Penyelesaian Sengketa Bisnis Konvensiona docx

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................

i

KATA PENGANTAR..................................................................................

ii

DAFTAR ISI................................................................................................

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1


Latar Belakang...............................................................

1

1.2

Rumusan Masalah..........................................................

2

1.3

Tujuan Penulisan.............................................................

2

BAB II

PEMBAHASAN


2.1

Pengertian Sengketa Bisnis............................................

3

2.2

Metode Penyelesaian Sengketa Bisnis
Konvensional dan Bisnis Syariah..................................

4

Penyelesaian Sengketa Proses Ligitasi (Pengadilan)...

5

2.3.1 Pengadilan Umum.................................................

5


2.3.2 Pengadilan Agama.................................................

6

2.3.3 Pengadilan Niaga...................................................

7

Penyelesaian Sengketa Proses Non Ligitasi (ADR).....

9

2.4.1 Konsultasi...............................................................

9

2.4.2 Negosiasi.................................................................

10


2.4.3 Mediasi...................................................................

11

2.4.4 Konsiliasi................................................................

12

2.4.5 Penilaian Ahli.........................................................

13

2.4.6 Arbitrase.................................................................

13

2.4.7 Arbitrase Syariah..................................................

16


2.3

2.4

2.4.8 Perbedaan antara Negoisasi, Konsiliasi,
Mediasi, dan Arbitrase.........................................
2.5

Contoh Kasus Sengketa Bisnis

17

BAB III

dan Penyelesaiannya......................................................

18

2.5.1 Contoh Sengketa Bisnis Konvensional................


19

2.5.2 Contoh Sengketa Bisnis Syariah..........................

25

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1

Simpulan..........................................................................

28

3.2

Saran.................................................................................

29


DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

30

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu
memegang peranan vital didalam kehidupan manusia sepanjang masa,
sehingga kepenntingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua
tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional.
Di zaman modern seperti saat ini bangsa Indonesia banyak mengalami
berbagai polemik yang beredar di dalam masyarakat yang menimbulkan suatu
pertentangan ataupun permasalahan sengketa bahkan sampai menimbulkan
pertikaian diantara masyarakat. Pertikaian yang ada muncul dari berbagai
masalah yang biasanya timbul karena perbedaan pendapat atau paham yang

mereka anut. Pertikaian bermula dari suatu persoalan yang kecil karena tidak
cepat diselesaikan maka persoalan tersebut menjadi besar. Persoalan ini
sebaiknya cepat diselesaikan agar tidak menjadi besar.
Sengketa sendiri menurut Ali Achmad adalah pertentangan antara dua
pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara
keduanya
Jenis sengketa yang sering kita temui adalah sengketa dalam bidang bisnis.
Biasanya cara yang paling mudah, murah, dan sederhana adalah para pihak
yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut secara musyawarah
mufakat. Cara lain yang dapat ditempuh para pihak adalah menyelesaikan
sengketa tersebut melalui forum yang memang berwenang menyelesaikan
sengketa baik secara konvensional maupun syariah, baik melalui suatu
lembaga pengadilan (ligitasi) dan secara non ligitasi yaitu Konsultasi,

1

Negosasi, Mediasi, Konsoliasi, Penilaian ahli, dan Arbitrase Konvensional
maupun Syariah.
1.2 Rumusan Masalah

Dari Uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan
masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Jelaskan Pengertian dari Sengketa Bisnis?
2. Jelaskan Metode-metode Apa Saja yang Digunakan didalam Penyelesaian
Sengketa Bisnis Baik Secara Konvensional maupun Syariah?
3. Sebutkan dan Jelaskan Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Proses
Ligitasi Maupun Non Ligitasi?
4. Berikan Contoh Kasus Sengketa Bisnis Konvensioanal Maupun Syariah
Beserta Penyelesaiannya?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan
pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1. Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Pengertian Sengketa
Bisnis.
2. Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Metode-metode yang
Digunakan

didalam

Penyelesaian


Sengketa

Bisnis

Secara

Konvensional maupun Syariah.
3. Mengetahui serta Memahami dan Mendalami Penyelesaian Sengketa
Bisnis Melalui Proses Ligitasi Maupun Non Ligitasi.
4. Dapat Memberi Contoh Kasus Sengketa Bisnis Konvensional Maupun
Syariah beserta Penyelesaiannya.
5. Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis.

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sengketa Bisnis

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam
bentuk kerjasama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat,
maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang
terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar
belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak.
Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam
kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.
Dalam kamus Bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik.
Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi
terhadap satu objek permasalahan.
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton adalah “a
commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or
transaction process is central to market economy” (“Suatu sengketa bisnis adalah
suatu hal yang muncul selama berlangsungnya proses transaksi yang berpusat
pada ekonomi pasar”).1
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu–
individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan
yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara
satu dengan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau
lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak
milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.2
1 Abdul R. Saliman. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. (Jakarta:

Kencana PrenadaMediaGroup,2005). Hlm. 266.
2https://www.academia.edu/10211024/Penyelesaian_Sengketa_Dalam_Hukum_Bisnis_S
erta_Pembuktian, diakses pada tanggal 25 September 2016.

3

Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku
pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.
Dalam praktik sengketa bisnis dapat diperinci berupa sengketa-sengktea
sebagai berikut (Bambang Sutiyoso, 2006:7);3
1. Sengketa perniagaan;

7.

Sengketa konsumen;

2. Sengketa perbankan;

8.

Sengketa kontrak;

3. Sengketa Keuangan;

9.

