BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Jual-Beli Barang Secara Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implikasi Penggunaan Internet dalam Convention on Contracts for The International Sale of Goods

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Jual-Beli Barang Secara Internasional Jual beli sebagai salah satu kegiatan ekonomi yang selalu hidup dan

  berkembang dalam kehidupan masyarakat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan setiap individu. Hal tersebut berimplikasi lebih luas jika melihat masyarakat sebagai satu kesatuan dari sebuah Negara. Jual beli tidak hanya dapat terjadi antar individu dalam sebuah Negara namun lebih luas terjadi antar sebuah Negara (meskipun subjek hukum yang melakukan perjanjian ialah individu), yang dikenal dengan istilah jual beli barang secara internasional atau perdagangan internasional.

  Berdagang barang dengan pedagang asing merupakan kebutuhan dasar kaum pedagang untuk memperluas kesempatan memperoleh untung, disamping untuk mengalihkan produk dagang mereka yang tidak terserap di dalam pasar negara mereka sendiri. Dilihat dalam perspektif hubungan antar negara, perdagangan internasional menjadi suatu kebutuhan yang mendasar untuk

  1

  kelangsungan dalam interdependensi ekonomi dunia. Perdagangan internasional menyangkut beberapa aspek kegiatan yang sangat kompleks antara lain tukar menukar barang dan jasa dari penduduk suatu Negara dengan penduduk Negara

1 Subianta Mandala, Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar

  

Belakang Dan Model Pendekatannya , Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1, September 2016 [ISSN 2528-7273], h. 54. lain yang meliputi beberapa kegiatan seperti jual beli, pengangkutan barang,

  2 asuransi, sistem pembayaran, dan lain-lain.

  Dalam kegiatan jual beli secara internasional dibutuhkan suatu kontrak sebagai sarana untuk menuangkan isi perjanjian dari kedua belah pihak yang telah sepakat.

  Black’s Law Dictionary mengartikan kontrak sebagai suatu perjanjian

  antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu (an agreement between two or more

  3

persons which creates an obligation to do nor to do a thing ). Pengaturan

  mengenai salah satu kontrak tersebut tertuang dalam suatu Konvensi Internasional yaitu CISG.

  Sebelum adanya harmonisasi dan unifikasi terhadap pengaturan hukum dagang internasional, terdapat berbagai masalah hukum terkait dengan kegiatan perdagangan internasional, beberapa diantaranya adalah: (a) masalah kompetensi lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi (b) masalah hukum mana yang akan dipilih, dan (c) masalah implementasi atau pelaksanaan putusan pengadilan

  4

  asing. Penerapan atau pemberlakuan suatu perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling intens digunakan dalam mencapai suatu unifikasi hukum.

  Cara ini dipandang tapat untuk memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam hukum nasional. Termasuk salah satu diantaranya adalah CISG sebagai Konvensi Kontrak Jual Beli Barang Internasional. CISG

  2 Herlina Manulang, Penggunaan Konvensi Internasional mengenai Jual beli Barang

Internasional dengan menggunakan Pengangkutan Laut , Universitas HKBP Nomensen, Medan, h.

  1-2 3 th Bryan A. Garner .ed., West a

  , Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn: West Publ., 5 Thomson Business, United States of America, h. 291-292. 4 Ridwan Khairandy, Tiga Problema Hukum dalam Transasksi Bisnis Internasional di Era Globalisasi Ekonomi , Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, h. 39. telah terbentuk sebagai suatu unifikasi hukum untuk mengarahkan bagaimana

  5 norma-norma dan pelaksanaan perjanjian dalam kegiatan jual beli tersebut.

  Dalam hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai penggunaan CISG terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kita kenal saat ini sebagai internet. Dalam keadaan informasi yang semakin mudah untuk diperoleh melalui internet, bagaimana kaitannya dengan kontrak jual beli secara internasional yang diterapkan oleh CISG? Untuk mencapai tujuan penulis tersebut, maka sistematika penulisan bab terdiri dari beberapa bagian yaitu sebagai berikut: Pertama, membahas mengenai hukum transaksi bisnis internasional dan perkembangannya dan Kedua, membahas mengenai pengaturan dalam CISG serta bentuk contract formation CISG.

  B.

  

Pengertian “transaksi jual-beli internasional” dan “transaksi jual-beli

barang secara internasional”

  Sistem jual-beli barang secara internasional timbul akibat adanya kebutuhan serta sumber daya alam antar Negara yang berbeda. Jalur perniagaan ditempuh

  6

  guna menukarkan hasil bumi dan hasil industri dengan Negara lain. Hal ini merupakan salah satu hubungan terpenting yang terdapat antar bangsa-bangsa di dunia. Terlebih, mengingat situasi pasca Perang Dunia II di mana terjadi

  7

  ketimpangan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Perdagangan menjadi salah satu aspek terpenting guna keberlangsungan negara-negara di 5 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar) , Refika Aditama Cet.1, Bandung, 2004, h. 32. 6 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, h.

