MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH BERDAYA SAING BERBASIS PADA KOMPETENSI INTI DI KABUPATEN SEMARANG Eka Murtiasri

  

MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH BERDAYA SAING BERBASIS PADA

KOMPETENSI INTI DI KABUPATEN SEMARANG

1)

  E-mail:

  

Abstract

This research was conducted with three main objectives: to map the region's

competitiveness criteria, to formulate policies of a competitive advantage based on the

results of the competency maps, and to draft a development strategy of the region's

competitiveness in an integrated manner in accordance with the development planning in

the District of Semarang. These objectives are set based on the problem of ineffective

programs to develop the competitiveness of the region during the last three years after the

formation of clusters of SMEs as a core competency base. Methods Analythic Hierarchy

Process (AHP) was used to identify the criteria of competitiveness in order to obtain

development priorities based on the intersection of the needs of the entity associated: SMEs

in the active cluster, escort agencies SMEs and Apparatus District.. Through a structured

questionnaires to 30 respondents representing the three entities result that the empowerment

of SMEs as the spearhead of strengthening the competitiveness by local governments

proved not to be in tune with the wishes and needs of object so that all development

programs carried out so far less effective because it is not in the side of the needs of SMEs.

The discussions in the Focus Group Discussion (FGD) with experts, formulate the best

strategy on the development of the competitiveness. The strategy becomes the answer in

aligning the needs of strengthening the competitiveness of the region with the priority to

expand the marketing of SME products, the prospect of value-added and resource

availability, differs from the Government's criteria for prioritizing the contribution of SMEs

to the PAD and strengthening infrastructure.

  Keywords: SMEs, competitiveness, excellent products, core competencies.

  Abstrak

Kajian ini dilakukan dengan tiga tujuan utama, yaitu memetakan kriteria daya saing

wilayah, merumuskan kebijakan keunggulan daya saing dan menyusun konsep/strategi

pengembangan daya saing terintegrasi dengan perencanaan pembangunan Kabupaten

Semarang. Ketiga tujuan tersebut ditetapkan berdasar permasalahan tidak efektifnya

berbagai program pengembangan daya saing wilayah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Semarang selama tiga tahun terakhir setelah terbentuknya klaster UKM sebagai basis

kompetensi inti. Metode Analythic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk

mengidentifikasi kriteria daya saing sehingga diperoleh prioritas pengembangan berdasar

interseksi kebutuhan entitas, yaitu pelaku UKM dalam klaster aktif, lembaga pendamping

UKM dan Aparat Pemda. Hasil jawaban 30 responden mewakili tiga entitas, menunjukkan

bahwa dalam program pemberdayaan UKM sebagai ujung tombak penguatan daya saing

wilayah terbukti tidak selaras dengan keinginan dan kebutuhan obyek sehingga semua

program pemberdayaan yang dilakukan kurang efektif karena tidak berpihak pada

kebutuhan UKM. Pembahasan hasil kajian dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan

para ahli, dirumuskan strategi terbaik pengembangan daya saing wilayah sebagai jawaban

dalam penyelarasan kebutuhan penguatan daya saing wilayah dengan kriteria: perluasan

pemasaran, prospek nilai tambah dan ketersediaan sumber daya. Usulan ini berbeda dengan

kriteria Pemerintah yang memprioritaskan kontribusi UKM ke PAD dan penguatan

infrastuktur.

  Kata kunci: UKM, daya saing, produk unggulan, kompetensi inti

PENDAHULUAN

  Data Incremental Market Directory (IMD) World Competitiveness Report tahun (skor 61.805 dari 100). Meskipun peringkat ini mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun 2012 (posisi 42 dari 59 negara, skor 59,5), namun masih jauh tertinggal jika dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti: Singapura (posisi 5, skor 89,857), Malaysia (posisi 15, skor 83,145) dan Thailand (posisi 27, skor 72,966). Posisi daya saing Indonesia menjadi ancaman bagi Pemerintah dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia adalah besarnya biaya industri dan tingginya biaya ekonomi. Besarnya biaya industri disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi, sedangkan ekonomi biaya tinggi terkait dengan buruknya layanan birokrasi.

