Efektifitas Manajemen Berbasis Sekolah d

Efektifitas Manajemen Berbasis Sekolah
dalam pelaksanaan Pendidikan

Eru Wibowo
Abstract : Efektifitas merupakan salah satu pengukuran dalam pelaksanaan kegiatan di sekolah terkait dengan dilaksanakanya Manajemen Berbasis Sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu model manajemen yang memberikan kewenangan yang luas kepada sekolah untuk pengelolaan sekolah sesuai dengan po
tensi, tuntutan dan kebutuhan sekolah. Untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan secara profesional, serta meningkatkan partisipasi. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam bidang kurikulum meliputi analisis materi pelajaran, program tahunan, program semesteran, satuan pembelajaran, dan rencana program pembelajaran. Bidang kesiswaan meliputi perencanaan penerima siswa baru, kegiatan masa orentasi siswa, penetapan siswa pada kelas tertentu,
kehadiran dan disiplin siswa di sekolah, dan program bimbingan konseling bagi siswa
yang memiliki kelainan. Bidang personalia meliputi dalam perencanaan pengembanagan
guru,pelaksanaan penataran, KKG/MGMP/MKKS pendidikan lanjutan dan supervisi.
Bidang keuangan meliputi penyusunan RAPBS, pendekatan dengan pengusaha,
pembuatan proposal. Bidang sarana dan prasarana meliputi pengelolaan gedung, ruang
kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran, dan Bidang hubungan masyarakat meliputi guru membuat pendekatan dengan orangtua siswa dan ikut serta
mensosialisasi program sekolah. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang
ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas

Kata kunci : Efektifitas, Manajemen, Berbasis Sekolah


PENDAHULUAN
Tugas yang sangat berat yang dihadapi oleh kepala sekolah semakin beragam dan cepat
berubah. Tantangan ini dapat lebih cepat direspon oleh sekolah kalau pengelola sekolah menerapkan kebijakan dengan menganggap sekolah sebagai pusat perhatiannya (“school at the center ”). Konsep pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) berkembang sebagai respon

dari sistem manajemen yang dikendalikan oleh otoritas eksternal (MKE). Upaya pengembangan konsep dan teori manajemen berbasis sekolah sudah dilakukan sejak beberapa tahun
yang lalu, dan sejak tahun 1999 konsep MBS telah di diujicobakan di beberapa sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah berkemauan untuk melaksanakan MBS, tetapi terbentur kepada belum
terbentuknya pemahaman bagaimana menerapkan konsep tersebut secara operasional.
Di beberapa belahan dunia, MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, antara
lain “tata kelola berbasis sekolah” (school-based governance), “manajemen mandiri sekolah”
(school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan “school site management” atau “manajemen yang bermarkas di sekolah”. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama,
yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom (bukan hanya sekedar unit pelaksana teknis) dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunaan 3M-nya, yakni
man, money, dan material.

Sekolah mengemban fungsi berposisi di garis paling depan dalam melayani pendidikan
masyarakat, sehingga sekolah harus dapat merespon dengan cepat perubahan yang ada, namun
juga tetap mengikuti standar-standar yang sudah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sekolah sebagai unit organisasi yang mempunyai otonomi, mempunyai hak untuk
mengatur dirinya sendiri. Pengoperasionalan MBS memerlukan langkah-langkah perumusan
lingkup kegiatan pengelolaan yang sudah digariskan dalam peraturan kementerian dalam bentuk
standar-standar pengelolaan yang harus diikuti oleh sekolah (kegiatan yang diikat oleh aturan),

dan kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya diatur oleh sekolah (otonomi sepenuhnya).

BAGIAN INTI
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya
otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen
pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi
dan yang lebih demokratis. Berikut disajikan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari
yang lama menuju ke yang baru.

Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan
Pola Lama
Subordinasi
Pengambilan keputusan terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik
Sentralistik
Diatur
Overregulasi
Mengontrol

Mengarahkan





Pola Baru
Otonomi
Pengambilan keputusan partisipatif



Ruang gerak luwes



Desentralistik




Deregulasi



Pendekatan professional



Motivasi diri



Mempengaruhi
Memfasilitasi

Pola Lama
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual yang cerdas
Informasi terpribadi

Pendelegasian
Organisasi herarkis



Pola Baru



Mengelola resiko



Teamwork yang cerdas



Pemberdayaan




Gunakan uang seefisien mungkin



Informasi terbagi
Organisasi datar

Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada
mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat
sendiri oleh sekolah. Pada Pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan
lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat
makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik,
perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah,
regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah
resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk
anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting ), lebih mengutamakan teamwork, informasi
terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.
1. Pengertian MBS
Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar terhadap

sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan terhadap sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat

(orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya). Hal-hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, ke-

mampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak
dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
De Grauwe dalam laporan kajiannya “The Quality Imperative School-based management
(SBM): does it improve quality? (2005) memberikan definisi MBS sebagai transfer kewenangan
dalam pembuatan keputusan pengelolaan sekolah ke tingkat sekolah. Konsep MBS harus dapat
menjawab kewenangan mana saja yang sebelumnya menjadi kewenangan pengelola pendidikan
tingkat nasional ditransfer menjadi kewenangan sekolah, dan kepada siapa saja kewenangan-kewenangan di tingkat sekolah tersebut diberikan.
2. Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan
tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas,
dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)
3. Karakteristik MBS
Leithwood K., & Menzies T. (1998) (Forms and effects of school-based management: a
review. Educational policy, vol. 12, no. 3, pp.325-347. 13) mengidentifikasi karakteristik MBS

mencakup 4 aspek, yaitu:
1.