Sengketa ketenagakerjaan;

4. Sengketa Inverstasi;

10. Sengketa perdagangan publik;

5. Sengketa Perindustrian

11. Sengketa property;

6. Sengketa HAKI;

12. Dan sengketa lainnya.

2.2 Metode Penyelesaian Sengketa Bisnis Konvensional dan Bisnis Syariah
Penyelesaian sengketa bisnis merupakan tata cara bagaimana pelaku bisnis
dapat menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara pelaku
bisnis. Sengketa adalah konsekuensi logis dari para pihak yang mengaitkan diri
dalam sebuah kontrak bisnis, oleh karena itu sangat disarankan adanya klausul
penyelesaian sengketa di setiap kontak bisnis.
Klausul penyelesaian sengketa ini menentukan bagaimna penyelesaian yang
dilakukan para pihak terhadap sengketa yang mungkin timbul, menentukan forum
mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa sehingg para pihak dapat
menyelesaikan setiap sengketa secara tepat, baik, dan benar.
Bunyi klausul dalam suatu kontrak bisnis yang menyatakan bahwa kedua
belah pihak sepakat bila di kemudian hari terjadi sengketa berkaitan dengan
pelaksanaan maupun penafsiran perjanjian ini, maka akan diselesaikan dengan
cara mufakat, namun apabila tidak tercapai para pihak sepakat menundukkan diri
berdasarkan segala akibat hukum yang timbul kepada pengadilan setempat.4

3 Op Cit. Abdul R Saliman.
4 Ibid, Hlm 267.

4

Dengan demikian, metode penyelesaian sengketa bisnis konvensional
maupun bisnis syariah dapat di bagi menjadi 2 bagian yaitu:5
1. Penyelesaian sengketa melalui proses Ligitasi (Pengadilan) baik
Pengadilan umum, Agama maupun Niaga.
2. Penyelesaian sengketa melalui proses Non Ligitasi atau penyelesaian
sengketa alternative (Alternative Dispute Resolution/ADR)
a. Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak yang bersengketa
dengan musyawarah mufakat;
b. Penyelesaian sengketa melalui ADR yaitu Konsultasi, Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli (Expert Appraisal), serta
Arbitrase dan Arbitrase syariah.

2.3 Penyelesaian Sengketa Proses Ligitasi (Pengadilan)
Penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan pada umumnya
diselesaikan berdasarkan hukum acara yang sudah ditentukan. Penyelesaian
sengketa bisnis dan bisnis syariah pada umumnya tidak ditunjukan pada suatu
kemenangan sepihak secara mutlak dan jalankeluarnya adalah menghindari
penyelesaian sengketa yang sifatnya formal dan bisanya penyelesaian melalui
lembaga peradilan ini sebisa mungkin dihindari kecuali memang tidak ada
laternatif lain, meliputi pengadilan umum, pengadilan agama dan pengadilan
niaga. 6
2.3.1 Pengadilan Umum
Pengadilan umum merupakan lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Menurut pasal 50 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986, dinyatakan pengadilan negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata di tingkat pertama. Dengan demikian, pengadilan negeri berwenang
memeriksa sengketa bisnis.7
5 Susanti Adi Nugraha, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011).
Hlm. 14.
6 Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm. 268.
7 Ibid,

5

Ciri-ciri pengadilan umum, sebagai berikut:
1. Prosesnya sangat formal.
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Negara (majelis
hakim).
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan.
4. Isi keputusan win-lose solution.
5. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding).
6. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah).
7. Fokus ke masa lampau (past focus).
8. Proses persidangan bersifat terbuka.
2.3.2 Pengadilan Agama
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia
mengalami

perkembangan

yang

berarti

pada

masa

kemerdekaan.

Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh
Pengadilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dahulunya,
putusan peradilan agama murni berdasarkan fikih para fuqaha (ahli hukum
Islam) , eksekusinya harus dikuatkan oleh peradilan umum, para hakimnya
hanya berpendidikan syariah tradisional dan tidak berpendidikan umum,
organisasi-nya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung (MA) dan lain-lainnya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, telah membawa
sejumlah perubahan mendasar bagi lingkungan peradilan agama, terutama
menyangkut kewenangan atau kompetensinya. Atas dasar undang-undang
tersebut, ruang lingkup kewenangan lingkungan peradilan Agama menjadi
lebih luas di banding sebelumnya. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006,
kewenangan lingkungan Peradilan Agama selain meliputi perkara-perkara
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah,
ditambah lagi dengan perkara-perkara dalam bidang zakat, infak dan bidang
ekonomi Syariah dalam hal penyelesaian sengketa bidang ekonomi dan

6

bisnis syariah.8
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa
peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus da
menyelesaikan perkaraa dalam bidang ekonomi syariah. Dengan berlakunya,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini, tentu para pihak akan
menyepakati penyelesaian sengketa ke Basyranas (Badan Arbitrase Syariah
Nasional) atau ke Pengadilan Agama. 9
2.3.3 Pengadilan Niaga
Menurut Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan, telah dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga atau Pengadilan
Komersial (Commercial Court) adalah pengadilan khusus yang berada di
bawah Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk memeriksa
dan memutuskan sengketa bisnis seperti sengketa kepailitan, sengketa hal
atas kekayaan intelektual (Haki) dan sengketa lainnya di bidang
perniagaan.10
Ciri-ciri pengadilan niaga sebagai berikut:
1. Prosesnya sangat formal.
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Negara (majelis
hakim).
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan.
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding).
5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah).
6. Persidangan bersifat terbuka.
7. Waktu lebih cepat, perkara selesai 30 hari, tidak ada banding dan dapat
langsung kasasi ke Mahkamah Agung (putusan dalam 30 hari), dan
dimungkinkan diajukan peninjauan kembali (PK).

