Ketidakjelasan keududukan TAP MPR oleh p

Makalah Hukum Tata Negara III
Eksistensi TAP MPR Pasca Berlakunya UU No. 12 Tahun 2011

Disusun Oleh

: Fikra Abdul Razaq F (1133.006.021)

Fakultas Hukum
Universitas Krisnadwipayana
2012

Daftar Isi

Daftar Isi

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

Bab 1 : Pendahuluan
A. Latar Belakang

......................................... 1


B. Pokok Masalah

.........................................4

Bab II : Pembahasan

......................................... 5

Bab III : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sekitar 7 tahun yang lalu pembentuk Undang-undang (DPR dan Pemerintah) mengeluarkan
atau tidak memasukan Tap MPR sebagai salah satu jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang –
undangan di Indonesia dan hal itu sebagai mana tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 12 tahun 2011. Dikeluarkannya atau tidak memasukan Tap MPR sebagai salah satu
jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang – undangan tersebut tidak banyak diperdebatkan
meskipun sangat esensial bagi tertip dan kehidupan hukum di Indonesia.
Soal tata susunan ( Hierarkies ) norma hukum sangat berpengaruh pada kehidupan hukum
suatu negara. Susunan norma hukum dari negara manapun juga termasuk Indonesia selalu
berlapis–lapis atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai
Konstitusi, maka sekaligus terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia.
Dalam kaitannya dengan sistem norma hukum di Indonesia itu, maka Tap MPR
merupakan salah satu norma hukum yang secara hierarkis kedudukannya dibawah UUD 1945.
Meskipun secara Hierarkis Tap MPR kedudukannya dibawah UUD 1945, namun Tap MPR
selain masih bersifat umum secara garis besar dan belum diletakan oleh sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa. Kemudian baik UUD maupun Tap MPR dibuat atau ditetapkan oleh lembaga
yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MPR setingkat lebih rendah dari
UUD 1945 pada dasarnya bisa dipahami dengan mengedepankan fungsi – fungsi yang dimiliki
MPR.

Dalam konteksnya dengan sistem norma hukum di indonesia tersebut, berdasarkan Tap
MPRS No.XX/MPRS/1966 dalam lampiran II-nya tentang tata urutan Peraturan Perundang –
undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Kepres
6. Permen, dll

Demikian pula halnya setelah reformasi dan setelah UUD 1945, Tap MPR tetap
ditempatkan sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan yang kedudukannya
dibawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis Peraturan Perundang – undangan. Hal
ini sebagai mana ditungangkan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang menyebutkan tata
urutan peraturan perundang – undangan sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Perpres

6. Perda
Dari kedua Tap MPR tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan Peraturan Perundang –
undangan Tap MPR tetap dipandang sebagai suatu Peraturan Perundang – undangan yang
penting. Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis
dan tata urutan Peraturan Perundang – undangan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004. Dalam hubungan ini, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan
Peraturan Perudang – undangan sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. UU/Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda
Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundangundangan dalam tata urutan peraturan perundang – undangan. Dari sisi yuridis kebijakan dari
pembentuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan
dengan prinsip – prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang
berkedudukan lebih tinggi dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti
pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut seperti mengabaikan
keberadaan Tap MPR Nomor III/MPR/2000, dimana dalam konsideran Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004 tidak disebut – sebut Tap MPR Nomor III/MPR/2000 sebagai salah

satu dasar dari pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam
penjelasan disebutkan bahwa pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu guna
memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum
tertip hukum.
Disisi lain,apa yang terjadi pada pembentukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai mana
telah ditetapkan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000

jelas memperlihatkan ketidak

konsistenan pembentukan Undang-undang dalam membentuk suatu Undang-undang dengan
memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu Peraturan Perundang –
undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari Undang-undang.
Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata urutan Peraturan Perundang –
undangan sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu akhirnya disadari
pembentuk Undang-undang. Hal itu ditandai dengan di undangkannya Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memasukkannya
kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan. Meskipun

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam
konsederan adanya kekurangan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, namun
sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap
MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan Peraturan Perundang – undangan. Dalam
hubungan ini Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan Peraturan
Perundang – undangan sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perppu
4. PP
5. Perpres
6. Perda provinsi
7. Perda kabupaten/kota
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan
hukum Peraturan Perundang – undangan sesuai dengan Hierarkie. Artinya ketentuan ini
memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai Peraturan Perundang – undangan yang

kekuatan hukumnya lebih kuat dari Undang-undang. Tetapi disisi lain, dengan dipecahnya
kedudukan Peraturan daerah yang tadinya dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 hanya

