44

Bila seorang pengurus melanggar fiduciary duty, pengurus yang

memperoleh keuntungan dari pelanggaran tersebut diwajibkan memegangnya

sebagaimana seorang constructive trustee. Begitu pula setiap orang yang diketahui

44


(42)

membantu terjadinya pelanggaran atau menerima keuntungan juga dibebani

kewajiban untuk bertindak sebagai seorang constructive trustee.45

2. Duty of Skill And Care

Konflik kepentingan ini terutama timbul bila pengurus secara pribadi melakukan transaksi dengan Yayasan atau pengurus memperkerjakan dirinya sendiri untuk memperoleh kontra prestasi dari Yayasan.

Doktrin duty of skill and care seperti diuraikan di awal tadi telah dianut

oleh Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001, antara lain dalam Pasal 39..

Pasal 39 Undang Undang Nomor 16 tahun 2001

(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

(2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.

Secara bahasa apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, duty of skill and

care kewajiban dan kemampuan dalam bekerja. Kata duty dapat berarti sebagai

tugas ataupun kewajiban. Sedangkan kata skill berkaitan dengan kesanggupan

serta profesionalisme. Dan kata care mencakup arti tentang kepedulian terhadap

sesuatu, kehati – hatian, rajin dan bekerja. Tugas dan kewajiban pengurus dalam

45


(43)

hubungan duty of skill and care bersumber dari kontrak, kepatutan/kewajaran, peraturan perUndang – undangan serta anggaran dasar Yayasan.

Kesukaran timbul dalam menentukan batas minimal kemampuan dan kehati – hatian yang harus dimiliki oleh seorang pengurus. Hal ini terutama karena pada mulanya seorang pengurus biasanya masih amatir dan tidak memiliki kemampuan seorang professional. Persoalannya adalah Undang – undang tidak memberikan ukuran atau standar bagi apa yang dimaksud dengan kecakapan yang dibutuhkan bagi seorang pengurus dan juga batasan dari suatu perbuatan yang merupakan suatu kelalaian. Bertolak dari pandangan bahwa pada mulanya pengurus Yayasan adalah seorang amatir, tidaklah beralasan untuk menetapkan standar yang sama bagi kecakapan dan kelalaian itu.

Namun, jika pengurus jujur dalam melakukan tugas dan wewenangnya, dia tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, kecuali kesahalahan yang timbul karena kelalaian yang sangat besar. Diperlukan suatu pernyataan yang tepat mengenai pertanggungjawaban pengurus ini. Pada dasarnya seseorang tidak dapat dinyatakan melakukan kesalahan karena kelalaian, besar atau kecil kecuali dapat ditentukan sampai berapa jauh atau luas tugas yang diduga telah dilalaikan. Tugas seorang pengurus adalah melakukan kegiatannya dengan kehati – hatian yang beralasan dapat diharapkan dari dirinya, sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.

Permasalahan yang timbul adalah mengenai kewenangan bertindak pengurus serta pertanggungjawaban Yayasan sebagai suatu badan hukum atas tindakan- tindakan yang dilakukan pengurus terhadap pihak ketiga. Pengurus


(44)

Yayasan mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan. Dalam hubungan ini ada dua sisi yang harus diperhatikan, yaitu kekuasaan pengurus untuk mewakili, guna bertindak untuk serta dan atas nama Yayasan. Sedangkan pada sisi lain, kewenangan pengurus mewakili Yayasan ataupun kewenangan pengurus dengan segala persyaratan serta pembatasannya sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar.

