Kemiskinan dan Demokrasi di in

http://politik.kompasiana.com/2011/06/16/kemiskinan-pemiskinan-dan-demokratisasi-373396.html

Kemiskinan, Pemiskinan, dan Demokratisasi
OPINI | 16 June 2011 | 15:46

Dibaca: 1455

Komentar: 0

0

Sofian Munawar Asgart

Sumber gambar: google image

“Ketiadaan demokrasi adalah akar kemiskinan yang sejati”.
(Amartya Sen)

Terminologi Kemiskinan
Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing lagi, tetapi jawaban atas
pertanyaan apa itu kemiskinan masih multi-interpretable. Secara sangat sederhana,

Levitan mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan barangbarang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar
hidup yang layak. Sementara itu, Bappenas merumuskan kemiskinan ini sebagai
situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin,
melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak dapat dihindari
dengan kekuatan yang ada padanya. Hal ini tercermin dalam lemahnya kemauan
untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil
produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya
dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.

1

Uraian tersebut secara simpikatif memperlihatkan dua cara pandang dalam
menyoroti fenomena kemiskinan. Pandangan pertama melihat kemiskinan sebagai
suatu proses, sedangkan pandangan kedua melihat kemiskinan sebagai suatu
akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan
mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber
daya dan dana secara adil. Pandangan ini melahirkan konsep tentang kemiskinan
relatif yang sering dikenal dengan sebutan kemiskinan struktural. Sebaliknya,
pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu
masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.

Walaupun secara sepintas ada perbedaan pandangan tentang definisi
kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat
disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam
suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian
anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan
terkecil. Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika
sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi
yang
lemah
dalam
penentuan
pembagian
kekayaan
di
dalam
masyarakat tersebut. Secara diagramatis hubungan sebab akibat antara masyarakat
yang lemah (secara relatif) dan yang miskin (secara absolut) ini dapat
divisualisasikan sebagai berikut:

[i] Levitan, Sar A., (1980). Program in Aid of the Poor for the 1980’s. Policy Studies in Employment

and Welfare, the Johns Hopkins University Press, London.

Bappenass dan Depdagri (1993). Panduan Program Inpres Desa Tertinggal, Bappenas, Jakarta.

2

Karena itu, saat ini konsep kemiskinan yang digunakan tidak hanya
menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga memperhitungkan kemiskinan
relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti pada proses pemiskinan dan sebabsebab kemiskinan. Dari perspektif ini kemiskinan dipahami sebagai perampasan
kapabilitas dan akses. Posisi yang diambil dengan sudut pandang kemiskinan
struktural mencakup lima dimensi pokok, yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi
kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan fisik.
Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti
Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses
pemiskinan dan kemiskinan struktural adalah hal yang paling mendominasi realitas
persoalan yang sebenarnya. Sayangnya, menurut HS. Dillon, orientasi
pembangunan di Indonesia masih terlalu “economic minded” sehingga penanganan
terhadap kemiskinan (poverty alleviation strategy) bersifat parsial. Kesemuanya
adalah konsekuensi dari pilihan orientasi pembangunan yang menitikberatkan
pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan hanya digerakkan oleh dan bagi

para pemilik modal bercorak kapitalistik, sementara peran rakyat sekadar menjadi
penyokong pembangunan semata. Bahkan, dalam pandangan agrarian populist,
seperti pernah diungkapkan sosiolog Loekman Soetrisno, justru negara-lah
penyebab utama kemiskinan.
Harus disadari bahwa kemiskinan adalah masalah yang kronis dan
kompleks. Karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan, permasalahan yang
dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut pemahaman hubungan
sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan
politik. Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa kemiskinan selalu berada
dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu atau antargolongan
masyarakat merupakan karakteristik intern. Karena itu pula untuk menanggulangi
kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih
penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalamentitlement. Baik terhadap
sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti kesempatan untuk
memperoleh share dari aliran manfaat. Kemiskinan juga merupakan akibat dari
proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan hilangnya partisipasi,
keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas. Karena itu,
kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi juga karena
masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat dan negara
maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.