disebut Perda saja tanpa membedakan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Dengan
dipecahnya Perda menjadi Perda Provinsi dan dibawahnya Perda Kabupaten/ Kota, maka
tentu keberadaan Perda Kabupaten/ Kota lebih rendah kedudukannya dari Perda Provinsi dan
sekaligus mengandung makna Perda Kabupaten/ Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda
Provinsi. Sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan sejalan dengan tp
MPR Nomor III/MPR/2000 kedudukan Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/ Kota berada
dalam satu kotak dan tidak Hierarkis, maka secara tidak langsung terkait dengan persoalan
regulasi dalam implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah sendiri dan
akan kita bahas dalam kesempatan lain.
Kembali ke soal 1 Tap MPR yang sudah dimasukan kembali kedalam tata urutan
Peraturan Perundang – undangan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Suatu hal
yang baru dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah adanya Peraturan lain selain
dari jenis dan Hierarkie Peraturan Perundang – undangan yang sudah disebutkan. Peraturan
lain tersebut yakni mencakup Peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI,
Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU, DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa, atau Setingkat. Kedudukan
dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentukan lembaga – lembaga/ instansi tersebut
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.

Memahami Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis
Pembentukan Peraturan perundang – undangan di Indonesia dibawah Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan
Perundang – undangan di Indonesia dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan
konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal itu sejalan dengan apa yang
disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, bahwa materi Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multitafsir sehingga tidak
memberikan suatu kepastian hukum. Tetapi sekali lagi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
dalam menjelaskan penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu
disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan

dan Hierarkienya diletakkan dibawah UUD 1945. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru,
melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000
sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan yang
kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai
salah satu jenis Peraturan Perundang – undangan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan
pembentuk Undang-undang dalam menyusun dan membentuk Undang-undang sebelumnya
yang digantikan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011:
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan merupakan
pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
Undang – Undang diatur lebih lanjut dengan Undang – Undang.” Namun, ruang lingkup
materi muatan Undang – Undang ini diperluas tidak saja Undang – Undang tetapi mencakup
pula Peraturan Perundang – undangan lainnya, selain Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Undang – undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan
pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala
aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain:
a. Materi dari Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan

kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan
hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang – undangan; dan

d. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang – Undang sebelumnya, terdapat materi muatan
baru yang ditambahkan dalam Undang – Undang ini, yaitu antara lain:
a. Penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang – undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang–undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang – undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Perundang–undangan lainnya;
c. Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang–undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–undang;
d. Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang–undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/ Kota;

e. Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang – undangan, peneliti,
dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan; dan
f. Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang–undang ini.

Selain dari kalangan pembentuk Undang-undang ada juga yang berpendapat tentang
Kedudukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang mengundang
kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly
Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan Tap MPR di atas Undang-undang adalah
keliru. Menurutnya, Tap MPR seharusnya sederajat dengan Undang-undang sehingga bisa
dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.

Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan
Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya Tap MPR ke dalam
hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu Tap MPR sudah
dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang – undangan.

Mengenai kedudukan Tap MPR Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah amandemen UUD 1945 terjadi
perubahan mendasar atas kedudukan MPR. MPR, menurutnya, tidak lagi sebagai lembaga

negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang rakyat, maka Presiden bukan lagi
sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada lagi Tap yang
memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat ketetapan
yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking.

Maka berdasarkan uraian dan penjelasan diatas tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang lebih mendalam mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang
secara khusus membahas tentang kedudukan Tap MPR dalam Hierari Perundang – undangan
dan eksistensi kembalinya Tap MPR dalam Undang-undnang Nomor 12 Tahun 2011.

B. POKOK PERMASALAHAN

1. Masih perlukah Tap MPR masuk dalam hierarki peraturan perundang – undangan yang
telah dibentuk, dan dimana letak Tap MPR dalam Hirearki ?

2. Siapakah yang dapat menguji Tap MPR ini jika bertentangan dengan UUD 1945 ?
Kerangka teoretis :
Definisi pokok yang disampaikan dalam pembahasan topik ini, tidak disampaikan seluruhnya.
Akan tetapi, dirumuskan esensi terpenting yang ada dalam pembahasan sebagaimana berikut
ni.
1. Hukum ( menurut J.T.C Simorangir S.H ) adalah peraturan – peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan – peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum.

2. Hukum Tata Negara ( menurut A.V. Dicey ) adalah semua aturan yang secara langsung
atau tak langsung mempengaruhi pembagian dan penyelenggaraan kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara.

3. Peraturan Perundang – undangan ( menurut pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 ) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang – undangan.

4. Asas keadilan ( menurut Aristoteles ) adalah ada 2 jenis asas keadilan. Asas keadilan
distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap–tiap orang menurut hak dan
kewajibannya, sedangkan Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada
setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat kewajiban perseorangan.

