Ragam Penolakan Ki Sunda terhadap Penawa

RAGAM PENOLAKAN KI SUNDA TERHADAP PENAWARAN DALAM
AKTIVITAS JUAL-BELI DI PASAR TRADISIONAL
Ardi Mulyana Haryadi
ardimulyana@stkipgarut.ac.id
STKIP Garut
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada aspek kesantunan berbahasa sebagai
reaksi terhadap penawaran dalam aktivitas jual-beli di pasar
tradisional. Metode penelitian ini bersifat deskriptif. Data
penelitian didapat dari Pasar Tradisional Wanaraja Garut dan Pasar
Tradisional Ciawitali Garut dengan teknik simak dan teknik
pencatatan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan
penolakan yang dilakukan oleh Ki Sunda sebagai reaksi terhadap
penawaran dalam aktivitas jual beli yaitu menolak dengan solusi
lain, menolak dengan ucapan terima kasih, menolak dengan
permintaan maaf, menolak dengan alasan modal, menolak dengan
menunjuk pihak lain, dan menolak dengan samar. Berdasarkan
sintesis temuan penelitian ini, Ki Sunda cenderung santun
berbahasa, khususnya dalam aktivitas jual beli di pasar tradisional.
Keywords: kesantunan berbahasa, penolakan, penawaran, bahasa
Sunda

1. Pendahuluan
Secara umum Ki Sunda didefinisikan sebagai urang Sunda. Penelitian ini
mengkaji bentuk bahasa yang digunakan para pedagang di pasar tradisional.
Dalam aktivitas jual-beli, tindak tutur penolakan hampir tidak terhindarkan.
Menurut Aziz (2001b) pertuturan menolak berpotensi mengancam muka mitra
tutur, sehingga tidak jarang penutur menggunakan berbagai cara (tak langsung)
dalam merealisasikannya, sehingga kadang-kadang memerlukan negosiasi yang
cukup panjang. Penelitian mengenai penolakan pernah dilakukan oleh Aziz
(1996,

2000;

dalam

Aziz,

2001b),

1


Aziz

(2001c),

Nadar,

Wijana,

Poedjosoedarmo, & Djawanai (2005), Santoso, Widayanti, & Astuti (2010),
Jahdiah (2011), dan Arisnawati (2012). Selain itu Beebe dan Takahashi (1989
dalam Aziz, 2001b) melakukan studi untuk mengungkap realisasi pertuturan
menolak yang dilakukan oleh penutur bahasa Jepang yang sedang belajar
bahasa Inggris sebagai bahasa asing dengan pembanding orang Amerika.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mempunyai rumusan masalah
yakni bagaimana reaksi terhadap penawaran yang terjadi dalam aktivitas jualbeli di pasar tradisional. Penelitian ini juga diharap mampu mendeskripsikan
reaksi terhadap penawaran yang terjadi dalam aktivitas jual-beli di pasar
tradisional. Dengan demikian setidaknya penelitian ini bermanfaat dalam
bidang pragmatik khususnya hal tindak tutur Ki Sunda di pasar tradisional.
2. Kerangka Teori
2.1. Prinsip Saling Tenggang Rasa (PSTR)

Prinsip kesantunan dalam penggunaan bahasa tidak dapat ditinggalkan dalam
budaya masyarakat tutur mana pun. Oleh karena itu, Aziz (2001b) memberikan
pandangannya terhadap prinsip kesantunan berbahasa masyarakat Indonesia
dengan sebutan Prinsip Saling Tenggang Rasa ‘The Principle of Mutual
Consideration’ (PMC) dapat dirumuskan sebagai berikut
a) Terhadap mitra tutur Anda, gunakanlah bahasa yang Anda sendiri pasti
akan senang mendengarnya apabila bahasa itu digunakan orang lain
kepada Anda;
dan sebaliknya
b) Terhadap mitra tutur Anda, janganlah menggunakan bahasa yang Anda
sendiri pasti tidak akan menyukainya apabila bahasa tersebut digunakan
orang lain kepada Anda.
Tekanan yang lebih berat dalam merealisasikan prinsip kesantunan ini tentu saja
pada bagian pertama, sebab, secara sepintas pun, kita dapat memahami bahwa

2

hal tersebut merupakan inti dari kesantunan berbahasa (Aziz, 2001b). Selain
kedua prinsip di atas, Aziz (2001b) menyarikan Prinsip Saling Tenggang Rasa
sebagai berikut.