3

Namun demikian, kekonyolan yang sering kita lakukan adalah bersikap terlalu
optimis terhadap trend pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya parameter yang
absah untuk mengukur keberhasilan pengentasan kemiskinan. Benarlah dugaan
Amartya Sen bahwa penyebab kegagalan kita dalam menangani kemiskinan selama
ini seringkali disebabkan antara lain karena kegagalan kita dalam memahami
kemiskinan itu sendiri. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, bahkan,
tidak saja akan mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang
mendasar, tapi juga menjadi tidak tepat sasaran.
Dalam

perspektif

yang lebih makro,

pemiskinan juga dapat dilihat

sebagai grand design kaum kapitalis dan “mafia” neoliberal dimana negara-negara

miskin menjadi objek utamanya. AktivisdebtWach, Arimbi Heroepoetri menduga
bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya regulasi yang dimiliki
negara-negara miskin. Dengan begitu, mesin uang globalisasi yang terdiri dari
kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID), Kelompok TNCs/MNCs, dan
lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak negara-negara miskin
melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi,
dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja hanya dinikmati para kapitalis, sementara
rakyat miskin di berbagai belahan dunia terus-menerus menjadi sapi perahan.

Fenomena Pemiskinan Global
Sidang Umum PBB direncanakan akan secara khusus membicarakan
persoalan kemiskinan di penghujung September 2005. Agenda sidang ini juga akan
mengevaluasi program Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah
dicanangkan sejak tahun 2000. Inti dari MDGs adalah komitmen masyarakat dunia
untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara bersama-sama. Target
utama program ini adalah bahwa pada tahun 2015 dunia harus terbebas dari
kemiskinan. Akankah misi ini tercapai di tengah iklim global yang kian carut-marut?
Kini dunia ibarat sebuah kampung! Masihkah negara berperan mengayomi
rakyatnya ketika dominasi modal-global berhasil menancapkan kuku-kukunya?

Bersamaan dengan krisis keuangan di negara-negara “Dunia Ketiga”, paham
neoliberalisme dengan sadar didesakkan menjadi kebijakan badan-badan
multilateral dunia seperti IMF, Word Bank, dan WTO. Pasar bebas kemudian
diciptakan menjadi perangkap untuk menerkam negara-negara miskin dengan lilitan
4

dan jebakan utang yang secara sengaja diciptakannya. Pasar bebas memang bukan
sebuah konsep netral, tapi lebih merupakan wajah lain dari kapitalisme dimana
globalisasi diideologisasi menjadi kredonya.
Elizabeth Martinez dan Arnold Garcia mencatat beberapa poin penting yang
menjadi karakter utama neoliberalisme. Pertama, mekanisme pasar bebas dimana
perusahaan-perusahaan swasta dibebaskan dari segenap keterikatan dan intervensi
pemerintah. Mekanisme ini pada akhirnya akan menghilangkan kontrol negara
terhadap mekanisme pasar sehingga harga sepenuhnya didasarkan atas kebebasan
total dari gerak modal, barang dan jasa. Kedua, mereduksi pengeluaran negara,
terutama anggaran publik dalam hal pelayanan sosial, seperti subsidi pendidikan,
kesehatan, jaringan pengaman sosial, subsidi BBM, dan lain-lain. Ketiga, melakukan
deregulasi dengan menekan peraturan-peraturan pemerintah agar menguntungkan
kalangan pengusaha. Keempat, privatisasi dalam bentuk penjualan aset-aset publik
seperti BUMN kepada investor swasta. Termasuk aset-aset strategis seperti bank,

listrik, jalan tol, rumah sakit, dan bahkan barang yang menjadi public goods seperti
air minum. Kelima, sebagai konsekuensinya, rakyat kehilangan akses terhadap
barang publik yang sesungguhnya merupakan hak-milik komunitas.
Dengan skema kebijakan seperti itu, aktivis ICRP Trisno S. Sutanto menilai
arus globalisasi neo-liberal merupakan perluasan kekuasaan segelintir pemodal
yang mau mencaplok seluruh pelosok dunia di bawah kendali mereka. “Fenomena
globalisasi yang sangat kompleks itu merupakan penciptaan kampung global tetapi
sekaligus juga penjarahan secara global,” ungkapnya. Menurut aktivis HAM Asmara
Nababan, pengabdian negara pada kepentingan modal-global bahkan akan memicu
kekerasan modal (capital violence) yang menindas rakyat dengan menjadikan
‘pembangunan’ sebagai kedoknya. Padahal, konsep pembangunan yang hanya
bertopang pada pertumbuhan ekonomi harus segera direvisi. Pembangunan harus
diorientasikan pada pemajuan manusia yang dilakukan untuk memastikan bahwa ia
dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan. Sejalan dengan ini,
penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia harus ditempatkan sebagai
prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, negara dapat
memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati pemenuhan hak-hak asasinya
–baik hak-hak sipil-politik maupun
peningkatan kualitas hidupnya.