  12. 7 Ida Bagus, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transasksi Bisnis Internasional , Denpasar, Refika Aditama, h. 39. dunia. Akibatnya, perdagangan internasional berkembang kearah perdagangan yang lebih bebas dan terbuka serta akses perdagangan secara internasional menjadi lebih mudah.

  Dalam situasi ini, pengaturan hukum menjadi aspek terpenting. Hal ini dikarenakan tanpa adanya payung hukum, maka akan terjadi kekacauan sistem pertanggung jawaban terutama mengenai perjanjian yang terkait erat dengan perdagangan. Secara universal, hukum transaksi bisnis internasional adalah hukum yang dipergunakan sebagai dasar bisnis lintas batas negara, yaitu perangkat kaidah, asas-asas dan ketentuan hukum termasuk institusi dan mekanisme yang digunakan untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi bisnis dalam hubungannya dengan objek transaksi, prestasi para pihak, serta segala akibat yang timbul dari tindakan manusia.

  Hakikat transaksi bisnis internasional ialah suatu proses kegiatan tawar- menawar (negotiation) antara pihak satu (penjual) dan pihak yang lain (pembeli) terkait objek bisnis, prestasi, resiko peristiwa serta implikasi dari setiap peristiwa diluar bisnis contohnya peristiwa alam, tindakan pemerintah maupun pihak

  8

  ketiga. Sebagaimana hakikatnya bahwa hukum internasional muncul akibat hubungan antar negara dimana tiap negara telah memiliki hukum nasional masing-masing, maka tidak mudah untuk membentuk suatu unifikasi hukum terkait persoalan transaksi bisnis internasional.

  Terdapat beragam istilah terkait hukum yang mengatur mengenai perdagangan antar Negara, di antaranya ialah hukum perdagangan internasional, hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum jual 8 ibid, h. 1-2. beli internasional, hukum pengangkutan internasional, dan masih banyak istilah hukum yang tidak asing didengar dalam kegiatan perdagangan secara internasional. Penulis terlebih dahulu memaparkan secara rinci bahwa keseluruhan istilah di atas tentu tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam perdagangan internasional. Hukum ekonomi internasional, lebih mengatur secara menyeluruh mengenai sistem ekonomi dunia secara keseluruhan. Istilah hukum ini identik dengan stabilitas keuangan dunia, jumlah ekspor impor dunia dan berbagai hal lain terkait perekonomian dunia. Selanjutnya, istilah perdagangan internasional lebih spesifik mengatur mengenai aktivitas perdagangan yang dilakukan antar Negara.

  “International trade law is the mixture of domestic or national law and

  

public international law that applies to transactions for goods or services that

crossnational boundaries. (Cornell Law School).

  

  Artinya, hukum perdagangan internasional lebih mengatur segala keperluan jual beli antar Negara berdasarkan fungsi publik dan pemerintah. Termasuk diantaranya ialah mengenai izin, pembatasan, pajak, bea cukai, dll. Sedangkan yang terakhir ialah mengenai istilah transaksi bisnis internasional. Secara harafiah, perdagangan internasional diartikan sebagai aktivitas perdagangan yang dilakukan antar negara.

  Beberapa ahli berpendapat bahwa pengaturan yang terjadi antar subjek hukum (privat) juga merupakan bagian dari pengaturan Hukum Perdagangan Internasional, tetapi yang lain berpendapat pengaturan tersebut menjadi ranah hukum Transaksi Bisnis internasional. Sehingga CISG, merupakan bagian dari Hukum Transaksi Bisnis Internasional. Lebih spesifik, CISG mengatur mengenai transaksi bisnis dalam hal jual-beli barang secara internasional (sale of goods). Perbedaan mendasar dalam pengaturan transaksi bisnis jual beli barang yang diatur oleh CISG terletak pada objek yang diperjanjikan. Objek yang dimaksud ialah barang (goods) spesifik yang ditujukan untuk dijual kembali yang pada

  9 umumnya berkapasitas besar.

1. Pertumbuhan volume transaksi jual-beli barang secara internasional

  Dewasa ini hampir semua pelaku usaha menjalankan kegiatan perdagangan

barang yang melewati batas-batas negaranya. Berdagang barang dengan pedagang

asing merupakan kebutuhan dasar kaum pedagang untuk memperluas kesempatan

memperoleh untung, disamping juga untuk mengalihkan produk produk dagang

mereka yang tidak terserap di dalam pasar negara mereka sendiri. Dilihat dalam

perspektif hubungan antar negara, perdagangan internasional menjadi suatu

kebutuhan yang mendasar untuk kelangsungan dalam interdependensi ekonomi

dunia.

  Perdagangan internasional merupakan transaksi jual beli lintas negara, yang

melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang melintasi batas negara.

  

Pihak-pihak ini sering merupakan pihak-pihak yang berasal dari negara yang

berbeda atau memiliki nasionalitas yang berbeda. Berdasarkan asumsi dasar yang

diuraikan di atas, tidaklah mengherankan dewasa ini kita menyaksikan

perkembangan pesat di bidang perdagangan internasional.