1. Prinsip daya luka dan daya sanjung;
Artinya, sebuah ekspresi bahasa memiliki potensi bahwa ia akan mampu
membuat seseorang merasa terlukai atau tersanjung dibahagiakan. Oleh
karenanya, berhati-hatilah menggunakan ketika menggunakannya.
2. Prinsip berbagi rasa;
Artinya, mitra tutur kita memiliki perasaan sebagaimana layaknya kita
sendiri. Oleh karenanya, ketika bertutur menggunakan ekspresi bahasa,
pertimbangkanlah perasaan mitra tutur itu sebagaimana layaknya kita
mempertimbangkan perasaan kita sendiri.
3. Prinsip kesan pertama;
Artinya, penilaian mitra tutur kita terhadap tingkat kesantunan berbahasa
kita pada dasarnya ditentukan oleh kesan pertama yang dia dapatkan tentang
prilaku berbahasa kita ketika dia berkomunikasi dengan kita untuk pertama
kalinya. Oleh karena itu, tunjukkanlah bahwa kita punya niat baik untuk
bekerja sama dan berkomuniksi dengannya.
4. Prinsip keberlanjutan;
Artinya, keberlanjutan hubungan kita dengan mitra tutur pada masa yang
akan datang, pada dasarnya ditentukan oleh cara kita bertransaksi melalui
komunikasi pada saat ini. Oleh karenanya, upayakan agar kita bisa
membangun rasa saling percaya.

2.2. Pertuturan Menolak
Salah satu tindak komunikasi yang memungkinkan seorang mitra tutur
kehilangan muka adalah dalam tindak tutur penolakan, yaitu ketika seorang
penutur mesti mengatakan TIDAK kepada mitra tuturnya (Aziz, 2001a).
Penolakan timbul sebagai reaksi penutur dari ketidaksesuaian keinginan dari
mitra tutur. Setiap penolakan berpotensi mengancam wajah. Sebenarnya,
kemungkinan ‘hilang wajah’ akibat sebuah permintaannya ditolak adalah hal

3

yang harus diantisipasi sejak awal oleh seorang penutur (Aziz, 2003). Menurut
Yule (2000: 60) bahwa “As a technical term, face means the public self-image
of a person.” Dengan demikian wajah dalam studi ini berkaitan dengan eja
wantah posisi seseorang dalam masyarakat tutur. Konsep kesopanan itu sendiri
berperan dalam menyadarkan penutur terhadap wajah dari mitra tutur
2.3. Kesantunan Berbahasa
Goffman (1967 dalam Aziz, 2001b) mengisyaratkan bahwa kesantunan
berbahasa secara khusus ditujukan pada pemeliharaan wajah oleh setiap orang
yang terlibat dalam sebuah transaksi komunikasi, sehingga tak ada seorang pun
yang merasa wajahnya tercoreng. Ini jelas bahwa setiap wajah berhubungan

dengan kesantunan karena adanya potensi keterancaman wajah seseorang.
Kesantunan selalu melibatkan keinginan wajah sebagai refleksi dari wajah
positif dan wajah negatif. Brown dan Levinson (1987 dalam Rahardi, 2005)
memberikan tiga pandangan mengenai prinsip kesantunan sebuah tuturan yakni:
(1) social distance between speaker and hearer, (2) the speaker and hearer
relative power, (3) the degree of imposition associated with the required
expenditure of goods services.
3.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Korpus data dalam penelitian ini
didapat dengan teknik simak dan pencatatan. Pertimbangan penggunaan teknik
simak secara sembunyi-sembunyi lalu dicatat agar menjaga kealamian
percakapan. Adapun data harga-harga yang tercantum dalam penelitian ini
bersifat fluktuatif. Korpus data didapat dari Pasar Tradisional Wanaraja Garut
dan Pasar Tradisional Ciawitali Garut. Penulis sengaja memilih dua lokasi
tersebut karena Pasar Wanaraja dan Pasar Ciawitali termasuk pasar tradisional

