STRATEGI INTERVENSI KOMUNITAS SEBAGAI UP

LA PO RAN PENELITIAN
KA JIAN WANITA

STRA TEG I INTERVENSI KO MUNITA S SEBA G A I UPA YA
PENC EG A HAN INTENSITA S DAN ESKA LASI KEKERASAN DA LA M
RUMAH TANG G A DI KO TA BA NDA A C EH DAN A C EH BESA R

O le h
SRI WALNY RAHAYU, S.H., M.H.

Dib ia ya i o le h Dire kto ra t Je nd e ra l Pe nd id ika n Ting g i, De p a rte me n Pe nd id ika n Na sio na l
se sua i d e ng a n Sura t Pe rja njia n Pe la ksa na a n Hib a h Pe ne litia n
No m o r : 001/ SP2H/ PP/ DP2 M/ III/ 2008
ta ng g a l 6 Ma re t 200 8

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSA LAM – BANDA AC EH
O KTO BER, 2008

1


PRAKATA
Berpijak pada Islam, sebagai agama monoteis, menegaskan bahwa kekuasaan,
kekuatan dan kebesaran hanyalah milik Allah. Tuhanlah pemegang otoritas absolut atas
seluruh eksistensi alam semesta. Berdasarkan pandangan teologis tersebut agama Islam
menafikan superioritas manusia atas manusia yang lain atas dasar identitas kultural
apapun.
Dalam Al-Quran posisi relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam ada tiga
komponen penting yang dapat dijadikan rujukan. Pertama Islam memiliki risalah (pesan)
abadi yang secara substantif mengajarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal yang
antara lain; kesetaraan, keberagaman (pluralisme) dan demokrasi. Kedua, teks-teks
Islam juga memuat teks-teks partikular (spesifik) yang sengaja diturunkan untuk menjawab
kasus-kasus yang terjadi dalam konteks sosialnya. Ketiga, Islam mengajarkan tentang
rasionalitas dan latar belakang (asbab al nuzul) turunnya teks-teks suci. Keduanya
merupakan media untuk mempertautkan prinsip universalitas dan partikularitas Islam
tersebut.
Dalam satu kesempatan seusai menjalankan haji wada’, secara tegas Muhammad
menyerukan umatnya untuk peduli dan menghormati perempuan. Pernyataan Rasulullah
tersebut seolah kurang bergema. Hanya sedikit umat yang memahaminya secara benar.
Lebih dari 1500 tahun sejak berpulangnya Nabi kehadirat Allah azza wa Jalla, situasi yang

dialami oleh perempuan bukannya membaik, malah seolah kembali ke zaman jahiliyah.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman dan tenteram dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan
keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup
rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam
lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu
jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan
terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah dan
melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan
masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Fakta-fakta sosial yang terjadi selama ini menunjukkan, kaum perempuan
merupakan jenis kelamin yang masih tersubordinasi, termarginalisasi dan akibatnya
mereka paling rentan terhadap kekerasan dalam berbagai bentuknya, baik fisik maupun
non fisik. Kekerasan-kekerasan terhadap perempuan, merupakan akibat dari sistem relasi
gender yang timpang. Tegasnya perempuan masih dipandang sebagai makhluk inferior,
sementara laki-laki makhluk superior dan menentukan segala-galanya. Inilah wajah


2

kebudayaan patriarkhis yang masih berlangsung sampai saat ini di Indonesia termasuk di
Provinsi Aceh.
Ketika masuknya instrumen hukum untuk memajukan hak asasi perempuan dan
keadilan gender ke arena sosial kehidupan masyarakat, regulasi tersebut akan bertemu
dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya, juga memiliki aturan tersendiri dan
memiliki sanksi. Aturan dan sanksi tersebut dapat bersumber dari agama, adat, kebiasaankebiasaan atau pengaruh dari perkembangan global. Artinya UU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, tidak bekerja di ruang kosong dan hampa. Dia
akan berbenturan, berpengaruh dan mengadopsi antara berbagai aturan-aturan yang telah
lebih dulu muncul dalam kehidupan masyarakat di Indonesia khususnya di Provinsi NAD.
Penelitian ini dilaksanakan secara rapid assesment, bertujuan untuk mengumpulkan
data-data strategi dan intervensi komunitas masyarakat di gampong dalam upaya
mencegah intensitas dan eskalasi yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang terjadi
tahun 2005 sampai dengan September 2008 di Provinsi NAD. Hal lainnya mencari tahu
sejauhmana potensi dan peran yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak dalam
upaya mencegah berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Tentu saja penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak yang perlu dikritisi melalui penelitian
lanjutan lainnya.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua partisipan
dan pihak lainnya yang telah memberikan bantuan moril dan immateril sehingga penelitian
ini terlaksana sebagaimana diharapkan. Selain itu diucapkan juga terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh;
2. Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala
3. Rekan-rekan yang menjadi anggota peneliti Roslaini Ramli, Rita Meutia, Safrina,
Mukhlis, Khairul Mizan yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Semoga setiap yang dikerjakan sebetapapun kecilnya
amal kebaikan akan dicatat oleh Allah SWT. Amin.

Banda Aceh, 30 Oktober 2008
Ketua Peneliti

Sri Walny Rahayu, S.H., M.H.

3

DAFTAR ISI


HA LA MA N PENG ESA HA N… … … … … … … … … … … … … … … … … … … ...
A.

LA PO RA N HA SIL PENELITIA N
RING KA SA N DA N SUMMA RY… … … … … … … … … … … … … … … … ..
DA FTA R ISI… ......................................................................................

ii
vi

PRA KA TA … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .
DA FTA R TA BEL.................................................................................

v ii
IX

DA FTA R G A MBA R............................................................................

x


BA B I.

B.

i

PENDA HULUA N… … … … … … … … … … … … … … … … … … …

1

BA B II. TINJA UA N PUSTA KA ..........................................................

7

BA B III. TUJUA N DA N MA NFA A T PENELITIA N.................................

13

BA B IV. METO DE PENELITIA N ..................................................................
BA B V. HA SIL DA N PEMBA HA SAN.........................................................


14
26

BA B VI. KESIMPULA N DA N SA RA N..........................................................
DA FTA R PUSTA KA .......................................................................................
C URRIC ULUM VITA E PENELITI

60
62

DRA FT A RTIKEL PENELITIA N

4

DAFTAR
GAMBAR, DIAGRAM DAN BAGAN

Gambar I


Peta Provinsi NAD.....................................................................

