Pengaruh Tingkat Stres Tehadap Gambaran Siklus Menstruasi Pada Mahasiswi SI Keperawatan Reguler Jalur A Universitas Sumatera Utara.

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Stres

  2.1.1. Definisi Stres Stres adalah suatu keadaan yang menekan diri individu yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan yang ada (Nasir & Muhith, 2011; Slamet, 2003). Dimana tuntutan (overtax) akibat stres terhadap suatu sistem dapat menyebabkan ketegangan, kecemasan, kebutuhan energi, usaha fisiologis dan psikologis (Sundberg, dkk, 2007). Hans Selye ( dalam Mc.Quade, 1991) juga menyebutkan bahwa stres merupakan respon non-spesifik dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang di buat atasnya.

  Menurut Sriati (2008) stres merupakan respon fisiologis, psikologis dan perilaku yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal. Sedangkan Rayburn (2001), menyebutkan bahwa stres merupakan respon fisiologis dan psikologis terhadap persepsi mengenai bahaya atau ancaman.

  Menurut Suliswati, (2005) stres bukanlah sesuatu hal yang buruk dan menakutkan tetapi merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak dapat dihindari.

  Kozier et al, (2010) mendefinisikan stres menjadi tiga bagian yaitu stres sebagai stimulus, respon dan transaksi. Sedangkan, Potter & Perry (2005) mendefenisikan stres menjadi empat bagian yaitu stres sebagai respon, adaptasi, stimulus dan transaksi. a.

  Stres sebagai respon didefinisikan Hans Selye sebagai respon non-spesifik dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang ditimpakan padanya.

  b.

  Stres sebagai adaptasi didasarkan pada pemahaman bahwa individu mengalami ansietas dan peningkatan stres ketika mereka tidak siap untuk menghadapi sesuatu yang menegangkan.

  c.

  Stres sebagai stimulus berfokus pada karakteristik yang mengganggu atau disruptif di dalam lingkungan.

  d.

  Stres sebagai transaksi memandang individu dan lingkungan dalam hubungan yang dinamis, resiprokal dan interaktif. Model ini berfokus pada proses yang berkaitan dengan stres seperti penilaian kognitif dan koping.

  2.1.2. Penggolongan Stres Nasir & Muhith, (2011) membagi jenis stres menjadi dua bagian yaitu anxiousness (distres) atau pleasure (eustres).

  a.

  Eustres (Stres positif) Dikatakan eustres jika stres memiliki dampak yang baik dan positif bagi individu. Stres yang baik terjadi jika stimulus mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran bukan sebuah tekanan bagi seseorang. Menurut Sundberg, dkk (2007), eustres bersifat menstimulasi, contohnya berbagai tantangan hidup yang memperkuat kemampuan dan mendukung perkembangan.

  b.

  Distres (Stres negatif) Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana respon yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi yang mengganggu integritas diri sehingga diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres akan menempatkan pikiran dan perasaan pada tempat dan suasana yang serba sulit. Hal tersebut dikarenakan cara memandang suatu masalah hanya dilihat dari sisi yang sempit dan merugikan. Dengan demikian, distres terjadi apabila suatu stimulus diartikan sebagai sesuatu yang merugikan dirinya dan dianggap sesuatu yang mencoba untuk menyerang dirinya. Hans Selye (1982 dalam Nasir & Muhith, 2011), menyebutkan bahwa distres adalah tubuh jika dihadapkan pada tuntutan yang berlebihan.

  2.1.3. Sumber Stres (Stresor) Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres (Nasir & Muhith, 2011). Menurut Potter &

  Perry (2005) dan Sundberg (2007), stimulasi yang menyebabkan stres atau mencetuskan perubahan disebut stressor. Wiramihardja, (2007) menyebutkan bahwa stressor adalah adjustive demand (yaitu tuntutan untuk menyesuaikan diri), sedangkan menurut Sriati, (2007) stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis.

  Menurut Marasmis (1999 dalam Sunaryo, 2004), terdapat empat sumber yang dapat dimasukkan dalam kategori dari stressor, yaitu frustasi, konflik, tekanan (pressure) dan krisis.

  a.