  Berbagai kebijakan ditetapkan Pemerintah untuk meningkatkan daya saing, di antaranya kebijakan nasional pembangunan industri jangka menengah (2007-2010) yang diarahkan pada strategi pengembangan dan penumbuhan UKM melalui klaster- klaster industri untuk meningkatkan daya saing. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah yang bersegera membentuk klaster industri untuk meningkatkan daya saing produk di wilayahnya. Meskipun klaster-klaster industri di Kabupaten Semarang telah dibentuk tahun 2010, namun hingga saat ini, kondisi klaster tersebut belum menunjukkan daya saing yang signifikan. Merujuk pada penelitian Eka Murtiasri (2010) tentang pemberdayaan UKM di Kabupaten Semarang, pembentukan kelompok usaha/klaster terbukti secara signifikan mampu memberdayakan UKM dibandingkan dengan model individu. Hasil penelitian tersebut ditindaklanjuti dengan kajian pembentukan klaster usaha berdasar wilayah pada tahun 2011, sehingga terbentuklah kelompok usaha/sentra di tujuh wilayah kecamatan (Eka Murtiasri, 2011). Pembentukan klaster ini sejalan dengan pengelompokan 10 (sepuluh) sentra/klaster oleh Pemerintah Kabupaten Semarang berdasar produk. Dalam kajian lanjutan diperoleh temuan bahwa dari 10 klaster yang terbentuk, hanya tiga klaster menunjukkan ciri aktif dan memiliki potensi bersaing di pasar global. Ketiga klaster tersebut adalah klaster makanan olahan di kecamatan Ungaran Timur dan Ungaran Barat, klaster kerajinan tenun lidi rogo-rege di kecamatan Bancak dan klaster kerajinan enceng gondok di kecamatan Banyubiru (Eka Murtiasri, 2012).

  Sebagai tindak lanjut pengembangan daya saing industri model clustering, Pemerintah Kabupaten Semarang membentuk kelompok kerja teknis (working group) yang beranggotakan semua stakeholders, baik dari unsur pemerintah, dunia usaha, maupun lembaga pendukung penelitian dan pendidikan untuk memunculkan komoditas/industri unggulan wilayah sebagai ujung tombak ekonomi daerah. Penetapan komoditas/industri unggulan untuk penguatan daya saing inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah kompetensi inti. Pada konteks daerah, pemilihan kompetensi inti harus mempertimbangkan kondisi daerah dengan tetap memperhatikan kriteria daya saing seperti: adanya nilai tambah yang tinggi, adanya sifat yang unik, adanya keterkaitan dan peluang untuk bersaing di pasar luar daerah (bahkan internasional). Dengan kata lain, pemilihan dan penentuan kompetensi inti harus memberi memberi stimulus perekonomian daerah melalui peningkatan PAD.

  Penelitian tentang kompetensi inti diawali studi kelayakan oleh Aurino Djamaris (2007). Selanjutnya dilakukan penelitian wilayah Kabupaten/ Kota oleh Rahmat Nurcahyo (Kabupaten Bekasi, 2010), Chumaira (2010), Kurniyati (Bangkalan, Madura, 2011), Langoday (Belu NTT, 2011) dan Maat Pono (Tojo Una-una Sulteng 210). Hasil penelitian tersebut menemukan komoditas/industri unggulan sebagai kompetensi inti di wilayah yang diteliti. Di Kabupaten Semarang, penelitian tentang produk unggulan di Kabupaten Semarang.

  Kajian ini perlu dilakukan untuk mencermati efektivitas pengembangan UKM dalam klaster setelah empat tahun terbentuk dan menerima berbagai jenis program pengembangan. Merujuk pada data awal yang menunjukkan bahwa dari sepuluh klaster ternyata hanya tiga klaster yang mampu berkembang maka perlu diamati apakah strategi pemberdayaan klaster oleh Pemerintah secara top down selama ini sudah sesuai dengan kebutuhan UKM. Dilain pihak, Pemerintah Daerah menyatakan bahwa sulit berkembangnya UKM bukan disebabkan kesalahan strategi tetapi karena belum diterapkannya konsep kompetensi inti secara tepat dalam perencanaan perekonomian daerah dan belum menjadi komitmen yang kuat dari pemerintah daerah.