8

http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/viewFile/155/138,
diakses pada tanggal 25 September 2016.
9 Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm 269.
10 Ibid, Hlm. 270 .

7

2.4 Penyelesaian Sengketa Proses Non Ligitasi (ADR)
Alternative dispute resolution yang di dalam bahasa Indonesia disebut
penyelesaian sengketa alternatif terdiri dari tiga buah kata, yaitu “penyelesaian”,
“sengketa”, dan “alternatif. Kata perselisihan berasal dari kata dasar “selisih”
yang mendapatkan awalan “per” dan akhiran “an”. Secara etimologis, kata
“selisih” berarti “beda”, sedangkan “perselisihan” berarti: pertentangan,
perbantahan, percekcokan. Istilah perselisihan sering juga disebut “perkara” atau
“sengketa” atau persengketaan yang juga berarti “pertentangan”.
Dalam bahasa Inggris, kata-kata sengketa, percekcokan, pertentangan sama
dengan “conflict” atau “disagreement” atau “dispute”. Kata conflict dalam
bahasa Iggris tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“konflik”.
Ronny Hanitijo Soemitro (1990: 36), menulis bahwa yang dimaksudakan
dengan konflik adalah: “Situasi (keadaan) dimana dua orang atau lebih pihakpihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat
dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain
mengenai kebenaran tujuannya sendiri masing-masing”.
Dari pengertian konflik di atas, maka dapat ditarik unsur dari konflik atau
perselisihan adalah sebagai berikut:
1. Adanya beberapa pihak (dua orang atu lebih);
2. Para pihak tersebut mempunyai tujuan yang tidak dapat dipersatukan; dan
3. Masing-masing saling meyakinkan akan kebenaran tujuannya sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan di metode penyelesaian sengketa bisnis
konvensional dan bisnis syariah di atas bahwa penyelesaian atas sengketa di bagi
dua yaitu melalui pengadilan nan tidak melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan inilah yang disebut
“Altenative Dispute Resolution (ADR)” atau penyelesaian sengketa alternatif.
Cara penyelesaian melalui ADR akhir-akhir ini mendapat perhatian berbagai

8

kalangan terutama dalam dunia bisnis, sebagai cara penyelesaian perselisihan
yang perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan pengadilan.11
Penyelesaian sengketa alternatif (ADR) saat ini telah diundangkan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif
peyelesaian sengketa. Penjelasan pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 ini
dinyatakan tentang ruang lingkup hukum perdagangan yang dapat diselesaikan
melalui forum penyelesaian alternatif ini tang meliputi, kegiatan perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak atas kekayaan
intelektual (HAKI).
Pasal 1 angka 10 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.12
2.4.1

Konsultasi
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak ditemukan
rumusan atau penjelasan mengenai arti dari konsultasi. Namun demikian,
konsultasi pada prinsipnya merupakan suatu tindakan yang bersifat
personal antara satu pihak tertentu yang disebut klien dengan pihak lain
yang merupakan konsultan yang memberikan pendapat kepada klien untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan klien tersebut. Tidak ada satu
rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk
memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak
konsultan.

2.4.2

Negosiasi

11 Zaeni Asyhadie. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2014). Hlm. 301-302 .
12 Op Cit. Abdul R Saliman. Hlm. 270-271.

9

Secara umum negosasi dapat diartikan sebagai suatu upaya
penyelesaian sengketa para pihak tenpa melalui proses peradilan dengan
tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang
lebih harmonis dan kreatif. Munir Fuady (2003:43-44) mengemukakan ada
dua macam negosasi, yaitu negosasi kepentingan dan negosasi hak. 13
1. Negosiasi Kepentingan (interes negotiation) merupakan negosiasi yang
sebeleum bernegosasi sama sekali para pihak tidak ada hak dari satu
pihak kepada pihak lain. Akan tetapi, mereka bernegosiasi karena
masing-masing pihak ada kepentingan untuk melakukan negosasi
tersebut. Misalnya, negosasi terhadap harga, waktu pembayaran, dan
lain-lain.
2. Sebaliknya, dalam negosiasi hak (right negotiation), sebelum para
pihak bernegosiasi, antara pihak sudah terlebih dahulu punya
hubungan hukum tertentu, sehingga antara para pihak tersebut timbul
hak-hak tertentu, sehingga antara para pihak tersebut timbul hak-hak
tertentu yang dijamain pemenuhannya oleh hukum. Kemudian para
pihak bernegosiasi agar hak-hak tersebut dapat dipenuhi oelh pihak
lawan. Jadi bedanya dengan negosiasi kepentingan, di mana negosiasi
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum tertentu,
tetapi dalam negosiasi hak, hubungan hukum tersebut justru sudah ada
sebelum negosiasi dimulai.
Dalam penyelesaian sengketa atau dalam hubungan hukum
tertenntu, untuk melakukan negosiasi tentunya mempunyai tahap-tahap
utnuk tercapainya suatu kesepakatan guna menyelesaikan permasalan yang
dihadapi. Howard Raiffia dalam pengamatannya memabagi tahap-tahap
negosiasi menjadi:
1. Tahap persiapan;
2. Tahap tawaran awal (opening gambit);
3. Tahap pemberian konsesi;
13 H.R. Daeng Naja. Pengantar Hukum Bisnis. (Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2008).

Hlm. 138.

