BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implikasi Penggunaan Internet dalam Convention on Contracts for The International Sale of Goods

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

  1 Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon) , artinya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari.

  Begitupun yang terjadi dengan Negara. Guna memenuhi kebutuhannya, suatu Negara harus meminta bantuan kepada Negara lain karena tidak satu pun Negara

  2

  yang dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Situasi ini mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan jual-beli guna memenuhi kebutuhan hidup.

  Kegiatan jual-beli tersebut tidak hanya dilakukan dalam Negara, namun juga berkembang menjadi jual-beli antar Negara dan biasa dikenal sebagai kegiatan jual-beli internasional. Kegiatan jual - beli internasional telah dikenal sejak abad

  3 ke-17 dan hingga kini tetap eksis dengan berbagai jenis perkembangannya.

  Fakta yang terjadi saat ini adalah perdagangan telah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Sebagai salah satu contoh adalah kejayaan negara China yang terkenal dengan perdagangan internasional disebut “Silk Road” atau jalan sutra. Silk Road tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-saudagar China untuk berdagang dengan 1 Aristoteles (384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan dalam

  

ajaranya, bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya manusia adalah

makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang ber

masyarakat, dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk

sosial. 2 Syahmin A.K, Hukum Kontrak Internasional, Rajagravindo Perkasa, Jakarta, 2005, h.

  36. 3 Oentoeng Soeropati, Hukum Dagang Internasional Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 1999, h. 6.

  4

  bangsa-bangsa lain di dunia. Esensi untuk bertransaksi dagang merupakan suatu kebebasan yang fundamental (fundamental freedom) yang artinya setiap orang berhak untuk melakukan perdagangan. Kebabasan ini tidak dapat dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik dan sistem hukum sekalipun.

  Sistem hukum hanya mengatur bagaimana kegiatan perdagangan dapat berlangsung dengan baik dan sesuai aturan.

  Perkembangan globalisasi dalam bidang bisnis, perdagangan, investasi serta

  5 keuangan mendorong tatanan hukum yang mengaturnya untuk ikut berkembang.

  Termasuk dalam bidang pengaturan hukum perdagangan internasional. Terdapat berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Namun yang terpenting ialah bagaimana cara untuk menjaga stabilitas kegiatan transaksi dagang tersebut sehingga tercipta kepastian hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang melakukan kegiatan transaksi dagang. Salah satu upaya haromonisasi hukum atau dapat dipahami sebagai penyelarasan hukum antar negara merupakan salah satu yang telah dinantikan sejak lama.

  Pada mulanya upaya harmonisasi hukum dilakukan oleh The International

  

Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). UNIDROIT adalah

  sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga UNIDROIT ini dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statute). 4 Jonathan Reuvid, The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, h. xv. 5 Chrisstar Dini dkk, Harmonisasi Buku III KUHPER dengan CISG dan UNCITRAL

  • terhadap Kontrak Dagang Internasional , Jurnal FH UNS (Privat Law) Vol. III No.2 Juli Desember 2015, h. 25.

Lembaga UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih 50 negara yang menginginkan perlunya unifikasi hukum dalam jual beli

  6

  internasional. Indonesia resmi menjadi anggota ke 63 dalam UNIDROIT melalui aksesi pada lembaga UNIDROIT pada tanggal 2 Januari 2009.

  Selanjutnya, pada tanggal 10 Maret sampai dengan 11 April 1980, diselenggarakan konferensi oleh Perserikatan Bangssa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Konferensi ini berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materiil yang mengatur perjanjian jual beli (barang) internasional yaitu

  

Contracts for the International Sales of Goods (CISG). Selain itu konvensi ini

juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980 (Konvensi Vienna 1980).

  Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan

  7 internasional dan CISG mengkhususkan pada kontrak jual beli internasional.

  Akan tetapi Indonesia hingga saat ini belum turut serta dalam meratifikasi Konvensi Internasional mengenai jual-beli barang tersebut.