  Berdasar latar belakang yang dikemukakan, terdapat tiga keutamaan dilakukannya kajian ini. Pertama, hasil kajian ini akan merumuskan kriteria utama yang menjadi faktor prioritas pengembangan UKM dalam klaster. Kedua, kriteria yang terbentuk akan terintegrasi menjadi suatu strategi pengembangan wilayah berbasis kompetensi inti, dan

  

ketiga , hasil kajian ini dapat menjadi model meningkatkan daya saing UKM berbasis

  pada keunggulan kompetensi UKM di Kabupaten Semarang dan menjadi role model pengembangan daya saing wilayah di Indonesia.

  Permasalahan yang mengemuka dalam kajian ini merupakan akibat belum tepatnya strategi atau program pemberdayaan yang diterapkan sehingga berdampak pada ketidakefektifan pengembangan daya saing. Permasalahan tersebut adalah: 1.

  Pembinaan dan pengembangan sektor industri khususnya industri kecil menengah di wilayah Kabupaten Semarang selama ini belum bertumpu pada peta kompetensi dan dan keunggulan daya saing berbasis UKM sebagai basis kompetensi inti, sehingga usaha-usaha pembinaan bagi peningkatan daya saing wilayah melalui peningkatan kinerja UKM sulit direalisasikan.

  Semarang selama ini belum teridentifikasi dan terpetakan secara sistematis sebagai dasar pengembangan UKM. Akibat dari permasalahan ini, kebijakan pengembangan UKM oleh pemerintah daerah sering mengalami tumpang tindih dan disorientasi sehingga tidak mampu mendukung peningkatan daya saing wilayah.

  3. Tidak adanya keterlibatan secara aktif dari pihak yang diberdayakan (UKM) dan pihak pendamping (lembaga pemberdaya UKM) dalam merumuskan strategi pengembangan, sehingga pola pengembangan UKM selama ini belum terintegrasi. Berdasar permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daya saing wilayah, kajian ini dilakukan untuk: (1) Memetakan kebutuhan kompetensi inti berdasar usulan tiga entitas: UKM, Lembaga Pendamping UKM dan Pemda; (2) Merumuskan kebijakan keunggulan daya saing berdasarkan peta hasil kompetensi inti antar entitas; (3) Menyusun konsep dan strategi pengembangan daya saing secara terintegrasi.

  METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian

  Mekanisme dan rancangan penelitian tentang penguatan daya saing ini ditunjukkan pada gambar 1 berikut:

  Gambar 1 : Rancangan Penelitian Sumber: Rancangan yang disusun untuk penelitian ini, 2015

  Metode Penentuan Kompetensi Inti Kabupaten Semarang

  Penentuan daya saing UKM berbasis kompetensi inti dalam penelitian ini menggunakan 9 (sembilan) kriteria yang ditetapkan Kementerian Koperasi dan UMKM (2012) meliputi: (1) Kontribusi terhadap pengembangan daerah; (2) Dampak Sosial, Peningkatan Kesejahteraan dan pemerataan pendapatan; (3) Ketersediaan sumberdaya; (4) Infrastruktur; (5) Prospek nilai tambah; (6) Tingkat daya saing; (7) Pemasaran; (8) Nilai Lokalitas dan produk dan kondisi geografis; dan (9) Dukungan kebijakan dan kelembagaan. Kesembilan kriteria di atas mengacu pada kriteria prioritas faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Selanjutnya, penentuan Sektor dan Sub sektor unggulan Kabupaten Semarang dilakukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dengan mencermati data PDRB 2013 pada industri yang memberikan nilai kontribusi terbesar pada Pendapatan Asli Daerah.

  Definisi Operasional Variabel Penelitian

  Definisi operasional 9 kriteria yang digunakan dalam perumusan strategi daya saing dan skala pengukuran setiap variabel ditunjukkan dalam tabel berikut:

  Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

  8 Nilai Lokalitas dan Geografis Keunggulan wilayah usaha UKM dibanding wilayah lain, diukur dari kedekatan dengan jalan raya dan pasar Skala nominal

  Focus Group Discussion sangat diperlukan karena model AHP ini sangat tergantung

  Setelah responden penelitian ditentukan, selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara langsung kepada responden. Hasil kuesioner diolah menggunakan alat Analytical Hierarchy Process (AHP) dan hasil wawancara terhadap responden selanjutnya menjadi sumber data untuk didiskusikan lebih lanjut dalam forum Focus Group Discussion.

