Ide Pemilu masih Minim Anggaran
Ide Pemilu Minim Anggaran
Oleh: Muhammad Zulifan
16 Trilyun untuk dana Pemilu 2014 . Fantastis! Jumlah 16 Trilyun itu jika ditulis dengan angka
adalah 16 dengan 12 nol di belakangnya (16.000.000.000.000). Jika dijadikan dalam pecahan
uang sepuluh ribuan (Rp.10.000), maka akan ada 1,6 Milyard lembar uang kertas. Jika panjang
uang kertas 10.000 itu adalah 14 cm, maka 1.600.000.000 x 14 cm =22.400.000.000 cm =
224.000 km. Bila uang tersebut di-jejer maka akan sangat melebihi panjang Sabang-Merauke
yang hanya 5.236 km saja. Bahkan dapat melingkari bumi berulang-ulang karena panjang
keliling bumi hanya 40.073 km. Sungguh luar biasa banyaknya.
Jika harga untuk membangun 1 sekolah itu 1 M (misalnya), maka dengan jumlah itu kita bisa
bangun 16.000 sekolah baru dengannya. Alangkah besar ongkos demokrasi di negeri kita. Ini
belum termasuk biaya yang dikeluarkan tiap caleg untuk kampanye mereka. Sudah pasti nilainya
akan berlipat.
Pertanyaan kini adalah apakah sebenarnya kita dapat menyelenggarakan seremonial suksesi
kepemimpinan di Republik ini tanpa biaya yang mahal? Tentu bisa. Masalahnya adalah kemauan
kita untuk mengubah system pemilihan. Berikut alternatif sistem pemilu Indonesia yg minim
anggaran:
Rumus:
5 wakil RT untuk > Kelurahan 5 wakil untuk > Kecamatan 5 wakil untuk > Kabupaten
10 wakil untuk > Provinsi 10 wakil untuk > Nasional => 330 anggota DPR RI.
Satu orang satu kali memilih di tingkat RT.
Adapun langkah pemilihannya sebagai berikut:
Tahap Pertama, satu RT dipilih 5 perwakilan. Partai-partai Politik menyediakan Daftar Calon
Perwakilan mereka. Misal satu RT ada 500 pemilih, maka satu Calon Perwakilan bernilai 100
suara. Terpilihlah 5 Perwakilan RT.
Tahap Kedua, 5 Perwakilan RT berhak memilih Lurah. Misal 1 kelurahan ada 10 RT, jadi ada 5
orang ×10 = 50 orang perwakilan.
Tahap Ketiga, 50 wakil itu memilih 1 Lurah dengan system musyawarah/voting. Maka akan
dihasilkan 1 orang Lurah representasi pilihan rakyat dan 50 orang anggota Dewan Kelurahan
yang mewakili berbagai golongan di masyarakat.
Tahap Keempat, 50 anggota Dewan Kelurahan memilih 5 orang untuk dikirim menjadi
perwakilan kelurahan di kecamatan. Misal 1 kecamatan ada 10 kelurahan= 5 orang ×10= 50
orang perwakilan tingkat kecamatan.
Tahap Kelima, 50 orang perwakilan kecamatan memilih 1 Camat (eksekutif) dan 10 orang
sebagai perwakilan tingkat daerah (anggota legislatif DPRD II). Misal ada 10 kecamatan: 10
orang x 10 = 100 anggota DPRD II terpilih.
Tahap Keenam, 100 Aleg DPRD II memilih 1 pasang Bupati/Walikota dan Wakil (eksekutif)
dan 5 aleg DPRD Provinsi (legislatif). Jadi, 100-5 = tinggal 95 DPRD dan selebihnya 5 orang
dikirim ke tingkat provinsi. Misal dalam 1 provinsi ada 20 Kabupaten/Kota: 5 orang×20: 100
anggota dewan (DPRD provinsi).
Tahap Ketujuh, 100 anggota Dewan Provinsi memilih 1 gubernur serta 10 angota Dewan yang
akan dikirim ke DPR RI. Jadi, tinggal 90 anggota DPRD provinsi plus 10 orang yang dikirim
menjadi aleg DPR RI (Pusat). Misal: Ada 33 provinsi= 10 orang ×33= 330 anggota DPR RI
terpilih. Selanjutnya Pasangan Presiden dan Wakil dipilih oleh 330 orang anggota DPR RI.
Melihat jumlah korban kerusuhan sebagai ekses system pemilihan langsung Kepala Daerah
ternyata cukup signifikan, maka wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD perlu
dipertimbangkan kembali. Khusus Pilpres, faktor pentingnya nilai legitimasi dapat menjadi
pertimbangan untuk melaksanakannya secara langsung.
Alternatif pemilihan ini mempunyai kelebihan sebagai berikut:
1. Sangat murah dibandingkan Pemilu langsung seperti selama ini. Biaya logistik, biaya
distribusi surat suara, dan biaya keamanan yang anggarannya mencapai Trilyunan rupiah
dapat diminimalisasi.
2. Memudahkan kerja KPU, lebih banyak bertindak sebagai administrasi Pemilu.
3. Meminimalisasi modus money politik di masyarakat
4. Pertarungan partai politik ada di level RT. Mereduksi bising kampanye di Media lokal
maupun Nasional.
5. Partai Politik bisa mengakar, bukan sekedar jualan citra karena pemilih melihat dan
merasakan langsung kerja mereka di lapangan berbasis RT.