  Pesatnya perkembangan perdagangan internasional ditandai oleh berlakunya berbagai kesepakatan perdagangan antara negara-negara di dunia seperti World 9 Article 1 CISG

  

Trade Organization (WTO), The North American Free Trade Agreement

  (NAFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia-Pacific Economic

  

Cooperation (APEC), dan European Union (EU), termasuk perkembangan

  penting yang terjadi di ASEAN yaitu terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pengaturan publik dan privat perlu dan penting

  

untuk diperhatikan oleh setiap pelaku perniagaan internasional. Dalam ruang

lingkup hukum privat, spesifik mengatur mengenai kontrak yang terjadi antara

kedua subjek hukum yang mengadakan perjanjian, sebab p erjanjian atau kontrak

  menjadi jembatan pengaturan dari suatu aktivitas ekonomi komersial maupun

  10

  aktivitas bisnis. Beberapa pengaturan yang selalu muncul di dalam suatu

  

perjanjian diantaranya ialah mengenai ketentuan barang yang diperjual-belikan,

harga, cara pembayaran, pengiriman serta jaminan apabila terjadi breach of

contract.

2. Perkembangan metode jual beli barang secara internasional

  Globalisasi yang disertai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang cukup signifikan mengakibatkan perubahan besar bagi perkembangan perdagangan internasional, salah satunya dalam hal transaksi jual beli internasional. Perkembangan jual-beli internasional sesungguhnya telah berlangsung sejak dahulu kala. Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan

  

Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan

Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Salah seorang

sarjana Belanda bernama J.C. Van Leur mengemukakan pendapatnya bahwa

perdagangan itu telah terjadi dengan dunia luar terlebih dahulu dengan negeri

10 Ricardo Simanjuntak, Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum , Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.4 (Tahun 2008), h. 14.

  

India. Barulah kemudian menyusul dengan negeri Cina yang terkenal dengan jual-

  beli barang berupa keramik buatan China yang diminati oleh sebagian besar bangsawan Eropa.

  Metode yang digunakan pada saat itu tentu jauh berbeda dengan jual-beli yang saat ini sangat mudah dilakukan. Melalui jalur laut, para pedagang menjelajah ke berbagai belahan bumi untuk dapat memperoleh barang kebutuhan yang tidak dimiliki oleh Negara mereka. Sehingga, hal tersbut bahkan memicu terjadinya Penjajahan di Negara-negara Asia yang belum pernah disentuh oleh Eropa. Berbagai jenis rempah yang dapat menghangatkan sert berbagai sumber daya alam yang dimiliki oleh asia sangat diincar oleh Negara-negara besar di benua Eropa maupun Amerika. Namun setelah penjajahan berakhir, Perang Dunia I dan II juga mereda, mulai muncul inisiatif untuk membentuk suatu harmonisasi hukum dalam hal metode perdagangan internasional.

  Seluruh Negara mulai berbenah diri dan berlomba untuk menjadi Negara yang terbaik. Seperti yang diketahui, sebelum munculnya unifikasi perdagangan internasional dipandu oleh suatu praktik kebiasaan yang dikenal dengan lex

  

mercatoria. pada masa lex mercatoria ditandai oleh beberapa karakteristik yaitu

  (1) bersifat transnasional, (2) sumber utama dari kebiasaan pedagang, (3) penegakannya bukan oleh hakim tetapi oleh para pedagang sendiri, (4) prosedurnya cepat dan informal, (5) kasus sering diputuskan berdasarkan prinsip

  11 kepatutan dan kepantasan.

  Hukum perdagangan internasional pada masa ini dikembangkan secara tidak terencana (spontan) dan tidak terkodifikasi. Sebagai sebuah hukum yang bersifat 11 P.J. Osborne, Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of The United Nations

  

Convention on Contracts for The International Sale of Goods 1980, LLM Dissertation, University of Hull, 2006 transnasional, dan didasarkan pada praktik kebiasaan, lex mercatoria tampil sebagai hukum yang seragam (unifikasi) walaupun kenyataannya tidak terkodifikasi. Sifat seragam ini juga didukung oleh fakta bahwa lex mercatoria diterapkan secara konsisten oleh pengadilan sehingga penerapan dan hasilnya menjadi seragam. Perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa lex mercatoria mulai masuk ke dalam sistem hukum nasional pada abad 18 dan 19 ketika konsep kedaulatan negara semakin menguat. Sebagai contoh, Perancis membuat kodifikasi hukum perdagangan dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang

  

(Code de Commerce ) pada tahun 1807, Jerman pada tahun 1861 mengeluarkan

  sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Seragam (Uniform Commercial

  

Code ), dan Inggris sebagai negara yang menganut sistem hukum kebiasaan

  (common law) memasukan lex mercatoria ke dalam sistem hukum nasionalnya

  12 pada pertengahan abad ke-18.