10

4. Tahap akhir permainan (End Play).
Dari banyak kasus yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua
pendekatan di dalam suatu negosiasi, yaitu:
1. Model Pendekatan Kooperatif
Model pendekatan ini sering disebut sebagai model pemecahan
masalah secara bersama, yaitu “menang sama menang”. Menurut
Scoommaker, negosiasi menang-menang layak dilakukan jika masalah
yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama antara pihak
yang melakukan negosiasi, dan terdapat hubungan yang saling
memercayai.
Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang
lebih besar peluang keberhasilannya bila dibandingkan dengan
negosiasi

menang-kalah.

Kemenangan

yang

diperoleh

adalah

kemenangan bersama yang tidak berdasar pada posisi masing-masing
pihak.
2. Model Pendekatan Kompetitif
Model pendekatan sering juga disebut sebagai model pendekatan
menang-kalah. Untuk memenangkan model menang-kalah ini perlu
ditempuh empat langkah, yaitu:
a. Menjelaskan komitmen kita secara tegas tentang apa yang
diinginkan.
b. Menunjukkan akibat-akibat yang kan terjadi jika keinginan
tersebut tidak tercapai.
c. Menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
d. Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelematkan “muka”
lawan dengan menawarkan konsesi penghibur.
2.4.3 Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan pertama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang

11

fasilitator untuk terlaksananya dialog antara para pihak dengan suasa
keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dalam mediasi ini yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang
bertikai. Pihak ketiga, yaitu mediator, hanya berperan sebagai pendamping
dan penasihat, menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak dalam negosiasi
untuk mencapai kesepakatan.
Penyelesaian sengketa melalui sistem mediasi pada akhir-akhir ini
banyak diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya
dengan cepat. Hal ini disebabkan karena alasan-alasan berikut.
1. Proses penyelesaian sengketa relatif cepat (quick);
2. Biaya murah (inexpansive);
3. Bersifat rahasia (confidential);
4. Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi;
5. Hubungan kooperatif;
6. Sama-sama menang (win win);
7. Tidak emosional.
Dengan memperhatikan unsur-unsur di atas, maka Mahkamah
Agung menentukan, bahwa semua kasus atau perkara atau perselisihan yang
diajukan ke Pengadilan Negeri sekarang harus diupayakan dulu secara
mediasi sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Mahkamah Agung No 01
Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.14
2.4.4 Konsiliasi
Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan
suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan
pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu
pada suatu proses yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang
mengirimkan suatu penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi tetapi
perannya lebih sedikit dalam proses konsiliasi dibandingkan seorang
mediator.
14 Op Cit, Zaeni Asyhadie. Hlm. 307-319.

12

Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai
pihak fasiliator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat
diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Pihak konsiliator hanya
melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan
para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu
pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan
langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain.
2.4.5 Penilaian Ahli (Expert Appraisal)
Penilaian ahli merupakan salah satu mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (pasal 1 angkan 10 UU Nomor 30 Tahun 1999).
Penilaian ahli adalah suatu proses yang menghasilkan pendapat objektif,
independen dan tidak memihak atas fakta atau isu yang diperselisihkan, oleh
seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa, di mana
pendapat para ahli bersifat final den mengikat sesuai persetujuan para pihak.
Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan para
pihak dalam suatu perjanjiaan berhak untuk memohon pendapat yang
mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian.15
2.4.6 Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang
berarti

“kekuasaan

untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut

kebijaksanaan”. Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8
Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30
tahun 1999 yaitu: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para
pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.”
15 Op Cit. Abdul R Saliman.Hlm. 272-273.

13

Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan
bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.”16 Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk
masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat
diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase
merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Asas-Asas yang terdapat di Arbitrase yaitu:
1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk
seorang atau beberapa oramg arbiter.
2.

Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk
diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak
maupun antara arbiter itu sendiri;

3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian
perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihanperselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak;
4. Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan
akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum
lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah
disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri
adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan
hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu
putusan yang cepat dan adil. Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang
berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Jenis-Jenis Arbitrase terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Arbitrase sementara (Ad Hoc)
16 UU No 30 Tahun 1999

14

Arbitrase Ad Hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase. Pada umumnya arbitrase Ad Hoc
ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan
majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para
pihak. Arbitrase Ad Hoc ini akan bubar dan berakhir keberadaannya
setelah sengketa yang ditangani selesai diputus.
2. Arbitase Institusi
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh
berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka
tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang
dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI).17
Keunggulan arbitrase juga dapat disimpulkan melalui Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu:
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
3. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya;
4. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase.
Disamping keunggulan arbitrase diatas, arbitrase juga memiliki
kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase
adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase,
padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.

2.4.7 Arbitrase Syariah

17 M.Yahya Harahap. Arbitrase. (Jakarta: Sinar Grafika: 2004). Hlm. 104-106.

15

Gagasan

berdirinya

badan arbitrase syariah, diawali dengan

bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, dan ulama
untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di
Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh Dewan pimpinan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 22 April 1992 dan akhirnya pada tanggal 21
oktober 1993 resmi di bentuk Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (Bamui)
yang sekarang badan arbitrase syariah (Basyarnas).
Pedoman arbitrase yang diterapkan di Indonesia tidak mungkin
dilepaskan dari tiga kriteria di bawah ini:
1. Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa
seyogyanya

mempertemukan

kepentingan

para

pihak

secara

proporsional, berimbang, dan tidak merugikan (menguntungkan) salah
satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter mengupayakan untuk
menegakkan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.
2. Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam Pancasila harus dijadikan sebagai salah satu acuan pokok di dalam menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase syariah.
3. Baik Arbitrase Nasional (BANI) maupun Arbitrase Syariah (BASYARNAS) yang dikenal di Indonesia ditinjau dari sudut tata hukum
Indonesia, mempunyai kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga
itu harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dilihat dari jenis objek yang dipersengketakan, arbitrase dapat di bagi
ke dalam:
1. Arbitrase Kualitas (Quality Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan “Arbitrase Kualitas” adalah suatu arbitrase yang
menyangkut dengan fakta-fakta sehingga arbitrase harus jeli memilah fakta
tersebut serta meng-interpretasi dan menganalisisnya.
2. Arbitrase Teknis (Technical Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan “Arbitrase Teknis” adalah arbitrase yang
menyangkut dengan hal-hal yang timbul dari penyusunan dan penafsiran