4


yang terbesar di Garut. Setelah data didapat, data disortir dan dipertimbangkan
untuk dimasukan sebagai korpus data.
4. Pembahasan
Berikut deskripsi data yang telah didapat berdasarkan metode dan teknik di
atas. Data tersebut disortir berdasarkan relevansinya dengan kerangka teori
yang digunakan dalam penelitian ini.
4.1. Menolak dengan Memberikan Solusi Lain
(1) Pembeli
(2) Penjual

(3) Pembeli
(4) Penjual

: Pa, dupi daging sapi sabaraha?
‘Pak, kalau daging sapi berapa?’
: Oh daging sapi? Kaleresan hargana téh awis ayeuna
mah, dalapan dua.
‘Oh daging sapi? Kebetulan harganya mahal sekarang,
delapan dua.’

: Alah, tiasa krang? Kirangan Atuh. Tujuh lima nya?
‘Aduh, bisa kurang? Dikurangi ya. Tujuh lima ya?’
: (tertawa) Teu acan tiasa. Ieu wae atuh daging
munding mung dalapan puluh.
‘Belum bisa. Ini saja daging munding hanya delapan
puluh.’
(Pasar Wanaraja, 22 November 2012 pkl 04.36 Wib)

Pada data di atas, penjual memberikan reaksi terhadap penawaran dengan
memberikan alternatif barang/komoditas yang diinginkan pembeli. Hal tersebut
dapat diidentifikasi pada data di atas yang digarisbawahi. Pada tindak tutur di
atas tidak ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut dan sesuai dengan
keempat Prinsip Tenggang Rasa (Aziz, 2001b).
4.2. Menolak dengan Ucapan Terima Kasih
(1) Pembeli

: Ieu sabaraha ni laluis kieu, aramis teu Mang? (jeruk)
‘Ini berapa pada mulus begini, manis tidak mang?’

5


(2) Penjual
wae.
(3) Pembeli
(4) Penjual
(5) Pembeli
(6) Penjual

: Kantenan wae atuh Ceu aramis, wios dalapan rebu
‘Tentu saja Ceu aramis, delapan ribu saja.’
: Ah biasa oge tujuh rebu.
‘Ah seperti biasa juga tujuh ribu.’
: Hatur nuhun Ceu.
‘Terima kasih Ceu.’
: Janten kumaha atuh?
‘Jadi bagaimana?’
: Hatur nuhun, muhun sakitu.
‘Terima kasih, iya segitu saja.’
(Pasar Wanaraja, 22 November 2012 pkl 06.54 Wib)


Pada data di atas, penolakan penjual terhadap penawaran dari pembeli
menggunakan ucapan terima kasih. Tindak tutur seperti ini termasuk sopan
karena mengindahkan Prinsip Tenggang Rasa (Aziz, 2001b). Ucapan terima
kasih merupakan suatu aspek penghargaan/apresiasi untuk menjaga kesantunan
berbahasa.
4.3. Menolak dengan Permintaan Maaf.
(1) Pembeli
(2) Penjual
(3) Pembeli
(4) Penjual

: Peryogi cabe kariting sakilo.
‘Perlu cabai keriting sekilo.’
: Mangga. Lima belas rebu Bu.
‘Silakan. Lima belas ribu Bu.’
: Har, ulah sakitu. Tilu belas wae!
‘Wah, jangan segitu. Tiga belas saja!
: Hapunten Ibu, da gening sakitu kedahna.
(Pasar Ciawitali, 23 November 2012 pkl 04.27 Wib)


Pada data di atas, penolakan penjual terhadap penawaran pembeli didahului
dengan ucapan maaf. Searle (dalam Bowe and Martin, 2009) menggolongkan
apologi sebagai tindak tutur yang pembicara (S) memberitahukan perilakunya
tentang proposional pendengarnya (H). Sekaitan dengan hal tersebut, dalam
tindak tutur di atas tidak melanggar Prinsip Tenggang Rasa (Aziz, 2001b).

