BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN KESENIAN BATAK TOBA 2.1 Geografi Batak Toba - Trio Pada Musik Populer Batak Toba: Analisis Sejarah, Fungsi, Dan Struktur Musik

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN KESENIAN BATAK TOBA

2.1 Geografi Batak Toba

  Batak merupakan salah satyang bermukim dan berasal dari

  

   Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian

   700-2.300 meter di atas permukaan laut.

  Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: deskripsi secara umum letak geografi dan etnografi masyarakat Sumatera Utara dalam 108

  Muhammad Takari dkk “Masyarakat Kesenia Di Indonesia:Masyarakat Dan Kesenian

  

Sumatera Utara” , Studia Kultura, Fakultas Sastra,Universitas Sumatera Utara, 2008. Pada masa

penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur

dan Tapanuli. Ada perbezaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra

dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau-secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah Istimewa

Aceh. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als

Economisch Gewest, (s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918), pp. 1 dan 9. Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 26 Kabupaten dan Kota, yaitu: (1) Kabupaten Asahan, (2) Kabupaten Batubara, (3) Kabupaten Dairi, (4) Kabupaten Deli Serdang,

(5) Kabupaten Humbang Hasundutan, (6) Kabupaten Karo, (7) Kabupaten Labuhan Batu, (8) Kabupaten Langkat, (9) Kabupaten Mandailing Natal, (10) Kabupaten Nias, (11) Kabupaten Nias Selatan, (12) Kabupaten Pakpak-Dairi Bharat, (13) Kabupaten Samosir, (14) Kabupaten Serdang Bezagai, (15) Kabupaten Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Tapanuli

Tengah, (18) Kabupaten Tapanuli Utara, (19) Kabupaten Toba Samosir, (20) Kota Binjai, (21)

Kota Medan, (22) Kota Padang Sidempuan, (23) Kota Pematangsiantar, (24) Kota Sibolga, (25) Kota Tanjung Balai dan (26) Kota Tebing Tinggi. 109 Mangaraja Siahaan. Gondang Dohot Tortor Batak. Pematang Siantar: Sjarif Saama. konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak- Dairi-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.

  Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik

  The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku)... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities-Pakpak-Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and lingu istic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the south. The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast”.

  Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan

  

suku-suku . Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima

  komunitas utama, antara lain: Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola. Ke-lima komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial

   yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.

  Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan Barat dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.

  Kebanyakan masyarakat Batak Toba mempunyai suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan kampung halaman). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, pendidikan dan biasanya

  

  mempunyai kedekatan dengan yang satu marga atau tondong (yang masih ada hubungan family) untuk diberikan pekerjaan, dalam hal ini bisa dikarenakan oleh falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu yaitu Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru.

  Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku

  110 Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B.

  

Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam konteks masyarakat Batak, klen yang sama

dilarang kawin. 111 Kompas , 3 Februari 2013, h. 11, “ Martogi sitohang (42), seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. “Nanti dia akan mencari saudaranya atau di cari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya… Makna

kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena

pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan… Jika si perantau berhasil,

biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan si perantau yang sukses akan membantu”.

  

Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun

silaturahmi.

  

2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba

  Si Raja Batak mempunyai dua putra, yang sulung bernama Guru Tatea Bulan dan adiknya Raja Isumbaon. Si Guru yaitu Tatea

  Karena minimnya data-data yang tertulis mengenai asal-usul masyarakat Batak Toba, dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Toba maka penulis mengacu dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang pada masyarakat Batak dalam, khususnya pada awal terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba, merupakan suatu hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba itu sendiri. Berdasarkan mitos dan sejarah, dapat dikatakan bahwa menurut persepsi mereka pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan Napitupulu (1964:84).

  Dewa Mulajadi Na Bolon mengirim putrinya Si Boru Deak Parujar turun ke bumi. Ia kawin dengan Dewa Odap-odap dan melahirkan anak kembar manusia, satu lelaki Si Raja Ihat Manisia dan satu perempuan Si Boru Ihat Manisia. Mereka berdua, walau bersaudara, kawin dan lahirlah beberap anaknya. Salah seorangputeranya bernama Si Raja Batak, yang menjadi leluhur seluruh suku Batak. Kampung kediamannya bernama Sianjur Mula-mula dekat kaki gunung Pusuk Buhit disebelah Barat Pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas Gunung Pusuk Buhit.