16

kontrak.
3. Arbitrase Campuran (Mixed Arbi-tration).
Yang dimaksud dengan arbitrase ini adalah suatu campuran antara
arbitrase yang berkenaan dengan fakta dan arbitrase yang berkenaan
dengan hukum.
4. Arbitrase Khusus.
Baik secara internasional, regional, maupun nasional eksistensi arbitrase
khusus sangat diperlukan. Arbitrase khusus yang bersifat nasional, yang
sangat diperlukan, misalnya saja Arbitrase khusus Muamalat untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkena-an dengan sengketa
terhadap bank yang berdasarkan kepada Syariat Islam.18
Terhadap putusan arbitrase syariah tersebut jika para pihak tenyata
tidak mau melaksanakannya secara sukarela maka idealnya agar konsisten
dan relevan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 30
Tahun 1999.19
2.4.8 Perbedaan antara Negoisasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Perbedaan antara Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase, yaitu:20
Perbedaan antara Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase
Nagosiasi

Konsiliasi

Mediasi

Arbitrase

Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaiakan sengketa
Yang memutuskan
Yang memutus sengketa para pihak

sengketa arbiter
yang disepakati
para pihak

18 Mardani. Jurnal PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH MIMBAR
HUKUM Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, Hlm 298 – 310.
19 Cik Basir. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. ( Jakarta: Kencana Prenada
MediaGroup, 2009). Hlm. 125.
20 Op Cit. Zaeni Asyhadie. Hlm. 306.

17

Tidak ada pihak Keterlibatan pihak

Keterlibatan pihak

Keterlibatan pihak

ketiga

ketiga

ketiga

ketiga

dikehendaki pleh

dikehendaki

dikehendaki

para pihak

sebagai penengah

sebagai pemutus

Karena

masalah yang

keahliannya di

disengketakan

bidang yang

karena arbiter

disengketakan.

yang dipilih
memang ahli
dalam bidang
yang
bersangkutan.
Ada aturan

Aturan pembuktian tidak ada

pembuktian yang
sifatnya formal.

2.5 Contoh Kasus Sengketa Bisnis dan Penyelesaiannya
Pada dasarnya, tidak seorang atau satu pihak pun yang menginginkan
adanya/terjadinya suatu sengketa di dalam suatu transaksi bisnis. Namun
demikian, haruslah dimaklumi bahwa terjadinya sengketa terjadi karena hal-hal
yang sangat sepele. Untuk itu, penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif
merupakan idaman setiap pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Suatu
sengketa dapat menghadirkan risiko-risiko merugikan yang tidak dikehendaki dan
dapat mengacaukan prediksi-prediksi bisnis. Hal ini menjadi sangat perlu
diperhatikan, terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yang mendasari kegiatan
demikian itu, yaitu efisiensi dan profit.
Berikut beberapa contoh kasus sengketa baik konvensioanl maupun syariah:

2.5.1

Contoh Sengketa Bisnis Konvensional

18

(Penyelesaian Sengketa Semen Padang melalui Center for Settlement
of Disputes)21
Sengketa Semen Padang merupakan imbas dari permasalahan
setelah terjadinya perubahan pemberlakuan sistem pemerintah daerah dari
sistem yang semula sentralistik menjadi pemerintahan daerah yang
desentralistik, sehingga timbul gugatan-gugatan terhadap asset negara
yang berada di daerah antara lain seberapa jauh wewenang dan
keterlibatan masyarakat daerah terhadap asset-asset tersebut serta gugatan
terhadap kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengelola asset tersebut.
Selain itu, kasus Semen Padang yang berlarut larut merupakan
cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia. Berbagai
benturan kepentingan telah terjadi di dalamnya, baik mengenai penerapan
ketentuan tentang hukum perseroan, hukum investasi, hukum adat dan
berbagai aspek hukum lainnya terjadi dalam kasus tersebut. Berbagai
warna-warni politik ikut juga mewarnai penyelesaian sengketa tersebut
sehingga menyebabkan para investor asing dalam hal ini Cemex
melepaskan investasinya di Semen Padang sebagai anak perusahaan
Semen Gresik.
Pertentangan antara Direksi yang lama (yang telah dihentikan
melalui RUPSLB) dengan Direksi baru (yang diangkat melalui RUPSLB
yang sama) mencerminkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam
penerapan hukum perseroan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 1995 tentang pereroan terbatas. Hal ini menyebabkan ketidak
pastian hukum bagi pemegang saham PT Semen Gresik selaku pemilik PT
Semen Padang, terutama partner asing pemegang saham PTSemen Gresik,
yaitu Cemex.
Walaupun akhirnya Direksi baru bisa memasuki areal pabrik
melalui proses eksekusi, namun bagaimanapun kasus Semen Padang ini
21 http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-internasional/367-penyelesaian-sengketa-semenpadang-melalui-center-for-settlement-of-disputes, diakses pada tanggal 29 November
2016.