Kontrol administratif: dibawah kewenangan kepala sekolah.

2.

Kontrol professional: dibawah kewenangan korps guru

3.

Kontrol masyarakat: dibawah kewenangan wali siswa melalui dewan sekolah

4.

Kontrol keseimbangan: kontrol professional dan kontrol masyarakat diperagakan secara
seimbang.

a.


Prinsip

Penerapan MBS ini didasari oleh empat prinsip yang dikemukakan oleh Yin Cheong
Cheng (1996) “School effectiveness and school-based management: a mechanism for development”; yaitu, ekuifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan inisiatif,

yang mana prinsip-prinsip diatas tidak pernah diakomodasi pada MKE.
Prinsip equifinalitas menyatakan bahwa ada banyak cara yang berbeda untuk mencapai
satu tujuan. Satu organisasi mempunyai potensi dan kendala yang berbeda dibandingkan organisasi lain. Sangat tidak masuk akal kalau organisasi-organisasi yang berbeda karakternya dipaksa untuk mencapai satu tujuan dengan cara yang sama.
Prinsip desentralisasi didasarkan kepada pelibatan kegiatan tidak hanya di pusat saja, tetapi disebar ke daerah-daerah untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Tugas pusat untuk
membuat keputusan akan semakin sulit karena keragaman kondisi di daerah masing-masing.
Pelibatan daerah untuk ikut memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan, menjadi keharusan
agar organisasi dapat melakukan tindakan terbaik sesuai dengan kondisinya. Demikian juga dengan kewenangan di sekolah, pelibatan staf sekolah perlu dilakukan.
Prinsip sekolah sebagai unit swakelola didasarkan bahwa kegiatan sekolah sehari-hari
harus tetap berjalan. Semua masalah yang ada harus cepat ditangani tanpa menunggu instruksi
dari otoritas eksternal. Kegiatan sekolah tidak dapat berjalan lancar kalau semua kegiatan harus
menunggu instruksi dari otoritas eksternal.
Prinsip inisiatif menegaskan bahwa sekolah sebagai organisasi mandiri tidak perlu menunggu keputusan otoritas eksternal dalam melakukan kegiatannya. Ada empat tingkat inisiatif dari
yang paling rendah yaitu hanya menunggu, menuju ke tingkat lebih tinggi yaitu meminta petunjuk, meningkat ke lebih tinggi lagi yaitu meminta ijin, menuju ke inisiatif yang paling tinggi yaitu melakukan dulu baru melaporkan.
b. Konteks
Konteks penerapan MBS adalah dalam rangka membentuk sekolah yang memiliki kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana pesan PP 17, 2007

pasal 49; “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.

Kemandirian
Kemandirian dapat diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri,
kemandirian dari sisi program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah.
Jadi kemandirian sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Kemitraan
Setiap warga sekolah mempunyai fungsi dan peran yang spesifik. Hubungan antar warga sekolah
didasarkan atas kemitraan atau partnership yaitu bentuk hubungan setara dalam berbagi tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan perannya.
Partisipasi
Sekolah dapat mewujudkan visinya kalau semua warga terlibat sesuai dengan fungsi dan perannya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan.
Keterbukaan Keterbukaan memberi kesempatan kepada warga sekolah untuk mengetahui halhal yang sedang terjadi dan memahami kondisi nyata sekolah. Pemahaman ini menjadi awal tumbuhnya kepedulian warga sekolah.
Akuntabilitas
MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah.
Sebagai konsekuensinya, sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk
itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan
sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.
c. Target


Target manajemen berbasis sekolah dirumuskan dalam permendiknas nomer 19 tahun 2007 tentang pengelolaan pendidikan, mencakup 6 target seperti berikut: (a) perencanaan program; (b)
pelaksanaan rencana kerja; (c) pengawasan dan evaluasi; (d) kepemimpinan sekolah/madrasah;
(e) sistem informasi manajemen; dan (f) penilaian khusus. Masing-masing target diuraikan lebih
lanjut menjadi butir-butir target, misalnya komponen perencanaan program dibagi menjadi 4 butir yaitu visi, misi, tujuan dan rencana kerja sekolah. Secara ringkas target MBS digambarkan dalam Gambar 1 peta konsep berikut.