  Frustasi yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan ketika melakukan upaya untuk mencapai apa yang diinginkan atau ditujunya sehingga menimbulkan kekecewaan. Frustasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan yang menghambat kemajuan suatu cita-cita baik yang berasal dari dalam diri sendiri atau dari luar. Menurut Coleman cs. (1976 dalam Wiramihardja, 2007), reaksi dari frustasi ada dua macam yaitu:

  

Unfrustrated behavior (perilaku tidak terfrustasikan) dan frustrated behavior

  (perilaku yang terfrustasikan). Unfrustrated behavior (perilaku tidak terfrustasikan) yaitu perilaku berupa tindakan-tindakan yang tidak merusak (constructive) atau mengganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, ketika mengalami frustasi, misalnya prilaku seorang yang tidak lulus ujian, maka ia belajar lebih banyak untuk menempuh ujian berikutnya. Sedangkan frustrated behavior (perilaku yang terfrustasikan) adalah perilaku yang merusak (destructed), baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Misalnya, ketika orang gagal menempuh ujian, maka ia bukan belajar lebih banyak, melainkan menyuap dosen atau memecahkan kaca jendela sekolahnya atau bahkan tidak memiliki semangat untuk belajar atau hidup.

  b.

Konflik yaitu timbul karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam- macam keinginan, kebutuhan atau tujuan. Menurut Coleman cs. (1976 dalam

  Wiramihardja, 2007) ada 3 jenis konflik, yaitu :

  a). Approach-approach conflict, terjadi apabila individu harus memilih satu diantara dua alternatif yang sama-sama disukai atau yang diinginkan.

  Misalnya, seseorang yang sulit memilih salah satu dari dua film yang menarik. dalam hal ini, stres muncul akibat hilangnya kesempatan untuk menikmati alternatif yang tidak diambil. Jenis konflik ini biasanya sangat mudah dan cepat diselesaikan.

  b). Avoidance-avoidance conflict, terjadi bila individu dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak disenangi, tetapi salah satu harus dilakukan.

  Misalnya seseorang merasa malas untuk belajar menjelang ujian dikarenakan bahan perkuliahan yang terlalu banyak sehingga menyebabkan kejenuhan; tetapi kalau tidak belajar ia sadar betul bahwa ia akan kesulitan pada saat ujian dan nilai yang diperolehpun akan buruk.

  Jadi, belajar atau tidak belajar memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan.

  c). Approach-avoidance conflict, merupakan situasi dimana individu merasa tertarik sekaligus tidak menyukai atau ingin menghindar dari seseorang atau suatu objek yang sama. Menurut Baihaqi, dkk (2007) terdapat dua tipe frustasi, yaitu frustasi pribadi dan frustasi lingkungan. Frustasi pribadi adalah frustasi akibat dari kekurangan

  (insuffisiensi) seseorang, seperti tingkat inteligensi rendah, kekurangan kekuatan jasmani dll. Sedangkan frustasi lingkungan yaitu frustasi akibat adanya halangan- halangan dalam lingkungannya, seperti pembatasan yang ditekankan oleh orangtua, kekurangan uang c.

  Tekanan adalah suatu keadaan yang menimbulkan konflik, dimana individu merasa terpaksa atau dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin ia lakukan atau dipaksa untuk tidak melakukan hal-hal yang diinginkannya. Stres dapat ditimbulkan oleh tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggung seseorang.

  d.

  Krisis, yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres pada individu, misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus dioperasi.

  Menurut Nasir & Muhith, (2011) sumber stres (stressor) dibagi menjadi tiga kelompok yaitu stressor yang berasal dari individu, keluarga dan lingkungan.

  a.

  Diri individu, hal ini berkaitan dengan konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan

  avoidance.

  b.

  Keluarga. Hal yang cenderung memungkinkan munculnya stres dalam keluarga ditandai dengan hadirnya anggota baru, sakit, dan kematian dalam keluarga, perceraian, masalah keuangan.

  c.