C. Perkembangan Sistem Pengaturan Hukum Jual Beli Internasional 1. Lex mercatoria

  Sebagaimana yang dikatakan oleh ahli hukum Ch. Pamboukis: The fact of the matter is that, on the one hand, modern commercial

  

transactions are extremely complex, while, on the other hand, efficiency and profit

depend on speed and volume. Parties are unlikely to address in minute detail

every possible problem related to the contract. Trade usages are capable of both

filling in the gaps in the contract and interpreting the contract’s terms. They also

constitute the core of the so-called l ex mercatoria”

12 Subianta Mandala, Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar

  

Belakang Dan Model Pendekatannya , Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 1 No. 1, September 2016

[ISSN 2528-7273] diterima 26 April 2016, Artikel Direvisi 19 Juli 2016 diterbitkan 2 September

2016

  

Lex mercatoria atau hukum para pedagang adalah aturan-aturan hukum yang

  dibuat oleh para pedagang dan untuk para pedagang. Lex mercatoria tumbuh

  13 subur pada masa abad pertengahan (khususnya abad ke-18 dan 19) di Eropa.

  Perkembangan ini dipicu oleh lahirnya Revolusi Industri di Eropa, khususnya pada era industrialisasi. Perkembangan teknologi pada masa ini mendorong produsen atau para pedagang untuk menjual produknya melintasi batas-batas wilayah Negara. Perkembangan ini juga mempengaruhi perubahan bentuk dan muatan kontrak dalam sistem transaksi. Tidak lagi dilakukan melalui barter akan tetapi dalam bentuk kontrak dagang yang lebih konkret seperti kontrak jasa

  14 pengangkutan melalui laut, atau darat.

  Setiap perjanjian bersifat mengikat bagi setiap orang yang mengikatkan diri di dalamnya (asas pacta sun servanda). Hal ini telah dikenal sebagai nilai nilai yang muncul jika terjadi kesepakatan dari subjek yang melakukan perjanjian. Akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian juga cukup bervariasi, mengingat juga diberlakukan asas kebebasan berkontrak, dimana para subjek yang melakukan kesepakatan bebas untuk menentukan bagaimana isi dari perjanjian tersebut (selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan kesusilaan). Selain itu, dalam memahami maupun menginterpretasi isi dari suatu perjanjian membutuhkan banyak pertimbangan, sebab dalam suatu kontrak harus dapat memenuhi kebutuhan dari kedua belah pihak yang terikat. Untuk itulah, dalam praktik perdagangan internasional telah muncul kebiasaan-kebiasaan hukum yang diterapkan oleh Negara-negara dan biasa dikenal sebagai lex

  

mercatoria (law of merchant) . Kata lex mercatoria diambil dari bahasa Latin, 13 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Press, cet.3, 2002, h. 43. 14 Huala Adolf, op.cit, h. 34. yaitu lex dalam bahasa Inggris mengandung arti law atau dalam bahasa Indonesia berarti berarti hukum dan mercatoria dalam bahasa Inggris dipadankan dengan

  15

  kata merchant artinya, perniagaan atau komersial. Berthold Goldman10 mendefinisikan lex mercatoria sebagai “a set of principles and customary rules

  

spontaneously referred to or elaborated in a framework of international trade,

  16 Lex mercatoria without reference to a particular national systems of law.”

  menjadi salah satu pedoman yang menjadi semacam "aturan main" para pedagang

  17

  internasional dan lambat laun diterima sebagai hukum kebiasaan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi beberapa berpendapat bahwa Lex Mercatoria belum dapat berlaku secara mengikat sebab hanya didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat internasional. Dibutuhkan suatu pengaturan yang lebih bersifat tetap dan mengikat mengingat sistem hukum yang berbeda di tiap Negara.

2. CISG

  CISG merupakan sebuah konvensi yang terbentuk atas sejarah yang cukup panjang. Digagas pertama kali oleh suatu lembaga yang disebut UNIDROIT atau

  Institute International pou r l’ unification du droit dengan cita-cita menciptakan

  unifikasi hukum dalam kontrak jual-beli barang internasional. Lembaga ini didirikan pada tahun 1926 dan dibiayai oleh lebih dari 50 negara yang memiliki satu tujuan sama. Perjuangan unifikasi ini tentu tidak mudah, mengingat pada 15 16 K. Prent C.M Dkk., Kamus Latin-Indonesia, Jakarta: Penerbit: Kanisius, 1969 Vanessa L.D. Wilkinson, The New Lex Mercatoria, Reality or Academic Fantasy,

  

, Vol. 2 No. 2, June 1995 Journal of International Arbitration 17 Meria Utama, Lex Mercatoria Sebagai Hukum Yang Di Pilih Dalam Penyelesaian

Sengketa Dagang Internasional, sebuah makalah penelitian disampaikan pada Seminar usulan

kenaikan pangkat/jabatan pada tanggal 15 Juli 2013, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, h. 5. tahun 1939-1951 terjadi Perang Dunia ke-II yang mengakibatkan pekerjaan ini terhenti dan dimulai kembali pada tahun 1960. Akan tetapi baru berhasil pada tahun 1964 dengan lahirnya Konvensi Hague 1964 (the hague Convention). Konvensi ini mengatur unifikasi hukum terkait jual beli barang, namun masih terdapat beberapa kekurangan sehingga tidak semua Negara menerima konvensi ini. Akibatnya, dilakukan perumusan kembali dengan membentuk suatu tim yang dikenal sebagai UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade

  

Law ). Tim melakukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam dalam

  merumuskan konsep hukum agar unifikasi yang dibentuk kemudian, dapat

  18 dianggap memadai dan sesuai dengan kebutuhan semua Negara terkait.