Diagram I

Persentase Jumlah Usia Anak dan Dewasa Berdasarkan Jenis
Kelamin Serta Jumlah Usia anak laki-laki dengan

26

28

Perempuan..................................................................................
Bagan I.

Struktur pemerintah dan Birokrasi Setelah Otonomi Khsusus .....

33

Gambar II


Peta Kota Banda Aceh.............................................................

39

Gambar III

Peta Kabupaten Aceh Basar..........................................................

40

5

DAFTAR TABEL

Tabel. I

Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan..............................

Tabel. II.


Relasi Pelaku dengan Korban KDRT dan Kekerasan Terhadap
Perempuan..................................................................................

Tabel. III.

3

4

Rekapitulasi Karakteristik Lokasi, Instrumen Penelitian dan
Responden..................................................................................

9

Tabel. IV.

Pekerjaan Responsden.............................................................

10


Tabel. V.

Kapasitas Responden.................................................................

11

Tabel. VI.

Nama-nama Desa Lokasi Penelitian..........................................

11

Tabel. VII. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin....

27

Tabel. VIII. Jumlah Anak Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

27

Kelamin ................................................................................
Tabel. IX.

Pertumbuhan Penduduk NAD Tahun 1980-2005.........................

Tabel. X.

Penduduk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2005................................

29

31

Tabel. XI. Kecamatan di Kota Banda Aceh yang Menjadi Sampel Penelitian..

39

Tabel. XII. Angka Perceraian Pada Mahkamah Syar’iah Banda Aceh..............

45

Tabel. XIII. Angka Perceraian Pada Mahkamah Syar’iah Kabupaten Aceh

46

Besar..........................................................................................
Tabel. XIV. Intensitas dan Eskalasi KDRT.......................................................

47

Tabel. XV. Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perkosaan.......................

50

6

COMMUNITY STRATEGIC INTERVENTION IN ORDER TO STOP INTENSITY AND DOMESTIC VIOLENCE
ESCALATION IN KOTA BANDA ACEH AND KABUPATEN ACEH BESAR 1
BY
SRI WALNY RAHAYU 2
ABSTRACT
Keyword : strategic, intervention, domestic violence
Legislation about domestic violence Number 23/2004, almost 4 years legislated, but this legislation appear in
domestic/privat not work in empty space. Stop domestic violence legislation will be collide, influencial, and
adobted among legislations that occurs earlier in Indonesian society live. In NAD province, the rule that live in
society engaged tightly with culture in Aceh viewed that culture as “ Adat ngon Agama lagee zat ngon sifeut”
is that mean Islam religion reflected in culture of Aceh people and their social live. Of course that wise word
need to examine the truthness in empiric way and factual in the real condition, because data about domestic
violence victim increase from year in Kota Banda Aceh and Kabupaten Aceh Besar.
The goals of this research are to know and to inventory community perception that be participant about
domestic violence physical, non physical, sexual and domestic abandon, explained intervention strategic to stop
domestic violence and treatment principle to local resources and society power that explain strength,
opportunity and individual resources, community and local authority. In order to handle domestic violence
(physical, non physical, sexual and domestic abandon). That happening or in the past at village community and
Kecamatan level in Kabupaten Aceh Besar and Kota Banda Aceh. To know and explain supporting system and
serving that needed while handle domestic violence case.
Research result show that strategic and intervention that handle by Kabupaten or kota government recently not
maximal in order handle domestic violence although involved any level of society NGO, ulamas and adat
leader. Intensity and escalation of domestic violence in society show that the frequence after tsunami
increasing. Kind of domestic violence that get by she women in any aspect (physical, non physical, sexual,
economic abandon). Even though they have blood relationship. Domestic violence still assume as close
part/privacy.

1

2

Donated by research directory and society servitude, high education directory general, National education department
number of contract 001/SP2H/ DP2M/III/2008, march 6th 2008.
Law faculty teaching staff Syiah Kuala University Darussalam Banda Aceh

7

RINGKASAN HASIL PENELITIAN
STRATEGI INTERVENSI KOMUNITAS SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN INTENSITAS DAN ESKALASI
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA BANDA ACEH DAN KABUPATEN ACEH BESAR
Oleh
Sri Walny Rahayu3
A.

PENDAHULUAN

I.

LATAR BELAKANG
Telah banyak instrumen hukum nasional bahkan internasional yang melarang terjadinya praktik

kekerasan terhadap perempuan (selanjutnya KTP), namun seolah-olah tidak ada korelasi antara hadirnya
hukum yang mengaturnya dengan maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih terus
berlangsung di Indonesia. Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Juli 1980 telah membuat komitmen di PBB,
untuk menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The
Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women- CEDAW. Tindak lanjutnya
adalah meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 (selanjutnya disebut UU No. 7
Tahun 1984), pada tanggal 24 Juli 1984.
Konvensi tersebut berkaitan dengan prinsip adanya kewajiban negara untuk menghapus berbagai
bentuk diskriminasi baik secara hukum (de jure) maupun secara kenyataan (de facto). Berdasarkan latar
belakang ini terjadi kemajuan (progress) dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun masyarakat sipil di berbagai negara
termasuk Indonesia. Pembatasan dari apa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah:
“Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan”4
Kondisi riil yang ada menunjukkan betapa susahnya perempuan menegakkan haknya untuk keluar
sebagai mahluk subordinasi di bidang partisipasi politik, pendidikan, kesempatan mengekspresikan dan
mengaktualisasikan kemampuannya untuk bekerja dan memperoleh perlakuan yang sama di lingkup publik.

3

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.,
Artikel Laporan penelitian, 64 halaman, 2008. Dib ia ya i o le h Dire kto ra t Je nde ra l Pe nd id ika n Ting g i,
De p a rte m e n Pe ndid ika n Na sio na l se sua i d e ng a n Sura t Pe rja njia n Pe la ksa na a n Hib a h Pe ne litia n
No m o r : 001/ SP2H/ PP/ DP2 M/ III/ 2008 ta ng g a l 6 Ma re t 20 08
4

Bagian I Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1984.