hak-hak

ekonomi-sosial-budaya—

demi

Namun, ironisnya, pemerintah Indonesia yang ‘mengaku-aku’ sebagai
pengikut paham welfare state justru terjerembab ke dalam lumpur ekonomi
neoliberalisme yang amat dalam. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
5

misalnya, merupakan contoh vulgar dimana skandal keuangan yang disarankan IMF
itu telah merampas sejumput harapan dan mengusik rasa keadilan masyarakat serta
mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya lebih layak diterima masyarakat
kecil. Aktivis KIKIS, Andik Hardiyanto, menilai bahwa lemahnya posisi Indonesia
terhadap IMF telah mendorong pemerintah untuk mempercepat proses liberalisasi
perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan liberalisasi sektor pertanian tampak
antara lain pada pencabutan berbagai subsidi untuk petani yang berakibat pada
lemahnya kinerja petani yang pada gilirannya juga mengakibatkan peningkatan
ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.

Senada dengan itu, aktivis BINA DESA, Syaiful Bahari, menilai fenomena
tersebut sebagai bentuk kekonyolan pemerintah. Memang yang diharapkan
kapitalisme global adalah berkurangnya peran negara, melemahkan peran negara
agar mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara negara hanya diperlukan
keberadaannya sebatas menjadi backing pengusaha semata. Menurutnya,
pemerintah tidak punya keberanian untuk memberikan proteksi terhadap
kepentingan masyarakat. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi
rakyatnya dari intervensi asing. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya,
semua diprivatisasi, semua diliberalisasi. “Kalau semua diprivatisasi, kalau semua
diliberalisasi, buat apa ada negara? buat apa ada pemerintah ? Kita bubarin saja
negara!,” tukasnya.
Kerisauan Syaiful Bahari patut dimengerti karena terbukti banyak sekali kasus
yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih peduli pada kepentingan pemodal dari
pada kepentingan rakyat. Kasus Buyat, misalnya, merupakan contoh nyata dimana
kepentingan rakyat dikorbankan atas nama investasi dan kalkulasi ekonomi.
Direktur SERAT Manado, Reiner Ointoe menilai bahwa PT Newmont Minahasa telah
melakukan kontrak karya yang sama sekali tidak memihak rakyat. Kontraknya dibuat
dengan Pemerintah Pusat dengan landasan UU Pertambangan yang sangat
sentralistik. Masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan dalam kontrak karya itu. Rakyat
hanya ditipu dan menjadi korban penambangan yang mencemarkan lingkungan

hidup itu.
Menurutnya, memang ada semacam corporate social responsibility yang
dilakukan PT Newmont, seperti pembangunan puskesmas, tapi itu kecil sekali dan
tidak sebanding dengan sejumlah kerugian yang diderita rakyat atas rusaknya
lingkungan akibat ‘penambangan berkelanjutan’ itu. Bahkan, selain kerugian
lingkungan, PT Newmont juga telah memancing terjadinya konflik horisontal diantara
masyarakat. Kerugian sosial-kultural ini muncul karena PT Newmont telah
6