  Perkembangan CISG tidak terlepas dari terbentuknya UNCITRAL. UNCITRAL pertama kali terbentuk dalam Sidang Umum PBB dengan Resolusi 2205 (XXI) pada tanggal 17 Desember 1966 dengan tujuan untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan hukum yang timbul dalam rangka perdagangan internasional. Adapun tugas daripada UNCITRAL adalah untuk mencapai peningkatan harmonisasi dan unifikasi secara progresif daripada hukum perdagangan internasional (the promotion of the progressive harmonization and unification of

  19

the law of international trade ) . Kemudian pada tahun1980, CISG muncul

  sebagai salah satu kodifikasi hukum jual-beli internasional yang dicita-citakan selama ini oleh negara-negara yang terlibat. Unifikasi hukum ini dimaksudkan untuk mengatur mengenai kontrak dagang internasional terkait jual-beli, seperti syarat pembuatan kontrak, resiko yang dipikul masing-masing pihak, pembeli dan penjual, akibat-akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban salah satu pihak dan 18 19 Victor Purba, Op. Cit, h.1-2.

  Teks Resolusi 2102 (XX) 20-12-1965, Siding Pleno Ke 1404, Lihat Uncitral Yearbook Vol.1: 1968-1970, United Nations Publication , h. 18.

  20

  sebagainya. Pada april, 1980, perwakilan Diplomasi dari 62 Negara yang digelar di Vienna, sepakat terhadap pembentukan CISG. Konvensi ini dibentuk oleh UNIDROIT yang mana terdiri atas representasi perwakilan setiap Negara dari seluruh belahan dunia dan mewakili berbagai sistem hukum yang berbeda

  21

  pula. Konvensi ini diresmikan pada 1 Januari 1988. CISG secara spesifik mengatur mengenai jual beli barang antar para pihak yang memiliki kepentingan bisnis antar Negara yang berbeda. Namun, pasal 2 Konvensi ini wajib untuk digaris bawahi sebab berkaitan dengan pengecualian barang-barang yang tidak dapat diakomodir oleh CISG yaitu barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau untuk keperluan rumah tangga, kecuali apabila penjual, pada setiap saat sebelum atau pada saat pengakhiran kontrak, tidak mengetahui atau belum mengetahui bahwa barang tersebut dibeli untuk setiap keperluan tersebut, melalui lelang, atas dasar eksekusi atau dengan cara lain berdasarkan wewenang hukum, saham, efek, surat-surat berharga atau uang, kapal, hovercraft atau pesawat terbang, tenaga listrik.

  Salah satu alasan bagi penerimaan yang luas terhadap Konvensi ini terletak pada aspek fleksibilitasnya. Perumus Konvensi mampu menciptakan fleksibilitas dengan menggunakan berbagai teknik, khususnya dengan mengadopsi terminologi yang netral, mendorong penghormatan atas prinsip itikad baik dalam perdagangan internasional, dengan menerapkan suatu ketentuan bahwa prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar pembentukan Konvensi harus digunakan untuk mengisi gap terkait dengan standar yang ditetapkan dalam Konvensi, serta dengan mengakui 20 Sudargo Gautama, Hukum Dagang Internasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1980, h.

  5. 21 Bradford Stone, Contracts for The International Sale of Goods: The Convention and The Code, Vol.23.3, Michigan State International Law Review, h. 753.

  akibat yang mengikat dari berbagai kebiaaan perdagangan yang telah diterima

  22 serta praktik yang sudah berlangsung lama (established).

D. Pengaturan lain di luar CISG

  Terdapat beberapa pengaturan lain terkait jual-beli barang internasional dan telah dibentuk jauh sebelum terbentuknya CISG. Sesungguhnya, pengaturan ini juga merupakan bagian dari sejarah perkembangan CISG. “Although both were

  23

subsequently entered into force, they were never widely adopted Meskipun

  .” keduanya telah dibentuk dan berlaku, namun dalam aplikasinya pengaturan ini merupakan dasar dari terbentuknya CISG.

1) Konvensi Den Haag 1951/1955

  Konvensi Den Haag 1951/1955 merupakan Convention on the Law

  

Applicable to International Sale of Goods yang telah diterima pada tahun 1951 di

  Den Haag. Namun baru mulai ditandatangani pada tahun 1955, dengan Belgia sebagai Negara pertama yang menandatangani konvensi ini pada tanggal 15 Juni 1955. Perbedaan waktu penerimaan dan penandatanganan konvensi inilah yang menyebabkan konvensi ini seringkali disebut dengan Konvensi Jual-Beli

  24 1951/1955.