3. Statutory Duty

Kewenangan bertindak pengurus Yayasan, seperti halnya kewenangan bertindak pengurus suatu badan hukum dirumuskan dalam anggaran dasarnya. Anggaran dasar merupakan hukum positif yang mengikat organ Yayasan. Kekuatan mengikat anggaran dasar tidak dapat dikesampingkan. Dalam hal ingin melakukan hal – hal yang bertentangan atau tidak sejalan dengan anggaran dasar, maka yang dapat dilakukan adalah mengubah anggaran dasar sesuai dengan ketentuan Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001 dan anggaran dasar itu sendiri. Dengan demikian, pengurus Yayasan menjakankan apa yang dikenal

sebagai perwakilan statute, yaitu perwakilan yang berdasarkan anggaran dasar.46

Wewenang pengurus tidak timbul dari peraturan perUndang – undangan, jadi hanya berdasarkan anggaran dasar, tidak dapat dipaksakan oleh pihak ketiga atau terhadap pihak lain. Undang – undang Yayasan nomor 16 tahun 2001 sendiri membatasi wewenang pengurus Yayasan dalam hal terjadi perkara antara Yayasan dan anggota pengurus Yayasan yang bersangkutan atau dalam hal

46


(45)

anggota pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan Yayasan.

Pasal 36 Undang – undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001

(1) Anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila:

a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang bersangkutan; atau

b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.

(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berhak mewakili Yayasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pengaturan tersebut untuk menghindari adanya conflict of interest dari

anggota pengurus, yang akan berakibat merugikan Yayasan. Dapat terjadi status

conflict , di mana seorang anggota pengurus di satu pihak dalam kapasitasnya mewakili Yayasan, sedangkan di lain pihak mewakili dirinya sebagai anggota pengurus Yayasan, sehingga akan terjadi dua kepentingan yang berbeda, di satu pihak harus membela kepentingan Yayasan, dan di lain pihak harus membela kepentingan diri sendiri selaku anggota pengurus Yayasan.

Untuk mengatasi masalahnya, tidak dapat Yayasan meminta bantuan hukum kepada seorang advokat, kemudian yang memberi dan menandatangani surat kuasa adalah pengurus Yayasan, ini sama saja persoalannya. Adapun jalan keluarnya menurut Pasal 36 ayat (6) yang berhak mewakili Yayasan ditetapkan dalam anggaran dasar. Ketika membuat anggaran dasar hal ini harus diatur lebih dahulu siapa yang berwenang, jangan pada waktu terjadi sengketa ketentuannya belum ada, sehingga terjadi kekosongan aturan yang dapat mengakibatkan kerugian Yayasan. Sebaiknya dalam hal – hal tertentu ini, menurut hemat kami


(46)

dapat diberikan kepada pengawas untuk mewakili Yayasan, dengan cara

mencantumkan pada anggaran dasarnya terlebih dahulu.47

Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, organ Yayasan lainnya, dan karyawan Yayasan, kecuali bila hal tersebut bermanfaat bagi tercapainya tujuan Yayasan. Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam mengurus Yayasan yang mengakibatkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu lima tahun setelah putusan tersebut tidak dapat diangkat menjadi pengurus Yayasan manapun. Pengurus yang karena kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan Yayasan pailit dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, bertanggungjawab

secara tanggug renteng atas kerugian tersebut.48

B. Kedudukan Pengurus Yayasan Terhadap Penyelenggaraan Perguruan Tinggi di Indonesia

Dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia terdapat beberapa

prinsip yaitu49

a. Pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika

:

b. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;

47

Gatot Supramono, Op.Cit, Hal. 96

48

Pasal 39 Undang – undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan

49


(47)

c. Pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika

d. Pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang

hayat

e. Keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa

dalam pembelajaran;

f. Pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan

lingkungan secara selaras dan seimbang;

g. Kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat,

dan kemampuan Mahasiswa;

h. Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna

i. Keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara

ekonomi

j. Pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta

dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi

Prinsip – prinsip tersebut merupakan hal yang ideal agar tujuan dari penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dapat tercapai dan berjalan dengan semestinya. Sehingga untuk mencapai penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, pihak penyelenggara pendidikan, baik pemerintah dan penyelenggara swasta seperti Yayasan wajib menjunjung tinggi prinsip – prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut.


