Paradigma Konsep Hegel dalam Melihat Kon

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FISIPOL UGM
LEMBAR COVER TUGAS 2015

Sri Bintang Pamungkas
14/364610/SP/26138

Paradigma Konsep Hegel dalam Melihat Kontestasi Civil Society dan Negara
Abstract
It’s still abstract if we talk about whast is the meaning of civil society, there’s nothing a real
definition about it. Hegel had his own paradigm when judging and educating about civil
society. Then in contemporary context, is civil society become a pre-terms for a democracy
grown? Is civil society gives a good constribution for democracy? And is democracy become
one and only good concept in stability of its state? Or indeed brings a destroy for a state? It
is still become a big question for all of us. In this writing, the writer tries to reflect the civil
society from Hegelian’s paradigm and the role of state when solve it.
Keyword : civil society, democratization, Hegelian’s Paradigm
Pengantar
Salah satu konsep yang sangat menarik perhatian dalam diskursus mengenai bingkai politik
dan konsep good governance dalam suatu negara adalah mengenai konsep civil society.
Memang, didalam konsep good governance pemerintah bukanlah satu-satunya aktor
tunggal dalam penyelenggaraan kegiatan negara yang berkaitan dengan urusan publik.

Didalam good governance secara sederhanaya terbagi kedalam relasi tiga aktor yang
meliputi negara, pasar dan civil society itu sendiri. namun dalam tulisan ini saya hanya
menjelaskan relasi civil society dan negara sebagai pemegang otoritas. terjemahan istilah
civil society ke dalam bahasa Indonesia masih sangat abstrak seperti: masyarakat madani,
masyarakat sipil, masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dsb. Tetapi, pada dasarnya
sudah ada satu kesepakatan bahwa civil society adalah wilayah kehidupan sosial yang
terletak di antara ‘negara’ dan ‘komunitas lokal’ tempat terhimpunnya kekuatan masyarakat
untuk mempertahankan kebebasan, keanekaragaman, serta kemandirian masyarakat
terhadap kekuasaan negara dan pemerintah.1

1 Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999,
hlm. 3–10

Dalam konteks kontemporer, di era modernisasi dan demokrasi, termasuk di Indonesia civil
society mengalami transformasi penguatan yang signifikan sebagai kekuatan otonom dari
negara dan telah menjadi salah satu aktor yang cukup penting dalam berpartisipasi
penyelenggaraan bernegara. Apakah dengan partisipasi civil society menguatkan budaya
demokrasi? Atau justru membuat kontestasi antar civil society demi kepentinganya yang
bersifat partikular. Lalu, masih relevankah konsep pandangan Hegel mengenai civil society
dalam konteks sekarang ini jika diterapakan di Indonesia?

Pembahasan
Konsep Civil Society
Civil society bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu
masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme. 2
Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana
orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi
keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan
tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena
negara dan civil society terpisahkan.
Civil society terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan
istilah Hegel bersifat atomis.3 Akibatnya, anggota dalam civil society tidak mampu
mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan mereka
bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar
pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain.4 Civil society menjadi tempat
pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi
anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, civil society adalah masyarakat yang
bekerja. Karena kegiatan civil society tidak dibatasi oleh negara, maka dalam civil society
terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.

2 J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (Fifth Ed.: London, 1996), hal. 531.

3 Bdk. Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan No. 238
4 Ibid. No.189 – 195. Lihat juga Andrew Calabrese, “The Promise of Civil Society: A Global Movement for
Comunication Rights,” Continuum : Journal of Media dan Cultural Studies, 3 (September 2004), hal. 319.

Berkaitan dengan ciri kerja itu, civil society ditandai dengan pembagian kelas sosial yang
didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat
publik (public servants).Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan
keluarga-keluarga.Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan
pedagang.Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas civil
society.5 Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh merupakan kelas dalam
civil society, tetapi bila ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi,
kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari civil
society ke negara.
Filsuf Jerman Hegel (1770-1831) barangkali merupakan orang pertama yang secara tegas
membedakan konsep ‘negara’ dan civil society (Sassoon 1983). Menurut Hegel, civil society
adalah suatu ‘wilayah’ (sphere) perantara di antara wilayah ‘keluarga’ dan wilayah ‘negara’.
Menurutnya, kaum borjuis yang mulai bermunculan di Eropa abad ke-17, melepaskan diri
dari kungkungan kekuasaan negara feudal maupun keluarga, sehingga menciptakan wilayah
sosial baru yang ditandai oleh berbagai persaingan ekonomi dalam bentuk kerja, produksi,
pertukaran jasa dan barang, serta perolehan harta. Wilayah sosial demikian oleh Hegel