menciptakan “kelas masyarakat” dengan memanjakan sebagian kecil masyarakat
untuk ‘diadu-domba’ dengan sebagian masyarakat lainnya yang menentang
kehadiran PT Newmont.
Sayangnya, kalangan LSM cuma mengadvokasi persoalan di ujungnya saja.
Mereka cenderung hanya mengadvokasi persoalan kesehatan dengan munculnya
penyakit Minamata, padahal persoalannya jauh lebih besar dari itu. Persoalan yang
lebih mendasar adalah perlu adanya gugatan soal kontrak karya dan gugatan atas
kerugian lain yang diderita masyarakat akibat beroperasinya PT Newmont. Namun
yang terjadi justru makin pelik karena sebagian masyarakat, LSM, wartawan, dan
kalangan kampus pun sudah banyak yang bisa “dibeli” untuk mendukung PT
Newmont. “Ujung-ujungnya, masyarakat kecil juga yang dirugikan karena mereka
menjadi korban dari segala pertikaian yang terjadi,” ujar Reiner menambahkan.
Hal serupa terjadi dalam kasus privatisasi air. Dalam laporannya mengenai
Kerangka Kebijakan Sektor Air Perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy
Framework) Word Bank telah merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum
Jakarta Raya (PAM Jaya) diswastanisasi. Ide awalnya memang untuk efisiensi, tapi
kenyataannya justru air semakin mahal dan akses masyarakat terhadap air juga
makin sulit. Padahal, hak terhadap air yang setara merupakan bagian dari hak asasi
setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 secara tegas telah menjamin hak dasar
tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ini mengandung makna tanggung jawab negara
untuk menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Aktivis WALHI, Edang Ridha Saleh menilai bahwa hingga kini, hak atas air
bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi
air di Indonesia. Agenda privatisasi ini didorong oleh lembaga keuangan dunia
(World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini
merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai
sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik
pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari
persyaratan pencairan pinjaman program Water Restructuring Adjustment
Loan (WATSAL) dari World Bank. “Ini sebenarnya merupakan modelkolonialisme
baru yang perlu kita lawan,” ujarnya.

7

Senada dengan itu, aktivis Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Surabaya,
Herlambang Perdana, menilai persoalan privatisasi air sarat dengan kepentingan
para kapitalis global. Menurutnya, bisnis air yang sering disebut sebagai blue gold itu
telah menjadi incaran perusahaan multinasional (multinational corporate). Karena itu
ia heran, kenapa para wakil rakyat di DPR pada tanggal 19 Februari 2004 yang lalu
begitu mudahnya mengesahkan UU Sumberdaya Air yang jelas-jelas merugikan
rakyat. “Padahal, dalam proses pembuatan perundangan, DPR harus lebih utama
mengakomodasi harapan publik. Tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. DPR
malah main-mata sama pemilik modal untuk menggolkan peraturan perundangan,”
ujarnya. Lebih tragis lagi, di tengah berbagai keprihatinan yang melanda bangsa ini,
para wakil rakyat malah “asyik-masyuk” dengan kepentingan sendiri dan
kelompoknya. Mereka tidak malu-malu meminta kenaikan gaji, sementara rakyat
didera busung lapar dan kerawanan pangan.
Sinyalemen tersebut sesuai dengan temuan Riset Demos yang menunjukkan
bahwa kualitas keterwakilan memperlihatkan angka yang buruk. Dalam
hubungannya dengan Parpol dan lembaga legislatif, kualitas keterwakilan itu dapat
disimak pada tebel-1 berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7

Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi
Penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan
jujur serta mekanisme pemilihan yang
transparan
Kebebasan membentuk partai, merekrut
anggota dan mengkampanyekan calon-calon
untuk menduduki kekuasaan pemerintah
Sikap partai-partai terhadap isu-isu dan
kepentingan vital di dalam masyarakat
Indepedensi partai-partai dari kepentingan
etnis dan agama
Indepedensi partai-partai dari politik uang dan
kekuasaan
Kapasitas kontrol anggota partai dan
akuntabilitas partai kepada konstituennya
Kemampuan partai untuk membentuk dan
menjalankan pemerintahan

Kualitas H/I
Demokrasi (%)
Baik
Buruk
39.9
60.1

Kualitas H/I
After 1999 (%)
[+]
[-]
[=]
49.7
13.4
36.9

78.2

21.8

73.6

7.4

19.0

9.9

90.1

12.5

31.0

56.5

30.6

69.4

24.3

24.9

50.8

4.7

95.3

6.1

53.9

40.1

13.8

86.2

17.4

26.8

55.8

8.3

91.7

13.1

42.8

44.2

Sumber: Riset DEMOS Putaran 1 dan 2 (2003-2004), data diolah

Dari tujuh aspek keterwakilan yang menjadi parameter kualitas H/I demokrasi
itu, hanya pada aspek kedua saja yang kualitasnya baik. Sementara keenam aspek
keterwakilan lainnya menunjukkan kualitas yang amat buruk. Demikian pula
perkembangannya setelah tahun 1999 secara umum menunjukkan bahwa kualitas
keterwakilan cenderung memburuk atau sama saja dari perkembangan sebelumnya.
8