Gambar 1. Peta konsep pengelolaan sekolah sesuai dengan Permen nomer 19 tahun
2007 tentang pengelolaan sekolah

Untuk melakukan perumusan rencana kerja, sekolah perlu melakukan evaluasi diri sekolah, sebagaimana diatur dalam Permen 19 tahun 2007 tentang pengelolaan sekolah, peraturan menteri
Pendidikan Nasional Nomer 63 tahun 2009 tentang Sistim Penjaminan Mutu Pendidikan.
Pelaksanaan MBS lebih menekankan kepada merumuskan bagaimana praktek-praktek
MBS dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Kegiatan-kegiatan yang sudah lama diotonomkan di sekolah diungkapkan oleh Alison Bullock dan Hywel Thomas dalam “school at
the center” 1997 halaman 7-8, mencakup lingkup kegiatan (1) penerimaan siswa; (2) penilaian
(assessment) siswa; (3) informasi seleksi , berupa dokumen, yang dipublikasikan ke luar sekolah

(4) pendanaan mencakup keputusan penggalian dan penggunaan dana. Dengan diterapkannya
MBS, Caldwell and Spinks (dalam Alison Bullock dan Hywel Thomas dalam “school at the
center” 1997 halaman 7) melaporkan otonomi yang lebih luas dalam kegiatan pengelolaan sekolah, yang mencakup desentralisasi :
1. isi pendidikan/knowledge (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut kurikulum
termasuk perumusan tujuan akhir lulusan);
2. teknologi (desentralisasi pembuatan keputusan berkaitan dengan sarana teknologi pengajaran
dan pembelajaran);
3. kewenangan/power (desentralisasi dalam membuat kebijakan sekolah);
4. bahan/material (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut penggunaan fasilitas, bahan
dan perkakas);
5. pemberdayaan sumberdaya manusia/people (desentralisasi keputusan berkaitan dengan
alokasi sdm untuk pengajaran);
6. waktu/time (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut alokasi waktu dalam kegiatan
delajar mengajar), dan
7. keuangan/finance (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut alokasi dana).
Penerapan MBS di Indonesia belum mengotonomikan kegiatan-kegiatan pengelolaan sepenuhnya seperti yang dirumuskan oleh Caldwell dan Spinks. Pelaksanaan MBS di Indonesia
mengacu kepada Permen 19 th 2007.
Monitoring adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Jadi, fokus monitoring adalah pemantauan pada pelaksanaan MBS, bukan pada
hasilnya. Tepatnya, fokus monitoring adalah pada komponen proses MBS, baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil MBS. Jadi, fokus evaluasi adalah pada hasil MBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai dengan sasaran
yang telah ditetapkan, berarti MBS efektif. Sebaliknya jika hasil tidak sesuai dengan sasaran
yang telah ditetapkan, maka MBS dianggap tidak efektif (gagal). Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MBS diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Jika setelah MBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MBS, maka hal ini dapat diduga bahwa MBS cukup berhasil.

Monitoring dan evaluasi MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan
(umpan balik) bagi perbaikan pelaksanaan MBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen MBS,
baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan.

PENUTUP
Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) yang lebih besar kepada sekolah, karena
konsep lama dimana pengelolaan sekolah terlalu dipengaruhi oleh kekuasaan eksternal (MKE).
MBS dicirikan oleh prinsip-prinsip, konteks, yang berbeda dengan manajemen dikontrol oleh
otoritas luar. MBS menerapkan empat prinsip, yaitu prinsip equifinalitas, desentralisasi, sekolah
sebagai unit swakelola, dan inisiatif, dan konteks MBS adalah dalam rangka menuju kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Sebagai model manajemen, MBS
merupakan model deskriptif (model yang menjelaskan apa MBS, pelaksanaannya fleksibel), bukan merupakan model preskriptif (dari kata “prescription” artinya resep dokter, model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah detil, pelaksanaannya sudah baku). Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam bentuk bagan alir (2) mengidentifikasi aturan hukum masingmasing kegiatan, (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan, dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut.
Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian integral dari pengelolaan pendidikan, baik
di tingkat mikro, meso maupun makro. Monev dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan propinsi, dan kementerian. Dengan monev, kita dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu meningkatkan mutu
pendidikan. Monev MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk
memperbaiki/mengembangkan MBS.

DAFTAR RUJUKAN
Alison Bullock dan Hywel Thomas (1997). School at the center: a study of decentralisastion.
Routledge Publication New York.
Arikunto, Suharsimi, (2002). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Bedjo Sujanto, (2007). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: CV. Sagung Seto.
De Grauwe (2005). The Quality Imperative School-based management (SBM): does it improve
quality? (2005).
Leithwood K., & Menzies T. (1998). Forms and effects of school-based management: a review.
Educational policy, vol. 12, no. 3, pp.325-347. 13)
Yin Cheong Cheng (1996). School effectiveness and school-based management: a mechanism for
development