Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Konsep Diri

2.1.1 Pengertian Konsep Diri

  Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dan konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.

  “the self as seen, perceived and experrienced by him. This is the perceived self or the individual’s self concept.” (Fitts, 1971:3) Konsep diri adalah sebagaimana diri dipersepsikan, diamati, serta dialami oleh individu. Konsep diri merupakan susunan pola persepsi yang terorganisir.

  Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan

  (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts menjelaskan

  konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu memper-sepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia diluar dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu disebut juga diri fenomonal. Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tantang diri atau konsep diri individu.

  Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri ( Agustiani 2009) Menurut Fitts (1971) konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut : a.

  Pengalaman terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga b.

  Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain c. Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya

   Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri

  Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sabagai berikut :

1. Dimensi Internal

  Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal

  (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu

  yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk : a.

  Diri identitas (identitiy self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “saya ita”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti “saya pintar tapi terlalu gemuk” dan sebagainya.

  b.

  Diri perilaku (behavioral self) Diri prilaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu begian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat akan menunjukan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

  c.

  Diri penerima/penilai (judging self)

  Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku.

  Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.

  Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atai seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke Ketiga bagian internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda, namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh.

2. Dimensi eksternal

  Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain diluar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya.

  Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu : a.

   Diri Fisik (Physical self)

  Diri fisik menyangkut pesepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

  b.

  Diri etik-moral (moral-ethical self)

  Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini Tuhan, kepuasan akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

  c.

  Diri Pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondiri fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

  d.

  Diri Keluarga (family self) Diri keluarga menunjukan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota suatu keluarga.

  e.

  Diri Sosial (social self)

  Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun di lingkungan sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seluruh bagian ini, baik internal maupun eksternal, saling menjelaskan hubungan antara dimensi internal dan dimensi eksternal,

  Fitts mengemukakan suatu analogi dengan mengumpamakan diri secara keseluruhan sebagai sebuah jeruk, yang dapat dipotong secara horizontal maupun vertikal. Potongan yang diperoleh dengan cara horizontal akan tampak berbeda dari yang dipotong secara vertikal, walaupun keduanya merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang sama. Jika bagian-bagian internal dianggap sebagai lapisan-lapisan yang membentuk jeruk tersebut, maka diri identitas merupakan bagian yang paling dalam, diri tingkah laku merupakan kulit luar, dan diri penerimaan adalah bagian yang mengantarai kedua bagian lainnya itu.

  Sedangkan bagian diri eksternal dapat diumpamakan sebagai bagian- bagian vertikal dari jeruk itu.

  Masing-masing merupakan bagian lain, dan semua bagian ini turut menentukan bentuk dan struktur jeruk tersebut secara keseluruhan.

  Bagian-bagian internal dan eksternal teresebut saling berinteraksi satu sama lain, sehingga dari tiga dimensi internal dan lima dimensi eksternal akan diperoleh lima belas kombinasi yaitu identitas fisik, identitas moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, dan penerimaan sosial.

2.1.3 Perkembangan Konsep Diri

  Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut disepanjang kehidupan manusia, Symonds (1951, dalam Fitts, 1971) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain. Ketika ibu dikenali sebagai orang yang terpisah dari dirinya dan ia mulai mengenali wajah-wajah orang lain, seorang bayi membentuk pandangan yang masih kabur tentang dirinya sebagai seorang individu.

  Pada usia 6-7 tahun, batas-batas dari diri individu mulai menjadi lebih jelas sebagai hasil dari eksplorasi dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Selama periode awal kehidupan, konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi tentang dirinya sendiri. Kemudian dengan bertambahnya usia, pandangan tentang diri ini menjadi lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor, 1953; Comb & Snygg,

  Selama masa anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan, menggantikan orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh pada konsep diri mereka. Anak makin mengidentifikasikan diri dengan anak-anak seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku dari kelompok teman sebaya dan jenis kelamin yang sama. Selama masa anak akhir konsep diri yang terbentuk sudah agak stabil. Tetapi dengan mulainya masa pubertas terjadi perubahan drastis pada konsep diri. Remaja yang masih muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara, namun bagi orang tua ia teteap anak-anak. Walapun ketidaktergantungan dari orang dewasa masih belum mungkin terjadi dalam beberapa tahun, remaja mulai terarah pada pengaturan tingkah laku sendiri.