Komunikasi dan Masyarakat. Sumber stres ini dapat terjadi di lingkungan atau masyarakat pada umumnya, seperti lingkungan pekerjaan, yang secara umum

  disebut sebagai stres pekerja karena lingkungan fisik, dikarenakan kurangnya hubungan interpersonal serta adanya pengakuan di masyarakat sehingga tidak dapat berkembang.

  2.1.4 Faktor – faktor yang menyebabkan Stres Santrock (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan stres terdiri atas :

  1) Beban yang terlalu berat, konflik dan frustasi

  Beban yang terlalu berat menyebabkan perasaan tidak berdaya, tidak memiliki harapan yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan yang sangat berat dan akan membuat penderitanya merasa kelelahan secara fisik dan emosional

  2) Faktor kepribadian

  Tipe kepribadian A merupakan tipe kepribadian yang cenderung untuk mengalami stres, dengan karakteristik kepribadian yang memiliki perasaan kompetitif yang sangat berlebihan, kemauan yang keras, tidak sabar, mudah marah dan sifat yang bemusuhan.

  3) Faktor kognitif Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian secara kognitif adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam atau menantang dan keyakinan mereka dalam menghadapi kejadian tersebut dengan efektif.

  4) Hubungan interpersonal Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat/orang-orang disekitar yang mengalami konflik.

  5) Lingkungan hidup Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang.

  Rasa tercekam dan tidak merasa aman ini amat mengganggu ketenangan dan ketenteraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh kedalam depresi dan kecemasan.

  Terjadinya stres karena stressor tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga mengakibatkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik, psikologis, bahkan spiritual. Sedangkan dampak dari stressor tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: Sifat stressor, jumlah stressor pada saat yang bersamaan, lama pemajanan terhadap stressor, pengalaman masa lalu, tingkat perkembangan (Kozier & Erb, 1983 dalam Keliat, 1998).

  2.1.5. Tingkatan Stres Tingkat stres diklasifikasikan menjadi tiga yaitu stres ringan, stres sedang dan stres berat (Potter &Perry, 1989 dalam Rasmun, 2004; Stuart & Sundeen,

  1998).

  a.

  Stres Ringan Jenis stres ini biasanya tidak merusak aspek fisiologis. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang, misalnya lupa, ketiduran, kemacetan, dikritik dll.

  Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam.

  b.

  Stres Sedang Pada tingkat stres ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.Stres sedang terjadi lebih lama dari stres ringan yaitu terjadi selama beberapa jam bahkan sampai beberapa hari, misalnya, perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan kerja, anak yang sakit dll.

  c.

Stres Berat

  Disebut juga sebagai stres kronis. Jenis stres ini terjadi selama beberapa minggu bahkan sampai beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial dan penyakit fisik yang lama. Makin sering dan makin lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan (Wiebe & Williams, 1992 dalam Potter & Perry, 2005)

  2.1.6. Faktor yang Mempengaruhi Tingkatan Stres Sunaryo, (2004) membagi faktor yang memengaruhi stres menjadi dua yaitu faktor biologis dan faktor psikoedukatif/sosio kultural. Faktor biologis, yaitu herediter, kondisi tubuh, kondisi fisik, neurofsiologik dan neurohormonal. Faktor

  

psiko-edukatif/sosio kultural yaitu perkembangan kepribadian, pengalaman, dan

kondisi lain yang mempengaruhi.

  Menurut Rasmun (2004), setiap individu akan mendapat efek stres yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu: a.

  Kemampuan individu mempersepsikan stresor Jika stresor dipersepsikan akan berakibat buruk bagi individu tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan akan semakin berat. Sebaliknya, jika stresor dipersepsikan tidak mengancam dan individu tersebut mampu mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.

  b.

  Intensitas terhadap stimulus Jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan mampu mengatasinya.

  c.

  Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama Jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan.

  d.

  Lamanya pemaparan stresor Memanjangnya lama pemaparan stresor dapat menyebabkan menurunnya kemampuan individu dalam mengatasi stres.

  e.

  Pengalaman masa lalu Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi stresor yang sama. f.