  Teknik Pengumpulan Data

  Pemilihan sampel dilakukan secara purposive untuk memilih sampel yang benar- benar memahami tentang upaya pemberdayaan UKM berdaya saing. Terpilih 30 responden dengan masing-masing 10 responden yang mewakili setiap entitas yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

  Populasi dalam penelitian ini adalah semua entitas yang berkepentingan terhadap pengembangan daya saing UKM, yang terdiri dari: para pelaku UKM, para pendamping UKM yang menjadi anggota lembaga pemberdaya UKM, dan aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang.

  Populasi dan Sampel

  Sumber: Data primer yang diolah, 2015

  Skala nominal

  9 Dukungan kebijakan dan kelembagaan Aturan, kebijakan dan prosedur yang disiapkan oleh Pemerintah Daerah dalam pembinaan UKM

  Skala nominal

  No Variabel Definisi Operasional Variabel Skala

  7 Pemasaran Proses penyampaian produk kepada pelanggan, meliputi unsur marketing mix: price, place, product, promotion

  6 Tingkat daya saing Kemampuan dan potensi bersaing UKM dengan usaha lain di pasar global/internasional Skala interval

  5 Prospek Nilai Tambah Nilai selain keuntungan yang dapat dinikmati oleh pelaku UKM maupun masyarakat Skala nominal

  4 Infrastruktur Sarana dan prasarana pendukung kelancaran kegiatan perekonomian Skala interval

  3 Ketersediaan Sumberdaya Kepemilikan sumberdaya yang dapat diidentifikasikan oleh daerah, meliputi SDM, SDA dan SD lainnya Skala interval

  Manfaat yang diterima oleh masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan dampak dari berkembangnya UKM Skala interval

  2 Dampak Sosial, Peningkatan Kesejahteraan dan Pemerataan Pendapatan

  Skala interval

  1 Kontribusi terhadap pengembangan daerah Sumbangan berbagai sektor usahai UKM dalam menyumbang PDRB/PAD

  pada input dari persepsi ahli, sehingga apabila persepsi ahli keliru tentang sebuah permasalahan, maka hasil dari metode AHP ini tidak akan berguna. Dengan demikian, tujuan FGD adalah untuk memberikan keyakinan bahwa hasil kuesioner yang diperoleh tidak dipersepsikan keliru atau berbeda oleh para pembuat keputusan. Dengan kata lain, tujuan FGD adalah penyamaan persepsi para pengambil kebijakan tentang program pengembangan daerah yang sebaiknya dilakukan.

  Uji Kuesioner

  Kuesioner dalam penelitian ini disusun dengan mengacu pada standar kuesioner

  

Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan kuesioner yang sudah baku dan

  berulang kali digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan menjadikan kuesioner dan jawaban kuesioner dalam penelitian ini tidak memerlukan uji validitas dan uji reliabilitas.

  Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu bentuk model pengambilan

  keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi kekurangan dari model pengambilan keputusan yang lainnya. Alat utama dalam model AHP ini adalah hierarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terukur dipecah ke dalam kelompok-kelompok dan kemudian diatur menjadi sebuah bentuk hirarki (Brojonegoro dalam Asri Dwi Asmarani, 1992). Metode AHP memberikan kemungkinan bagi para pembuat keputusan untuk merepresentasikan interaksi faktor-faktor yang berkesinambungan di dalam situasi yang kompleks dan tidak terstruktur. Alat analisis ini membantu para pembuat keputusan untuk mengidentifikasi dan sekaligus membuat prioritas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Saaty dalam Asri Dwi Asmarani, 2000).

  Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan AHP untuk memecahkan masalah yang multiobjectives dan

  

multikriteria . Karena metode ini memiliki fleksibilitas yang tinggi, terutama dalam

  pembuatan hirarkinya, sehingga model AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki (Saaty dalam Asri Dwi Asmarani, 2000). Dalam hal perencanaan pembangunan, model ini dapat memungkinkan terjaringnya aspirasi masyarakat melalui pengisian kuisioner, sehingga aspirasi masyarakat ini dapat ditangkap oleh para pembuat kebijakan dan diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan.

  Metode Interpretive Structural Modeling (ISM)

  Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik permodelan interpretasi struktural (Interpretive Structural

  

Modeling -ISM). ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process)

  dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.

  HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Kriteria Utama Daya Saing Berbasis Kompetensi Inti

  Kriteria yang diajukan Pemerintah (9 sembilan kriteria Kementrian Koperasi dan UMKM) selanjutnya dianalisis oleh tiga entitas yang terkait dengan pengembangan wilayah. Ketiga entitas tersebut adalah: Aparat Pemda Kabupaten Semarang, pelaku UKM dan Lembaga Pemberdaya/pendamping UKM. Hasil analisis ini kemudian dibandingkan untuk melihat ranking atau usulan kriteria yang diajukan oleh masing- masing entitas. Berdasar hasil analisis berdasar AHP, diperoleh hasil seperti ditunjukkan dalam tabel berikut: Perbandingan Kriteria Utama yang diajukan

  Pemda, Pelaku UKM dan Lembaga Pendamping UKM

  Ranking Alternatif PEMDA Pelaku UKM Pendamping UKM Kriteria Skor Kriteria Skor Kriteria Skor

  1 Kontribusi ke 0,389 Pemasaran 0,403 Pemasaran 0,362

  PAD

  2 Pemasaran 0,310 Prospek Nilai 0,270 Ketersediaan 0,311

  Tambah Sumber Daya

  3 Infrastruktur 0,289 Ketersediaan 0,249 Daya Saing Produk 0,267

  Sumber Daya

  4 Daya Saing 0,262 Kontribusi ke 0,223 Kontribusi ke PAD 0,245

  Produk PAD

  5 Nilai Lokalitas 0,238 Dukungan 0,201 Prospek Nilai 0,230 dan Geografis Kebijakan Tambah

  6 Ketersediaan 0,230 Nilai 0,167 Dukungan 0,217

  Sumber Daya Lokalitas dan Kebijakan Geografis

  7 Dukungan 0,229 Dampak 0,188 Dampak Sosial 0,188

  Kebijakan Sosial

  8 Prospek Nilai 0,216 Daya Saing 0,136 Infrastruktur 0,184

  Tambah Produk

  9 Dampak Sosial 0,184 Infrastruktur 0,107 Nilai Lokalitas dan 0,160

  Geografis

  Sumber: Data Primer yang diolah, 2015 Hasil perbandingan kriteria utama peningkatan daya saing wilayah yang diajukan oleh ketiga entitas menunjukkan hasil berbeda. Dilihat dari tiga kriteria utama, Aparat

  Pemda, mengutamakan kriteria Kontribusi ke PAD (0,389), Pemasaran (0,310) dan penguatan infrastruktur (0,289). Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah pemasaran (0,403), prospek nilai tambah (0,270) dan ketersediaan sumber daya (0,249). Sedangkan Lembaga pemberdaya UKM mengajukan kriteria pemasaran (0,362) sebagai kriteria utama, diikuti dengan ketersediaan sumber daya (0,311) dan daya saing produk (0,267). Dari hasil tersebut, menarik untuk dicermati adalah kriteria pemasaran termasuk dalam 3 kriteria prioritas untuk ketiga entitas. Hal ini berarti bahwa peningkatan daya saing wilayah tidak lepas dari kegiatan memasarkan produk sehingga dapat dikenal oleh masyarakat luas baik regional, nasional maupun internasional. Apabila Pemerintah Daerah mengutamakan kontribusi ke PAD, hal ini selaras dengan kriteria Pemerintah Pusat yang mengutamakan kontribusi produk ke APBN.

  Dari ketiga entitas yang diamati, kedekatan hubungan antara Lembaga Pemberdaya dan pelaku UKM dapat dilihat dari dua kriteria utama yang diusulkan merujuk pada kriteria yang sama, yaitu Pemasaran dan Ketersediaan Sumber Daya, membuktikan bahwa baik pelaku UKM maupun Lembaga Pemberdaya UKM memiliki prioritas yang sama dalam pengembangan daya saing wilayah. Model hubungan yang terbentuk berdasar hubungan antara Pemda, Lembaga Pendamping dan UKM ditunjukkan pada gambar 2 berikut:

  Gambar 2 Model Hubungan antar Entitas dalam Perumusan Kriteria Strategi Daya Saing