Karena itu, masalah keterwakilan bukan hanya tidak memadai tetapi juga benarbenar terterlantarkan.
Persoalan keterwakilan tidak saja menjadi masalah pada level legislatif,
namun juga pada ranah eksekutif. Direktur Walhi, Longgena Ginting menilai bahwa
sistem
politik
nasional
di
Indonesia
sudah
terlanjur
mengarah
ke pseudo representatifness atau keterwakilan semu. Ini merupakan model
keterwakilan yang seringkali disalahgunakan secara salah-kaprah oleh pemerintah.
Contohnya, jika suatu proyek sudah mendapat restu atau izin dari Bupati, Gubernur,
atau Presiden, misalnya, maka otomatis itu sudah dianggap disetujui rakyat.
Padahal, jangankan Gubernur atau Bupati, Camat atau Kepala Desa sekalipun
belum tentu mewakili rakyat. Praktek representatifness yang salah-kaprah ini banyak
terjadi sekarang, terutama di daerah-daerah dimana pemberian izin pengelolaan
sumberdaya alam, seperti konsesi pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) diobral Pemda untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Model representasi
yang dikembangkan pemerintah seperti ini jelas-jelas memperalat sekaligus
memelaratkan rakyat.
Seperti halnya Parpol dan lembaga legislatif, lembaga eksekutif juga memiliki
kualitas yang buruk dalam hal keterwakilan. Demikian pula dalam hal good corporate
governance dan business regulation in public kita memperlihatkan angka yang amat
buruk. Selain itu, kebebasan pemerintah dari campur tangan pihak asing pun
kondisinya setali tiga uang. Kinerja pemerintah, bahkan diperparah lagi dengan
ketidakberdayaannya melawan praktek-praktek korupsi, mafia, dan bentuk-bentuk
premanisme yang secara inhern menjelma dalam koalisi abadi pengusahapenguasa untuk menyingkirkan rakyat sebagai kaum pinggiran. Fenomena ini dapat
disimak pada tabel-2 berikut:

No
1
2
3
4
5

Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi

Kualitas H/I
Demokrasi (%)
Baik
Buruk
6,6
93,4

Kualitas H/I
after 1999 (%)
[+]
[-]
[=]
9,9
51,9
37,7

Subordination of govt and public officials to
the rule of law
Good corp governance and business
16,2
82,6
14,4
55,9
27,9
regulation in public
Govt’s freedom from external subordination
16,0
82,9
13,2
54,0
31,5
Freedom from and struggle against other
10,0
89,6
11,5
52,6
35,1
forms of corruption
Govt’s freedom from and struggle against
13,2
86,2
13,2
50,9
35,0
militias and mafias
Sumber: Riset DEMOS Putaran 1 dan 2 (2003-2004), data diolah

9

Daftar keprihatinan rakyat itu tentu dapat diperpanjang lagi dengan sejumlah
kasus yang tak kalah getir dan menyedihkan. Evaluasi kinerja pembangunan yang
dilakukan JARI Indonesia, misalnya,menunjukkan dengan jelas betapa negara telah
gagal dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat. Bahwa dominasi modal dengan
ideologi pasar bebas dan ditopang ‘jampi-jampi’ globalisasi telah dengan sempurna
merenggut kedaulatan rakyat. Sementara negara sebagai lembaga yang semestinya
mengayomi dan melindungi segenap kepentingan warganya malah tak segan-segan
menjadi mucikari yang menjajakan anaknya sendiri.

Demokrasi sebuah Jawaban
Harian Kompas dalam

rubrik Fokus membuat

deskripsi

secara

detail

mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini. Ulasan Fokus ini
antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu!. Sudah
membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber
daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun
rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok
bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan
China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak
putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan, dan
berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam
pun Indonesia kalah.
Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan
oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat.
Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung
lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di
Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat
miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan
ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi
kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat
merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan
Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga
sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan
pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.