8

Landasan generik yang menjadi acuan kajian ini adalah pada Pasal 16 dan Pasal 5 UU No. 7 tahun 1984
seperti yang dijelaskan oleh Rita Serena Kalibonso 5 adalah :
“KDRT adalah bentuk kekerasan yang paling berbahaya. Sebab KDRT telah lama dianggap lazim
bagi masyarakat di banyak Negara. Dalam hubungan kekeluargaan di segala umur perempuan
menderita segala macam penderitaan termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari
penyerangan seksual serta mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan
ekonomi dalam hal ini memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang dijalankan
berdasarkan tindakan kekerasan. Pencabutan atau pengambil-alihan tangungjawab oleh laki-laki
dapat juga disebut sebagai bentuk kekerasan dan paksaan. Selain itu bentuk-bentuk dari kekerasan
juga menempatkan perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas dasar suatu kesamaan.
Perempuan dan anak, rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Jika berbicara tentang
KDRT, perempuan bahkan mengalami tindak kekerasan di dalam rumahnya sendiri yang seharusnya
memberikan suasana nyaman dan melindunginya. Hampir tidak dapat dipercaya pelaku kekerasan justru orang
yang dicintai, disayangi untuk menjaganya, seperti ayah, suami, paman, kerabat dan orang-orang di dalam
rumah sendiri. Laporan yang datang dari berbagai penjuru dunia mencatat bahwa KDRT terjadi di segala
lapisan masyarakatat. Pelaku dan korban berasal dari berbagai suku bangsa, ras, agama, kelas sosial dan
tanpa memandang tingkat pendidikan manapun.

6

Untuk konteks Indonesia, dimilikinya Undang-undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004 dapat diharapkan
sebagai babak permulaan yang baik sebagai upaya menghapus KDRT.
Profil data menunjukkan tingginya angka KTP selama tahun 2005 angka kekerasan naik menjadi 6.731
kasus dari tahun sebelumnya. Sementara itu, dalam tahun 2004 KTP mengalami kenaikan hampir 100 % dari
7.787 di tahun 2003 menjadi 14.020 pada tahun 2004. Menurut catatan Komnas Perempuan dari tahun ke
tahun angka KTP bergerak naik. Tahun 2001 tercatat 3.160 kasus mengalami peningkatan pada tahun
berikutnya yaitu tahun 2002, sebanyak 5. 163 kasus KTP. Dari sejumlah 14.020 kasus KTP sebanyak 4.310
adalah kasus KDRT, 2.470 kasus terjadi dalam komunitas, 6.634 terjadi dalam rumah atau komunitas, 562
kasus traficking dan 302 merupakan kasus yang pelakunya adalah oknum aparat negara.

7

Agar lebih

memahami hubungan (relasi) antara pelaku dengan korban KTP berikut ini disajikan data dalam Tabel I
sebagai berikut:

5

Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol Terhadap Konvensi penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Jakarta, 2001
6 Sulistyowati Irianto, dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan, NZAID bekerjamasa dengan CW UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2006, hlm. 311312.
7. Jurnal Perempuan. Com. tahun 2005.

9

TABEL I
RELASI PELAKU DENGAN KORBAN KDRT DAN KEKERASAN THADAP PEREMPUAN
No
Pelaku
Korban KDRT
Perempuan Korban Kekerasan
1
Suami
77,36 %
2
Mantan Suami
3,08 %
3
Orang Tua/saudara/anak
6,15 %
14
Majikan
0,22 %
5
Pacar/teman dekat
9,01 %
6
Tetangga
1,54 %
7
Lainnya
2,64 %
86,81 %
13,19%
Sumber data: Mitra Perempuan 2002 – 2005

Berdasarkan kasus tersebut pun diketahui beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak
menunjukkan kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk seperti psikis, fisik, penelataran ekonomi
atau rumah tangga.8 Atau berdasarkan data tersebut dapat diinventarisir: 9
1. Angka KTP selalu meningkat bahkan yang terakhir terjadi kenaikan hampir 10 %
2. 80 % atau 8 (delapan) dari 10 (sepuluh) tindak KTP terjadi dalam KDRT
3. 1 (satu) dari 4 (empat) perempuan pernah mengalami tindak kekerasan selam hidupnya.
UU PKDRT yang hampir 4 (empat) tahun diundangkan sebenarnya dapat dijadikan sebagai alat untuk
menguji apakah kasus-kasus KDRT dapat diminimalisir atau bahkan tidak terjadi lagi lagi korban kekerasan
dalam rumah tangga. Namun demikian disadari sepenuhnya suatu kajian yang bertujuan untuk memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender ketika disosialisasikan haruslah sangat hati-hati. Hal ini karena ketika
masuknya instrumen hukum publik ke dalam lingkup privat/domestik dan masuk ke dalam arena sosial
kehidupan masyarakat yang tadinya dianggap sangat tabu dan arena tersebut telah dipenuhi terlebih dahulu
dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya yang juga memiliki aturan tersendiri yang bahkan memiliki
memiliki sanksi, maka biasanya terjadi penokan-penolakan dari masyarakat tersebut. Aturan dan sanksi
tersebut dapat bersumber dari interpretasi agama, adat, kebiasaan-kebiasaan atau pengaruh dari
perkembangan global. Artinya persepsi masyarakat terhadap penerapan, pelaksananaan, penegakan atau
penerimaan terhadap UU PKDRT ini, tidak bekerja di ruang kosong dan hampa, dia akan berbenturan,
berpengaruh dan mengadopsi antara berbagai aturan-aturan yang telah lebih dulu muncul dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia.

Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Flyer yang diterbitkan secara kerjasama antara Komnas Perempuan dan Body Shop dalam
Sulistyowati Irianto, Loc. Cit.
8

9

10

Khususnya di Provinsi Aceh, aturan yang hidup dalam masyarakat terkait erat dengan budayanya. Di
Aceh digambarkan bahwa budayanya seperti ”Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut”. Artinya cerminan
agama Islam tergambar dalam budaya orang Aceh dalam kehidupan sosialnya. Tentu saja kata-kata bijak
tersebut perlu diuji kebenarannya secara empiris dan faktual dalam kondisi real, karena ternyata data-data
tentang korban KDRT bertambah dari tahun ke tahun di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Di Banda Aceh sendiri angka perceraian dari tahun ke tahun terjadi peningkatan terhadap perkara yang
masuk dan yang diputuskan sebagaian besar adalah cerai gugat. Karena terjadi peningkatan intensitas dan
eskalasi terjadinya KDRT dan sebagaian besar korbannya adalah perempuan di Banda Aceh dan Aceh Besar,
oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan di kedua wilayah tersebut. Sekaligus ingin mengetahui
strategi dan intervensi upaya pencegahan KDRT dan ketersediaaan fasilitas layanan pendukung KDRT yang
disediakan oleh pihak pemerintah dan segenap komunitas setelah hadirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004.
2.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan data yang telah diuraikan maka penelitian ini memfokuskan pada masalah yang dapat

diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman masyarakat Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
2. Bagaimanakah strategi-strategi intervensi komunitas untuk mencegah intensitas dan eskalasi KDRT
yang berbasis pada sumberdaya lokal dan kekuatan masyarakat ?
3. Sejauhmana telah terjadi ekskalasi dan intensitas KDRT di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda
Aceh ?
4. Bagaimana sistem pendukung dan layanan yang dibutuhkan untuk menangani kasus KDRT dan
apakah sistem tersebut telah bekerja dengan baik?
B.