  Sumber: Data primer yang diolah, 2015 Hasil analisis perbandingan kriteria pada setiap entitas pada tabel 2 selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh interseksi kriteria utama yang diajukan semua entitas. Hasil interseksi semua entitas dalam merumuskan kriteria utama daya saing ditunjukkan dalam tabel 3 berikut:

  Tabel 3 Hasil Perhitungan Interseksi terhadap Setiap Kriteria Berdasar Penilaian Responden

  KRITERIA

  IR Pendamping UKM UKM Pemda Dampak Sosial 0,090 0.284 0.434 0.281 Daya Saing Produk 0,096 0.300 0.421 0.278 Dukungan Kebijakan 0,096 0.354 0.306 0.341 Infrastruktur 0,096 0.341 0.301 0.351 Ketersediaan Sumber Daya 0,090 0.314 0.386 0.312 Kontribusi ke PAD 0,096 0.328 0.319 0.329 Nilai Lokalitas dan Geografis 0,090 0.313 0.370 0.299 Pemasaran 0,096 0.286 0.475 0.239 Prospek Nilai Tambah 0,096 0.255 0.489 0.268 Bobot 0,082 0.311 0.391 0.300

  • *IR adalah rasio indeks pada setiap kriteria (Rasio yang baik memiliki nilai IR < 1)

  Sumber: Data Primer yang diolah, 2015 Pada tabel 3, interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai tertinggi untuk setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling penting. Penilaian dari pelaku UKM menunjukkan kriteria dampak social, daya saing produk, ketersediaan sumber daya, nilai lokalitas dan geografis, Pemasaran dan prospek nilai tambah memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dua entitas lainnya. Lembaga

  Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang Lembaga Pendamping UKM UKM

  Kontribusi ke PAD, Pemasaran, Infrastruktur, Ketersediaan SD, Daya saing, Kontribusi ke PAD,

  Pemasaran, Infrastruktur, Ketersediaan SD

Pemasaran, Nilai Tambah,

Ketersediaan SD, Daya saing, pendamping UKM lebih mengutamakan kriteria dukungan kebijakan, sedangkan Pemerintah Daerah mengutamakan pengembagan infrastruktur dan kontribusi UKM ke PAD. Hasil tersebut menggambarkan kebutuhan yang berbeda dalam mengembangkan

  Hasil skoring berdasar usulan ketiga entitas menunjukkan ranking kriteria atau tingkat kepentingan pengembangan UKM. Ranking tertinggi merupakan kebutuhan mutlak sebagai dasar penentuan strategi pengembangan daya saing. Tabel 4 berikut menunjukkan ranking kriteria utama:

  Tabel 4 Ranking Kriteria utama Strategi Pengembangan UKM Berdayasaing

  

Ranking Kriteria Skor Entitas Pengusul

/urutan Pelaku UKM

  Prospek Nilai Tambah 0.489

  1 Pelaku UKM

  Pemasaran 0.475

  2 Dampak Sosial dan 0.434 Pelaku UKM

  3 Peningkatan Kesejahteraan

  Pelaku UKM Daya Saing Produk 0.421

  4 Ketersediaan Sumber Daya 0.386 Pelaku UKM

  5 Nilai Lokalitas dan Geografis 0.370 Pelaku UKM

  6 Pendamping UKM

  Dukungan Kebijakan 0.354

  7 Pemerintah Daerah

  Infrastruktur 0.351

  8 Pemerintah Daerah

  Kontribusi ke PAD 0.329

  9 Sumber: Data primer yang diolah, 2015 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari sembilan kriteria, enam kriteria utama pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah (0.489),

  Pemasaran (0.475), Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan (0.434), Daya Saing Produk (0.421), Ketersediaan Sumber Daya (0.386), Nilai Lokalitas dan Geografis (0.370). Lembaga pendamping UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan (0.354), sedangkan Pemda mengusulkan Infrastruktur (0.351) dan Kontribusi ke PAD (0.329).

  Secara umum, semakin tinggi nilai yang diperoleh suatu kriteria, kriteria tersebut semakin dibutuhkan dalam penentuan strategi peningkatan daya saing UKM.