  Karena perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi remaja pada hampir semua area kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan terus berubah pada periode ini. Ketidakpastian masa depan, membuat formulasi dari tujuan yang jelas merupakan tugas yang sulit. Namun, dari penyelesaian masalah dan konflik remaja inilah lahir konsep diri orang dewasa. Nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengaturan tingkah laku yang bersifat permanen. Pada usia 25-30 tahun biasanya ego orang dewasa sudah terbentuk dengan lengkap, namun mulai dari sini konsep diri menjadi semakin sulit berubah.

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

  antara lain adalah sebagai berikut : a.

  Orang lain Seseorang mengenal tentang dirinya dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Konsep diri seorang individu terbentuk dari bagaimana penilaian orang lain mengenal dirinya.

  Tidak semua orang berpengaruh pada diri seseorang. Yang paling berpengaruh adalah orang-orang yang disebut significant others, yakni orang-orang yang sangat penting bagi diri seseorang.

  b.

  Kelompok acuan (reference group) Dalam kehidupannya, setiap orang sebagai anggota masyarakat menjadi anggota berbagai kelompok. setiap kelompok memiliki norma- norma sendiri. Diantara kelompok tersebut, ada yang disebut kelompok acuan, yang membuat individu mengarahkan perilakunya sesuai dengan norma dan nilai yang dianut kelompok tertentu. Kelompok inilah yang mempengaruhi konsep diri seseorang.

2.1.5 Pengukuran Konsep Diri

  Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan untuk mengukur konsep diri, diantaranya adalah : a.

  Wawancara/Interview digunakan sebagai teknik pengumplan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

  b.

  Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalau berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain. c.

  Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperankat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

  d.

  Skala merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut apabila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.

  Tetapi dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data skala, dikarenakan dengan skala, maka nilai variabel yang diukur dengan variabel tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan komunikatif. Dan item pada skala biasanya berupa penerjemahan dari indikator perilaku guna memancing jawaban secara tidak langsung, sehingga meskipun responden memahami isi pertanyaan atau pernyataan, namun tidak menyadari arah jawaban yan dikehendaki dan kesiumpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut.

   Perilaku Seksual Pranikah

2.2.3 Pengertian Perilaku

  Menurut Skinner (2001) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya.

  Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus Skinner membedakan perilaku menjadi dua : a.

  Perilaku tertutup (Covert Behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

  b.

  Perilaku terbuka (Overt Behavor) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

  Skiner dalam Notoatmodjo (2001) mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan atau respon, respon dibedakan menjadi dua respon :

  Respondent response atau reflexive respon, ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap.

  Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi respon dan emotional behaviour.

  b.

  Operant respons atau instrumental respon adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforsing stimuli atau reinforcer.

2.2.4 Perilaku Seksual Pranikah

  Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama (Sarwono, 2013)

  Menurut Struart dan Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum.

  Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaaan masing- masing (Mu’tadin, 2002)

2.2.5 Aspek-aspek Perilaku Seksual Pranikah

  Aspek perilaku yang terdapat dalam perilaku seksual pranikah dapat dilihat dalam tahap-tahap perilaku seksual yang diberikan oleh Soetjiningsih (2008): a.

  Berpegangan tangan b.

  Memeluk/dipeluk bahu c. Memeluk/dipeluk pinggang d.

  Ciuman bibir Ciuman bibir sambil berpelukan f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian g.

  Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian k.

  Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian l. Hubungan seksual

  Menurut Sarwono (2010) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse).

  Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri.

2.2.6 Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah

  Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja menurut Sarwono (2013) adalah sebagai berikut : a.

  Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

  b.

  Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penuaan tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain). c.

  Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan, larangnannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi.

  Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdpat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

  d.

  Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video, cassette, fotocopy, satelit, VCD, telepon genggam, internet dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.

  e.

  Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya mauoun karena dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini.

  f.

  Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

2.2.7 Dampak Perilaku Seksual Pranikah

  Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak pada remaja, diantaranya sebagai berikut : a.

  Dampak psikologis Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya seperti perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.

  b.

  Dampak fisiologis Dampak fisiologis dari perilaku seks pranikah tersebut diantaranya dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi.

  c.

  Dampak sosial Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak d.

  Dampak fisik Dampak fisik lainnya sendiri adalah berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS.

2.2.8 Pengukuran Perilaku Seksual Pranikah

  Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku seksual pranikah, diantaranya adalah : e.