(48)

Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang – undang Sisdiknas, penyelenggaraan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat harus berbentuk atau dibawah badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik dengan prinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Hal ini juga berlaku terhadap penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.

Dampak dari ketentuan Pasal 53 tersebut menyebabkan eksistensi dari Undang – undang no 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Nasional. Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009

tentang Badan Hukum Nasional tersebut dikarenakan beberapa hal yaitu:50

a. UU BHP secara keseluruhan dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

b. Majelis hakim MK menilai UU BHP berusaha menyeragamkan

pendidikan dan mempersempit akses masyarakat miskin dalam memperoleh hak di bidang pendidikan. Penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tidak sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945.

c. MK menilai UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan

nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. UU itu dianggap bertentangan dengan Pasal 28 d Ayat (1) dan Pasal 31 UUD 1945.

d. Majelis hakim MK menyatakan UU BHP memiliki kelemahan dari aspek

yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Pengaturan badan hukum pendidikan dalam UU BHP dinilai tidak sesuai dengan

50

Payung Yayasan Pendidikan,


(49)

rambu-rambu yang pernah diberikan MK dalam putusan sebelumnya, terkait dengan Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas

e. Pemberian otonomi kepada PTN berakibat beragam, misalnya lebih

banyak PTN tidak mampu menghimpun dana karena keterbatasan pasar usaha di tiap daerah, dan hal ini bisa mengganggu penyelenggaraan pendidikan

Terhadap dibatalkannya UU BHP ini, Mendiknas awalnya menafsirkan bahwa pembatalan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP berimplikasi pada adanya kevakuman hukum bagi Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Alasannya di dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, disebutkan bahwa Yayasan tidak boleh menyelenggarakan pendidikan secara langsung tetapi harus membentuk badan usaha, dan konsekuensinya mencari untung. Jika mencari untung maka bertentangan dengan prinsip pendidikan. Karena itu, Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan setelah batalnya UU BHP perlu payung hukum baru. Jika tidak, maka kegiatan Yayasan dianggap tidak sah.

Pada dasarnya kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran yang cukup besar baik di bidang administrasi maupun di bidang keuangan. Namun, hal yang paling utama dari kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi adalah pembentukan statuta Perguruan Tinggi.

Statuta adalah peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di


(50)

Perguruan Tinggi. 51

1. Ketentuan Umum

Hal ini berarti ketentuan mengenai organisasi dan tata kelola Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Yayasan haruslah berdasarkan statuta Perguruan Tinggi.

Statuta Perguruan Tinggi tersebut paling sedikit memuat:

2. Identitas

3. Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tingi

4. Sistem penjaminan mutu internal

5. Bentuk dan tata cara Penetapan Peraturan

6. Pendanaan dan kekayaan

7. Ketentuan Peralihan dan

8. Ketentuan Penutup

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pengurus Yayasan memiliki kedudukan dan peranan yang cukup besar dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi, yaitu dari pembuatan statuta Perguruan Tinggi yang juga mencakup tentang peraturan Perguruan Tinggi, pendanaan, serta sistem penyelenggaraannya.

Dalam penyelenggaraannya, Perguruan Tinggi juga memiliki akuntabilitas publik, yang diwujudkan melalui pemenuhan atas kewajiban untuk menjalankan visi dan misi Pendidikan Tinggi nasional sesuai izin Perguruan Tinggi dan sesuai izin program studi yang ditetapkan oleh menteri. Dalam penyelenggaraan Perguruan Tinggi swasta, target kinerja tersebut juga ditetapkan oleh badan penyelenggara, dalam hal ini pengurus Yayasan penyelenggara Perguruan

51

Pasal 1 Butir 16 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi


(51)

Tinggi.52

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi meliputi bidang akademik, yaitu penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang – undangan. Kemudian otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Otonomi pengelolaan pada Perguruan Tinggi swasta diatur oleh badan penyelenggara, dalam hal ini adalah Yayasan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang – undangan.

