BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada Peserta Didik Kelas IX SMP Pangudi Luhur Salatiga
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa dimana seseorang mengalami periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dikenali dengan tanda adanya perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock 2007). Masa remaja (adolescence) disebut juga masa belajar untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa, masa belajar ini disertai dengan tugas perkembangan (Muhith, 2015).
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Berbagai perubahan terjadi pada remaja baik itu perubahan fisik maupun psikis menuntut remaja untuk bisa menyesuaikan diri. Pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikologis, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita serta lingkungan mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Hurlock, 1994).
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai.
Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1994).
Masa remaja merupakan masa dimana paling banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah lingkungan sekitar dan teman sebaya, remaja juga tentu mempunyai rasa ingin tahu akan banyak hal, sehingga membutuhkan upaya preventif untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan atau dengan kata lain hal negatif yang dapat merugikan diri sendiri dan banyak orang, remaja hendaknya memahami dan mengetahui apa yang disebut sebagai kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dapat dilihat dari perilaku remaja tersebut dalam kesehariannya bagaimana remaja itu mampu memberikan kesan yang baik untuk dirinya maupun dengan orang lain juga mampu mengelola kecerdasan emosinya sendiri, berusaha untuk menyetarakan diri dan perilakunya dengan lingkungan sekitar, dapat menguasai diri dan mampun mengungkapkan emosinya sesuai dengan waktu dan kondisi yang tepat sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan baik.
Masa remaja sering menunjukkan gejolak emosi baik dalam bentuk luapan emosi positif maupun luapan emosi dalam bentuk negatif yang dimilikinya bila berinteraksi dalam lingkungannya (Moh Ali & Muh Ansori 2004). Kegagalan dalam memahami dan mengkomunikasikan emosi dengan cara yang tepat akan membuat individu rentan terhadap berbagai konflik dengan orang lain yang seharusnya tak perlu terjadi (Shapiro,1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2002) bahwa kesadaran emosi akan memudahkan usaha untuk mengerti dan memahami orang lain,
Menurut Novianti dalam Usman (2013) bahwa seorang siswa memiliki keinginan untuk melakukan bullying karena memiliki sifat temperamen yaitu sifat yang terbentuk dari respon emosional. Respon emosional setiap individu berbeda satu sama lain. Sehingga setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengendalikan emosinya.
Kemampuan untuk mengendalikan emosi sering disebut dengan kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) (Purwanti, 2014). Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) sering digunakan untuk melukiskan kualitas emosi, yang terdiri dari empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memeacahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan rasa hormat (Purwanti, 2014).
Jika dilihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 2011 hingga Agustus 2014, mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus .(www.kpai.go.id/).
Bully terjadi kapan saja dan dimana saja, dalam kehidupan rumah tangga,dunia kerja,
dunia maya dan bahkan dalam dunia pendidikan.Bentuk bullying bermacam-macam. Sebenarnya diantara kasus-kasus bullying jarang yang berbentuk kekerasan fisik atau berupa kekerasan mental yang berat. Bullying lebih sering berupa gangguan yang ditunjukkan secara individu dalam bentuk gangguan- gangguan ringan dan komentar-komentar yang tidak berbahaya. Namun demikian, karena gangguan bersifat konstan dan tidak menunjukkan belas kasihan, maka menjadi serangan yang agresif. Faktor umum dalam semua insiden bullying adalah adanya intensi dari pengganggu untuk meremehkan dan merendahkan orang lain.
Menurut Olweus (2016) bully adalah seseorang dibullied ketika dia tidak terlindungi dari tindakan yang negatif yang dilakukan oleh satu atau lebih dari satu orang secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bully ternyata terus berlanjut ketika anak memasuki masa remaja. Masa remaja
masa topan badai dan stress (storm and stress), masa anak memiliki keinginan bebas menentukan apa yang akan dilakukan, merasa benar dengan semua tindakan yang dilakukandan tidak memikirkan dampak dari tindakan tersebut dan masa usia bermasalah dengan perilaku bully. Banyak korban bully diusia remaja dimana pelakunya pendidik, orangtua dan teman sendiri.Sedangkan bully yang dilakukan teman sebaya sangat beragam mulai dari pengabaian penyerangan fisik, penyerangan rasial, penyerangan seksual dan penyerangan verbal. Siswa perempuan lebih cendrung lakukan bully psikologis dengan cara pengabaian, mengejek, menyebarkan isu buruk, pandangan sinis, menjuluki sebutan yang jelek, dan penghinaan. Efek dari bully ini korban merasakan depresi yang luar biasa sehingga tidak nyaman berada di lingkungan sekolah dan enggan untuk berangkat sekolah.