10

Strategi pembangunan yang ‘konservatif’ tersebut juga berimplikasi pada
pilihan strategi penanganan kemiskinan yang konservatif pula. Meskipun Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah ‘berhasil’ merumuskan Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SPKN), namun dalam tataran implementasinya tidak
cukup signifikan menangani persoalan. Ini antara lain karena tidak sinkronya titik
pandang dan dasar pijak yang dipakai. Pendekatan pertumbuhan dalam
pengurangan kemiskinan, misalnya, masih begitu diandalkan pemerintah. Padahal,
penyebab utama kemiskinan bukan karena kurangnya pendapatan, tetapi yang
terutama karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia serta ketidakmampuan negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak
demokratis warganya.
Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi (1998) ini secara progresif
mencoba mengangkat isu demokrasi sebagai konsep yang solutif dalam memahami
masalah kemiskinan. Ekonom asal India ini berpendapat bahwa kekurangan secara
ekonomis bukanlah satu-satunya jenis kemiskinan yang merapuhkan kehidupan
manusia, karena kehidupan manusia dimiskinkan dalam berbagai cara yang
berbeda. Menurut Sen, ukuran kemiskinan senantiasa jauh melewati batas-batas
dimensi ekonomi, karena dalam kemiskinan ekonomi selalu melekat secara inheren
kemiskinan secara total; miskin pendidikan, kesehatan, bahkan miskin secara
politik. Sen mengkritik para ekonom yang melihat gelombang krisis yang
menghantam negara-negara Asia belakangan ini dilihat semata karena sebuah
kegagalan dalam mengantisipasi karakter arus modal, yang ternyata terkait dengan
sistem ekonomi dan politik. Menurutnya, krisis ekonomi di Asia, termasuk di
Indonesia, muncul dan berkembang karena negara-negara tersebut telah
mengabaikan demokrasi. Sen, bahkan, sampai pada suatu kesimpulan bahwa
ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua
bentuk kemiskinan.
Dalam konteks Indonesia, Sen memberikan analisisnya bahwa krisis yang
terjadi sangat terkait dengan terabaikannya keterbukaan dan demokrasi. Selama ini,
Indonesia dianggap telah gagal membangun “keamanan perlindungan demokrasi”
maupun “jaminan keterbukaan” yang merupakan dua bentuk kebebasan sebagai
sarana utama pembangunan. Ketiadaan keamanan perlindungan demokrasi telah
membuat rakyat sebagai korban krisis ekonomi tidak memiliki sarana untuk
menyalurkan suara dalam proses pengambilan keputusan (voiceless). Padahal,
partisipasi publik merupakan salah satu pilar penting yang dapat mendorong
terciptanya good governance. Sherry Arnstein menyebutkan bahwa kontrol warga
(citizen control) merupakan tingkat tertinggi partisipasi publik dimana rakyat memiliki
11

kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Karena itu, proses demokratisasi merupakan agenda strategis yang harus
diperjuangkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam hubungan ini,
Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menawarkan empat pilar
demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan. Disadari bahwa strategi
penanggulangan kemiskinan saat ini membutuhkan perubahan sistem dan struktur
secara mendasar dan secara jangka panjang mampu membebaskan si miskin dari
jebakan proses pemiskinan. Karena itu, empat pilar demokratisasi yang ditawarkan
GAPRI didasarkan pada penegasan pendekatan berbasis hak-hak (rights base
approach) si miskin dan sekaligus penegasan kewajiban negara (state obligation)
serta donor untuk menjamin dan melindungi hak-hak si miskin. Keempat pilar
demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan itu adalah:
1. Restrukturisasi Relasi Politik
Harus disadari bahwa relasi-kuasa dalam sistem politik kita berjalan secara timpang.
Agar demokrasi berjalan secara substantif maka menjadi penting untuk dilakukan
penataan ulang relasi politik sehingga sistem dan kelembagaan politik yang ada
benar-benar dirancang dan disediakan secara bertanggung jawab untuk
memecahkan persoalan yang menjadi kebutuhan publik. Dengan begitu, maka
pendekatan penanggulangan kemiskinan haruslah menjadi kewajiban hukum (legal
obligation) dari negara.
2. Redistribusi Kekayaan
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya redistribusi kekayaan, namun yang
paling utama menyangkut tiga hal, yaitu: pembaruan agraria, pajak dan pembuatan
anggaran yang pro-rakyat, serta pendidikan dan kesehatan yang memadai. Ketiga
hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan secara lebih
berkeadilan.
3. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka
kesempatan ekonomi bagi semua rakyat secara terbuka dan adil, perimbangan
pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah
dan besar, maupun antara pusat dan daerah, menghapuskan ketimpangan
pemilikan aset negara, termasuk kredit perbankan, memperkuat peranan negara
12