  Meski demikian, penulis akan membahas mengenai CISG dan kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang saat ini, di mana perkembangan ini berdampak pada pengaturan yang terdapat dalam CISG. Seperti yang kita tahu, bahwa CISG terbentuk pada tahun 1980, di mana pada dekade tersebut sistem jual-beli barang terutama dalam hal offer and

  6 Victor Purba, “Kontrak Jual Beli Barang Internasional-Konvensi Vienna 1980”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia), Jakarta, 2002, h. 1. 7 Rotua Deswita Raja Guk Guk, Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCS dan CISG serta KUHPerdata, h. 4.

  

acceptance (penawaran dan penerimaan) masih dilakukan melaui surat menyurat

atau telegram.

  Internet belum dapat diakses secara luas oleh rakyat, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi keberlangsungan jual-beli yang terjadi pada saat itu. Contoh konkrit yang terjadi di Negara China. Negara ini baru memanfaatkan e-mail pada

  8

  tahun 1994 , namun kegiatan jual-beli internasional Negara ini telah berlangsung sejak abad 16. Hal ini sekaligus menjadi indikasi, bagaimana CISG tetap eksis dalam mengatur sistem jual-beli terkait perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

  Menelisik dalam Article

20 CISG dimana menyebutkan istilah “other means

  of instantaneous communication”: “A period of time for acceptance fixed by

theofferor by telephone, telex or other means of instantaneous communication,

begins to run from the moment that the offer reaches the offeree

  ”, dan menyinggung e-mail serta berbagai jenis surat elektronik lainnya. Jika dianalisis lebih lanjut, apakah klausula pasal tersebut sekaligus mengakomodir sistem penawaran yang dilakukan melalui e-mail serta jenis surat elektronik lainnya? Pada penelitian ini akan membahas secara spesifik mengenai pengaturan penggunaan e-mail dan surat elektronik lainnya dalam CISG.

  Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi, 8 Cina mulai menggunakan komunikasi e-mail pada September 1987 ketika sebuah

  

jaringan lokal China Computer Technology Net mengirimkan e-mail ke jaringan Universitas

Jerman. Jaringan internet mulai hadir sekitar tahun 1994. (Richard Cullen dan Pinky D.W Choy ,1999) dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan

  9

  dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain , salah satunya dengan menggunakan media internet.

  E -mail merupakan salah satu sistem pengiriman surat atau data secara

online yang cepat dan praktis digunakan. Namun penggunaannya baru dikenal

  pada tahun 1990-an. CISG sebagai salah satu regulasi Internasional yang mengatur mengenai jual-beli barang internasional hanya memuat klausula

  

telephone, telex or other means of instantaneous communication sebagai alat

  komunikasi dalam melakukan offer and acceptance. Lantas, bagaimana dampak dari penggunaan e-mail serta system komunikasi melalui internet yang lain terhadap regulasi CISG dalam sistem penawaran dan penerimaan.

  Prinsip penawaran dan penerimaan telah diatur dengan tegas di dalam

  10 CISG. Prinsip ini lebih dikenal sebagai persesuaian kehendak antara para pihak.

  Jika suatu penawaran maupun penerimaan dikirimkan melalui e-mail atau jenis surat elektronik lainnya, bagaimana implikasinya terhadap keabsahan perjanjian tersebut? Apakah CISG telah mengakomodir penggunaan e-mail dan jenis surat elektronik lainnya di dalam konvensi tersebut?

  Terkait dengan isu hukum yang ada, penulis berargumen bahwa e-mail sebagai salah satu bentuk media elektronik penawaran dan penerimaan (offer and

  

acceptance ), relevan digunakan dalam kegiatan jual beli internasional yang diatur

  dalam CISG. Dalam rangka mempertegas argumen yang dikemukakan oleh penulis, sistematika penulisan selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut.