Perilaku bullying di lembaga pendidikan bisa dilakukan oleh siapa saja, bisa dilakukan siswa kepada siswa, siswa kepada guru, guru kepada siswa, guru kepada guru. dan antar civitas akademika di institusi pendidikan, Begitu juga yang pernah terjadi di Sekolah SMA Negeri 3 Salatiga. Kadang guru merasa tidak nyaman ketika mengajar di kelas, seperti yang terjadi praktikan atau mahasiswa yang praktek di sekolah SMA Negeri
3 Salatiga merasa tidak nyaman bahkan keberadaannya tidak diterima oleh siswa. Hal ini terjadi karena siswa merasa pelajaran itu membosankan dan mereka hanya ingin bermain saat jam pelajaran berlangsung dan perilaku mereka ditunjukkan dengan tidak mendengar apa yang disampaikan praktikan di dalam kelas, mengganggu teman sebangku atau melempar kertas kepada teman yang lain. Bahkan di kelas X Mipa 3 terjadi tindakan bullying teman kelas kepada salah satu teman yang dianggap perawakannya seperti wanita dan siswa tersebut dijauhi oleh semua teman kelas hal ini menyebabkan siswa tersebut merasa tidak diterima dalam lingkungan kelas dan kadang ia tidak berangkat ke sekolah.
Pada saat pembelajaranpun banyak siswa yang melakukan tindakan yang tidak sesuai seperti selalu menggangu teman yang ingin menyampaikan pendapatnya di depan kelas seperti membacakan hasil diskusi.
Dari fenomena di atas, penting untuk diteliti lebih jauh adakah hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku siswa di sekolah. Hal yang menarik untuk diteliti adalah bahwa kecerdasan merupakan kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman, 2002). Apabila seorang individu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar maka individu itu akan diterima secara baik dalam lingkungan sekitar menyesuikan susasana hati atau mampu berempati dengan orang lain maka individu itu akan memiliki tingkat emosi yang baikdan akan lebih mudah diterima dalam pergaulan sosial dengan lingkungan sekitar. Begitupun sebalik jika seseorang tidak mampu menyesuiakan diri dan tidak memiliki sifat berempati dengan orang lain maka seseorang akan memiliki tingkat emosional yang buruk.
Hasil wawancara dengan guru BK SMP Pangudi Luhur Salatiga menjelaskan ada beberapa perilaku bullying yang terjadi di sekolah tersebut. Bentuk tindakan perilaku bullying siswa seperti sering mengejek-ejek teman, memberi nama julukan kepada temannya, pernah meneror teman melalui sms/surat, dan sering mengucilkan temannya. Hal ini terjadi karena banyak anak yang mudah terpengaruh dengan lingkungannya. Hal ini terkait dengan kecerdasan emosi yang dimiliki anak jika anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi tentu perilaku bullying tidak akan terjadi sekalipun lingkungan sekitar melakukan hal tersebut tetapi jika anak yang memiliki kecerdasan emosi yang kurang maka akan mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya.
Hal lain yang menarik perhatian penulis adalah bahwa perilaku bullying ini terjadi di sekolah, yang merupakan institusi pendidikan. Selama ini kita beranggapan bahwa lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang mandiri di masa depan. Sekolah merupakan tempat untuk mendidik anak-anak agar menjadi individu yang lebih baik. Namun kenyataannya, perilaku kekerasan banyak juga terjadi di lingkungan sekolah. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying Siswa di Lingkungan
Sekolah” .1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas maka penulis dapat mengidentifikasikan masalah dalam penelitian ini adalah
“apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying siswa kelas IX di sekolah SMP Pangudi Luhur Salatiga ”.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying siswa kelas IX di sekolah SMP Pangudi Luhur Salatiga
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan bagi mahasiwa dan juga membuktikan tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying di lingkungan sekolah.
1.4.2 Manfaat Praktis
a) Bagi Siswa
Siswa mampu memahami seberapa besar hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying sehingga siswa lebih memperhatikan perilaku
bullying yang terjadi disekitarnya.
b) Bagi Guru
Guru menegerti bahwa kecerdasan emosi dengan perilaku bullying memiliki dampak yang buruk bagi diri sendiri dan orang lain. c) Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan yang baik pada sekolah yang dipakai untuk penelitian dan sekolah yang lain pada umumnya dalam rangka mengurangi perilaku bullying.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam upaya menyelesaikan laporan ini, penulis menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan Bab ini meliputi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Pustaka Bab ini menjelaskan tentang kajian pustaka mengenai kecerdasan emosi dan
perilaku bullying serta kajian penelitian yang berhubungan dengan penelitian dan hipotesis.
BAB III Metode Penelitian Bab ini meguraikan jenis penelitian, subjek penelitian, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas, dan teknik analisa data. BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai analisa deskriptif, uji hipotesis, dan
pembahasan
BAB V Penutup Kesimpulan dan Saran