  112 N Siahaan, 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo.

  Bulan ahli dalam ilmu sihir dan Sang Raja, adiknya ahli dalam ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putra dan empat putri. Kelima puteranya adalah: (1) Raja Biak-biak (Raja Uti), (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja, dan (5) Silau raja (Malau Raja). Nama dari keempat puterinya, sebagai berikut: (1) Si Boru Paromas (Si Boru Anting-anting Sabungan), (2) Si Boru Parema, (3) Si Boru Bindinglaut, dan (4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon mempunyai tiga orang putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, (3) Sangkar Somalidang (Langka Somalidang).

2.2.1 Pengertian batak

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang memBatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pemBatak adalah perampok/penyamun.

  Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk Batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’.

  

  Leo Joosten

   113

  Andar M Lumbantobing, 1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT, BPK Gunung Mulia. 114 Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media Perintis.

  berpendapat Batak: yang non-jau; orang yang bukan

  

bangsa -halak jau; adat dan hukum suku-habatahon. Dari beberapa pendapat di

  atas tidak dapat menjelaskan dan memastikan apa atau yang mana arti Batak yang sesungguhnya secara umum. Menurut asumsi penulis apabila orang mendengar kata Batak tanggapannya mungkin orang yang dekat dengan adat dan hukum suku yang tinggal/berasal dari Sumatera Utara.

2.2.2 Sejarah batak

  Karena Catatan mengenai sejarah asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit untuk memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Di bawah ini penulis mencoba mengurutkan secara ringkas beberapa catatan sejarah yang tentang asal-usul masyarakat Batak yang akan penulis kemukakan sebagai berikut.

  Brahma Putro mengemukakan bahwa pada jaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Menurut Brahma Putro bangsa Batak berasal dari bangsa-bangsa

  

Hindia Belakang setelah melalui malaya.

  Tentang kapan waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd.

  Yamin, sebagai berikut: Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 115 Putro, Brahma, 1978. Karo dari Jaman ke Zama. Medan: Ulih Saber.

  1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).

  V.H. Geldern mengatakan, perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi.

  Kern menyebutkan, perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Kern, yang menyebutkan bahwa perpindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli.

  Kemungkinan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk berasal dari bangsa- bangsa Hindia Belakang atau ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay.

  Beberapa pendapat lainnya, seperti seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang mengemukakan sebagai berikut.

  Menurut beberapa prasasti peninggalan jaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah

   itu”.

  Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak, dan ada juga yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Ada juga pendapat yang berbeda apabila dilihat berdasarkan

  

tarombo (silsilah) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku

  bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif

   lebih banyak.

  Dari pendapat di atas maka berbanding terbalik jika dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto

  

Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun

  sebelum Masehi. Jika diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja

  116 Andar M Lumbantobing,1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 117 Leo Joosten, 2008. Kamus Indonesia Batak Toba. Medan: Penerbit Bina Media

  Perintis, h. 246. 118 Schreiner, Lothar, 2002. Adat dan Injil. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

  Sisingamangaraja ke XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907).

  Ada juga yang membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, di pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India

   pinggir Danau Toba.

  Pendapat yang mengatakan dari sisi bahasa dan bukti-bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia, dapat kita lihat pada kutipan berikut.

  … Orang Batak adalah penuturnamun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti- bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia daridan sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di jaman batu muda … Karena hingga sekarang belum ada artefak (Jaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di jaman logam. Pada abad ke-6, pedagang- pedagang di pesisir Barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas 119 ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang Richard Sinaga, 1997. Leluhur Marga Batak, Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda.

  Jakarta: Dian Utama. oleh Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang- pedagang Tamil dari pesisir Sumatera… Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh yang mendirikan koloni di pesisir Barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari

  

  Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada.

  Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara. Dari latar belakang Sejarah Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di

   Halaman ini terakhir diubah pada 10.08, 23 November 2012. Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas.