dalam mengendalikan atau mengatur pasar (governing the market). Upaya ini
dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat agar
memiliki akses sebesar-besarnya sehingga memungkinkan mereka dapat
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
4. Reformasi Fundamental Peran Donor dan Perusahaan TNCs/MNCs
Reformasi fundamental atas peran TNCs/MNCs perlu dilakukan dengan
menekankan hubungan yang setara, menekankan pembangunan dan yang
berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, operasi TNCs dan
MNCs yang seringkali memanfaatkan posisi negara-negara dan badan donor juga
harus didesak untuk melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hakhak dasar orang miskin sebagai suatu kewajiban hukum (legal obligation) dari pihak
swasta/modal.
Jurus yang dikemukakan GAPRI tersebut memang cukup kontekstual dan
strategis. Namun demikian, pendekatan yang teramat politis itu tampaknya tidak
cukup ‘populis’ dan bahkan sering disangsikan keandalannya dalam mengentaskan
kemiskinan. Benarkah pemenuhan hak-hak sipil-politik –selain juga hak-hak
ekonomi-sosial-budaya— seperti itu memiliki korelasi positif dengan peningkatan
kesejahteraan rakyat ? Rakyat sepertinya banyak yang apatis untuk menjawab
pertanyaan seperti itu. Namun agaknya, kita perlu belajar dari pengalaman Porto
Alegre yang telah menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat secara proaktif dan
partisipatif dalam pengambilan
kemiskinan secara signifikan.

kebijakan publik

terbukti

mampu

menekan

Kemenangan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) di Porto Alegre
sangat mengejetkan. Kekagetan ini bukan saja dikarenakan pemimpin Partai Buruh
itu berasal dari kalangan rakyat miskin, tapi juga karena lawan politiknya saat itu
sebetulnya masih sangat powerfull. Lalu apa resepnya ? Partai Buruh saat itu
mengusung metode penentuan anggaran publik secara partisipatif. Dengan konsep
ini, warga benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama
mengenai pengelolaan anggaran publik. Ini merupakan koreksi serius atas
pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu tanpa pelibatan publik secara
luas.
Lalu bagaimana hasilnya ? Laporan Majalah TEMPO menuturkan hasil
penelitian PMPA-GAPLAN yang menunjukkan bahwa sejak kemenangan Partai
Buruh itu terjadi peningkatan jumlah anggran lebih dari 300 persen untuk sektor
13

perumahan di Porto Alegre. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa hampir seluruh
penduduk memperoleh air bersih, sementara jumlah anak sekolah yang mampu
melanjutkan ke perguruan tinggi berlipat ganda jumlahnya. Kondisi ini berbanding
terbalik dengan fenomena yang terjadi di DKI Jakarta. Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggran (Fitra) menunjukkan bahwa RAPBD DKI 2005 justru
mengusulkan anggaran Rp 23,1 miliar untuk penggusuran. Perbedaan yang
mencolok ini memperlihatkan pada kita bahwa demokrasi prosedural yang sejauh ini
diterapkan di Indonesia hanya berhasil menjamin kebebasan sipil, akan tetapi belum
menyentuh hak-hak dasar lain seperti hak atas pendidikan, kesehatan, tempat
tinggal yang layak, maupun pekerjaan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Porto Alegre adalah bagaimana Partai
Buruh sebagai partai yang berkuasa berhasil menggunakan kekuasaan otoritatif
mereka untuk memulai adanya perubahan mendasar pada karakter kebijakan
pemerintahan lokal. Lokus kekuasaan tidak lagi berpusat pada pemerintah, akan
tetapi terbagi pada warga. Hal ini terjadi karena dinamika kelembagaan dan
kapasitas aktor prodemokrasi mampu mengembangkan gerakan berbasis massa
secara nyata serta mampu mengimplementasikan hak-hak dan institusi demokrasi
secara berarti.
Eksperimentasi demokrasi seperti itu bukanlah sesuatu yang mustahil
dilakukan di Indonesia. Persoalannya tentu akan berpulang pada kesiapan dan
kemampuan para aktor prodemokrasi dalam mentransformasikan hak-hak dan
institusi demokrasi secara substantif dan implementatif. Karena itu, proses
demokratisasi secara substansial sudah semestinya terus digulirkan. Agenda
demokratisasi seharusnya menjadi demikian penting bukan saja atas
pertimbangan political entirely, namun seperti diungkapkan Amartya Sen bahwa
ketiadaan demokrasi merupakan akar kemiskinan yang sejati. Karena itu pula
demokratisasi merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Dengan cara inilah kemiskinan di negeri ini dapat
dienyahkan.*** @sofianasgart