disebut civil society atau burgerliche Gesellchaf. Tetapi, Hegel lebih lanjut menyatakan
bahwa karena civil society merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung
potensi perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang
mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami
disintegrasi.6
Maka dari itu civil society harus dididik dan diorganisir dengan baik dari aspek pendidikan
maupun institusinya, karena civil society hanya memikirkan dirinya sendiri (particular) dan
hanya sibuk mengurusi urusan sehari-hari yang sempit. Jadi civil society tidak diperkenankan
untuk menantang negara karena negara adalah entitas yang sempurna dan bersifat
universalis dalam menangani individu.

5 Ibid. No.202-243.
6 Perbedaan konsep ‘negara’ dan civil society adalah pendapat yang diterima secara umum, namun peneliti
masalah civil society seperti John Keane (1988a:62- 63) membantah pendapat demikian. Menurutnya, sebelum
Hegel sudah ada banyak penulis Inggris, Perancis dan Jerman yang membahas hubungan antara civil society
dan negara.

Democratization
Dalam konteks yang kontemporer banyak diskursus mengenai civi society yang semakin
masif. Dibanyak negara civil society dianggap sebagai aktor yang sakral dalam proses

“demokrasi gelombang jketiga” sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Huntington. 7
Lahirnya demokratisasi dipahami sebagai diagnosis berbagai macam “penyakit” akibat krisis
kepercayaan terhadap parlemen, kecenderungan para politisi berperilaku curang, hilangnya
ideologi orsospol, dan sebagainya. Akhirnya civil society seolah-olah menjadi arena
panggung yang sakral dalam analisa politik. Banbyak pakar sepakat bahwa civil society
gagasan yang terpenting dalam abad ini. 8 Maka tidak mengherankan jika civil society
menjadi aktor yang penting dalam menjatuhkan rezim-rezim yang diktaktor dan
mengghantinya dengan wajah demokrasi
Selain itu Putnam juga berpendapat bahwa civil society dipahami sebagai segala bentuk
kehidupan sosial yang terorgansir dan terbuka bagi semua kalangan. Menganut prinsip yang
otonom, mandiri, partisipatif dan sukarela, hal ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip
demokrasi.tanpa civil society maka demokrasi tidak dapat dipertahankan. Baginya, civil
society merupakan tempat perbedaan kepentingan dinegosiasikan sehingga kehadiranya
dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasikan kepentingan dan
sekaligus memperluas partisipasi politik.9 Pada tahap “transisi” civil society dapat
memprovokasi kejatuhan rezim-rezim yang otoriter melalui protes, demonstrasi, dan
berbagai aksi lainya. Sedangkan tahap “konsolidasi” civil society dianggap berperan dalam
upaya pembentukan pemerintahan yang transparan, reformis, akuntabel dan bertanggung
jawab kepada rakyat (good governance). Serta memastikian bahwa demokrasi merupakan
satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town).10 Lalu dalam konteks yang

kontemporer apakah civil society merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya
demokrasi? Benarkan civil society memberikan kontribusi yang baik bagi demokrasi itu
sendiri? dan apakah demokrasi demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang baik dalam
7 Bahasan lebih mendalam tentang demokrasi gelombang ketiga dapat dilihat dalam Samuel P. Huntington
(1991) The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth Century. London. University of Oklahoma Press
8 Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj (eds). civil society:
Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press
9 Robert Putnam (1996). ‘Bowling Alone : America’s Dedining Social Capital’ dalam Larry Diamond dan Marc
Platner (eds). The Global Resurgency of Democracy. Baltimore : The Johns Hopkins University Press
10 Linz, Juan dan Alfred Stephan (1996). Problem of Democratic Transition and Consolidation: South Europe,
South America, and Post Communist Europe. Baltimore : The Johns Hopkins University Press

stabilitas negara? Atau justru membawa destabilitas dalam sebuah negara? Hal ini masih
menjadi pertanyaan besar bagi kita semua.
Pengalaman dari beberapa negara-negara di Afrika seperti: Liberia, Kongo bahkan Nigeria
justru civil society berperan menghancurkan demokrasi dengan cara penculikan,
penyikasaan bahkan pembunuhan dan menjadi ajang aktivitas politik yang mengerikan. 11 Di
Eropa Timurpun seperti : Yugoslavia, eks-Uni Soviet dan Macedonia memberikan gambaran
civil society justru memperkeruh demokrasi itu sendiri dengan adanya elemen-elemen
ekstremisme yang berkembang.12 Dalam tulisan ini menjelaskan bahwa civil society bukan