6

4.4. Menolak dengan Alasan Modal
(1) Pembeli
(2) Penjual
(3) Pembeli
(4) Penjual
batina.

: Ketan hideung pangaos sabaraha. Peryogi lima kilo.
‘Ketan hitam berapa harganya. Perlu lima kilo.’
: Éta téh dua belas rebu sakilona.
‘Itu dua belas ribu per kilonya.’
: Sabelas wae nya?
‘Sebelas saja ya?’
:
Aduh Bu, ti dituna ogé can kenging. Teu gede
‘Aduh Bu, dari sananya juga belum dapat. Tak besar
labanya.
(Pasar Ciawitali, 23 November 2012 pkl 08.45 Wib)

Berdasarkan data di atas, penjual menolak penawaran pembeli. Penjual
menolak dengan alasan modal dari senilai harga yang ditawar belum cukup.
Penulis berpandangan hal seperti ini melanggar prinsip berbagi rasa, prinsip
kesan pertama, dan prinsip keberlanjutan. Pasalnya penolakan seperti ini
membuat pembeli merasa enggan untuk melanjutkan tawar-menawar.
4.5. Menolak dengan Menunjuk Pihak Lain
(1) Penjual
(2) Pembeli
(3) Penjual
(4) Pembeli
(5) Penjual
(6) Pembeli
(7) Penjual
(8) Pembeli

: Bu marangga acuk ieu sarae!
‘Bu silakan baju ini bagus-bagus!’
: Cobi ninggalan heula.
‘Mana lihat dulu.’
: Mangga sok Bu.
‘Silakan Bu.’
: Tah ieu sabaraha sasetelna?
‘Nah ini berapa sepasangnya?’
: Upami eta dalapan puluh.
‘Kalau itu delapan puluh.’
: Ah, genep puluh wae nya?
“Ah, enam puluh saja ya?’
: Aduh teu acan kenging, wios tujuh lima.
‘Aduh belum bisa, biar tujuh lima.’
: Ah sakitu wae.
‘Ah segitu saja.’

7

(9) Penjual

: Mangga Ibu pilari kanu sanes, upami aya nu langkung
mirah ku abi dipeser eta.
‘Silakan Ibu mencari ke yang lain, andaikata ada yang
lebih murah maka dibeli oleh saya itu.
(Pasar Wanaraja, 24 November 2012 pkl 09.05 Wib)

Reaksi penjual tersebut menunjuk pihak lain sebagai pembanding. Akan tetapi
ini tidak sopan karena data yang digarisbawahi seolah-olah menantang ada atau
tidak semurah harga yang ditawarkan oleh penjual. Tantangan merupakan
sesuatu bentuk implementasi rasa kesal atau ketidakpuasan terhadap masukan
dari luar. Ini berarti melanggar keempat Prinsip Tenggang Rasa (Aziz, 2001b).
Dengan demikian derajat kesopanan penolakan dengan menunjuk pihak lain itu
nol dan bahkan bisa dikategorikan sangat kasar.
4.6. Menolak dengan Samar
(1) Pembeli
: Buah sabaraha Mang?
‘Buah berapa Mang?’
(2) Penjual
: Oh éta dalapan rebu sakilo.
‘Oh itu delapan ribu sekilo.’
(3) Pembeli
: Ah biasa ogé genep rebu.
‘Ah biasa juga enam ribu.’
(4) Penjual
: Moal kaawisan Bu ieu mah sae téh aramis.
‘Tak kemahalan Bu ini bagus dan manis-manis.’
(5) Pembeli
: Sok sakitu nya?
‘Segitu saja ya?’
(6) Penjual
: Euh kumaha nya Bu (dengan paralinguistik melihat ke
sana-sini tanpa alasan).
‘Aduh bagaimana ya Bu.
(Pasar Wanaraja, 24 November 2012 pkl 11.07 Wib)
Pada situasi tutur di atas, penjual menolak dengan samar. Ia tak mengiyakan
dengan memalingkan muka ke sana-sini tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya ini
diplomatis. Di satu sisi ingin mempertahankan harga dan di sisi lain menghargai
penawaran dari pembeli. Akan tetapi berdasarkan pandangan penulis ini bisa
dikategorikan netral.