19

telah memberikan gambaran yang negatif bagi kepastian hukum untuk
melakukan investasi di Indonesia, karena bagaimanapun kepentingan
investor yang mempunyai itikad baik untuk melakukan investasi di
Indonesia harus dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
Karena masalah hukum yang terjadi di dalam tubuh PT Semen
Padang inilah akhirnya menyebabkan penjualan saham kepada Cemex
yang telah diperjanjiakan dalam perjanjian jual beli antara Pemerintah
Indonesia dengan Cemex Conditional Sales and Purchases Agreement
(CPSA) tidak direalisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Pada akhirnya
kemelut ini oleh Cemex di ajukan ke pengadilan arbitrase komersial
internasional yaitu ICSID (International Center for Settlement of Disputes)
Beberapa fakta hukum sengketa Semen Padang:
1. Tahun 1958 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Presiden RI Soekarno mengumumkan semua aset Belanda di Indonesia
harus dinasionalisasikan, satu diantaranya adalah Semen Padang.
2. Untuk menyehatkan PT Semen Padang, masyarakat Nagari Lubuk
Kilangan menyerahkan tanah ulayat 127 hektar kepada Pemda Sumatera
Barat tanpa bayaran dan Pemda Sumatera Barat menyerahkan tanah
tersebut kepada PT Semen Padang.
3. Juli 1995 Semen Padang dan semen Tonasa diakusisi Semen Gresik.
Oktober 1998 Semen Gresik diprivatisasi.
4. Tahun 1998 Cemex masuk ke Indonesia dengan membeli 25,5% saham
di Semen Gresik dan membuat kesepakatan dengan pemerintah
Indonesia melalui perjanjian jual beli bersyarat CSPA (Conditional Sales
and Purchases Agreement) yang salah satu obsinya Cemex dapat
memperbesar sahamnya menjadi mayoritas (put option) dengan kata lain
Cemex dapat membeli 51% saham pemerintah, opsi ini berlaku sampai
batas waktu 26 Oktober 2001 namun sampai batas waktu tersebut
pemerintah tidak merealisasikan penjualan saham kepada Cemex.
5. Opsi Penjualan 51% saham pemerintah kepada Cemex ditentang oleh
Masyarakat

sumatera

barat,

20

pemimpin

utama

Semen

Padang

berargumentasi bahwa pabrik itu berdiri di atas tanah ulayat yang tidak
bisa begitu saja dijual apalagi kepada pihak asing. Bahkan peristiwa
akuisisi Semen Padang oleh Semen Gresik tidak didukung oleh
dokumen legal yang memadai seperti peraturan pemerintah. 1 November
2001 masyarakat Sumatera barat melalui DPRD menginginkan
pemisahan Semen Padang dari Semen Gresik.
6. 28 Maret 2002, Menteri BUMN Laksamana Sukardi meminta Direksi
Semen Padang di ganti melalui RUPSLB. Pergantian Direksi oleh
Semen Padang di tolak. Penolakan ini kemudian dibawa ke Pengadilan
Negeri Padang. Putusan Pengadilan Negeri Padang menolak izin
penyelenggaraan RUPSLB Semen Padang dengan agenda penggantian
Direksi.
7. 19 September 2002, Semen Gresik mengajukan kasasi atas putusan
Pengadilan Negeri Padang dan pada 29 April 2003 Mahkamah Agung
mengijinkan RUPSLB Semen Padang yang hasilnya Direksi Semen
Padang di ganti.
8. 13 Agustus 2003, Cemex meminta pemerintah segera menyelesaikan
kemelut di Semen Gresik, dan mengancam akan mengajukan gugatan ke
arbitrase internasional.
9. 27 Januari 2004, Gugatan diajukan ke ICSID ( International Center for
Settlement of Investment Disputes di Washinton, DC, Amerika Serikat.
Dalam gugatannya Cemex meminta pengadilan menjatuhkan sanksi
denda sekitar US$ 400 juta kepada pemerintah.
10. Januari 2005, Pemerintah dalam hal ini Semen Gresik dan Cemex
sapakat untuk menunda sidang di Arbitrase dan memilih penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
11. 2 Maret 2006, Cemex menyatakan akan melepaskan sahamnya di Semen
Gresik dan menyampaikan rencana penjualan sahamnya tersebut kepada
kementrian BUMN.
12. 4 Mei 2006, Grup Rajawali membeli 24,9% saham Cemex di Semen
Gresik senilai AS $ 337 juta ( Rp. 2,9 triliun).

21

13. Awal tahun 2007, Pemerintah Indonesia dan Cemex saling bertukar
dokumen yang antara lain mengenai pencabutan tuntutan di pengadilan
arbitrase ICSID.
Pemerintah Indonesia dianggap melanggar perjanjian jual beli CSPA
(Conditional Sales and Purchases agreement) yaitu perjanjian jual beli yang
telah ditandatangani pemerintah dengan Cemex pada September 1998.
Dimana salah satu point dari perjanjian tersebut, Cemex berhak memiliki
51% saham Semen Gresik di dalamnya ada anak perusahaan Semen Padang
dan Semen Tonasa. Hingga batas waktu yang telah ditentukan 26 Oktober
2001, Pemerintah Indonesia tetap tidak melaksanakan kewajibannya sesuai
perjanjian tersebut untuk menjual 51% saham kepada Cemex.
Cemex mengajukan sengketa dengan Pemerintah Indonesia ke ICSID
sebagai sengketa investasi penanaman modal yang kemudian ditetapkan
sidangnya akan berlangsung tanggal 11 Januari 2005. Pemerintah Indonesia
meminta penundaan sidang hingga 28-30 Juli 2005 dengan alasan akan
menempuh perundingan terlebih dahulu atau negosiasi di luar jalur
pengadilan (out court setlement). Awal tahun 2006 Cemex menunjuk JP
Morgan sebagai penasehat keuangan untuk melepas 25, 53 % sahamnya di
Semen Gresik. Pada tahun 2007 Saham Cemex di beli oleh PT Rajawali
Group senilai US $ 337 juta, dan Cemex mencabut tuntutan arbitrasenya
kepada pemerintah Indonesia serta mengakhiri perjanjian jual beli CSPA
yang telah dilakukannya dengan pemerintah Indonesia.
Sengketa Cemex dengan Semen Padang merupakan sengketa dibidang
penanaman Modal, maka perlu mengacu pada International Center for
Settlement of Disputes ( ICSID ) yang bertugas menyediakan berbagai
kemudahan