  9 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2013, h. 1. 10 Syahmin A.K, Op.cit., h. 332. Pertama, penulis akan memaparkan bagaimana pengaturan mengenai penggunaan internet dalam hal ini e-mail dan jenis surat elektronik lainnya di dalam CISG.

  Apakah penggunaan media sosial seperti whatsapp, facebook yang dapat melampirkan attachment berupa file dapat dikategorikan sebagai “other means of

  instantaneous communication

  ” yang dimaksud oleh CISG? Bagaimana dampak penggunaan internet terhadap pengaturan di dalam CISG? Kedua, penulis akan menjabarkan mengenai prinsip-prinsip penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) di dalam CISG. Ketiga, penulis akan mengaitkan penggunaan e-mail dan jenis “instantaneous communication” lainnya dengan klausula yang terdapat dalam pengaturan CISG.

  Seperti yang telah dipaparkan di atas, sistem jual beli dapat dilakukan melalui sistem elektronik dan terjadi antara dua pihak yang berada di Negara yang berbeda. Terkait perkembangan ini, CISG bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara sistem-sistem hukum yang berbeda di dunia, yaitu dengan cara

  11

  menyeragamkan hukum yang berlaku bagi jual beli barang internasional . CISG mengatur mengenai pembuatan kontrak jual beli, serta hak dan kewajiban pembeli

  12

  dan penjual (termasuk upaya-upaya hukum). CISG merupakan suatu pengaturan mengenai kontrak dagang internasional komersial dan tidak meliputi penjualan kepada konsumen atau pengguna akhir. Artinya, CISG hanya mengatur mengenai jual beli barang yang akan komersialkan kembali sehingga tidak dilakukan bagi kepentingan konsumsi pribadi saja. Secara substantif, ketentuan yang terdapat

  11 UNCITRAL, “Text-Explanatory Note of the United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna,1980) (CISG)”. 12 Naskah Akademik Tentang Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Kontrak Jual Beli

Barang Internasional (United Nations Convention On Contracts For The International Sale Of

Goods) disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., L.Lm., Ph.D, 2013.

  13

  dalam pasal-pasal CISG terbagi menjadi lima bab, yang terdiri dari ketentuan- ketentuan pembahasan fundamental breach, kewajiban-kewajiban penjual, kewajiban-kewajiban pembeli serta remedies atau upaya-upaya hukum, peralihan resiko, dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan apabila terjadi sengketa.

  Article

  2 Konvensi ini juga telah menegaskan bahwa CISG hanya dapat berlaku pada barang bergerak dan barang berwujud. Pengaturan CISG tidak terlepas dari perkembangan dunia perdagangan internasional. Jika dikaitkan dengan pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan mengenai akibat hukum dari transaksi yang dilakukan secara online telah diatur dalam Undang- undang No.11 tahun 2008 tentang ITE dan pengaturan mengenai perdagangannya diatur lebih rinci dalam Undang-undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.

  Berbeda dengan sistem jual beli yang berlaku secara nasional di Indonesia, konvensi ini mengatur bahwa penawaran tersebut harus disampaikan secara resmi dan ditujukkan khusus bagi seorang penerima tawaran (offeree). Tawaran tersebut harus mencantumkan harga secara spesifik, barang yang ditawarkan serta identitas penawar (offeror) dengan lengkap. Latar belakang mengapa diharuskan demikian ialah untuk mencegah terjadinya sengketa antar kedua belah pihak mengenai permasalahan pengaturan jual beli. Ketentuan ini tercantum secara lengkap dalam Art.14 (1): 13 Erisa Adestya, Lex Mercatoria sebagai Substantive Applicable Law Kontrak Jual Beli Internasional , ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga, 2015, h. 56.

  “The CISG describes an offer as a sufficiently definite proposal to

  

specified addressees, at least implicitly specifying the goods and the

contract price.