Kerangka Konseptual :
Undang-Undang Dasar 1945
Dalam aturan tambahan menyebutkan :
Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dan ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang majelis permusyawaratan rakyat
tahun 2003.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pembentukan Peraturan Perundang – undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang –
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan.

2. Peraturan Perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh negara atau pejabat yang
berwenang melalui lembaga prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang –
undangan.

3. Undang – Undang adalah Peraturan Perundang–undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang adalah Peraturan Perundang – undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang–Undang sebagaimana mestinya.

6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang–undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang–undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

8. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/ Walikota.

9. Tap MPR ( penjelasan pasal 7 (1) huruf b UU No.12 Tahun 2011 ) adalah yang dimaksud
dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Kesimpulan 1
Menurut pendapat kelompok kami, TAP MPR masih sangat di perlukan, tapi sebatas ketetapan
MPR yang bersifat beshicking. kedudukan TAP MPR tidak sederajat dengan Undangundang,TAP MPR setingkat lebih tinggi dari kedudukan Undang-undang akan tetapi setingkat
lebih rendah dari UUD 1945. Namun,Tap MPR masih sangat di perlukan,mengingat Semangat
tersebut dititipkan rakyat melalui TAP-TAP MPR ini, Karena TAP-TAP MPR ini dibuat
berdasarkan pesan-pesan publik, misalnya tidak ada lagi KKN, harus membangun ekonomi

yang berdasarkan kesejahteraan rakyat dan TAP MPR soal pendidikan. Sekarang problemnya
ketika ada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengeluarkan TAP MPR dari hirarkis
perundang-undangan kita, sehingga TAP MPR tidak dilihat lagi. Tapi patut kita syukuri
bahwa tahun 2011 lalu ada dikoreksi dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, ternyata
bangsa ini masih membutuhkan TAP-TAP tersebut, kita masih membutuhan semangat
reformasi melalui TAP MPR, karena banyak elemen masyarakat yang menilai bahwa
reformasi kita ini salah kaprah, kebablasan .
b. Letak keberadaan Tap MPR menurut pandapat kelompok kami sudah seharusnya setingkat
lebih rendah di bawah UUD 1945 dan setingkat lebih tinggi dari Undang-undang. Karena
dalam sejarah TAP MPR sendiri, ada TAP MPR yang lahir berdasarkan pesan-pesan public, ,
misalnya tidak ada lagi KKN, harus membangun ekonomi yang berdasarkan kesejahteraan
rakyat dan TAP MPR soal pendidikan.
Kesimpulan 2
Setelah Perubahan UUD 1945, Praktek konvensi ketatanegaraan sebagai dasar keberadaan
TAP MPR juga tidak lagi dapat di terima. Sebab secara tersirat UUD 1945 juga mengatur
perundang-undangan yang langsung berada di bawah UUD adalah Undang-undang. Tentunya,
alasan konvensi ketatanegaraan tidak dapat menyampingkan norma yang secara tegas ada
dalam konstitusi. Memperkuat argument di atas, rumusan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 mengisyaratkan TAP MPR tidak lagi menjadi Peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 24 C ayat (1) dinyatakan, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Rumusan tersebut mengandung
dua makna. Pertama, karena yang diuji oleh UUD itu adalah undang-undang, maka dapat
dipastikan tidak ada jenis peraturan perundang-undangan yang mengantarai UU dengan UUD.
Kedua, rumusan tersebut juga berarti, tidak ada peraturan yang lebih tinggi di bawah UUD
selain Undang-Undang. Dengan demikian, jika dalam praktik atau dalam aturan undangundang terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari undang-undang selain
UUD, maka dapat dikatakan bertentangan dengan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Secara
konstitusional, ketentuan pasal I aturan tambahan Undang-Undang Dasar 1945 mengatur
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi
dan status hukum ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dan ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang majelis permusyawaratan rakyat