  Tingkat perkembangan Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga risiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan akan berbeda.

  2.1.7. Respon Stres

  Menurut Hans Selye (1956-1974), terdapat dua respon fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu lokal adaptation syndrom (LAS) dan general adaptation

  syndrome (GAS) (Nasir & Muhith, 2011; Potter &Perry, 2005).

  a. lokal adaptation syndrom (LAS)

  lokal adaptation syndrom (LAS) terdiri dari respon refleks nyeri dan respon

  inflamasi yaitu respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh terhadap stres karena trauma, penyakit atau perubahan fisiologis lainnya.

  b. general adaptation syndrome (GAS)

  Hans Selye (1956-1974), menguraikan general adaptation syndrome (GAS) menjadi tiga tahap, yakni alarm reaction, resistance stage, exhaustion stage (Videbeck, 2008; Stuart & Sundeen, 1998; Niven,Neil, 2000; Nevid dkk, 2003).

  Tahap alarm reaction (waspada) , melibatkan pengerahan mekanisme

  pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor. Pengerahan mekanisme pertahanan tubuh yang dilibatkan seperti pengaktifan hormon yang berakibat pada meningkatnya volume darah, yang pada akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Stres akan menstimulasi pesan fisiologis tubuh dari hipotalamus ke kelenjar (misalnya, kelenjar adrenal untuk mengirim adrenalin dan norepineprin sebagai pembangkit emosi) dan organ-organ (misalnya hati untuk mengubah kembali simpanan glikogen menjadi glukosa sebagai makanan) untuk mempersiapkan kebutuhan pertahanan potensial.

  Pada tahap resistance(resistensi/melawan, ketika stres berlanjut, sistem pencernaan mengurangi kerjanya dengan mengalirkan darah ke area yang jantung berdenyut lebih cepat dan keras sehingga dapat mengalirkan darah yang kaya oksigen dan nutrisi ke otot untuk mempertahankan tubuh melalui prilaku

  

fight, flight, atau freeze. Apabila individu beradaptasi terhadap stres, tubuh akan

berespon dengan rileks dan kelenjar, organ, serta respon sistemik menurun.

  Tahap Exhaustion (kelelahan) , terjadi ketika individu berespon negatif

  terhadap ansietas dan stress: cadangan tubuh berkurang atau komponen emosional berubah sehingga timbul respon fisiologis yang kontiniu dan kapasitas cadangan menjadi sedikit. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.

  Umumnya respon psikologis yang sering ditunjukkan oleh individu terhadap stres yaitu kecemasan, takut, marah dan depresi (Kozier et al, 2010, Rasmun, 2004) . Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan/ tidak menentu dari penyebab yang tidak pasti/ tidak ada objek yang nyata. Takut merupakan respon individu terhadap ancaman yang segera muncul/sudah muncul yaitu berupa reaksi emosi, rasa kuatir yang berlebihan, nyeri dll. Misalnya, mahasiswa keperawatan baru merasa takut dalam mengantisipasi pengalaman pertama di tatanan perawatan pasien. Marah adalah suatu reaksi emosi yang subjektif atau kejengkelan dan ketidak puasan individu terhadap tuntutan yang tidak terpenuhi. Depresi adalah reaksi umum terhadap kejadian yang tampak kacau atau negatif, misalnya perasaan kelelahan, kesedihan, kehampaan, atau mati rasa.

  1. Manakala stres menjadi distres, prestasi belajar menurun dan sering terjadi tingkah laku yang tidak diterima oleh masyarakat.

  2. Level stres yang cukup tinggi berdampak negatif pada kemampuan mengingat informasi, mengambil keputusan, dan mengambil langkah yang tepat.

  3. Pelajar yang stres seringkali banyak membolos atau tidak aktif mengikuti pembelajaran (Yulianti, 2004).

  2.1.8 Tahapan Stres Dr. Robert J. Van Amberg (1979) dalam Agoes (2003) dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut:

  Merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan semangat bekerja besar dan berlebihan, penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan disertai rasa gugup yang berlebihan pula.