  Model Interpretive Structural Modeling (ISM)

  Setelah tidak ada lagi irisan (intersection), selanjutnya dibuat model yang dihasilkan oleh ISM untuk memecahkan masalah (Bolanos et.al. (2005), dalam hal ini peningkatan daya saing di Kabupaten Semarang. Perumusan hasil kajian dalam FGD (lampiran) dan olahan ISM memunculkan serangkaian kriteria usulan dalam strategi yang melibatkan UKM, Pendamping dan Pemda. Dari model tersebut dirumuskan suatu strategi implementasi sesuai tingkatan (level) yang terbentuk, yaitu: 1) Prospek Nilai Tambah; (2) Pemasaran; (3) Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan; (4) Daya saing Produk; (5) Ketersediaan Sumber Daya; (6) Nilai Lokalitas dan Geografis; (7) Dukungan Kebijakan; (8) Infrastruktur dan (9) Kontribusi UKM ke PAD. Murtiasri, Eka (2013), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Kajian terhEfektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah melalui Penumbuhan Klaster Bisnis di Kabupaten Semarang.

  SIMPULAN

  Berdasar hasil analisis diperoleh simpulan sebagai berikut: 1.

  Peta kompetensi criteria daya saing setiap entitas menunjukkan Aparat Pemda, Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah pemasaran sebagai kriteria utama, diikuti oleh prospek nilai tambah dan ketersediaan sumber daya. Lembaga pendamping UKM mengajukan kriteria pemasaran sebagai kriteria utama, diikuti dengan ketersediaan sumber daya dan penguatan daya saing produk.

  2. Interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai tertinggi untuk setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling penting.

  Penilaian dari pelaku UKM memiliki nilai tertinggi untuk tiga kriteria, yaitu dampak sosial, daya saing produk, dan ketersediaan sumber daya.

  

3. Secara total, hasil kajian menunjukkan dari sembilan kriteria, enam kriteria utama

  pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah, Pemasaran, Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan, Daya Saing Produk, Ketersediaan Sumber Daya, Nilai Lokalitas dan Geografis. Lembaga pendamping UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan, sedangkan Pemda mengusulkan Infrastruktur dan Kontribusi ke PAD. Berdasar kriteria tersebut sudah seharusnya Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah mengapresiasi usulan kriteria pengembangan daya saing berdasar kebutuhan UKM selaku obyek yang diberdayakan.

  DAFTAR PUSTAKA Al Harbi, K. M. A. (2001). Application of the AHP in Project Management.

  International Journal of Project Management. Elsevier Science Ltd and IPMA. Arikunto, Suharsimi. 2006. Metodologi penelitian. Yogyakarta. Bina Aksara. Asmarani, Asri D. 2010. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Klaten:

  

Pendekatan Analisis SWOT Dan AHP . Tesis. Jakarta. Universitas Indonesia. Tesis

dipublikasikan.

  Aurino Djamaris

  • – 2007 – MACON Consulting and Training Services R E B O N http://blog.aurino.com
Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1990). The Core Competence of the Corporation.

  Bolanos et.al. (2005). Using Interpretive Structural Modelling in Strategic Decision- Making Groups. Management Decision 43 (6): 877-895. BPS Kabupaten Semarang. (2013). Kabupaten Semarang Dalam Angka. Semarang. Latifah, S. (2005). Prinsip-Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process. Sumatera Utara: e-USU Repository. G.K.L.,and Chan, E.H.W. (2007). The Analythic Hierarchy Process (AHP) Approach

  for Assessment of UrbanRenewal Proposals . Springer Science+Business Media B.V

  Murtiasri, Eka (2011), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Model Pengembangan Usaha Kecil Menengah Berbasis Klaster dan Indeks Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang.

  Murtiasri, Eka (2012), Desain Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis Klaster dan Indeks Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang, Jurnal Teknis, ISSN 1907-4379

  Harvard Business Review 68 (3): 79-91.

  Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1994). Competing for the Future. Boston

  • – MA: Harvard Saaty, L. Thomas. 2000. Decision Making For Leaders. University of Pittsburgh; Supomo, et.al., (2006). Permasalahan dan Kebijakan Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia . Jakarta: P2KTPUDPKM-BPPT.

  Takkar, J., Kanda, A., and Deshmukh S.G. (2008). Interpretive Structural Modeling (ISM) of IT-enablers for Indian Manufacturing SMES. Information Management & Computer Security 16 (2): 113- 136.