TINJAUAN PUSTAKA
Adapun regulasi dan kentuan lainnya yan g menjadi dasar pijakan kerangka hukum dan konsep dalam

melakukan analsisi dari penelitian ini antara lain :
1.

Regulasi Nasional Dan Internasional Yang Berhubungan Dengan PKDRT
UU PKDRT Berkaitan Erat Dengan Regulasi Lainnya Yang Sudah Ada Sebelumnya, Antara Lain :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

11

d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita – CEDAW;
e. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
f.
2.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Yang Mengatur Tentang Perempuan Dan Anak Pada Tingkat Daerah (Qanun)
Berkaitan dengan isu perempuan dan masalah KDRT, Pemerintah daerah Provinsi Aceh (melalui inisiator
Biro Pemberdayaan10 Perempuan dan Biro Hukum) membentuk Rancangan Qanun Provinisi antara lain:
a. Rancangan Qanun Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan;
b. Rancangan Qanun tentang Perlindungan Anak
c. Rancangan Qanun tentang Anggaran Responsif Gender
Tentu saja ketiga produk rancangan qanun tersebut diharapkan dapat cepat disahkan menjadi qanun,

dan secara legal representatif dan sensitif bagi perempuan dan anak dalam memberi persamaan hak dan
keadilan.
3.

Pendekatan Analisis Gender
Analisis gender adalah serangkaian kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek

hubungan antar jenis kelamin. Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini analisis gender mulamula membuat pembedaan antara apa yang disebut "seks" dan "gender". Seks, demikian didefinisikan, adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan gender adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.
Pada prinsipnya analisis gender tidak mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu selama tidak
melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara gender (gender differences)
sangat potensial melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu, langkah selanjutnya
yang dilakukan analisis gender adalah menggugat pembedaan gender, khususnya yang melahirkan
ketidakadilan.

11

Berdasarkan analisis gender, ketidakadilan gender bisa diidentifikasi melalui berbagai

manifestasi ketidakadilan, yakni: marjinalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak
penting), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda (double burden). Hal ini
merupakan suatu kriteria untuk melihat setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki dengan perempuan,
termasuk yang lahir dari doktrin agama.
C. Tujuan Penelitian
10

Biro PP telah berubah namanya menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Badan PP
dan PA Provinsi Aceh) .
11 Acep Sugiri dalam Harian Kompas, M encari Teori Kesetaraan: (Analisis Gender VS Teori
Hukum Hukum Islam, Senin, 23 Agustus 2004.

12

Adapun tujuan dari penelitian merupakan penelitian lanjutan untuk mencari kemutakhiran data dengan
objek penelitian yang yang lebih fokus kepada strategi dan intervensi pencegahan intensitas dan eskalsi
kekerasan dalam rumah tanga ini akan meliputi beberapa area, dapat dirinci sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui dan menginventarisir persepsi komunitas yang menjadi partisipan mengenai KDRT
meliputi fisik, psikis (non-fisik), seksual, dan penelantaran rumah tangga

2.

Untuk menjelaskan strategi-strategi intervensi pencegahan dan treatment berbasis pada sumberdaya
lokal dan kekuatan masyarakat yang didalamnya akan menjelaskan kekuatan, peluang dan sumberdaya
individual, komunitas dan kewenangan lokal dalam menanggulangi KDRT .

3.

Untuk mengetahui dan menjelaskan eskalasi dan intensitas dari berbagai bentuk KDRT (fisik, psikis,
seksual dan penelantaran rumah tangga), yang sedang terjadi atau telah terjadi dalam komunitas di
desa dan level kecamatan di kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

4.

Untuk mengetahui dan menjelaskan sistem pendukung dan layanan yang dibutuhkan ketika menangani
kasus kekerasan KDRT.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini merupakan penyajian informasi serta rekomendasi tindakan yang harus dilakukan
oleh pemerintah, Badan PP dan PA di Provinsi Aceh dan Bagian PP di Kabupaten/kota, Legislatif, yudikatif,
dan pihak-pihak lain yang terkait, beserta seluruh komunitas dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap perempuan dan anak di Aceh terhadap KDRT.
E. Metode Penelitian
1. Kategori Penelitian
Penelitian ini termasuk katagori penelitian penilaian secara cepat (rapid assessment), merupakan
penelitian yang dilaksanakan dengan mengikuti rangkaian proses pengumpulan data dengan
menggunakan berbagai metode seperti, pengkajian laporan atau data sekunder yang telah ada.
Selanjutnya mengumpulkan dan mengkaji data primer dengan menggunakan berbagai metode pengkajian
laporan-laporan yang sudah ada.
2. Jenis dan Analisis Data
a) Data primer.
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan atau diperoleh oleh peneliti dari partisipan
dikelompokkan ke dalam partisipan anak dan orang dewasa. Partisipan dewasa, partisipan anak, unsur
profesional dan penentu kebijakan.
b) Data sekunder
Data sekunder terdiri dari berbagai informasi baik berupa data tertulis maupun rekaman film, video dan lainlain, yang berkaitan dengan fenomena KDRT. Penggunaan data sekunder adalah untuk informasi awal dan

13

pelengkap informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperkuat penemuan
atau informasi yang telah dikaji oleh peneliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
berupa dokumen, instrumen hukum dalam bentuk undang-undang, Instruksi Presiden, peraturan
daerah/qanun, jurnal ilmiah, publikasi dari berbagai organisasi, laporan tahunan lembaga pemerintah.
c)

Penentuan lokasi dan Jangka Waktu Penelitian
Ditemukan data tingginya angka perceraian di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh yang
didominasi kasus KDRT, sehingga lokasi tersebut menjadi alasan dipilih ke 2 (dua) lokasi ini sebagai
daerah penelitian. Dengan mempertimbangkan keluasan permasalahan kekerasan, maka hanya akan
difokuskan kepada isu Strategi dan intervensi pencegahan terhadap intensitas dan eskalasi KDRT saja.
Jangka waktu dilakukan penelitian terhadap data, pertama sekali dilakukan tahun 2004 – 2006, Dengan
mengambil lokasi sampel yang sama, selanjutnya data penelitian diperbarui untuk kemutakhiran, data
diambil Tahun 2007 sampai dengan Bulan September 2008.