  Pengaturan yang diatur dalam konvensi ini ialah suatu pernyataan atau persetujuan dari para pihak saja mengenai hukum yang berlaku dalam perjanjian tidak cukup untuk menjadikan jual-beli tersebut sebagai jual beli internasional 22 UNCITRAL, Digest of Case Law on the United Nations Convention on Contracts for the International Sales of Goods , 2012 Edition, h. ix. 23

  dikunjungi pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 05.00.

25 Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional, Alumni, Jakarta, 1978, h. 15.

  yang dimaksud oleh Konvensi Den Haag. Dalam Pasal 7 dipertegas bahwa ketentuan-ketentuan pokok dari konvensi ini wajib dituangkan dalam hukum nasional dari seluruh Negara yang telah meratifikasi maupun memberlakukan konvensi ini.

  Konvensi Den Haag secara tegas mengatur mengenai jual beli benda atau barang yang bergerak. Namun tidak berlaku bagi benda bergerak yang bersifat

  

“non-lichamelijk”, termasuk di dalamnya utang piutang, hak-hak kebendaan, dan

  surat berharga. Terkait dengan hukum yang berlaku dijelaskan bahwa jika ada pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah pilihan hukum para pihak. Dalam hal ini para pihak dibebaskan untuk memilih hukum dari Negara mana saja yang dianggap sesuai oleh kedua belah pihak. Jika tidak dilakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum dari Negara dimana penjual secara de

  

facto berkedudukan hukum. Oleh karena konvensi ini hanya mengatur mengatur

  mengenai hukum yang berlaku bagi suatu transaksi jual beli internasional, segala sesuatu yang terbit dari perjanjian jual beli tersebut dikembalikan pada hukum yang berlaku. Dengan demikian, konvensi ini tidak mempersyaratkan apakah suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini sepenuhnya bergantung pada pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak.

  Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi ini mencakup: ruang lingkup berlakunya; hukum yang berlaku bagi para pihak; dalam hal apa ketentuan-ketentuan Konvensi tidak dapat diberlakukan; hubungan antara kebijakan publik dikaitkan dengan keberlakuan Konvensi; serta inkorporasi atas ketentuan Konvensi dalam hukum nasional masing-masing negara anggota. Mengenai ruang lingkupnya ditegaskan bahwa konvensi ini hanya berlaku untuuk jual beli barang dan tidak dapat diterapkan untuk jual beli saham, jual beli kapal laut atau pesawat udara, atau jual beli atas perintah pengadilan. Mengenai hukum yang berlaku adalah hukum nasional dari salah satu pihak yang bertransaksi sebagaimana disepakati dalam kontrak. Dengan pertimbangan kebijakan publik (public policy) penerapan ketentuan hukum dapat dikecualikan.

2) Konvensi Hague 1964

  Konvensi ini merupakan hasil dari 2 draft yang dikenal sebagai ULIS (The

  

Uniform Law for The International Sale Of Goods ) dan ULFC (The Uniform Law

on The Formation of Contracts For The International Sale of Goods ). Anggota

  delegasi untuk kedua konvensi ini sebagian besar adalah Negara-negara yang sama dengan upaya unifikasi hukum yang dilakukan oleh Hague Convention.

  

25

ULIS terdiri dari 15 Bab dan 101 Pasal yang mengatur, antara lain: kewajiban

  masing-masing negara pihak dalam konvensi ini untuk menginkorporasikan ketentuan konvensi ke dalam sistem hukum nasional masing-masing memperlakukan negara anggota lainnya sama dalam kaitan pelaksanaan ketentuan konvensi prosedur penarikan diri dari keanggotaan konvensi konvensi bersifat terbuka untuk diaksesi baik oleh negara- negara anggota PBB maupun oleh badan-badan khusus PBB berlakunya konvensi 6 bulan setelah penyerahan dokumen ratifikasi yang ke 529.

  Dalam Annex dari ULIS, diatur ketentuan-ketentuan seperti ruang lingkup berlakunya ketentuan umum kewajiban penjual untuk menyerahkan barang sesuai dengan tempat dan waktu yang telah ditetapkan, kewajiban mengganti rugi dalam 25

  dikunjungi pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 09.00. hal wanprestasi, kewajiban menyerahkan barang sesuai dengan kualitas, kewajiban penerahan dokumen, dan lain-lain kewajban pembeli untuk melakukan pembayaran sesuai dengan waktu dan tempat yang ditetapkan, menerima penyerahan barang ketentuan bersama terkait kewajiban penjual maupun pembeli (provisions common to the Obligations of the Seler and of the Buyer) ketentuan tentang pengalihan resiko (passing the risk). ULF Terdiri 13 pasal dengan 2 annex. Ketentuan-ketentuan dari annex 1 memuat tentang ruang lingkup berlakunya Konvensi. Ketentuan tentang belakunya praktek dan kebiasaan dalam perdagangan tidak ada kewajiban untuk mengikuti bentuk tertentu dari kontrak38; keharusan bahwa penawaran harus tertentu dan memadai (sufficiently definite) sifat penerimaan dan cara pengkomunikasiannya status formation of contract dalam hal kematian atau ketidakmampuan pihak.