14

Catatan Kaki
1. Lebih rinci dapat disimak dalam Jurnal KIKIS Vol.1/2004.
2. HS. Dillon (2003) “Prolog” dalam Empat Pilar Demokratisasi untuk Melawan Kemiskinan dan
Pemiskinan”, GAPRI, Jakarta.
3. Prisma No.10 Tahun 1995.
4. Hadiwigeno S., dan Pakpahan (1993). “Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia”, Prisma,
Jakarta.
5. Yohanes da Masenus Arus. “Membedah Kemiskinan dengan Kaca Mata Hak, Beberapa
Catatan Kritis Terhadap SNPK”. dalam Rusdi Tagora at., all., (2005) Review SNPK Proses
dan Substansi, Terbitan bersama GAPRI, KIKIS, dan INFID.
6. Arimbi HP (2005). “Konspirasi Mafia dan Kompradornya dalam Skenario Pemiskinan Global,”
Disampaikan dalam seminar ICRP mengenai “Ekonomi Berkeadilan, Agama-agama dan
Tantangan Globalisasi: Tanggapan, Kritik dan Komentar,” di Wisma Antara, Jakarta: Rabu 30
Maret 2005.
7. Elizabeth
Martinez
and
Arnoldo
Garcia “Wat
is
‘Neolibralisme?”
dalam http://squat.net/caravan/ICC-nl/globalisation-nl/neoliberalisme-nl.htm.
8. Disampaikan dalam seminar ICRP mengenai “Ekonomi Berkeadilan, Agama-agama dan
Tantangan Globalisasi: Tanggapan, Kritik dan Komentar,” di Wisma Antara, Jakarta: Rabu 30
Maret 2005.
9. Asmara Nababan (2004) “Tanpa Penghormatan dan Akuntabilitas Hak Asasi Manusia,
Investasi Modal Adalah sebuah Kehancuran” dalam Menolak Menjadi Miskin: Gerakan
Rakyat Porsea Melawan Konspirasi Gurita Indorayon, Bakumsu, Medan.
10. Andik Hardiyanto (2004) “Land Reform dan Kemiskinan Petani” dalam Daulat Rakyat Dasar
Kebijakan Anti Pemiskinan, GAPRI, Jakarta.
11. Wawancara dengan Syaiful Bahari, Jakarta: 17 Mei 2004.
12. Wawancara dengan Reiner Ointoe, Jakarta: 21 April 2005.
13. Ibid.
14. Wawancara dengan Edang Ridha Saleh, Jakarta: 18 Mei 2004.
15. Wawancara dengan Herlambang Perdana, Jakarta: 13 Mei 2004.
16. Simak hasil penelitian Demos (2004) mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan
Demokratisasi di Indonesia.
17. Wawancara dengan Longgena Ginting, Jakarta:14 Mei 2005. Saat wawancara dilakukan,
Longgena Ginting masih menjabat sebagai Direktur Eksekutif WALHI.
18. Ulasan lebih rinci mengenai hal ini dapat disimak dalam Arimbi HP at. all. (2003)Negara
Masih Gagal dalam Pemenuhan Hak-hak Dasar Rakyat, JARI Indonesia, Jakarta.
19. Kompas, Sabtu 4 Juni 2005.
20. Simak Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan pembangunan Nasional, Jakarta 12 Desember
2004.
21. Amartya Sen (1998) Beyond The Crisis: Development Strategies in Asia terjemahan dalam
Bahasa Indonesia Demokrasi (Tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan (2000), Penerbit Mizan,
Bandung.
22. Ibid.
23. Sherry Arnstein (1969) “A Ladder of Citizen Participation” dalam Bimo Nugroho “Partisipasi
Rakyat Membuat UU”, Kompas: 1 Agustus 2002.
24. Tim GAPRI (2003). Strategi Bersama Masyarakat Sipil Indonesia: Empat Pilar Demokratisasi
Untuk Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan,” GAPRI, Jakarta.
25. Majalah TEMPO Edisi 16-22 Mei 2005.
26. Ibid.
27. Hasil riset Demos (2004) membedakan secara tegas antara demokrasi prosedural dengan
demokrasi substansial. Dengan mengukur kualitas, cakupan, dan perkembangan sekitar 40
hak dan institusi demokrasi, riset ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih terjadi “defisit
demokrasi” sehingga implementasi demokrasi belum berjalan secara substantif.

15

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24