d)

Teknik penentuan partisipan
Teknik penentuan partisipan berdasarkan purposive sampling. Artinya penetapan seseorang/individu
untuk menjadi partisipan disebabkan karena alasan-alasan yang telah ditetapkan sesuai dengan
kebutuhan penelitian.

e)

Jenis data yang digunakan
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui library research dan data primer
yang didapat melalui field research. Data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan dari literatur,
laporan dan penelitian yang telah ada sebelumnya. Data primer untuk partisipan dewasa digunakan
instrumen Focus Group Discussion-Fokus Grup Diskusi (FGD), Wawancara Semi Terstruktur (WST.
Selanjutnya observasi dilakukan untuk melihat gambaran umum lokasi penelitian dan aktivitas
masyarakat, serta fasilitas yang tersedia di instansi terkait dalam rangka pelayanan kepada korban KDRT.

f)

Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh besar. Dari 9 (sembilan) kecamatan
yang ada di Banda Aceh dan 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Besar, ditarik sampel lokasi
penelitian sebesar 25%. Selanjutnya secara purposive dipilih 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Aceh
Besar, yaitu Kecamatan Darusalam, Jantho, Indarapuri, Darul Imarah, dan Lhoknga. Adapun di Kota
Banda Aceh penelitian dilakukan pada Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman. Berdasarkan

14

tiap kecamatan dipilih 2 (dua) desa secara purposive. Nama-nama desa yang menjadi lokasi penelitian
seperti diuraikan dalam Tabel II sebagai berikut:

TABEL II
NAMA-NAMA DESA LOKASI PENELITIAN
Nama Kabupaten/Kota
Kecamatan
Aceh Besar

Kota Banda Aceh

Desa

1.

Kecamatan Indrapuri

2.

Kecamatan Jantho

Barueh
Jantho Makmur

3.

Kecamatan Darul Imarah

Kuta Lamreung
Guegajah

4.

Kecamatan Lhoknga

5.

Kecamatan Darussalam
1.

Kecamatan Meuraxa

2.

Kecamatan Syiah Kuala

3.

Kecamatan Baiturrahman

Desa Pasar Indrapuri
Sinye

Lamkruet
Lampaya
Lambada Peukan
Lampeudaya
Deah Baro
Deah Glumpang
Rukoh
Gampong Pineung

Desa Ateuk Jawo
Kelurahan Sukaramai
Sumber : Data Primer yang diolah, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, 2 Pebruari 2007

F. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemahaman Masyarakat terhadap KDRT
Umumnya masyarakat mengatakan KDRT adalah melakukan pemukulan terhadap salah satu
anggota keluarga sampai melukai fisiknya atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas yang dapat
menyebabkan korban sakit hati. Sementara sebagian masyarakat lain seperi Keuchik Lambada Peukan
dan masyarakat Lhoknga umumnya mengatakan jika hanya terjadi perang mulut biasa tidak sampai
melukai fisik, hal itu tidak dianggap kekerasan seperti yang terjadi antara suami isteri, atau orang tua
terhadap anak. Menurut partisipas, “perang mulut” antara suami dengan isteri diibaratkan bagai aweuk
ngon beulangong atau ibarat wajan dengan centong, meskipun sama-sama membutuhkan mesti ada saja
masalah yang dihadapi.
Keuchik, imuem, serta masyarakat awam lainnya yang menjadi partisipan dalam penelitian ini belum
mengetahui bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali tentang Undang-undang PKDRT. Fakta ini
15

terungkap ketika pada awalnya “keuchik Desa Deah Baro” mengatakan bahwa tidak pernah ada KDRT di
desanya. Akan tetapi ketika dijelaskan lebih lanjut ternyata dia mengatakan bahwa ada bentuk-bentuk
KDRT yang dialami oleh warganya. Karena ketidakpahaman keuchik maka masalah-masalah KDRT tidak
diangap sebagai suatu perbuatan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal seharusnya ada kewajiban
bagi negara dan komunitas untuk mencegah dan melindungi korban dari tindakan kekerasan yang
dimunculkan oleh pelaku KDRT.
Banyak juga warga masyarakat yang tidak pernah melaporkan jika terjadi KDRT.

Umumnya

masyarakat belum manerima sosialisasi UU PKDRT, kondisi seperti ini dirasakan oleh semua masyarakat
di lokasi desa sampel, bahkan Ketua KUA Kecamatan Darussalam juga mengatakan dirinya bersama staf
yang bekerja di KUA tersebut belum pernah mendapat sosialisasi mengenai UU PKDRT, dan juga UndangUndang Perlindungan anak. Sebahagian dari partisipan lainnya pernah mendengar dan melihat sepintas
sosialisasi yang dilakukan di TV, ditulis di koran. Hanya satu partisipan yaitu keuchik di Desa Deah
Glumpang pernah mengikuti pelatihan PKDRT.
Selanjutnya ada pandangan terhadap tidak perlunya cuti haid bagi perempuan yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan. Hal tersebut karena

“haid” merupakan

kodrat perempuan.

Kecuali jika

perempuan tersebut mengalami sakit ketika haid, maka baru dia diperkenankan untuk diberikan “izin sakit”.
2. Bentuk-Bentuk KDRT yang Terjadi di Lingkungan Masyarakat
Menurut masyarakat bentuk-bentuk KDRT yang pernah terjadi pada di lingkungan mereka, seperti
perang mulut suami isteri hingga suami memukul isteri, memukul anak anak, suami tidak memberi nafkah,
suami kawin lagi. Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap anak, menurut partisipan, hampir semua orang
pernah memukul anaknya tapi bukan memukul sampai melukai atau menyiksa, seperti kasus-kasus yang
sering dilihat di televisi. Bentuk-bentuk pemukulan menggunakan tangan dengan mencubit atau memukul di
pantat, karena anaknya bandel (nakal), atau tidak mau mendengar kata orang tuanya. Anak-anak juga suka
dpukul ketika tidak mau disuruh mandi, tidak mau belajar.
Hal ini juga diperkuat oleh partisipan anak. Semua anak yang dijadikan partisipan dalam penelitian ini
pernah mengalami KDRT dari orang tua mereka. Menurut anak, pelaku utama KDRT terhadap anak-anak
adalah ibunya. Hasil observasi di Desa Kuta Lamreung Kecamatan Darul Imarah, saat sedang melakukan
wawancara dengan seorang responden, peneliti melihat seorang ibu/tetangga dari responden yang menghardik
dan memukul anaknya dengan keras karena anak tersebut menjatuhkan pot bunga kepunyaan ibunya, karena
tanpa sengaja terkena lemparan bola dari anak tersebut.
3.