  26 Hingga saat ini, Negara Inggris, Irlandia serta 10 negara Eropa lainnya

  masih mengadopsi pengaturan hukum ini sebagai dasar praktek perdagangan internasional Negara mereka. Konvensi ini dianggap lebih cocok, singkat dan tidak rumit.

E. Pengaturan CISG dalam ranah hukum nasional negara-negara

  Perkembangan lex mercatoria sebagai pedoman hukum para pedagang pada abad ke-18 dan 19 dianggap tidak dapat memenuhi syarat pembentukan suatu hukum, sehingga kemudian Negara-negara mulai menyusun hukum nasionalnya masing-masing yang mana sebagian besar dituangkan dalam bentuk kitab undang-

26 Victor Purba, Op.Cit., h. 252.

  27

  undang (di Negara-negara bagian Eropa). Kitab undang-undang ini kemudian digunakan dalam transaksi jual-beli yang terjadi secara nasional.

  Pengaturan hukum Internasional tidak dapat terlepas dari pengaruh hukum nasional seluruh Negara di dunia, yang sangat beragam. Terlepas dari paham Monisme dan dualisme mengenai penempatan hukum internasional dalam tata

  28

  hukum nasional , namun yang perlu ditekankan ialah bahwa pengaturan yang diatur dalam hukum perdata internasional secara mendasar berasal dari hukum nasional tiap-tiap Negara. Dalam hukum nasional terdapat pembagian antara hukum perdata dan hukum publik, begitupun yang terjadi pada hukum internasional. Di dalam praktiknya, kontrak jual beli barang menurut sistem

Common Law maupun civil law memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

  Seperti konsep offer (penawaran) and acceptance (penerimaan) yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam pembentukan kontrak yang diterapkan dalam

  29

  sistem hukum common law memiliki cir khusus yaitu:

a. Bargain

  Bargain dapat diartikan sebagai: “An agreement between two or more people or groups as to what each will do for the other.” (Oxford Dictionary)

  

Pemikiran mengenai bargain berhubungan dengan konsep penawaran dan

merupakan tombak dari sebuah perjanjian dan merupakan sumber dari hak yang

  27 28 Sudargo Gautama, Loc.Cit.

  Di Negara Amerika Serikat (AS), apabila suatu Perjanjian Internasional tidak

bertentangan dengan Konstitusi maka isi Perjanjian dianggap menjadi bagian Hukum yang berlaku

disana tanpa perlu pengundangan terlebih dahulu. Namun di Indonesia, dibutuhkan Pengundangan

terlebih dahulu secara resmi untuk memberlakukan suatu Instrument Hukum Internasional

(Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional). 29 Victor Purba, Op.Cit., h. 44.

  30

timbul dari suatu kontrak. Kasus Mellen v. Johnson memberikan pemahaman

lebih dalam mengenai konsep bargain dalam sistem hukum Common Law. Dalam

kasus ini pengadilan menegaskan bahwa pengadilan tidak menganggap suatu

penawaran atau offer bersifat mengikat apabila penawaran tersebut terbuka untuk

banyak orang. Dalam kasus ini, Johnson (sebagai offeror) yang memiliki sebuah

Villa mengirim surat kepada Mellen yang isinya menyatakan bahwa ia ingin

menjual Villa tersebut menurut harga pasar. Kemudian Mellen merasa tertarik

untuk membelinya. Namun ternyata, Johnson mengirimkan surat tersebut ke

banyak orang dan juga ingin membelinya. Namun Mellen menafsirkan bahwa

surat penawaran tersebut sebagai sebuah penawaran (offer) dan Mellen segera

menerimanya.

  Akan tetapi pada akhirnya Johnson menjual Villa tersebut kepada orang lain

yang menawarkan harga lebih tinggi. Kemudian Mellen mengajukan gugatan ke

pengadilan karena merasa dirugikan. Tetapi pada akhirnya Pengadilan menolak

gugatan Mellen dan menjelaskan bahwa:

  “ The letter of March 27 was not an offer. It expressed ‘a desire to dispose

of’ the property. It announced that the agent was "writing the several people,

including yourself, who have previously expressed an interest in the property." Its

conclusion, in part, was, "I will be interested in hearing further from you if you

have any interest in this property, for as I said before, I am advising those who

have asked for an opportunity to consider it." The recipient could not reasonably

understand this to be more than an attempt at negotiation. It was a mere request

  31 or suggestion.”