tahun 2003. Oleh karena itu, mandat pasal I aturan tambahan tersebut akan otomatis menjadi
dasar hukum bagi TAP MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR Nomor
I/MPR/2003. Jadi dasar pemberlakuan TAP MPR yang dinilai masih berlaku adalah TAP MPR
itu sendiri, bukan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah TAP MPR.
Kedua, bila alasan dimasukannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
adalah karena masih banyaknya TAP MPR yang berlaku,lalu dengan memasukannya ke dalam
hierarki akan mengesahkan keberadaanya pada tingkat hierarki di bawah UUD dan di atas
undang-undang, maka pemahaman yang muncul adalah undang-undang-lah yang mejadi dasar
hukum keberadaan TAP MPR yang masih eksis, Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan TAP MPR. Secara
hukum tentunya hal ini tidak logis. Bagaimana mungkin produk hukum yang lebih rendah
menjadi dasar hukum pemberlakuan produk hukum yang hierarkinya lebih tinggi ? bukankan
secara teori, hukum yang lebih tinggi yang semestinya menjadi landasan atau sumber bagi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12/2011 Tap MPR dimasukkan
kembali kedalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tap MPR yang ada pada saat ini
menurut pasal 2 Tap MPR 2003 ada terdapat beberapa Tap MPR yang masih berlaku dari
jumlah Tap MPR yang berkisar antara 139 Tap. Dan Tap MPR yang masih berlaku tersebut
adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dan Ketetapan Majelis Permusyawararan Rakyat
Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sifat
dari ketiga Tap MPR tersebut bersifat besichking (pengaturannya internal).2)
Mengenai tentang wewenang MK menguji ketetapan yang telah dibentuk oleh MPR (Tap
MPR) dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam
pasal 10 ayat (1) terdapat kewenangan MK yang disebutkan dalam poin a-d. Dan tidak terdapat
satu poin pun yang menyatakan bahwasanya MK berhak menguji Tap MPR. Namun kami akan
memberikan sebuah penawaran dimana apabila Tap MPR tetap ada dalam hirearki peraturan
perundang-undangan maka akan terdapat recht vacuum (kekosongan hukum) apabila suatu saat
Tap MPR yang ada bertentangan dengan Konstitusi. Penawaran yang kami maksudkan adalah
dengan menjudicial review TAP MPR oleh lembaga yang membuatnya yaitu MPR itu sendiri
dan selesai sudah polemik yang ada mengenai keberadaan Tap MPR dalam hirearki peraturan

perundangan.Tap MPR menurut Prof. Dr Harun Al-Rasyid mempunyai dua fungsi yakni
fungsi regelling dan besichking. Namun mengingat dari konstitusi kita yang telah merubah
MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara maka tidak dimungkinkannya lagi suatu Tap
MPR yang mempunyai sifat regelling, sehingga Tap MPR yang berlaku untuk sekarang ini
adalah bersifat besichking saja

Saran
Tap MPR harus selalu ada. Mengingat, kebutuhan bangsa Indonesia yang memerlukan Tap
MPR dalam hal Besicking. UUD 1945 harus di amandement, mengingat dalam pasal 24 C ayat
(1) dinyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar”.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Sorjono Soekanto,2008.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta:UI PRESS.
Van Apeldoorn,2009.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:PT.Pradnya Paramita.

Sumber Hukum :

UUD 1945
Risalah UU No.12 Tahun 2011.
UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( pengganti UU
No.10 Tahun 2004 ).
UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sumber Kamus :

J.C.T Simorangkir,S.H.1971.Kamus Hukum.Jakarta:Aksara Baru.

Sumber Internet :

Hukum Online.com
file:///F:/tap-mpr-kembali-masuk-dalam-tata-urutan.html
http://scribd.com/doc/37410897/Eksistensi-TapMPR-Dalam-Hierarkie-Perundangan

II

Dokumen yang terkait

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

VIDEO KLIP SEBAGAI INTERPRETASI LIRIK LAGU (Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Selamat Tinggal Gelap’ yang dinyanyikan oleh Sweeter Band)

1 24 2

THE HYBRID IDENTITY ON LEILA IN CARYL PHILLIPS’ THE FINAL PASSAGE (Identitas percampuran pada Leila di Novel The Final Passage oleh Caryl Phillips)

0 17 4

I M P L E M E N T A S I P R O G R A M P E N Y A L U R A N B E R A S U N T U K K E L U A R G A M I S K I N ( R A S K I N ) D A L A M U P A Y A M E N I N G K A T K A N K E S E J A H T E R A A N M A S Y A R A K A T M I S K I N ( S t u d i D e s k r i p t i f

0 15 18

Pelanggaran Hak anak jalanan oleh orang tua dalam perspektif undang-undang perlindungan anak dan hukum islam

2 31 89

Penguasaan konsep oleh siswa melalui metode problem solving pada konsep sistem respirasi (eksperimen di MTS Negeri Cipondoh Tangerang)

1 53 182

Tingkat kepuasan nasabah terhadap pembiayaan syariah oleh PT. BPRS al-Salaam Cabang Depok

2 27 101

Analisis posisi produk (product postioning oleh konsumen minuman teh hijau dalam kemasan siap minum merek Joy Tea : studi kasus pelajar Sekolah Menengah Atas di Jakarta Utara

2 61 113

Pengaruh Komunikasi Pemasaran oleh Wiraniaga Melalui Personal Selling Terhadap Kepuasan Konsumen di Barkah Meubel Cimahi

0 22 2

Tahapan Komunikasi Terapeutik Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar (Suatu Studi Deskriptif tentang Penyembuhan Jiwa Pasien Melalui Tahapan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat)

5 107 139