  2. Stres tahap II Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari akibat tidak cukup waktu untuk beristirahat. Pada tahap ini timbul keluhan-keluhan seperti : merasa letih waktu tidurpagi, merasa mudah lelah dan merasa cepat capai, mengeluh lambung dan perut tidak nyaman, jantung berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang, dan tidak bisa santai.

  3. Stres tahap III Tahapan stres yang merupakan kelanjutan dari stres tahap II dengan keluhan- keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu: gangguan lambung dan usus yang semakin nyata misalnya gastritis dan diare, ketegangan otot-otot yang semakin terasa, perasaan tidak tenang dan ketegangan emosional yang semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia) dan terganggunya kordinasi tubuh. Pada tahap ini seseorang harus sudah berkonsultasi dan mendapat terapi atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh beristirahat.

  4. Stres tahap IV Merupakan tahapan stres dimana keluhan-keluhan stres tahap III diatas oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukannya kelainan fisik pada organ tubuh dan orang yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat dan akan muncul gejala-gejala: pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai, ketidakmampuan melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur yang disertai mimpi-mimpi yang menegangkan,

  negativisme , daya ingat dan konsentrasi menurun, dan timbul rasa ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

  5. Stres tahap V Bila keadaan tahap IV terus berlanjut maka akan jatuh pada stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, gangguan sistem pencernaan yang semakin berat, timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

  6. Stres tahap VI Tahap ini merupakan tahap klimaks, dimana seseorang mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Gambaran stres tahap ini adalah: debaran jantung yang sangat kuat, susah bernapas (sesak dan megap-megap), seluruh tubuh gemetar, dingin dan keringat bercucuran, tidak ada tenaga untuk hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps (Hawari, 2001).

  2.1.9. Coping Stres Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull (Rasmun, 2004). Davinson, (2006), menyebutkan bahwa koping stres merupakan cara atau bagaimana seseorang berupaya untuk mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkannya. Lazarus (1984 dalam Davinson, 2006; Kozier et al., 2010) mengidentifikasi dua dimensi strategi

  

coping : a). Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) yaitu

  tindakan secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi. Contohnya, menyusun jadwal belajar untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam satu semester sehingga mengurangi tekanan pada akhir semester. b). Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused-coping) merujuk pada berbagai upaya untuk untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres, contohnya, dengan mengalihkan perhatian dari masalah, melakukan relaksasi, atau mencari rasa nyaman dari orang lain.

  Menurut Niven, (2000) mekanisme koping diklasifikasikan menjadi dua kategori: tindakan langsung dan tindakan paliatif. Tindakan langsung termasuk : serangan terhadap stimulus yang mengakibatkan stres itu sendiri. Satu contoh dari koping tindakan langsung terhadap stres yang timbul karena ujian yang sudah dekat adalah mengulang pelajaran dengan baik atau tidak jadi mengikuti ujian. Kedua tindakan itu secara langsung mencoba mengurangi atau menghilangkan sumber stres. Sebaliknya, tindakan paliatif memodifikasi respon internal individu terhadap stimulus, meskipun ancaman masih tetap ada tetapi individu dapat mengatasinya dengan lebih baik.

  Menurut Potter & Perry (2005), mekanisme koping dibagi menjadi dua yaitu perilaku berorientasi tugas dan mekanisme pertahanan ego.

  Perilaku berorientasi tugas bertujuan memberdayakan seseorang untuk secara realistik menghadapi tuntutan stresor. Tiga tipe umum perilaku berorientasi pada tugas adalah perilaku menyerang, perilaku menarik diri dan perilaku kompromi. Perilaku menyerang yaitu tindakan untuk menyingkirkan atau mengatasi suatu stresor atau memuaskan kebutuhan. Perilaku menarik diri adalah menarik diri secara fisik atau emosional dari stresor. Sedangkan perilaku kompromi adalah mengubah metoda yang biasa digunakan, mengganti tujuan, atau menghilangkan kepuasan terhadap kebutuhan lain untuk menghindari stres.