  Kasus ini sekaligus menegaskan bahwa dalam mekanisme bargaining terdapat perbedaan antara offer dan dan ajakan untuk mengadakan negosiasi

  

(attempt to negotiation ). Secara konsep, keduanya memiliki akibat hukum yang

30 31 Allan E. Fransworth, Contract (Boston: Little, Brown &Company), 1982, h. 40. dikunjungi pada tanggal 3 November 2017 pukul 13.00.

  berbeda sehingga konsep dan syarat bargain ini sangat penting untuk dimengerti dan dipahami secara jelas.

b. Agreement

  Agreement atau kesepakatan dalam sistem hukum common law sama dengan

  istilah offer and acceptance. Seperti yang telah dijelaskan mengenai bargain, harus dibedakan antara pengertian offer dan invitation to treat. Invitation to treat adalah penawaran untuk menerima offer. Sedangkan offer harus dibedakan dari

  

invitation to treat . Katalog barang, iklan pengundangan tender, prospektus sebuah

  perusahaan maupun lelang, semua itu merupakan bagian dari invitation to treat,

  32 bukan offer yang sesungguhnya.

  “An offer is an expression of willingness to contract on specified terms,

  

made with the intention that it is to be binding once accepted by the person to

  33 whom it is addressed.

  ” Offer menjadi asal muasal bagaimana terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang terikat. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa offer merupakan suatu bentuk keinginan untuk melakukan sebuah kontrak atau jual-beli, dimana offer ditujukan secara spesifik kepada seseorang dan diterima secara baik kepada subjek yang dimaksud. Setelah pemahaman mengenai offer jelas, maka selanjutnya yang perlu dipahami adalah mengenai syarat penerimaan atau

  acceptance.

  “An acceptance is a final and unqualified expression of assent to the terms

of an offer. Again, there must be an objective manifestation, by the recipient of the

32 33 ibid.

  Allen And Overy, Basic Principles of English Contract Law, Advocates for

International Development , 2016 from the case (Stover v Manchester City Council [1974] 1 WLR

1403).

  

offer, of an intention to be bound by its terms. An offer must be accepted in

accordance with its precise terms if it is to form an agreement. It must exactly

match the offer and ALL terms must be accept ed.”

  34 Gambar 1.1 Nature of Agreement

  c. Consideration Consideration adalah syarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu

  penawaran. Decision in Eastwood v. Kenyon also interesting because it highlights

  

tension between consideration and moral obligations . While husband had moral

  obligation to honour his promise, he did not have legal obligation (for want of consideration). Decision repudiated doctrine advanced by Lord Mansfield that consideration was closely tied to moral obligations and, in particular, that a pre- existing moral obligation furnishes consideration for one’s susequent promise to pay (a doctrine that essentially dispenses with consideration as a separate

  35 requirement ).

  d. Capacity

  Capacity atau kemampuan merupakan syarat mengenai posisi para pihak yang terikat dalam perjanjian. Salah satu syarat ini dapat ditunjukkan melalui 34 35 Caterina Cricitti, Bussiness Law Part I, 2015. E-book ISBN 978-87-403-1107-5.

  Emily M. Weitzenböck, English Law of Contract: Consideration UNIVERSITET I OSLO , 2012, Norwegian Research Center for Computers & Law suatu kasus yang memutuskan bahwa sebuah kontrak dikatakan tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum cukup umur atau belum dewasa. Kasus tersebut terjadi antara Quality Motors v. Hays yang masih berumur 16 tahun. Pengadilan memutuskan bahwa seorang anak yang telah secara jelas belum cukup usia tidak dapat melakukan perjanjian sebab hal tersebut terkait dengan pertanggungjawaban kepada anak.

  Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and

  

acceptance , dimana ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat

  hukum di dalam kontrak. Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem

  

common law , sangat diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu

  dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak. Namun, disamping beberapa perbedaan fundamental tersebut terdapat beberapa kesamaan pengaturan mengenai kontrak jual-beli antar kedua

  36

  sistem hukum tersebut diantaranya: Pemindahan hak kepemilikan dan resiko dalam kontrak jual-beli - 36 Hak dan kewajiban penjual dan pembeli - loc.cit, h. 17.

  Jaminan kelayakan barang dalam kontrak - Ganti rugi dalam kontrak yang harus ditanggung oleh para pihak. - F.

   Negara-negara pihak CISG

  CISG adalah konvensi atau perjanjian multilateral yang berisi keseragaman aturan yang sah tentang undang-undang untuk mengurus atau mengatur penjualan barang-barang internasional sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi CISG 1980. Dimana CISG ini merupakan hasil kerja dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh UNCITRAL.

  Sejak awal terbentuknya CISG, Negara-negara telah antusias untuk dapat menerapkan unifikasi hukum ini dalam sistem jual-beli Internasional (dari 11

  37

  negara pertama di tahun 1980 menjadi 79 Negara pada tahun 2013). Bahkan

  38

  hingga Juni 2017, terdapat 85 negara yang telah mengasesi CISG. Tidak hanya negara-negara Eropa selaku pelopor yang telah menandatangani serta meratifikasi CISG sebagai pedoman dalam kegiatan jual-beli internasional negara, tetapi hingga kini masih diikuti oleh langkah ASEAN yang juga turut serta meratifikasi.

Dokumen yang terkait

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pie

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 2 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implikasi Penggunaan Internet dalam Convention on Contracts for The International Sale of Goods

0 1 15