  Wawancara/Interview digunakan sebagai teknik pengumplan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

  f.

  Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalau berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.

  g.

  Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan kepada responden untuk dijawabnya.

  h.

  Skala merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut apabila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Tetapi dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data skala, dikarenakan dengan skala, maka nilai variabel yang diukur dengan variabel tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat, efisien dan komunikatif. Dan item pada skala biasanya berupa penerjemahan dari indikator perilaku guna memancing jawaban secara tidak langsung, sehingga meskipun responden memahami isi pertanyaan atau pernyataan, namun tidak menyadari arah jawaban yan dikehendaki dan kesiumpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut.

2.3 Hubungan Antara Konsep Diri Dan Perilaku Seksual Pranikah

  Konsep diri sangat erat kaitannya dengan individu. Konsep diri sangat erat kaitannya dengan ide, pikiran, kepercayaan dan keyakinan yang diketahui, serta dipahami oleh individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal. Seiring dengan tingkat pertumbungan dan perkembangan individu, konsep diri akan terbentuk karena pengaruh lingkungan. Selain itu konsep diri juga akan dipelajari oleh individu dilalui individu itu. Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap pengalaman akan situasi tertentu(Listya, 2007).

  Selanjutnya Cooley (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri seseorang dapat terbentuk oleh pendapat yang diyakini oleh orang lain sehingga hal iti dapat mempengaruhi perilaku individu dalam melakukan penyesuaian dengan orang lain. Pernyataan tersebut mengindikasi bahwa pendapat orang lain dapat membentuk konsep diri individu.

  Karena konsep diri merupakan faktor yang berpengaruh dalam perilaku individu, ia akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya. Sehubungan dengan ini Fitts (1971) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang. Konsep diri dapat menyebabkan seseorang mempunyai sikap positif atau negatif terhadap suatu hal.

  Wahyuningsih (2008), remaja perlu memiliki konsep diri yang baik agar dapat mengendalikan dan menekan atau mengontrol seminim mungkin sikap dan perilaku seks pranikah, setiap remaja akan memiliki konsep diri dan sehingga apabila remaja tersebut memiliki konsep diri yang baik maka remaja tersebut akan memiliki kontrol diri terhadap perilaku seks pranikah dengan baik atau tinggi, begitu sebaliknya apabila remaja memiliki konsep diri kurang, maka remaja tersebut akan memiliki sikap kontrol diri berperilaku seksual pranikah yang rendah dan dapat menghasilkan tingkah laku yang tidak sesuai. Karena perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi remaja pada hampir semua area kehidupan, konsep diri juga yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengatur tingkah laku yang bersifat permanen, (Agustiani, 2009).

  Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo(2015) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Batik Surakarta. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Chotimah (2015) yang menyatakan bahwa ada hubungan positif yang kuat signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa DIII kebidanan Poltekes Bhakti Mulia Sukoharjo.

  Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mantik (2014) yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual pranikah pada Mahasiswa di Bali.

2.4 Hipotesis

  Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual pranikah pada Mahasiswa progdi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Kesiapan Siswa dalam Menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer: Studi Kasus di SMK N 3 Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Media Informasi Sosialisasi Pemeriksaan Ibu Hamil di Kota Salatiga

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Film Dokumenter Sejarah Terpisahnya Pulau Nusalaut dan Pulau Ambalau di Maluku Menggunakan Teknik Rekonstruksi

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Video Promosi Goa Kreo Ungaran Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah

0 2 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Technology Pendagogical Content Knowledge (TPACK) dalam Evaluasi Minat terhadap Penggunaan Teknologi Informasi dan Komputer: Studi Kasus SMA Negeri 1 Tengaran

0 8 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pendekatan Saintifik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Yang Signifikan antara Pendekatan Saintifik Metode Discovery dengan Metode Inquiry terhadap Hasil Belajar IPA Siswa

0 0 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Yang Signifikan antara Pendekatan Saintifik Metode Discovery dengan Metode Inquiry terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Tahun

0 0 17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Yang Signifikan antara Pendekatan Saintifik Metode Discovery dengan Metode Inquiry terhadap Hasil Belajar IPA Siswa

0 0 16

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Karyawan Bagian Fashion dan Depstore di City Walk Ada Baru Salatiga

1 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Karyawan Bagian Fashion dan Depstore di City Walk Ada Baru Salatiga

0 0 13