Oleh: Muhammad Zulifan
16 Trilyun untuk dana Pemilu 2014 . Fantastis! Jumlah 16 Trilyun itu jika ditulis dengan angka
adalah 16 dengan 12 nol di belakangnya (16.000.000.000.000). Jika dijadikan dalam pecahan
uang sepuluh ribuan (Rp.10.000), maka akan ada 1,6 Milyard lembar uang kertas. Jika panjang
uang kertas 10.000 itu adalah 14 cm, maka 1.600.000.000 x 14 cm =22.400.000.000 cm =
224.000 km. Bila uang tersebut di-jejer maka akan sangat melebihi panjang Sabang-Merauke
yang hanya 5.236 km saja. Bahkan dapat melingkari bumi berulang-ulang karena panjang
keliling bumi hanya 40.073 km. Sungguh luar biasa banyaknya.
Jika harga untuk membangun 1 sekolah itu 1 M (misalnya), maka dengan jumlah itu kita bisa
bangun 16.000 sekolah baru dengannya. Alangkah besar ongkos demokrasi di negeri kita. Ini
belum termasuk biaya yang dikeluarkan tiap caleg untuk kampanye mereka. Sudah pasti nilainya
akan berlipat.
Pertanyaan kini adalah apakah sebenarnya kita dapat menyelenggarakan seremonial suksesi
kepemimpinan di Republik ini tanpa biaya yang mahal? Tentu bisa. Masalahnya adalah kemauan
kita untuk mengubah system pemilihan. Berikut alternatif sistem pemilu Indonesia yg minim
anggaran:
Rumus:
5 wakil RT untuk > Kelurahan 5 wakil untuk > Kecamatan 5 wakil untuk > Kabupaten
10 wakil untuk > Provinsi 10 wakil untuk > Nasional => 330 anggota DPR RI.
Satu orang satu kali memilih di tingkat RT.
Adapun langkah pemilihannya sebagai berikut:
Tahap Pertama, satu RT dipilih 5 perwakilan. Partai-partai Politik menyediakan Daftar Calon
Perwakilan mereka. Misal satu RT ada 500 pemilih, maka satu Calon Perwakilan bernilai 100
suara. Terpilihlah 5 Perwakilan RT.
Tahap Kedua, 5 Perwakilan RT berhak memilih Lurah. Misal 1 kelurahan ada 10 RT, jadi ada 5
orang ×10 = 50 orang perwakilan.
Tahap Ketiga, 50 wakil itu memilih 1 Lurah dengan system musyawarah/voting. Maka akan
dihasilkan 1 orang Lurah representasi pilihan rakyat dan 50 orang anggota Dewan Kelurahan
yang mewakili berbagai golongan di masyarakat.
Tahap Keempat, 50 anggota Dewan Kelurahan memilih 5 orang untuk dikirim menjadi
perwakilan kelurahan di kecamatan. Misal 1 kecamatan ada 10 kelurahan= 5 orang ×10= 50
orang perwakilan tingkat kecamatan.
Tahap Kelima, 50 orang perwakilan kecamatan memilih 1 Camat (eksekutif) dan 10 orang
sebagai perwakilan tingkat daerah (anggota legislatif DPRD II). Misal ada 10 kecamatan: 10
orang x 10 = 100 anggota DPRD II terpilih.
Tahap Keenam, 100 Aleg DPRD II memilih 1 pasang Bupati/Walikota dan Wakil (eksekutif)
dan 5 aleg DPRD Provinsi (legislatif). Jadi, 100-5 = tinggal 95 DPRD dan selebihnya 5 orang
dikirim ke tingkat provinsi. Misal dalam 1 provinsi ada 20 Kabupaten/Kota: 5 orang×20: 100
anggota dewan (DPRD provinsi).
Tahap Ketujuh, 100 anggota Dewan Provinsi memilih 1 gubernur serta 10 angota Dewan yang
akan dikirim ke DPR RI. Jadi, tinggal 90 anggota DPRD provinsi plus 10 orang yang dikirim
menjadi aleg DPR RI (Pusat). Misal: Ada 33 provinsi= 10 orang ×33= 330 anggota DPR RI
terpilih. Selanjutnya Pasangan Presiden dan Wakil dipilih oleh 330 orang anggota DPR RI.
Melihat jumlah korban kerusuhan sebagai ekses system pemilihan langsung Kepala Daerah
ternyata cukup signifikan, maka wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD perlu
dipertimbangkan kembali. Khusus Pilpres, faktor pentingnya nilai legitimasi dapat menjadi
pertimbangan untuk melaksanakannya secara langsung.
Alternatif pemilihan ini mempunyai kelebihan sebagai berikut:
1. Sangat murah dibandingkan Pemilu langsung seperti selama ini. Biaya logistik, biaya
distribusi surat suara, dan biaya keamanan yang anggarannya mencapai Trilyunan rupiah
dapat diminimalisasi.
2. Memudahkan kerja KPU, lebih banyak bertindak sebagai administrasi Pemilu.
3. Meminimalisasi modus money politik di masyarakat
4. Pertarungan partai politik ada di level RT. Mereduksi bising kampanye di Media lokal
maupun Nasional.
5. Partai Politik bisa mengakar, bukan sekedar jualan citra karena pemilih melihat dan
merasakan langsung kerja mereka di lapangan berbasis RT.