bagi pelaksanaan konsiliasi dan arbitrase, menyangkut

sengketa yang timbul antar negara dimana investasi itu dilakukan dengan
warga negara atau dengan badan hukum asing ( pasal 1 ayat 2 ICSID )
dalam hal ini Cemex dengan pemerintah Indonesia. Pasal 25 ayat 1 ICSID
menyatakan bahwa persetujuan untuk menyerahkan penyelesaian kepada
ICSID bersifat tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Dalam masalah

22

Cemex ini, Cemex bersama Pemerintah Indonesia setuju untuk menunda
persidangan dan mengambil jalan keluar dengan musyawarah mufakat yaitu
negoisasi.
Pasal 32 ayat 1 dan 3 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, mengatur tentang cara penyelesaian sengketa yang
timbul dalam penenaman modal antara pemerintah dengan investor asing.
Ada dua cara dalam menyelesaikan sengketa antara Pemerintah Indonesia
dengan investor asing yaitu :
1. Musyawarah dan mufakat
2. Arbitrase internasional
Melihat dari penyelesaian sengketa kasus Cemex dan Semen Padang
ini, pada mulanya akan diselesaikan melalui Pengadilan Arbitrase
Internasional ICSID tetapi kemudian dibatalkan sebelum ada proses
pengadilan (putusan) dan kedua belah pihak sepakat menyelesaikan
masalah mereka diluar pengadilan dengan cara musyawarah dan mufakat
melalui negoisasi. Negosiasi adalah perundingan secara langsung antara
para pihak dengan tujuan mencari penyelesaian melalui dialog tanpa
melibatkan pihak ke tiga. Segi positif dari negosiasi dalam kasus ini adalah
para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan
memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah
tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.
Mengenai pembatalan putusan menurut ICSID, “ Either party may
request annulment of the award by an application in writing addressed to
the Secretary-General” adalah penegasan pasal 52 ayat 1 ICSID. Diberi
hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan ICSID
mengatur syarat-syarat formal pembatalan, dalam pasal 52 antara lain:
a. Permohonan diajukan secara tertulis, permohonan pembatalan yang
diajukan secara lisan dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dengan
demikian permohonan tidak sah akibatnya permohonan tidak dapat
diterima.
b. Permohonan dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal ICSID.

23

c. Diperbuat dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan.
Permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang
waktu tidak memenuhi syarat formal, akibatnya permohonan tidak
dapat diterima.
Dalam kasus Cemex ini pembatalan yang dilakukan hanya berupa
pembatalan pengajuan untuk menyidangkan sengketa dengan Semen
Padang (Pemerintah Indonesia) bukan pembatalan putusan sidang
arbitrasenya karena sidangnya pun belum sempat dilaksanakan jadi
mungkin hanya syarat formal a dan b saja yang harus dipenuhi.
Alasan permohonan pembatalan yang dibenarkan dalam ICSID ada
lima menurut pasal 52 ayat 1 (b) :
a. Pembentukan mahkamah tidak tepat
b. Mahkamah melampaui batas kewenangan, misalnya apabila telah
diputus atau dikabulkan suatu hal yang sama sekali tidak dituntut
dalam claim oleh pihak yang mengajukan sengketa
c. Salah seorang arbiter korupsi.
d. Penyimpangan yang serius tata cara pemeriksaan, misalnya putusan
tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing
anggota arbiter.
e. Tidak cukup dasar pertimbangan putusan, artinya bahwa mahkamah
gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan menjelaskan dasar-dasar
alasan pertimbangan hukum dalam putuan.
Lima alasan pembatalan diatas

adalah merupakan alasan

pembatalan atas putusan yang telah ada putusan arbitrase. Pada sengketa
Cemex dengan Semen Padang ( pemerintah Indonesia ) tidak sampai pada
tahap putusan pengadilan arbitrase. Yang jelasnya ICSID memperbolehkan
adanya pembatalan.
Penjualan saham Cemex kepada Rajawali Group menyebabkan
akta CPSA dengan Cemex diakhiri dan direvisi kembali yang salah satu
revisi tersebut berisi pencabutan pengadilan arbitrase, merupakan langkah

