KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG MADRASAH (1)

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG
PEMBAHARUAN MADRASAH

LANDASAN IDEOLOGIS NEGARA
Pancasila sebagai ideologi negara memberikan gambaran umum tentang pentingnya pendidikan
keagamaan, sebagaimana tercantum dalam sila pertama pancarasila, “Ketuhanan Yang Mahasa Esa”.
Pancasila yang juga tercantum dalam pembukaan UUD45 berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa,
menuntut bangsanya untuk berperilaku, dan menjaga nilai-nilai yang sesuai dengan pancasila. Oleh
karenanya itu sudah menjadi kewajiban sebagai bangsa Indonesia, untuk menjaga nilai-nilai ketuhanan
sebagaimana tercantum dalam pancasila sila pertama itu, dan pemerintah mempunyai kewajiban pula
untuk memfasilitasi warganya agar mampu mengamalkanya. Hal itu di tegaskan pula dalam program
umum yang telah di tetapkan dalam GBHN pada Tap No. II MPR/1990 dan Tap-Tap MPR sebelumnya
khususnya sektor agama dan kepercayaan terhadap ketuhanan Yang Maha Esa. Pada Tap MPR ini
Pemerintah berkewajiban untuk berusaha antara lain menambah dan mengembangkan sarana kehidupan
beragama sehingga kesadaran, penghayatan, dan pengalamanan ajaran agama di negara kita menjadi
makin manthap dan mendalam di kalangan umat beragama 1.
Dalam mewujudkan tujuan pembangunan itu, Muzzayin berpendapat bahwa sarana pendidikan
agamalah yang mampu mewujutkan tujuan itu. Bagi umat Islam sarana pendidikan Islam lah yang mampu
mewujudkan kesadaran, pengahayatan, dan pemalaman ajaran agama Islam. Sehingga pendidikan Islam
mulai dari SD/MI hingga Perguruan Tinggi Islam perlu di bina dan dikembangkan 2.


SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH

1 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2011), hlm. 218. Berlandaskan pada
falsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta program umum yang telah di tetapkan dalam
GBHN pada Tap No. II MPR/1990 dan Tap-Tap MPR sebelumnya khususnya sektor agama dan kepercayaan terhadap
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemerintah berkewajiban untuk berusaha antara lain menambah dan mengembangkan
sarana kehidupan beragama sehingga kesadaran, penghayatan, dan pengalamanan ajaran agama di negara kita
menjadi makin manthap dan mendalam di kalangan umat beragama.
2 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 219. “Atas dasar strategi itulah, maka sarana pengembangan kehidupan
beragama seperti pendidikan agama dari sejak SD/MI s.d. universitas negri wajib disukseskan.

Pengembangan Madrasah sebagai salah satu pendidikan Islam, merupakan suatu hal yang serius,
melihat jumlah umat Islam Indonesia yang banyak dan mencapai sekitar 75%. Sehingga untuk
mewujudkan itu pemerintah dalam hal itu Departeme Dalam Negri, Departemen Pendidikan, dan
Kebudayaan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Transmigrasi, dan Koprasi secara koordinatif telah
mengambil langkah-langkah untuk meningkatkam mutu pendidikan Islam3.
Secara de Jure pada hakikatnya madrasah baru di akui setelah munculnya amandeman UndangUndang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954, dengan Undang – Undang No.2 Tahun
1989 tentang system pendidikan nasional, walaupun secara de facto Madrasah hakikatnya sudah hidup di
tengah-tengah Masyarakat sebelum di berlakukan undang-undang tersebut. Walaupun demikian,
terobosan pertama ini memang tidaklah sempurna, namun hal itu bisa menjadi peletak pertama pondasi

yuridis Madrasah4.
Barulah setelah tanggal 24 Maret 1975, posisioning madrasah sebagai salah satu lembaga
pendidikan resmi nasional, mulai di kukuhkan setelah setelah lahirnya Keputusan Bersama Tiga Mentri,
sebagaimana di sebut di atas5.
Selain menetapkan statuisasi Madrasah sebagai lembaga formal pendidikan yang di akui oleh
negara, Departemen Agama dalam rangka pelaksanaan amanat SKB Tiga Mentri itu, pula melakukan
pembakuan kurikulum madrasah untuk semua tingkat, yang realisasinya di tuangkan dalam Keputusan
Mentri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk tingkat Ibtidaiyah; No. 74 Tahun 1976 untuk tingkat
Tsanawiyah; dan No.75 Tahun 1976 untuk tingkat Aliyah. Walaupun di putuskan pada tahun 1976 namun
pelaksanaan kurikulum ini, di implementasikan secara bertahap selama 3 tahun, mulai dari tahun 1976
hingga tahun 1979.
Tidak hanya berhenti di sana, Departemen Agama juga melakukan terobosan baru dengan
mengeluarkan surat keputusan Mentri Agama No. 70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977, sebagai sebuah
legalitas yuridis yang mempersamakan antara madrasah dan sekolah umum lainya, sehingga ijazah
3 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 220. Langkah-langkah bersama tersebut telah dilandasi dengan
Keputusan Bersama Tiga Mentri, MEntri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Mentri Dalam Negri No. 6
Tahun 1975 (Agama). No. 037/U/1975 (P dan K) dan No. 6 Tahun 1975 (Dalam Negri), tanggal 24 Maret 1975. SKB
ini berlaku untuk madrasah semua jenjang baik negri maupun swasta, baik madrasah yang ada di dalam lingkungan
pondok pesantren maupun di luar pondok. Landasan lainya dalam pembinaan bidang koprasi pada pondok
pesantren dan Lembaga Pendidikan Agama adalah keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri Transmigrasi dan

Koperasi No.46/A/1972, 186/Kpts/Mentranskop/0/72 tanggal 1 Mei 1972.
4 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 220. Dalam pasal 13 dinyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap
warta negara menganut suatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan, dan kesempurnaan leluasa
diberikan untuk mendirikan dan meyelenggarakan sekolah-sekolah partikelir di tetapkan dalam Undang-Undang
(ayat (2)).
5 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 221

madrasah, mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana halnya ijazah sekolah negri, yang secara
tekhnis di atur dalam Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/69/77 6.
Selanjutnya keputusan itu pun di perkuat dengan adanya Keputusan Mentri Agama No. 15 tahun
1976 (Untuk Madrasah Ibtidaiyah), No. 16 Tahun 1976 (Untuk MTsN), dan No. 17 Tahun 1976 (untuk
MAN)7.

6 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 223
7 Muzzayin Arifin, Kapita Selekta …., hlm. 223