Intensitas dan Eskalasi Terjadinya KDRT

16

Pada dasarnya kasus KDRT dapat saja dialami oleh banyak orang, namun karena masalah tersebut
masih dianggap masyarakat sangat tabu untuk di laporkan, maka-kasus-kasus KDRT tidak banyak yang
muncul ke permukaan. Hal tersebut dikatakan oleh hampir semua partisipan dewasa yang menjadi responden
dalam penelitian ini, seperti dikatakan oleh Kapolsek, dokter puskesmas, keuchik, Imuem dan sebahagian
besar masyarakat lainnya.
Berikut intensitas dan eskalasi KDRT yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat baik yang terjadi di
Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten Aceh Besar yaitu:
a. Pertengkaran suami isteri sangat sering terjadi dan hampir di semua keluarga;
b. Pemukulan (mencubit) anak oleh ibunya sangat sering terjadi ditemukan hampir di semua keluarga yang
dijadikan partisipan;
c. Pemukulan (menampar) yang dilakukan oleh suami terhadap isteri sering tapi pada keluarga-keluarga
tertentu kusus di Desa Deyah Baro Kecamatan Meraxa tergolong sering dan banyak ibu-ibu yang
mengalaminya;
d. Pemukulan yang dilakukan oleh ayah terhadap anaknya sering dilakukan namun pada keluarga-keluarga
tertentu.
e. Nafkah yang dirasakan tidak cukup, banyak dialami oleh hampir di semua keluarga di semua desa objek
teliti
f.

Suami berpoligami di desa-desa tidak banyak, bisa dihitung dengan sebelah jari.

g. Suami berselingkuh hanya orang tertentu fenomena kusus di desa Lamreung dan Guegajah;
h. Isteri berselingkuh 2 (dua) kasus fenomena kusus di Desa Lamreung dan Guegajah.
Berdasarkan data primer diketahui memang terjadi peningkatan setelah tsunami. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan data yang ada pada Mahkamah Syar’iyah. Kenaikan frekuensi angka perceraian terjadi baik di
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, maupun Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar. Angka
perceraian dapat menjadi salah satu tolok ukur adanya kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang
mengakibatkan banyak pasangan melakukan cerai talak (pihak suami) maupun cerai gugat (pihak isteri).
Selain KDRT, alasan suami melakukan ”poligami” paling dominan terjadinya perceraian secara ”cerai gugat”
berdasarkan perkara yang masuk atau yang diputuskan di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota yang dijadikan
lokasi penelitian. Adapun angka perceraian yang terjadi di dua kabupaten/kota yaitu Banda Aceh dan Aceh
Besar dapat dilihat dalam Tabel III dan Tabel IV sebagai berikut:
TABEL III : ANGKA PERCERAIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Perkara Masuk
Perkara yang Diputuskan
Tahun
Cerai Talak
Cerai Gugat
Cerai Talak
Cerai Gugat
2005
27
106
25
83
2006
45
120
56
105
2007
54
150
49
157

17

2008
(sampai bulan
63
103
46
36
September )
Sumber data : Data primer diolah pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, hasil penelitian dilakukan
September 2008.

Data angka perceraian Kota Banda Aceh dimulai tahun 2005 sampai September 2008. Hal ini karena
data sebelum tahun 2005 tidak dapat ditemukan lagi, karena kantor Mahkamah Syar’iyahnya terkena dampak
tsunami, yang mengakibatkan hancur dan musnahnya semua data dan dokumen yang ada. Jika dianalisis data
Tabel III diketahui, terjadi peningkatan yang tajam angka perceraian pada tahun 2005 -2006, justru paling
banyak dilakukan oleh pihak perempuan yang melakukan cerai gugat, dari 106 menjadi 120 kasus. Begitupun
dengan jumlah kasus-kasus yang diputus dari 83 kasus menjadi 105 kasus. Peningkatan kasus perceraian
masih terjadi, baik kasus cerai talak maupun cerai gugat. Meskipun secara angka perkara yang masuk dari
kasus cerai gugat masih signifikan terjadi peningkatan jumlah pada tahun 2007 dari 120 kasus menjadi 150
kasus dibandingkan cerai talak dari 45 menjadi 54 kasus. Perkara yang diputuskan berdasarkan cerai gugat
juga lebih banyak yaitu 105 kasus menjadi 157. Sedangkan kasus yang diputuskan berdasarkan cerai talak
mengalami penurunan dari 56 kasus menjadi 49. Kondisi ini menajdi terbalik ketika tahun 2008 kasus yang
diputuskan berdarkan cerai gugat turun drastis dari 157 kasus menjadi 36. Begitupun kasus yang diputus
berdasarkan cerai talak dari 49 kasus menjadi 46 kasus.
Latar belakang penyebab suami melakukan melakukan “cerai talak” terhadap isterinya Kota Banda
Aceh adalah :
a. Karena tidak harmonis
b. Perselisihan (cekcok terus menerus)
Alasan isteri melakukan cerai gugat terhadap suaminya adalah sebagai berikut:
a. Suami tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban
b. Suami berpoligami
c. Suami berselingkuh
d. Suami suka memukul isteri dan anak.
Angka perceraian pada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar seperti pada Tabel IV di bawah
ini:
TABEL IV : ANGKA PERCERAIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH KABUPATEN ACEH BESAR
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008

Perkara Masuk
Cerai Talak
Cerai Gugat
63
21
57
17
85
24
49
102
30
92

Perkara yang Diputuskan
Cerai Talak
Cerai Gugat
43
15
56
15
74
21
35
90
36
71

18

Sumber data : Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, data primer diolah, Nopember 2006
s/d Januari 2007.