Karena ketentuan mengenai akuntabilitas publik Perguruan Tinggi tersebut diatur di dalam statuta masing – masing Perguruan Tinggi.

Dalam pengelolaan Pendidikan Tinggi terdapat pengaturan yang meliputi otonomi Perguruan Tinggi, pola pengelolaan Perguruan Tinggi, tata kelola Perguruan Tinggi dan akuntabilitas publik. Hal ini berarti Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridharma Perguruan Tinggi, termasuk juga Perguruan Tinggi swasta.

53

Namun dalam praktiknya, Perguruan Tinggi swasta yang bernaung di

bawah Yayasan, secara operasional sering terjadi ”benturan” dengan Yayasan. Dan yang telah menjadi kasus umum adalah tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan antara Yayasan dan PTS. Yayasan merasa sebagai pemilik, berhak

52

Pasal 33 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi

53

Pasal 22 PP No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi


(52)

mencampuri urusan operasional, sampai pada masalah-masalah pengaturan ruangan, posisi ruangan, proses seleksi dosen, sementara pihak universitas (PTS) merasa Yayasan terlalu jauh mengintervensi pelaksanaan operasional universitas. Sikap yang terlalu hati-hati terkesan tidak adanya kepercayaan Yayasan terhadap manajemen Perguruan Tinggi swasta, apalagi kalau berurusan dengan proyek, dana dan pengadaan barang tertentu.

Sebaliknya universitas terlalu mencurigai Yayasan dalam berbagai hal, karena tingkah polahnya yang terlalu kuat mendominasi, termasuk hal-hal ”sepele” yang dapat digolongkan pelanggaran terhadap statuta. Hal ini diperparah dengan komunikasi yang tidak transparan, pelanggaran hak dan wewenang pekerjaan membuat lingkup dan koridor wewenang semakin tidak jelas. Kondisi inilah yang menjadi isu utama terjadinya perpecahan serta tarik menarik kekuasaan antara Yayasan dan universitas.

Pada akhirnya Perguruan Tinggi swasta yang didirikan oleh Yayasan mirip perusahaan keluarga, termasuk personil yang menduduki jabatan dalam manajemen Perguruan Tinggi swasta masih dalam ikatan kekerabatan, sehingga Perguruan Tinggi swasta seolah menjadi milik pribadi atau milik kelompoknya. Masalahnya, Yayasan dan manajemen Perguruan Tinggi swasta menjadi sangat harmonis, sehingga mudah tergoda secara masif dan kompak menyimpang pada tujuan semula. Hal tersebut yang menyebabkan Pemerintah merasa perlu mengatur hal ini, melalui Undang-Undang Yayasan (UU No.16 tahun 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 28 tahun 2004), agar akuntabilitas dan mutu


(53)

pendidikan yang dikelolanya dapat lebih dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Pengurus Yayasan sangat berperan dalam ikut mengelola suatu Perguruan Tinggi swasta karena pengurus Yayasan ikut serta mengurusi bidang administrasi dan keuangan dan bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Sementara pengelolaan bidang akademik diserahkan kepada PTS masing-masing. Hanya satu pengurus Yayasan yang sama sekali tidak turut campur mengelola bidang keuangan maupun bidang administrasi. administrasi. Meskipun sudah ada pimpinan universitas dan jajaran di bawahnya, peran pengurus Yayasan dalam ikut serta mengelola PTS sangat dominan.

Terjadinya perselisihan pendapat antara pengurus Yayasan dengan pengelola Perguruan Tinggi swasta pada umumnya disebabkan masalah keuangan dan pengelolaan administrasi. Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi perselisihan tersebut adalah melalui musyawarah dan rapat internal. Pengelolaan bidang administrasi, keuangan, maupun akademik di Perguruan Tinggi swasta sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Pengurus Yayasan hendaknya lebih fokus memikirkan kebijakan untuk pengembangan kegiatan Yayasan. Pemisahan kewenangan tersebut sangat penting


(54)

untuk menghindari timbulnya perselisihan antara pengurus Yayasan dengan

pengelola Perguruan Tinggi swasta.54

54

Suryarama, Peran Yayasan dalam Pengelolaan Bidang Pendidikan pada Perguruan Tinggi Swata, Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 1, Maret 2009, Hal. 55-62


(55)

45

BAB III

KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TANPA IZIN

A. Subjek Hukum Dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional

Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa saja yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan Hukum Pidana.

Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang manusia – manusia mana yang hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Hal ini berarti, bahwa hukum bisa mengecualikan manusia atau segolongan manusia tertentu sebagai mahkluk hukum. Sekalipun mereka adalah manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Bila hukum menentukan demikian, maka tertutuplah kemungkinan bagi orang – orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan

kewajiban.55

Keperluan hukum adalah mengurusi kepentingan manusia. Oleh karena kepentingan yang demikian itu hanya ada pada manusia yang hidup, maka konsep orang dalam hukum itu tidak membedakan antara manusia yang hidup dan orang dalam arti khayal, yaitu sebagai suatu konstruksi hukum. Menurut pendapat ini,

55

Muhammad Ekaputra, Dasar – dasar Hukum Pidana,( Medan, USUPress, 2010), Hal. 21


(56)

keduanya diterima sebagai orang oleh hukum. Karena hukumlah yang mengangkatnya sebagai demikian. Mengingat terjadi perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi dapat dibatasi

hanya pada manusia alamiah (Natural Person) tetapi mencakup pula korporasi

(legal person).56

1. Manusia Sebagai Subjek Hukum Pidana

Manusia Sebagai Subjek Hukum (natural person) adalah setiap orang

yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.

Menurut KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke

person, atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap – toap Pasal KUHP, Buku II dan buku III. Sebagian besar kaidah – kaidah hukum pidana di dalam kuhp

dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari bahasa belanda hiij.

Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini

tersimpulkan antara lain dari57

a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah:

Barangsiapa, warganegara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah – istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2 – 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal

2, 3dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (dengan terjemahan “setiap

orang”)

:

56

Ibid, Hal. 22

57


(57)

b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44, 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan kejiwaan dari petindak/pelaku.

c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP terutama

mengenai pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang.

Namun terdapat beberapa ahli yang tidak setuju/kontra terhadap penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana, dengan beberapa alasan

sebagai berikut58

a. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

hanya terdapat pada para persona alamiah :

b. Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya

beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang dan sebagainya)

c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak

dapat dikenakan terhadap korporasi.

d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinyaa

mungkin menimpa orang yang tidak bersalah.

e. Bahwa dala prakteknya tidak mudah menentukan norma – norma atas

dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua – duanya harus dituntut dan dipidana.

58


(1)

106 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengurus Yayasan dalam melakukan tugasnya dan kemudian

mempertanggungjawabkannya berdasarkan Fiduciary Duty, Duty of Skill dan Care dan Statutory duty, dimana tidak boleh ada kepentingan antara pengurus dan Yayasan, dan tidak memanfaatkan Yayasan untuk kepentingan pribadi. Tugas dan kewajiban pengurus Yayasan bersumber dari kontrak, kepatutan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pada dasarnya kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran yang cukup besar baik di bidang administrasi maupun di bidang keuangan. Namun, hal yang paling utama dari kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi adalah pembentukan statuta Perguruan Tinggi.

2. Berdasarkan Undang – undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tindak pidana yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin diatur didalam Pasal 67 ayat (1), (2), dan Pasal 71. Sedangkan berdasarkan Undang – undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, ketentuan pidana diatur di dalam Pasal 93. Subjek Hukum dalam Undang – undang No 20 Tahun 2003 dan Undang – undang No 12 Tahun 2012 adalah perorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan. Berarti Korporasi, dalam hal ini organisasi penyelenggara pendidikan dapat


(2)

dijatuhi pemidanaan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin. sanksi pidana yang diberikan dalam ketentuan pidana tersebut adalah dalam bentuk Sanksi pidana pokok, sedangkan sanksi pidana tambahan tidak ada. Pidana pokok yang terdapat didalam Pasal tersebut adalah pidana penjara dan denda. Dimana ancaman pidana penjara adalah sepuluh tahun dan ancaman denda adalah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Namun Undang – undang No 12 Tahun 2012 juga menerapkan sanksi administratif.

3. Kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan putusan Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 tentang Yayasan UISU tersebut merupakan tindak pidana yang disebabkan karena adanya konflik internal Pengurus Yayasan yang menyebabkan terjadinya dualisme penyelenggaraan UISU. Menurut pertimbangan majelis hakim, dikarenakan penyelenggaraan Yayasan UISU tersebut tidak diperpanjang, sehingga tidak memiliki izin, maka perbuatan pelaku dalam hal ini Ketua Yayasan UISU adalah tanpa hak. Majelis Hakim memberlakukan Pasal 67 ayat (1) Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap pelaku. Sehingga pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan putusan Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 adalah berkaitan dengan pemberian ijazah tanpa hak, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun., dengan masa percobaan 2 (dua tahun), serta denda sebesar Rp. 200.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. 4.


(3)

B. Saran

1. Diperlukan pembedaan tegas antara kedudukan Pengurus Yayasan sebagai penyelenggara pendidikan dengan pihak pengelola Universitas. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya perbedaan kepentingan yang dapat memberikan dampak negative terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pengurus Yayasan haruslah menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai peraturan perundang undangan dan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi.

2. Perlunya pengawasan dari Pemerintah, masyarakat, dan para penegak hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan. Agar pelanggaran – pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi dapat dicegah. Hal ini sangat esensial bagi perkembangan dunia pendidikan terutama perguruan tinggi.

3. Perlunya pemahaman oleh masyarakat dan para penegak hukum tentang perizinan dari penyelenggaraan pendidikan. Agar kedepannya tidak lagi terjadi permasalahan seperti dualisme Yayasan UISU yang menyebabkan ketidakjelasan status Mahasiswa UISU pada saat itu. Para penegak hukum juga harus dapat membedakan tentang perselisihan pengurus Yayasan yang merupakan sengketa perdata dimana belum ada pengesahan yang jelas mengenai status Yayasan pada saat itu, sehingga menyebabkan pertimbangan yang kurang baik dalam penyelesaian kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.

Ais Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2006.

Buku-buku

Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002

Lamintang P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung 1984

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990

Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002

Ekaputra Muhammad, Dasar – dasar Hukum Pidana, USUPress, Medan,2010 Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco,

Bandung, 2000

Huda Chairul, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Prenada Media Grup, Jakarta, 2008

Sianturi S.R., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Alumni Ahaem-Pthaem, Jakarta,1986.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Abidin Andi Zainal, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 1983.

Halim A. Ridwan, Tindak Pidana Pendidikan Suatu tinjauan filosofis-edukatif, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.


(5)

Hartono Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad 20, Penerbit Alumni, Bandung, 1994

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Ali H. Zainudin, Metode penelitian hukum, Sinar grafika, Jakarta,2009 Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Supramono Gatot, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana,

Jakarta, 2010

Hotmaulana Rufinus, Penanggulangan kejahatan korporasi melalui pendekatan restoratif suatu terobosan hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013

Marlina, Hukum Penitensier, PT Refika Aditama, Bandung, 2011 B.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Undang – undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


(6)

Peratutan Pemerintah No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi

Payung Yayasan Pendidikan, Dapat ditemukan di C. Sumber Internet

Diakses

pada tanggal 29 Januari 2015 Pukul 12.25 WIB

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional No 95 Tahun 2014 Tentang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri Serta Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

D. Lain - Lain


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/PID/2012 )

3 41 88

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 9 8

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 3 16

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 2 35

Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Malpraktek ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K PID 2012 )

0 1 2

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

0 0 24

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

0 0 9