2.2.3 Mitologi suku batak toba

  Setiap suku dan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, masyarakat Batak Toba juga memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal- usulnya, khususnya tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba

  

  merupakan suatu hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite sebagaimana sifat dari tradisi lisan dalam perkembangannya sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama akan semakin sulit untuk mendapatkan sumber awalnya, dan semakin berbeda dengan cerita aslinya.

  Masyarakat Batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya, sama ada bahaya alam, penyakit menular maupun serangan 121 binatang buas. Demikian pula untuk maksud mendapat restu, baik

  Mite adalah bagian dari folklor (cerita rakyat). Dari semua bentuk atau genre folklor,

yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Mengikut William R.

Bascom, cerita prosa rakyat dapat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite

(myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang

dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci-namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan

sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita

kenal sekarang, waktu terjadinya belum begitu lama. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh waktu dan ruang. Lihat

William R. Bascom (1965). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini lihat Djames Danandjaja (1984:50-51). dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan

   menerusi pemujaan.

  Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996).

  Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk-Manuk

  

Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi

  nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu

  

Soripada , dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya

adalah lelaki.

  Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk-Manuk

  

Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon

  mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan

  

Batara Guru , yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan

Sori Muhammad , dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak

  perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru

  

Deakparujar . Anak kedua Manuk-Manuk Hulambujati, Tuan

Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan

  anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru

  Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan.

Si Boru Deak parujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang

  tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja

  

Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur

Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari

  perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (laki- laki) dan Boru Itam Manisia (perempuan). Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia 122 mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu

  Muhammad Takari dkk 2008. Masyarakat Kesenia Di Indonesia:Masyarakat Dan Kesenian Sumatera Utara. Medan: Studia Kultura, Fakultas Sastra,Universitas Sumatera Utara. dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula

  

Mula , karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka

berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua,

  dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan

  

Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang

Batak , dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk

  Buhit Pulau Samosir. Banyak cerita dengan berbagai versi tentang leluhur orang Batak, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, yang semua tujuan ceritanya mengatakan bahwa

  Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.

  Ada juga beberapa mitos yang kebanyakan tujuan penulisannya untuk kalangan sendiri, seperti tulisan yang berjudul Dinasti Raja Pulo Morsa Rea (Sumatera) Dan Dinasti Raja Batak: Partukoan Habatahon

  

  (Partohab), yang dalam tulisan ini mewakili masa Aek Nasumar (Banjir besar),

  

  kemudian Dinasty Pulo Mangala Tuan Bitara Raja Tuntungan Pulo Morsa Rea yang mana pada masa ini mewakili 6000 taon a.s.t.K andorang so tubu Kristus (6000 tahun sebelum masehi) hingga sampai kepada Dinasti Pulo Morsa Raja Batahan Jonggi Nabolon (Raja Batak Parjolo) yaitu Raja Batak Pertama mewakili 1800 andorang so tubu Kristus (1800 tahung sebelum masehi). Ada perbedaan untuk penyebutan nama raja sebagai perbandingan untuk “silsilah sibagot ni pohan”.

  123 Disusun kembali oleh: Tombang Lumbangaol, yang memang tujuan penulisannya ditujukan untuk kalangan sendiri. 124 Leo Joosten,op. cit., h. 18.

2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

  Dalihan Na Tolu adalah Batak. Dalihan Natolu merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan- hubungan kerabatyang mempertalikan satu kelompok. Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu, istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga. mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan berbeda dengan kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk.

  Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu: (1) pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receiving party);

   (3) pihak yang memberi istri (giving party).

  Ketiga unsur penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu:

  

Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari

  keluarga marga pihak istri. Sebagai suatu wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal dengan sebutan “Somba marhula-

  

hula ” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh

  keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang

  

  kompak, yang dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan “manat

  

mardongan tubu ”, artinya tetap menjaga persaudaraan agar terhindar dari

  perseteruan. Unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan, membujuk dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta.

  Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut haruslah menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu dapat kita lihat kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula 125

  N Siahaan 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo, h. 35. 126 Leo Joosten, op. cit., h. 166. Semarga: dongan sabutuha; dongan tubu: kawan-dongan samarga. pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha .

  Dalihan Na Tolu adalah merupakan kerangka dasar kekerabatan. Nilai inti

  kekerabatan dalam masyarakat Batak menjadi unsur utama yang dapat terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu juga terlihat pada tutur sapa dan bersikap karena nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan

  Dalihan Natolu adalah suatu kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabatyang mempertalikan satu kelompok.

  Dengan perkawinan maka terjadilah suatu ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi, seperti tiga tungku di dapur yang besar. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan holong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etika. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda-

   beda agama atau kasta.

  Dalihan Na Tolu bukanlah mengenai agama atau kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Perbedaan agama dan kasta tidak terlalu berpengaruh, mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan 127

  Kompas , 3 Februari 2013, h. 11, “Monang Sianipar, pengusaha sukses dari Tanah Batak, mengatakan, orang Batak Toba terikat pada konsep dalihan na tolu dalam melaksanakan pernikahan… Meski Monang pengusaha besar, ketika di acara adat ia berada dalam posisi sebagai

boru, ia harus mau bekerja melayani hula-hula dan tamu lainnya mulai dari cuci piring, mencincang daging, sampai membagikan makanan. yang kaya atau miskin kadang-kadang begitu erat kaitannya, hal ini dikarenakan konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga, sejauh ini tidak ada orang Batak Toba tanpa marga, karena dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada.

2.4 Kampung dan Desa

  Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Ditinjau dari kemasyarakatan Batak Toba, perkampungan/desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap marga bertempat tinggal di perkampungan yang disebut huta, yang biasanya juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga dari suatu keturunan, yang disebut toga dan gabungan beberapa unsur – unsur marga masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Hutagalung dalam cakupan bius

  

Tarutung , marga Simamora dalam cakupan bius Dolok Sanggul, marga

Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, marga Sinambela dalam cakupan

bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan sebagainya.

  Dikatakan Huta jika bangunan yang didirikan di atas tanahnya sendiri, atau bertempat tinggal di atas tanah yang telah diduduki, maka parhutaan adalah merupakan bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, misalnya untuk menanyakan didia marhuta yang berarti bertempat tinggal di kampung mana, dijawab huta atau kampung Hutagalung yang berarti marga Hutagalung yang mendirikannya .

  Seperti yang dijelaskan oleh Vergouwen, kampung merupakan lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya. lumbung padi. dan setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang.

2.5 Agama dan Kepercayaan

  Definisi agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut, sedang kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tradisi .

  Sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia bahwa, suku-suku di daerah-daerah sudah menganut agama dan kepercayaan asliseperti dalam kepercayaan masyarakat Batak Purba , diyakini adanya Tuhan Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na

  

Bolon , Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai

  wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua

  

toru . Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi

  akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli

   orang Batak.

  Pada masa itu, keagamaan orang Batak merupakan suatu konsep totalitas, yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya yang terjalin dalam suatu alam menjadi tiga bagian dan Mulajadi Na Bolon yang diartikan sebagai Pencipta Alam Semesta sebagai penguasa atau Bangsa Batak sudah menganut agama asli yaitu agama Mulajadi yang sudah ada sejak jaman purba. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci.

  Pengaruh agama Hindu diperkirakan lama cukup memengaruhi perkembangan budaya Batak, dapat dilihat dari beberapa kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara,

  

aditia , anggara dan lain sebagainya, dan juga terdapatnya candi-candi Hindu di

Portibi, Sipamutung dan Padang Bolak.

  Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir Barat Sumatera Utara telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat 128

  Hary Parkin, Batak Fruit Hindu Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978),

253. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), h. 46. tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera Tengah-Barat.

  Bangsa Batak sudah menganut agama asli yaitu agama Mulajadi yang sudah ada sejak jaman purba sampai kemudian pada masa Sisingamangaraja-X (sepuluh) mulai berkembang agama baru yang dianut sebagian dari Bangsa Batak Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen) kehidupan beragama bagi masyarakat Batak Toba merupakan kesatuan yang erat dengan pemerintahan, yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Sebab walaupun secara keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada suatu tata cara adat yang sama, tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masing-masing dipimpin oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh marga dari keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit, yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan Si Singamangaraja X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara, Humbang dan Silindung), yang menguasai belasan bius dari keturunan Sumba.