  Mekanisme pertahanan ego (MPE), mekanisme ini digunakan oleh setiap orang dan membantu melindungi terhadap perasaan tidak berdaya dan ansietas. Ada menyangkal, pemindahan tempat, identifikasi dan regresi. Kompensasi adalah penutupan suatu defisiensi dalam satu aspek citra diri dengan secara kuat menekankan suatu gambaran yang dianggap sebagai suatu aset. Konversi yaitu MPE yang secara tidak sadar menekan suatu konflik emosional yang menghasilkan ansietas dan memindahkannya menjadi gejala non-organik. Menyangkal merupakan penghindaran konflik emosional dengan menolak untuk secara sadar mengakui segala sesuatu yang mungkin menyebabkan nyeri emosional yang tidak dapat ditoleransi. Pemindahan tempat, yaitu jenis MPE yang memindahkan emosi, ide, atau keinginan dari situasi yang menegangkan kepada penggantinya yang lebih sedikit mengakibatkan ansietas. Identifikasi adalah penolakan perilaku yang dilakukan oleh orang lain dan menerima kualitas, karakteristik, dan tidakan orang tersebut. Regresi yaitu koping terhadap stressor melalui tindakan dan perilaku yang berkaitan dengan periode perkembangan sebelumnya.

  2.2. Siklus Menstruasi

  2.2.1. Defenisi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai dengan proses deskuamasi atau meluruhnya dinding rahim bagian dalam

  (endometrium) yang keluar melalui vagina (Begum et al.,2009; Sherwood, 2001; Ganong, 2002; Winknjosastro, 2007).

  Siklus menstruasi merupakan rangkaian peristiwa yang secara kompleks saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan di endometrium, kelenjar hipotalamus dan hipofisis, serta ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarian axis) (Bobak, Lowdermik, & Jensen, 2004). Hari dimulainya awal perdarahan disebut awal siklus menstruasi dan panjang siklus menstruasi yaitu awal mulainya menstruasi sampai menstruasi berikutnya (Sherwood, 2001). Umumnya panjang siklus menstruasi terjadi secara periodik setiap 28 hari dengan interval 21-35 hari (Ganong, 2002; Benson & Pernoll, 2008). Namun hal ini sangat bervariasi, sesuai dengan usia, keadaan fisik dan emosi serta lingkungan (Ganong, 2002; Bobak, Lowdermik, & Jensen 2004; Benson & Pernoll, 2008). Lama menstruasi normalnya yaitu 5 hari dengan interval 3-7 hari (Ganong, 2002; Lott & Linardakis, 2000).

  Lamanya menstruasi dapat dipengaruhi oleh keadaan dysmenorhae atau gejala lain seperti sindrom premenstruasi (Kusmiran, 2011).

  2.2.2. Fase Siklus Menstruasi Siklus menstruasi terdiri dari tiga fase yaitu: fase deskuamasi atau menstruasi fase proliferasi, dan fase sekretorik (Sherwood, 2001; Guyton, 1994). a.

Fase menstruasi

  Fase ini berlangsung selama tiga sampai tujuh hari setelah degenerasi korpus luteum, bersamaan dengan bagian awal fase folikel ovarium (Ganong, 2002).

  Penurunan estrogen dan progesteron akibat degenerasi korpus luteum secara simultan menyebabkan terlepasnya endometrium (haid) dan perkembangan folikel-folikel baru di ovarium di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropik yang kadarnya meningkat. Penurunan sekresi hormon gonad menghilangkan efek inhibisi pada hipotalamus dan hipofisis anterior, sehingga sekresi FSH dan LH meningkat dan fase folikel baru di mulai. Setelah lima sampai tujuh hari di bawah pengaruh FSH dan LH, folikel-folikel yang baru berkembang mengeluarkan cukup banyak estrogen untuk mendorong pemulihan dan pertumbuhan endometrium (Sherwood, 2001).

  b.