  ” CISG telah hadir sejak tahun 1980. Pada periode tahun tersebut, penawaran lebih banyak dilakukan menggunakan surat konvensional dimana jangka waktu pengirimannya dapat memakan waktu hingga berhari- hari bahkan berbulan-bulan. Dengan demikian, diatur dalam Art.20 (1) CISG

  “A period of time for acceptance fixed by the offeror in a telegram or

  a letter begins to run from the moment the telegram is handed in for dispatch or from the date shown on the letter or, if no such date is shown,

  14 from the date shown on the envelope

  ” bahwa acceptance dapat dilakukan melalui telegram atau sesuai dengan tanggal yang tertera di dalam amplop surat. Terkait dengan isu hukum diatas ialah CISG tidak mengatur secara eksplisit mengenai ketentuan penggunaan e-mail bagi kepentingan offer dan acceptance di dalam CISG. Namun peraturan perundang-undangan yang hadir di Indonesia, telah mengatur lebih rinci mengenai penggunaan dokumen elektronik yang dapat dimaknai sebagai pengaturan mengenai penggunaan

  e-mail . Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya konsep ini dapat

  diterapkan dalam pemahaman dalam CISG, sebab pada dasarnya pengaturan

  15 hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional itu sendiri.

  14 15 ibid.

  Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum UII PRESS, Yogyakarta, 2007, h. 5.

a) Prinsip penawaran dan penerimaan dalam CISG

  

“Contract is one of the few areas of the law with wich almost

  16 everyone comes into day-to- day contract.” (D.G Cracknell)

  Kontrak merupakan instrumen penting yang senantiasa membingkai hubungan hukum dan mengamankan terjadinya suatu transaksi. Sebagian besar aktifitas bisnis mempertemukan para pelakunya dalam suatu wadah yang disebut sebagai kontrak. Dalam hal ini, CISG berperan sebagai bingkai yang bersifat fleksibel dalam membantu terbentuknya suatu kontrak jual-beli internasional. CISG juga mengatur proses sebelum terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang disebut sebagai Penawaran. Sistem penawaran dalam Konvensi ini diatur secara spesifik dan menjelaskan bahwa penawaran (offer) adalah:

  “A sufficiently definite proposal to specified addressees, at least

  

implicitly specifying the goods and the contract price. With regard to

an acceptance, this means that an offer can only be accepted by

  17 someone who it was specifically addressed to

  .” Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa prinsip-prinsip penawaran dan penerimaan yang diatur dalam CISG memang sedikit berbeda dengan penawaran/penerimaan pada umumnya. Dalam CISG, penawaran harus disampaikan secara spesifik kepada subjek yang akan menerima penawaran.

  Dalam pengaturan ini, offeree merupakan sebutan subjek yang memberikan penawaran, dan offeror merupakan sebutan bagi subjek yang menerima penawaran. Offeree identik dengan Penjual dan offeror identik dengan sebutan pembeli (penerima tawaran). Pemahaman ini sedikit keliru, sebab sesungguhnya kedua belah pihak dapat berdiri sebagai pihak yang sebaliknya. Offeree tidak 16 17 D.G Cracknell, Obligation: Contract Law, Old Balley Press, London, 2003, h. 5.

  Convention on Contracts For The International Sale of Goods (CISG) art. 14 (1), (2) selalu harus berasal dari penjual, jika pembeli menginginkan bentuk penawaran yang lain, maka pembeli dapat mengirimkan tawaran kembali (counter-offer) kepada offeror. Dalam sistem penawaran ini pada akhirnya akan berujung kepada kata sepakat yang ditunjukkan melalui acceptance atau biasa disebut Penerimaan.

  Sedangkan penerimaan (acceptance) diatur dalam Art.18(2) yang berbunyi demikian “An acceptance of an offer becomes effective now the indication

  

of assent reaches the offeror. An acceptance is not effective if the

indication of assent does not reach the offeror within the time he has

fixed or, if no time is fixed, within a reasonable time, due account

being taken of the circumstances of the transaction, including the

rapidity of the means of communication employed by the offeror. An

oral offer must be accepted immediately unless the circumstances

indicate otherwise ”.

  Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli baru dianggap ada manakala ada penawaran yang disampaikan dalam penerimaan yang harus berwujud dalam bentuk tindakan atau perbuatan atau suatu pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran.

  Sementara itu, efektifitasnya suatu penerimaan adalah pada saat penerimaan ini diterima oleh pihak yang mengajukan penawaran, dengan ketentuan bahwa penerimaan penawaran tersebut haruslah sampai dalam jangka waktu yang ditentukan oleh pemberi penawaran atau dalam suatu jangka waktu yang secara umum dianggap patut untuk melakukan penerimaan suatu penawaran untuk jual beli. Terkait dengan frasa “other means of

  instantaneous communication yang tercantum dalam Art. 20(1) secara

  keseluruhan yaitu:

  

“A period of time for acceptance fixed by the offeror in a telegram

or a letter begins to run from the moment the telegram is handed in

  

for dispatch or from the date shown on the letter or, if no such date

is shown, from the date shown on the envelope. A period of time for

acceptance fixed by the offeror by telephone, telex or other means of

instantaneous communication, begins to run from the moment that

the offer reaches the offeree.”

  Penulis berpendapat bahwa penggunaan e-mail dalam sistem penawaran dan penerimaan yang terjadi dalam CISG dapat dikaitkan dengan frasa tersebut. Selain itu, beberapa ahli juga mengemukakan pendapatnya dalam Dalam UNCITRAL

  

Conference "Celebrating Success: 25 Years United Nations Convention on

Contracts for the International Sale of Goods (

  CISG)”, salah satunya ialah Professor Christina Ramberg yang berpendapat bahwa: "Means of instantaneous

  18 communications" includes electronic realtime communication .

  Beranjak dari pendapat tersebut, penulis mengaitkannya dengan sistem penawaran dan penerimaan yang dilakukan melalui e-mail dan telah memaparkan

  thesis bahwa sesungguhnya e-mail relevan dengan

  frasa “instantaneous

  co mmunications” yang tercantum dalam Art.20 (1) CISG, karena e-mail termasuk

  dalam jenis real time communication.

  Electronic mail (e-mail ) merupakan salah satu media yang mulai

  berkembang di abad 20-an dan semakin berkembang pesat seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. E-mail dapat dikatakan sebagai bentuk pengiriman surat kilat yang dapat sampai hanya dalam hitungan detik. Hal ini disebabkan e-mail merupakan surat dalam bentuk elektronik yang penulisan serta pengirimannya dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, laptop maupun gadget dalam bentuk lainnya. Sedangkan surat biasa, pengirimannya dilakukan melalui jalur konvensional yang dapat memakan waktu berhari-hari. 18 CISG-AC Opinion no 1, Electronic Communications under CISG, 15 August 2003.

  Rapporteur: Professor Christina Ramberg, Gothenburg, Sweden

  Terkait dengan sistem e-commerce dan penawaran serta penerimaan yang telah dikemukakan diatas, maka klausul ini dapat dikaitkan dalam Art. 20 yaitu “A

  

period of time for acceptance fixed by the offeror by telephone, telex or other

means of instantaneous communication, begins to run from the moment that the

offer reaches the offeree

  ” Berdasarkan isu hukum mengenai klausul ini, apakah relevan dengan penggunaan e-mail sebagai media bagi terjadinya acceptance? Acceptance dibutuhkan sebagai tanda persetujuan kedua belah pihak yang akan melakukan sebuah kontrak perdagangan internasional. Secara eksplisit, konvensi mengatur bahwa acceptance dapat dilakukan melalui telefon, telegram, maupun alat komunikasi lainnya. Namun, tidak dikemukakakn secara spesifik mengenai penggunaan e-mail sebagai bentuk surat (namun bersifat elektronik) dalam tindakan acceptance. Hal ini dinilai masuk akal, mengingat CISG telah ada hampir 37 tahun hingga saat ini. Sedangkan perkembangan teknologi, maju dengan begitu pesatnya dalam hitungan tahun.