24

penyelesaian sengketa yang di lakukan oleh Cemex untuk mengakhiri
sengketa dengan Pemerintah Indonesia.
Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian,
a. Berperkara melalui badan arbitrase lebih fleksibel, artinya tidak ada
tata cara proses perkara yang mutlak harus di jalani. Dalam sengketa
ini para pihak dapat meminta penundaan sidang dan melakukan
negosiasi di luar pengadilan.
b. Kemelut di dalam PT Semen Padang yang berlarut larut merupakan
cerminan ketidak pastian hukum bagi para investor di Indonesia.
c. Cemex tidak lagi memiliki investasi di Indonesia dan sengketa dengan
Pemerintah Indonesia berakhir tanpa melalui sidang di pengadilan
arbitrase.
2.5.2 Contoh Sengketa Bisnis Syariah
Contoh kasus sengketa bisnis yang kami ambil sebagai contoh ialah
sengketa pada perbankan syariah yaitu pada Bank Syariah Mandiri di
Jambi, berikut merupakan penjelasan dan penyelesaian sengketa bisnis
secara Syariah.
Praktik bisnis syariah di Indonesia mulai berkembang dengan
perkembangan keinginan dan harapan umat Islam yang menjadi sebahagian
besar penduduk Indonesia. Keinginan tersebut berkembang seiring dengan
berkembangnya upaya pemahaman terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi
yang berdasarkan syariah Islam pada awal tahun 1990-an. Perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan
syariah. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syariah tidak
hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja,
tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan
lembaga keuangan non bank lainnya. Bidang-bidang usaha yang
dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syariah, Reksa Dana
Syariah dan Obligasi Syariah, dan lain-lain.
Semakin berkembangnya kegiatan ekonomi syariah terutama di bidang

25

keuangan dan perbankan syariah, akhir-akhir ini, mengajak kita terutama
para pakar, praktisi dan hakim Pengadilan Agama untuk mempersiapkan jika
terjadi persengkataan baik sesama muslim maupun antara muslim dengan
non muslim terkait dengan transaksi di bidang ekonomi dan keuangan
syariah, seiring dengan amandemen Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang kewenangannya diperluas selain perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq dan sadaqah, termasuk
juga bidang ekonomi Syariah.
Perkembangan perbankan syariah di propinsi Jambi pun begitu pesat.
Hal ini ditandai dengan bermunculan beberapa bank antara lain: bank
muamalat, bank syariah mandiri, BRI syariah dan BNI syariah.
Perkembangan ini mengindikasikan bahwa minat dan kepercayaan
masyarakat kepada prinsip syariah yang berkaitan dengan transaksi
keuangan cukup tinggi. Hal menjadi tantangan kedepan lembaga keuangan
syariah untuk lebih berbenah diri melakukan pelayan-pelayan terbaik bagi
nasabahnya memberikan konstribusi bagi kemakmuran dan peningkatan
ekonomi umat.
Sengketa dalam operasional perbankan syariah tentunya bisa saja terjadi
mengingat segala sesuatu kegiatan operasional perbankan syariah terikat
dengan segala peraturan dan akad yang harus di taati dan dipatuhi oleh pihak
yang melakukan kegiatan investasi dan transaksi keuangan. Tentunya jika
ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mengikat
perjanjian dan akad akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan yang
berlaku. Akan tetapi penyelesaikan dari sengeketa tersebut bisa saja
diselesaikan dengan jalan Sengketa Alternatif

atau melalui pengadilan

hukum perdata.
Berdasarkan wawancara dengan pihak Bank Syariah Mandiri yang di
wakili oleh Bapak Imam Fanzuri menjelaskan bahwa kasus sengketa yang
terjadi di Bank Syariah Mandiri berkaitan dengan wanprestasi dimana
nasabah tidak mampu mengembalikan tagihan Bank Syariah Mandiri seperti
kasus pada tahun 2008 beberapa KUD tidak bisa mengembalikan tagihan

26

akibat turunnya harga sawit dan karet, sengketa tersebut di selesaikan
dengan jalan Mediasi . Sedangkan jalur litigasi (peradilan) baru tahap
pengajuan somasi lewat pengadilan dan pengadilan mengeluarkan somasi
dengan memanggil pihak-pihak terkait, jalur ini baru tahap proses belum
putusan pengadilan.
Jadi secara umum sengketa di Bank Syariah Mandiri Cabang Jambi
hanya sebatas wanprestasi saja dan penyelesaian dilakukan dengan jalan
Mediasi.22

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
22 http://e-journal.iainjambi.ac.id/index.php/mediaakademika/article/viewFile/155/138,
diakses pada tanggal 25 September 2016.

27

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan
transaksi bisnis baik konvensional maupun syariah sering kali kita mengalami
konflik yang berlanjut pada situasi sengketa, sengketa sendiri biasanya bermula
pada situasi di mana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali
oleh perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif, dan tertutup. Kejadian ini dapat
dialami perorangan atupun kelompok.
Dalam

persengketaan,

perbedaan

pendapat

dan

perdebatan

yang

berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan.
Keadaan ini seperti biasanya, berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang
sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib
ataupun kepentingan pihak lainnya.
Untuk itu, dibutuhkannya suatu cara/metode yang efektif dan efisien dalam
proses penyelesaian sengketa ini, cara/metode yang bisa dilakukan ialah
1. Penyelesaian sengketa melalui proses Ligitasi (Pengadilan) baik pengadilan
umum, agama maupun niaga.
2. Penyelesaian sengketa melalui proses Non Ligitasi atau penyelesaian sengketa
alternative (Alternative Dispute Resolution/ADR)
a. Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak yang bersengketa
dengan musyawarah mufakat.
b. Penyelesaian sengketa melalui ADR yaitu arbitrase, arbitrase syariah,
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli (Expert
Appraisal).

3.2 Saran
Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat bahwa hak
didengar kedua belah pihak sama-sama diperhatikan dan harus terpenuhi. Dengan
itu, baru dapat dimulai proses dialog dan pencarian titik temu yang akan
menjadikan proses penyelesaian sengketa dapat berjalan dengan baik dan efektif.

28

Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan
lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk kritik dan saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian
terakhir dari makalah adalah daftar pustaka, pada kesempatan ini akan kami
jelaskan tentang daftar pustaka makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Mahkamah Agung No 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perad