hanya menjadi solusi,melainkan juga menjadi masalah bagi demokrasi itu sendiri.
Jika menerangkan civil society pada masyarakat negara berkembang, tempat liberalisme
bukanlah tradisi dari Masyarakat tersebut. Maka civil society tidak dapat diasosiasikan
maupun dikonsolidasikan dengan demokrasi itu sendiri. sama halnya ketika kita melihat civil
society di India, Gurpreet Mahajan menyatakan bahwa civil society di India sarat akan ikatan
primordial, seperti : kasta, suku, agama, budaya dan ras. Jadi civil society dalam konteks
demokrasi tidak cocok diterapkan jika dibandingkan dengan masyarakat barat pada
umumnya. 13
Jika kita berbicara mengenai civil society di Indonesia, alangkah lebih baik jika kita berkaca
melihat sejarah tahun 1998. Banyak diantara mereka terlalu mengaggung-agungkan
kelompok mahasiswa, NGO dan figur politik yang secara mendadak disematkan menjadi
“pahlawan reformasi”. Pada saat yang sama mereka juga melupakan “revolusi Mei 1998”
yang diwarnai kekerasan, kerusuhan anti-china, pengrusakan, penjarahan, penyiksaan,
pemerkosaan bahkan pembunuhan dan merupakan salah satu tragedi yang kelam, dalam
sejarah demokrasi di Indonesia. Itu semua telah menjadi noda yang mencoreng wajah
Indonesia menegnai civil society itu sendiri, suka tidak suka momen “kemenangan civil
society” yang telah diagung-agungkan atas jatuhnya rezim Soeharto ternyata telah
terkontaminasi dengan kekerasan dan pemaksaan atas lahirnya demokrasi itu sendiri. 14
11 Lihat William Reno (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government and
Opposition, Vol. 40, No. 2

12 Lihat Petr Kopecky dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10, No. 3
13 Gurpreet Mahajan (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society and Democracy :
a Reader. Oxford : Oxford University Presss, hal. 188
14 Lihat Aspinall, Edward (2004). ‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic Breaktrough’
dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic
Space. Stanford : Stanford University Press

Apakah demokrasi paska reformasi itu menunjukan hal yang baik? Jika kita melihat paska
reformasi justru adanya penguatan rasa primordial dan etnosentrisme tiap-tiap daerah yang
semakin kental, hal ini justru berpotensi menghancurkan demokrasi itu sendri. Jack Snyder
berpendapat bahwa demokratisasi yang dilakukian secara tiba-tiba didalam masyarakat yang
plural justru berpotensi menyulutkan konflik dan kekerasan internal sehingga menciptakan
instabilitas politik.15 Seperti halnya Kalimantan Tengah memiliki sentimen tinggi terhadap
anti suku Madura yang tinggi. Hal ini ditengarai oleh suku Madura sebagai pendatang yang
memiliki kedudukan strategis dalam mengelola berbagai sektor di Kalimantan Tengah dan
diperparah dengan masih banyak dengan termarjinalisasikan suku asli yang ada disana. 16
Bahkan konflik ini kian meruncing hingga sampai pada pertumpahan darah, dimana kurang
lebih empat ratus jiwa orang madura tewas terbunuh secara mengenaskan 17. Inilah salah
satu dari sejuta konflik etnis yang melibatkan elemen civil society yang bersifat partikular
dan kurangnya pengawasan dan kontrol dari negara terhadap civil society itu sendiri. maka

dari itu pentingnnya kehadiran negara ke dalam civil society. Jika terjadi situasi
ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan, seperti karena adanya
dominasi kelas yang satu atas yang lain, dalam masyarakat sehingga sangat perlu adanya
peran negara dalam mengatasi itu, karena negara bersifat universal. serta, jika terjadi
sesuatu hal yang dapat mengancam kepentingan universal masyarakat sehingga tindakan
perlindungan atas kepentingan tersebut sangat dibutuhkan hadirnya peran negara.