8

5. Simpulan
Berdasarkan temuan penelitian didapat beberapa pola reaksi terhadap
penawaran dalam aktivitas jual-beli di pasar tradisional yaitu menolak dengan
memberikan solusi lain; menolak dengan ucapan terima kasih; menolak dengan
permintaan maaf; menolak dengan alasan modal; menolak dengan menunjuk
pihak lain; dan menolak dengan samar. Dari kesemua temuan tersebut, hanya
menolak dengan alasan modal dan menolak dengan menunjuk pihak lain yang
bisa dikatakan melanggar prinsip kesantunan berbahasa. Itu bisa dikatakan
bahwa reaksi penolakan Ki Sunda terhadap penawaran dalam aktivitas jual beli
di pasar tradisional itu lebih besar santunnya ketimbang ketidaksantunannya.
6. Daftar Pustaka
Arisnawati, Nurlina. 2012. Strategi Kesantunan Tindak Tutur Penolakan dalam
Bahasa Makasar. Sawerigading, No1, April 2012, pp. 113-120.
Aziz, E. Aminudin. 2001a. Gaya Ki Sunda mengatakan “TIDAK”: Sebuah
Telaah Sosiolinguistik terhadap Variabel Sosial yang Mempengaruhi
Realisasi Kesantunan dalam Pertuturan Menolak oleh Orang Sunda.
Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda
(KIBS) I, Bandung, 22-25 Agustus 2001.
Aziz, E. Aminudin. 2001b. “Aspek-Aspek Budaya yang Terlupakan dalam
Praktek Pengajaran Bahasa Asing”. Makalah pada KIPBIPA IV, Denpasar,
1-3 Oktober 2001.
Aziz, E. Aminudin. 2001c. Realisasi Tindak Tutur Menolak dalam Masyarakat
Indonesia: Kajian dari Perspektif Kesantunan Berbahasa. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Seni, Vol 1, no.1, 2001.
Aziz, E. Aminudin. 2003. Pragmatik Lintas Budaya. In A. Chaedar Awalsilah &
Hobir Abdullah (editor). 2003. Revitalisasi Pendidikan Bahasa:
Mengungkap tabir bahasa demi peninkatan SDM yang kompetitif.
Bandung: Andira.

9

Bowe, Heather. & Martin, Kylie. 2009. Communication Across Cultures:
Mutual Understanding in a Global World. Cambridge: Cambridge
University Press.
Jahdiah. 2011. Ungkapan Penerimaan dan Penolakan dalam Bahasa Banjar.
Sawerigading, No. 3, Desember 2011, pp. 405-412.
Nadar, F. X., Wijana, I Dewa Putu., Poedjosoedarmo, Soepomo., Djawanai,
Stephanus. (2005). Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Humaniora Vol. 17, No. 2 Juni 2005, pp. 166-178.
Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Santoso, W. J., Widayanti, D. V. & Astuti, D. 2010. Bentuk, Strategi, dan
Kesantunan Tindak Tutur Menolak dalam Interaksi Antarmahasiswa Prodi
Sastra Prancis FBS Unnes. Lingua VI, Juli 2010.
Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

10