Berdasarkan perkara yang masuk, sejak tahun 2004

sampai dengan September

2008 terjadi

intensitas dan eskalasi yang cukup tajam dari kasus cerai gugat. Tahun 2007 dari 24 kasus sebelumnya
menjadi 102 kasus dan yang diputus berdasarkan cerai gugat juga terjadi peningkatan yang cukup serius. Dari
21 menjadi 90 buah kasus. Sampai September 2008 sudah 92 kasus cerai gugat yang masuk dan yang diputus
berdasarkan cerai gugat 71 kasus. Hal ini dapat saja bertambah sampai akhir tahun 2008.
Alasan-alasan yang menjadi penyebab terjadinya cerai talak dari pihak suami lebih disebabkan tidak
adanya keharmonisan dalam rumah tangga, sedangkan alasan isteri menggugat cerai suaminya sangat
bervariasi :
a. Suami tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban
b. Poligami
c. Kawin paksa
d. Adanya gangguan pihak ke tiga
Dari alasan-alasan gugat talak dan gugat cerai baik yang terjadi di Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten
Aceh Besar dapat diketahui bahwa pihak perempuan (isteri) mengalami KDRT yang variatif berlapis bentuknya.
Berikut dapat diperlihatkan kasus-kasus KDRT yang terjadi di berbagai instansi terkait :
TABEL V
INTENSITAS DAN ESKALASI KDRT
Sumber data
Tahun 2004 –
Sept’08
Rumah Sakit
Umum Jantho

Jumlah K\asus KDRT
Thn
Thn Thn
Thn
2004 2005 2006 2007
1

Pelaku
Thn
2008

1
Pengadilan
Negeri Jantho
4
3
1
1
Rumkit Kesdam

1
1
1

KUA Kec
Baiturrahman

Polsek

1

1

5

1

Korban

Bentuk KDRT
Dipukul di muka sampai
bernanah
Dimarahi, dihina, disentil,
kepala dipukul dengan
centong, muka dipukul
dengan botol, ditampar di
hidung dan mulut
Kekerasan Fisik

Suami

Istri

Suami

Istri

Suami,
kakak/saudara

istri,adik

Kekerasan Fisisk
Puting payudara digigit
Masuk Kelereng dalam
Hidung anak
Vagina pecah
Tersiram air panas, minyak
goreng akibat kelalaian ibu
Memar karena kena pukul
Cekcok, suami tidak
bertanggung jawab pada
anak, istri, mencurigai
suami/istri, tidak memberi
nafkah lahir batin.
Pemukulan

suami
Suami
anak

Istri
Istri
Ibu

Suami
Ibu

Istri
anak

istri

Suami

Suami

Istri

suami

Isteri

Baiturrahman

19

Ruang
Pelayanan
Khusus (RPK)
Polres Banda
Aceh

14

18
24

Pusat
Pelayanan
Terpadu (PPT)
Rumkit
Bhayangkara

6

1

17
17
KUA Kecamatan
Darul Imarah

3

Penganiayaan fisik
(pemukulan), kekerasan
seksual, Penelantaran
ekonomi dan poligami
Pemukulan, Penelantaran
Pemukulan, pengancaman
Penganiayaan fisik (pipi
ditampar, dipukul dikepala
sampai berdarah dengan
botol, ditendang, dicekik,
punggung ditinju, kepala
dipukul)
Kekerasan psikis dimakimaki dan dikatai dengan
kasar sampai menyebut
orangtua korban tidak
punya otak, dihina)
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik dan
ancaman

suami

Istri

Suami
Suami, istri
suami

Istri
Istri, suami
Istri

suami

Istri

Suami
Suami

Istri
Istri

Suami tidak memberi
nafkah selama setahun,
suami poligami, tidak ada
kecocokan

suami

Istri

Suami poligami, istri
menghina suami, suami
impotent, suami tidak
bertanggungjawab dan tidak
memberi nafkah, suami
selingkuh, suami sering
marah dan mengucapkan
kata talak, suami memaksa
berhubungan saat istri
sedang haids.

7
kasus
pelakunya suami
dan
1
kasus
pelakunya istri

7
kasus
korbannya
istri dan
1
kasus
korbannya
suami

Selingkuh, penelantaran
RT, memukul, memaki dan
menghina
Tidak emberi nafkah
terhadap istri, istri mengatur
suami dan terlalu dominan
Memberi cabai pada
pakaian dlam istri, memukul
di tulang rusuk, tidak
percaya pada istri

Suami

Istri

8

16
29

18

Suami/ istri
Dominan suami
dibandingkan istri
Suami

Istri

20

Puskesmas
Lampeuneurut

2

Penyiksaan fisik (gigi
goyang akibat ditampar,
bibir pecah, pipi bengkak,
kepala bengkak, tangan
memar)

Suami

Istri

Penyiksaan fisik
(pendarahan pada mata,
luka memar pada daerah
wajah)

Suami

Istri

Kekerasan fisik (dipukul di
daerah kepala, kepala
bengkak, wajah lebam)
Kasus Luka memar di

Suami, anak tiri
laki-laki, mantan
suami

Istri

suami

Isteri

suami

Isteri

suami

Isteri

suami

isteri

1

Puskesmas
Lhoknga

2
1

Puskesmas
Kecamatan
Darussalam

bagian muka akibat di
tampar suami,
1

Kasus memar di bagian
dagu akibat kena
tendangan

1

Stres akibat tekanan
mental, suami selalu marahmarah.

Polsek
Darussalam

1

Kasus memar di bagian
dagu akibat kena
tendangan

Sumber : Data Primer yang diolah Agustus – September 2008.

Berdasarkan Tabel V di atas diketahui bahwa, sebagaian besar perempuan dan anak merupakan
korban dan mengalami kekerasan yang berlapis dalam rumah tangga.

Seorang perempuan/istri dapat

mengalami kekerasan fisik, non fisik, seksual bahkan ekses dari suami yang melakukan poligami
menelantarkan rumah tangganya. Data KDRT yang masuk ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Banda Aceh
tahun 2006 terjadi peningkatan lebih dari 4 (empat) kali jumlah kasus yang masuk pada tahun 2005, yaitu dari 4
(empat) kasus menjadi 26 kasus yang 100 persen korbannya adalah perempuan.
4.

STRATEGI INTERVENSI PENCEGAHAN INTENSITAS DAN ESKALASI TERHADAP KDRT SERTA
FASILITAS LAYANAN PENDUKUNG
Pada dasarnya semua adat istiadat di Aceh bersendikan Islam yang diibaratkan seperti, adat ngon

agama ibarat zat ngon sifeut. Jika terjadi KDRT di Provinsi ACEH lebih disebabkan karena penyimpangan
perilaku yang dapat terjadi di negara mana saja dan di daerah mana saja bukan karena adat Aceh-nya yang

21

keras. Dengan demikian penyimpangan perilaku dengan timbulnya KDRT sebenarnya juga penyimpangan dari
adat istiadat Aceh.
Di tengah masih kuatnya nilai-nilai patriarkhal yang dianggap sebagai nilai satu-satunya di masyarakat,
terdapat peluang untuk mengubah situasi yang tidak demokratis itu. Peluang tersebut ada pada masyarakat
sendiri. Tetapi, untuk memanfaatkan peluang tersebut, masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif,
mesti diubah perspektifnya lebih dulu.