Negara dalam Pandangan Hegel

15 Lihat Jack Snyder (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York : w. W.
Norton
16 International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from Kalimantan. Jakarta
dan Brussels : ICG Asia Report No. 18, hal. 18
17 Lbid hal. 5

Negara merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil dipersatukan.
Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari kehendak partikular
rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya telah ada secara implisit dalam
kehendak individu masyarakat sipil yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan
pribadi sekaligus juga memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil. 18

Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil
dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan
pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu,
negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan
yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi
keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas
manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak
bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian
kekuasaan di dalam negara.19 Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang
ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang
digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki
konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan
pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok
birokrasi yang pejabatnya diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya
menyangkut masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh subyektif.
Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi serta menangani masalahmasalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari
kelas bawah yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam
legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan mencegah agar

kepentingan-kepentingan partikular dari individu, masyarakat dan korporasi jangan sampai
melahirkan kelompok oposisi terhadap negara.20 Dalam hubungannya dengan Raja,
18 Lihat Samuel Enoch Stumpf, Op.Cit, hal. 338. Lihat juga Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:1991), hal. 247-250
19 Lihat Hegel’s Philosophy of Right No. 272
20 Ibid No.302

Perwakilan ini juga menjadi penasehat Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional
merupakan bentuk negara modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan
hasil pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.21

KESIMPULAN
Dalam tulisan ini telah dijelaskan beberapa makna dan fenomena terkait dengan civil society
itu sendiri. dalam tulisan ini pula penulis mencoba merefleksikan bahwa civil society tidak
21 Lihat J.S. McClelland, Op.Cit, hal. 532-533.

serta merta adalah elemen yang mampu mendukung dan memperkuat konsolidasi
demokrasi. Suatu hal yang tidak benar jika kita terlalu mengagung-agungkan civil society
sebagai episentrum dalam kehidupan berdemokratisasi, justru di beberapa fenomena kasus
yang telah dipaparkan dalam tulisan ini memperlihatkan fenomena civil society merupakan
elemen yang dapat merusak dan menjatuhkan demokrasi itu sendiri.
Suka tidak suka civil society adalah bagian dari demokrasi, dan demokrasi adalah bagian dari
penyelenggaraan negara. sudah seharusnya negara sebagai pemegang otoritas yang sah
mendidik civil society baik dari aspek pendidikan maupun institusionalnya agar tidak terjadi
ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan yang berimbas pada konflik
horintal maupun vertikal bahkan jangan sampai berujung pada pertumpahan darah yang
melibatkan civil society itu sendiri.
Civil society bagi Hegel merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi
perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang mengurus
kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi.
Sedangkan Indonesia adalah negara yang plural, yang terdiri atas beragamnya suku, agama,
ras dan budaya butuh adanya kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong
demi kestabilan suatu negara dan menjadikan bangsa ini mampu berdiri diatas kaki sendiri
bukan atas intervensi bangsa lain
Bagi penulis konsep pemikiran Hegel mengenai civil society dan negara cocok diterapkan di
Indonesia dalam konteks kontemporer dengan catatan adanya sistem check and balances
yang baik, transparan, akuntabel serta bertanggung jawab agar tidak mengulang tragedi
sejarah kelam bangsa Indonesia di bawah rezim Orde Baru yang dipelintir oleh penguasa
dalam praktik-praktik pemerintahannya

Daftar Pustaka :
jurnal

- International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from
Kalimantan. Jakarta dan Brussels : ICG Asia Report No. 18
- Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999
-Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 9, No. 1, Juli 2005
Buku
-Aspinall, Edward (2004).

‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic

Breaktrough’ dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia.
Expanding and Contracting Democratic Space. Stanford : Stanford University Press
-G.W.F Hegel (1981). Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford
University Press
-Hikam, M.A.S. (1990). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
- Kopecky, Petr dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10,
No. 3
- Mahajan, Gurpreet (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society
and Democracy : a Reader. Oxford : Oxford University Presss
-McLellan, David (1981). “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away
of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd.
-McClelland (1996). J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge.
- Reno, William (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government
and Opposition, Vol. 40, No. 2
-Samuel P. Huntington (1991). The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth
Century. London. University of Oklahoma Press
-Sassoon, A.S. (1983). ‘Civil Society’, dalam T. Bottmore, dkk. (peny.) A Dictionary of Marxist
Thought. Cambridge: Harvard University Press.
- Snyder, Jack (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York :
w. W. Norton

-Stumpf, Samuel Enoch (1994). Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York :
McGraw Hill Inc
-Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj
(eds). civil society: Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press
-Suseno, Franz Magnis (1991). Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta:Gramedia