Fase Proliferasi

  Fase ini disebut juga fase praovulasi atau folikuler (Ganong, 2002). Ketika haid berhenti, fase proliferasi siklus uterus akan dimulai bersamaan dengan bagian terakhir fase folikel ovarium pada saat endometrium mulai memperbaiki dirinya dan mengalami prolifersi di bawah pengaruh estrogen yang berasal dari folikel- folikel baru yang sedang tumbuh. Sewaktu darah haid berhenti, di uterus tertinggal satu lapisan tipis endometrium setebal kuang dari 1 mm. Estrogen merangsang prolifersi sel epitel, kelenjar, dan pembuluh darah di endometrium sehingga ketebalan lapisan ini dapat mencapai 3 sampai 5 mm. Fase proliferasi yang didominasi oleh estrogen berlangsung dari akhir haid sampai ovulasi. Kadar estrogen puncak memicu lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi (Sherwood, 2001). Setelah ovulasi, vaskularisasi endometrium menjadi sangat meningkat dan endometrium agak sembab di bawah pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum. Kelenjar-kelenjar mulai bergelung-gelung dan mengumpar, lalu mensekresikan cairan jernih (Ganong, 2002).

  c.

Fase Sekretorik

  Setelah ovulasi, pada saat sebuah korpus luteum terbentuk, uterus memasuki fase sekretorik atau progestasional yang bersamaan waktunya dengan fase luteal ovarium. Korpus luteum mengeluarkan sejumlah besar progesteron dan estrogen. Progesteron bekerja pada endometrium tebal yang sudah dipersiapkan oleh estrogen untuk mengubahnya menjadi jaringan yang kaya pembuluh dan glikogen.

  Periode ini disebut fase sekretorik karena kelenjar-kelenjar endometrium secara aktif mengeluarkan glikogen atau fase progestasional (“sebelum kehamilan”). Jika tidak terjadi pembuahan dan inplantasi, korpus luteum berdegenerasi, dan fase folikel dan fase haid kembali di mulai (Sherwood, 2001).

  2.2.3. Regulasi Neuroendokrin saat menstruasi Proses ovulasi tidak hanya dipengaruhi oleh suatu kerja sama yang harmonis antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis dan ovarium, melainkan juga dipengaruhi oleh kelenjar tiroid, korteks adrenal dan kelenjar-kelenjar endokrin lain (Wiknjosastro, 2007). Aktifitas saraf menyebabkan pelepasan GnRH

  

(Gonadotropin Releasing Hormone) dengan cara pulsatif terutama terjadi di dalam

  mediobasal hipotalamus khususnya di nukleus arkuata. Banyak pusat saraf dalam sistem limbik otak menghantar sinyal ke nukleus arkuatus untuk modifikasi intensitas GnRH dan frekuensi pulsatif. Hipotalamus mensekresi GnRH beberapa menit setiap 1 sampai 3 jam. Pelepasan GnRH secara pulsatif menyebabkan pengeluaran LH dan FSH secara pulsatif juga (Guyton, 1994).

  Sekresi FSH dan LH menyebabkan produksi estrogen dan progesteron dari ovarium dengan akibat perubahan fisiologi uterus. Estrogen dan progesteron juga memperbaiki produksi GnRH spesifik sebagai mekanisme umpan balik yang mengatur kadar hormon gonadotropin (Sherwood, 2001; Guyton, 1994). Estrogen menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui umpan balik negatif. Terhadap hipotalamus, estrogen bekerja secara langsung menghambat sekresi GnRH akibatnya pengeluaran FSH dan LH yang dipicu oleh GnRH menjadi tertekan, tetapi efek primernya terhadap hipofisis anterior yakni menurunkan kepekaan sel penghasil gonadotropin terutama penghasil FSH (Guyton, 1994). Melalui umpan balik positif kadar estrogen fase awal folikel menghambat sekresi LH, tetapi kadar estrogen yang tinggi pada saat puncak sekresi estrogen pada akhir fase folikel merangsang sekresi LH dan menimbulkan lonjakan LH. Konsentrasi estrogen plasma yang tinggi bekerja langsung pada hipotalamus untuk meningkatkan frekuensi denyut sekresi GnRh, sehingga meningkatkan sekresi LH dan FSH. Kadar tersebut juga bekerja langsung pada hipofisis anterior untuk secara spesifik meningkatkan kepekaan sel penghasil LH terhadap GnRH. Efek yang terakhir merupakan penyebab lonjakan sekresi LH yang jauh lebih besar daripada sekresi FSH pada pertengahan siklus (Sherwood, 2001; Ganong, 2002; Guyton, 1994).