  Kedudukan ketiga pimpinan Ompu Palti Raja, Si Raja Lontung: Jonggi

  

Manaor dan Si Singamangaraja X adalah sebagai pendeta agung yang mewakili

  yang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata dan pemimpin dari suatu bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang secara genealogis dan geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan peta hasil pola migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba.

  Ada tiga lapisan atau unsur kepercayaan yang juga tercermin dari ritual- ritual, yaitu: (1) Unsur theisme, berdasar pada kepercayaan akan keesaan Tuhan; (2) Unsur kepercayaan bahwa semua benda dan gejala alamiah adalah roh atau mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3) Unsur kepercayaan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang lewat pelaksanaan ritual dan kekuatan supra-natural.

2.5.1 Islam

  Sejarah perkembangan agama telah banyak meninggalkan catatan-catatan, agama Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia yang penyebarannya juga sampai ke Tapanuli. Dalam kunjungannya pada tahun 1292, melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat

   Batak.

  Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam.

  Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari

  

  yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat . (Keunang, 1990: 302) Awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.

  Para kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada orang Inggris, dan juga kepada orang Belanda sesudah tahun 1824; maka terjadilah suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri dan pada tahun 1830 mereka melakukan penyerangan ke Mandailing dan berhasil menguasai perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya.

  Kemudian Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga 129

  Christine Doblin, “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi,

Minangkabau 1784-1847 ”. Dalam Halaman ini terakhir

diubah pada 10.08, 23 November 2012. 130

  Keunang. J, 1990. Batak Toba dan Batak Mandailing Dalam Sejarah Lokal di Indonesia . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial Belanda.

  Dalam melaksanakan program-programnya pemerintah Belanda memerlukan tenaga-tenaga bantuan agar dapat mengerjakan urusan-urusan pemerintahan, dengan dimulainya penanaman kopi secara paksa, sebagai suatu bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Dikarenakan orang Batak Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa Batak Mandailing agar memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau.

  Para penganut ajaran agama Islam yang fanatik, orang Minangkabau ini yang juga dihinggapi oleh semangat untuk penyebaran agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak Toba, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Dapat dikatakan, kemungkinan besar bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah perbatasan Batak Toba yang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama Kristen misalnya pada daerah Pahae Jahe dan Pahae Julu.

2.5.2 Kristen

  Agama Kristen merupakan agama mayoritas di Batak Toba dapat dikatakan Kristen sebagai identitas budaya, merupakan sejarah baru perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak Toba yang dimulai

  

  pada tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen menetap di Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar atau tidak ada hubungan dengan dunia luar atau Bangsa Batak terisolasi yang amat ketat dari hubungan pemahaman kebudayaan, sendiri.

  Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asadan

  

  Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun 1834 dua orang penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh (Schreiner, 2002:56).

  Pada tahun 1850,untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak- Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen 131

  Hotmaida. Hutasoit, T. Simanjuntak, 1993. I.L. Nommensen Sang Penabur Di Tanah Batak . PT BPK GUNUNG MULIA. 132 R. Burton and N,Ward. Transactions of the Royal Asiatic Society.London: Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. 1:485-513. Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang

   menjadi sasaran pengkristenan mereka.

  Neubronner Van Der Tuuk, bertempat tinggal di dekat pantai di Barus di daerah pinggiran. Dalam perjalanannya ke Danau Toba hampir saja ditebus dengan nyawanya, ketika sekelompok masyarakat Batak Toba mengejar- ngejarnya tetapi Neubronner Van Der Tuuk berhasil melarikan diri dan ia berhasil dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di Barus. Van Asselt, Heine, Betz dan Klammer yang mengadakan rapat pendeta pada 7 Oktober 1861 di Sipirok untuk

   Johansen dkk sejak tahun 1862.

  Masyarakat Batak Toba mulai terbuka dalam menerima agama baru, pekerjaan para zending dan keinginan untuk merubah hidup bisa jadi penyebabnya. Mengenai persentasi penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz menuliskan: Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak; ada juga sedikit menjadi Islam, sedangkan yang lainnya tetap memeluk apa yang dinamakan orang Batak Toba sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada

   roh-roh.