  E-mail merupakan media tulisan yang perbedaannya ialah berbentuk

  dokumen elektronik. Meskipun dalam pengaturan hukum, berbagai dokumen elektronik masih sulit untuk dinilai keakuratan datanya, namun dari sisi efisiensi waktu dan biaya, e-mail merupakan suatu terbaik yang dapat mempermudah proses transaksi di era modern ini. Dewasa ini, telah banyak Negara yang menyesuaikan aturan hukumnya dengan perkembangan dunia komunikasi, tak terkecuali Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan di atas, penulis berpendapat sesungguhnya penggunaan e-mail dapat diartikan sebagai bagian dari klausul

  

other means of instantaneous communication karena e-mail juga merupakan bagian dari tulisan, hanya saja berbentuk elektronik. Pendapat penulis juga diperkuat dengan sebuah jurnal yang mengatakan bahwa “The CISG itself provides a flexible framework of provisions for the

  

conclusion of contracts by any form of communication and can be

interpreted, without resorting to farfetched explanations, to include

classic forms of communication as well as electronic media. It can

therefore be assumed that the CISG will be able to adapt to future

  19 changes just as well.” B.

   Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan isu hukum sebagai rumusan masalah yaitu: apa implikasi yuridis penggunaan internet dalam offer

  

and acceptance yang diatur oleh Convention on Contracts for the International

Sale of Goods (CISG)? C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemaknaan secara komprehensif mengenai klausula

  other means of instantaneous communication”

  yang diatur dalam CISG sehingga memperjelas kedudukan e-mail dan surat elektronik lainnya melalui sarana internet dalam offer and acceptance.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dapat memperjelas norma yang terdapat dalam CISG mengenai penggunaan instantaneous

  communication dalam hal offer and acceptance.

19 Wolfgang Hankamper, Acceptance of An Offer in Light of Electronic Communications, h. 151.

E. Metode Penelitian

  Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, digunakan motode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

  20

  meneliti data sekunder dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan. Selain meneliti literatur di bidang hukum Jual-beli barang internasional, penelitian juga dilakukan pada berbagai instrumen internasional, baik yang bersifat soft law maupun hard law di bidang tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menelusuri, menemukan, mengkaji dan menganalisa data sekunder untuk menemukan asas-asas hukum dan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam teori dan praktik perkembangan hukum perdagangan internasional, dan secara khusus mengkaji konsep Jual-beli barang internasional di dalam CISG.

  Dalam melakukan penelitian dan penulisan hukum ini penulis berfokus pada

  21

  pendekatan konseptual (conseptual approach) . Kajian dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti buku- buku, jurnal-jurnal internasional khususnya terkait CISG, internet, kamus serta segala sesuatu yang masih berkaitan erat dengan topik ini. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach) dengan kajian berbagai konvensi atau perjanjian internasional yang berlaku dalam jual-beli internasional terkait dengan internet dan CISG, diantaranya adalah

  

. Dengan demikian, peelitian ini juga melakukan

  20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 12. 21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, h. 60. metode analisis kualitatif yaitu dengan melakukan penemuan hukum datau analisis hukum melalui bahan kepustakaan.

F. Batasan Masalah

  Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus dan menadalam, maka penulis memandang permaslaahan penelitian yang diangkat perlu dibatasi. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian dalam hal implikasi penggunaan internet di dalam CISG. Implikasi yang dimaksud disini adalah bagaimana penggunaan internet dalam hal offer and acceptance yang diatur oleh CISG dapat diterapkan dalam praktik kegiatan jual-beli barang internasional.

Dokumen yang terkait

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Hak Guna Usaha Dalam Undang-Undang Pokok Agraria - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 68

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pie

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 2 39