  2.2.4. Faktor yang memengaruhi Menstruasi Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan menstruasi yaitu perubahan berat badan, aktifitas fisik, stres, gangguan fungsi hormon, obat dll. (Kusmiran, 2011).

  Stres dan aktifitas fisik yang berlebihan (misalnya, olahraga/atlet) akan

  mengganggu sistem metabolisme di dalam tubuh karena stres, wanita akan menjadi mudah lelah dan berat badan turun drastis, sehingga metabolisme terganggu. Bila metabolisme terganggu, siklus haid pun ikut terganggu.

  Gangguan fungsi hormon. Menstruasi terkait erat dengan sistem hormon

  yang diatur di otak, tepatnya di kelenjar hipofisa. Sistem hormonal ini akan mengirim sinyal ke indung telur untuk memproduksi sel telur. Bila sistem pengaturan ini terganggu, otomatis siklus menstruasi pun akan terganggu.

  Kelainan sistemik (perubahan berat badan). Perubahan berat badan

  (gemuk/kurus) dapat mempengaruhi siklus menstruasi karena sistem metabolisme di dalam tubuhnya tak bekerja dengan baik, atau wanita yang menderita penyakit diabetes, juga akan mempengaruhi sistem metabolisme sehingga siklus menstruasi pun tidak teratur.

  Obat-obatan. Obat hormonal akan mengganggu siklus menstruasi karena terjadi perubahan pada kaskade endokrin pada siklus menstruasi khususnya.

  Kortikosteroid akan merangsang pelepasan kortisol yang mempengaruhi pelepasan GnRH dan nantinya berpengaruh terhadap pelepasan FSH dan LH.

  2.2.5. Gangguan Menstruasi Gangguan siklus menstruasi disebabkan ketidakseimbangan FSH dan LH sehingga kadar estrogen dan progesteron tidak normal. Biasanya gangguan siklus menstruasi yang sering terjadi adalah siklus menstruasi yang tidak teratur atau jarang dan perdarahan yang lama atau abnormal, termasuk akibat sampingan yang ditimbulkannya, seperti nyeri perut, pusing mual dan muntah (Wiknjosastro, 2007).

  Menurut Rabe (2002) ada beberapa jenis gangguan yang termasuk ke dalam siklus menstruasi yaitu : a.

  Menurut jumlah perdarahan 1.

  Hipomenorea Perdarahan menstruasi yang lebih pendek atau lebih sedikit dari biasanya.

  2. Hipermenorea Perdarahan menstruasi yang lebih lama atau lebih banyak dari biasanya (lebih dari 8 hari).

  b.

  Menurut siklus atau Durasi perdarahan 1.

  Polimenorea Siklus menstruasi yang terjadi kurang dari 21 hari.

  2. Oligomenorea Siklus menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari 3. Amenorea Keadaan tidak ada menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut.

  Dalam mempengaruhi siklus menstruasi, stres melibatkan sistem neuroendokrinologi sebagai sistem yang besar peranannya dalam reproduksi wanita. Chrousus, dkk (1998) menjelaskan bahwa sewaktu stres terjadi aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal bersama-sama dengan sistem saraf autonom yaitu aktivasi amygadla pada sistem limbik. Sistem ini menstimulasi pelepasan hormon dari hipotalamus yaitu Chorticotropic Releasing Hormone (CRH).

  Hormon ini akan secara langsung menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat produksinya di nukleus arkuata. Peningkatan CRH akan menstimulasi pelepasan endorfin dan ACTH ke dalam darah. Peningkatan ACTH akan menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah. Hormon-hormon tersebut secara langsung dan tidak langsung menyebabkan penurunan kadar GnRH dalam bentuk Folikel Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) dan nantinya akan mempengaruhi terjadinya proses menstruasi (Sherwood, 2001)