Artinya peran semua elemen masyarakat sangat besar dalam

penanganan kekerasan terhadap perempuan. Penyelesaian kasus KDRT menurut hukum adat, bersendikan
simbol mukim adalah mesjid, simbol gampong adalah meunasah. Hal ini berarti, semua persoalan-persoalan
masyarakat termasuk KDRT diselesaikan oleh tokoh-tokoh gampong seperti tuha peut atau tuha lapan namun
penyelesaiannya dilakukan di meunasah atau di mesjid. Meunasah/mesjid punya nuansa tersendiri untuk
menyelesaikan setiap persoalan gampong dibandingkan dengan penyelesaiannya yang dilakukan di luar
tersebut.
Sampai saat ini juga telah ada LSM nasional/lokal/Internasional yang telah membuat layanan-layanan
untuk perempuan korban kekerasan seperti women crisis center, lembaga bantuan hukum, rumah lindung
(shelter), atau pendampingan korban, jumlahnya masih jauh dari memadai dari kebutuhan. Apalagi jumlah
perempuan korban kekerasan tidak selalu berada di kota-kota besar. Pekerja sosial menjadi penting dalam hal
ini menjadi penting, yang dibantu oleh segenap elemen komunitas dan pemerintah gampong yang ada. Dapat
dicontohkan bagaimana upaya yang dilakukan komunitas tersebut, dalam mencegah dan menangulangi
perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang berada jauh dari lokasi dari pusat informasi, komunikasi dan
transportasi yang sulit. Dapat dibayangkan bagaimana jika perempuan dan anak di daerah tersebut menjadi
korban KDRT.
Selain hal tersebut, korban kekerasan membutuhkan bukan hanya pengobatan secara fisik, tetapi juga
penanganan masalah psikososial dan hukum dengan pendampingan untuk mengatasi trauma. Dengan kata
lain, penanganan korban kekerasan memerlukan layanan terpadu multidisiplin.
a.

Badan PP dan PA, bagian Pemberdayaan Perempuan Kabupaten/kota
Badan PP dan Perlindungan anak, atau bagian PP di kabupaten/kota telah melakukan sejumlah
kegiatan dalam rangka mencegah segala bentuk KTP termasuk KDRT dan kekerasan terhadap anak.
Diantaranya adalah sosialisasi Undang-Undang PKDRT, dan Undang-Undang Perlindungan Anak ke
berbagai kabupaten kota, ke barak-barak pengungsi korban tsunami, sosialisasi ke dinas-dinas terkait di
kabupaten kota. Sosialisasi juga dilakukan diberbagai media cetak dan elektronik, seperti radio, televisi,
buklet-buklet dan juga dalam bentuk buku yang telah disebar-luaskan ke berbagai daerah di Provinsi ACEH.
Di Kota Banda Aceh dan Jantho Kabupaten Aceh Besar juga telah dibangun Pusat Pelayanan Terpadu
Perberdayaan Perempuan (P2TP2). Konsep P2TP2 adalah salah satu bentuk layanan dalam upaya

22

pemenuhan kebutuhan peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi, penanggulangan tindak kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan anak serta peningkatan posisi dan kondisi peremuan dalam
masyarakat. Selain itu P2TP2 berperan sebagai wadah pelayanan pemberdayaan perempuan dan anak
berbasis masyarakat.
b.

Poltabes Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Telah melakukan sosialisasi kepada segenap jajarannya terutama Kapolsek-Kapolsek yang ada di
kecamatan, mengenai UU PKDRT dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak. Poltabes juga telah
menyediakan Ruang Pelayanan Kusus (RPK) berikut peningkatan kualitas sumber daya Polisi Wanita
(Polwan) yang akan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk
didalamnya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Adapun di Kabupaten Aceh Besar, pelayanan yang
diberikan terhadap KTP khususnya fungsi RPK belum semaksimal di Kota Banda Aceh. Sumber daya
Polwan yang memahami masalah kekerasan masih sangat terbatas.

c.

Polsek – Polsek yang ada Di Kecamatan
Pihak kepolisian sendiri cenderung mendamaikan kembali jika terjadi KDRT pada tingkat gampong

yang dilaporkan kepada mereka. Seperi kasus yang terjadi di Polsek Darussalam yaitu suami yang menendang
isterinya hingga memar di bagian dagunya, oleh karena banyak hal yang dipertimbangkan disamping faktor
isteri yang sedang hamil, suami tersebut nampaknya tidak dengan sengaja menendang isterinya, namun
kepada suami yang bersangkutan dikenakan sanksi wajib lapor. Pihak polsek sendiri sudah pernah juga
melakukan sosialisasi PKDRT ke beberapa tempat tapi diakui masih sangat kurang. Jika terjadi kasus KDRT
sebaiknya masyarakat yang ingin melapor ke pihak kepolisian, polsek Darussalam menganjurkan untuk
melapor ke Poltabes saja yang ada di Jambo Tape. Hal ini disebabkan di Polsek sendiri tidak ada fasilitas
seperti RPK dan SDM (polwan) yang sebaiknya menangani kasus KDRT karena biasanya korban utama KDRT
adalah perempuan.
d.

Potensi puskesmas di Kecamatan
Petugas kesehatan memegang posisi strategis, tetapi ada hambatan, yaitu petugas kurang responsif

dan belum memahami perannya. Selain itu, petugas kesehatan memang kurang terampil seperti luput dalam
pendokumentasian kasus kekerasan secara baik. Selain itu bagaimana mereka dapat memberi tin dak lanjut
sepertyi konseling, perawatan dan melakukan rujukan. Sikap yang masih dipengaruhi budaya dan sikap sosial
yang memandang negatif terhadap perempuan korban, alokasi dana yang terbatas bagi penanganan KDRT,
karena puskesmas tersebut juga punya skala prioritas seperti penurunan angka kematian ibu dan balita,
demam berdarah.

23

e.

Peran Kantor Urusan Agama di Kecamatan
Hampir semua Kantor urusan agama kecamatan (Kuakec) pernah menasehati/membimbing sejumlah

pasangan suami isteri yang berselisih atas permintaan keuchik gampong. Jumlah secara ot