  Sebenarnya I.L. Nommensen juga mengalami banyak kesulitan di tahun- tahun pertama dengan kasus yang sama seperti yang dialami misionaris

  133 Van der Tuuk, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken in het

  Dairisch. Amsterdam, 1861. Dalam Halaman ini terakhir diubah pada 10.08, 23 November 2012. 134 PWT. Simanjuntak, 2011. “Berkat Sekolah Zending, Tano Batak Maju” Horas, Edisi 135. 5-20 Maret, h. 13. 135 Greetz, Hildred. 1986. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan

  Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI Terjemahan Zainuddin A. Rahman. sebelumnya, dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan, berkali-kali nyawanya terancam dan jelas keberadaannya tidak di terima raja- raja.

  Pasaribu Arifin, 2011 menuliskan tentang: Berita tentang Nommensen sampai ke telinga Raja Amandari, salah satu raja dari pomparan O Sumurung dan beliau menyuruh salah seorang pembantunya yaitu Pandjingkel Silalahi untuk

  

  menyampaikan kepada Nommensen bahwa dia tidak di terima di Hutabagasan , akan tetapi karena I.L. Nommensen mempunyai wibawa dan pribadinya yang besar dan juga karena silindung yang menjadi cita-citanya dari awal, baru ia memberitakan firman-Mu.

  Kemudian kesabarannya pun menuai hasil, dimulai dari Huta dame di desa Sait Ni Huta. Huta Dame adalah perkampungan pertama yang dibangun Nommensen untuk menampung orang Batak yang tertindas di wilayah Silindung sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Kristen pertama di Tanah Batak.

  Dilokasi ini pula Nommensen membangun gereja Dame, yakni Gereja pertama di Silindung yang didirikan pada tahun 1864. Sesudah itu gerakannya bertambah cepat, sehingga agama Kristen mencapai perkembangan yang pesat di Batak Toba.

Dokumen yang terkait

PENGGUNAAN PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT DENGAN PERLAKUAN FISIK, KIMIA, BIOLOGI DAN KOMBINASINYA TERHADAP PERFORMANS DOMBA LOKAL JANTAN

0 0 10

Penggunaan Tepung Limbah Udang Dengan Pengolahan Filtrat Air Abu Sekam Fermentasi EM-4 dan Kapang Trichoderma Viride Pada Ransum Terhadap Karkas dan Lemak Abdominal Ayam Broiler

0 1 14

Analisis Fosfor Pada Cacing Tanah (Megascolex sp. dan Fridericia sp.) Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah - Analisis Fosfor Pada Cacing Tanah (Megascolex sp. dan Fridericia sp.) Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

0 0 14

B. Diisi oleh reponden - Analisis Pemilihan Moda Antara Bus dan Kereta Api (Studi Kasus : Medan – Tanjungbalai)

1 2 91

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.4 Sistem Transportasi II.1.1 Pengertian - Analisis Pemilihan Moda Antara Bus dan Kereta Api (Studi Kasus : Medan – Tanjungbalai)

0 3 37

BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum - Analisis Pemilihan Moda Antara Bus dan Kereta Api (Studi Kasus : Medan – Tanjungbalai)

0 0 12

ANALISIS PEMILIHAN MODA ANTARA BUS DAN KERETA API (STUDI KASUS: MEDAN – TANJUNG BALAI)

0 0 16

INKORPORASI DENGAN PELESAPAN VERBA DALAM BAHASA MANDAILING Deli Kesuma SD Negeri 067690 Medan Johor kesuma_deliyahoo.com Abstract - Inkorporasi Dengan Pelesapan Verba Dalam Bahasa Mandailing

0 1 11

INDONESIAN – ENGLISH CODE SWITCHING AND CODE MIXING FOUND IN THE NOVEL ―KAMAR CEWEK‖ Dian Marisha Putri Fakultas Ilmu Budaya USU caca_milanoyahoo.com Abstrak - Indonesian – English Code Switching And Code Mixing Found In The Novel ―Kamar Cewek‖

0 0 8