kajian viktimologi perlindungan korban k

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
Pasal tersebut berarti menegaskan bahwa hal terpenting bagi negara hukum
adalah adanya komitmen dan penghargaan untuk menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia serta adanya jaminan semua warga negara bersamaan
kedudukannya di depan hukum.1 Dalam proses penegakan hukum (law
enforcement) khususnya dalam peradilan pidana bertumpu pada hukum pidana
dalam KUHP dan hukum acara pidana dalam KUHAP. Jika terjadi tuatu tindak
pidana, maka terhaadap pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan dengan
memberikan sanksi pidana yang dilakukan oleh organ-organ negara yang
memiliki hak dan kewenangan terhadap hal tersebut.
Setiap perbuatan pidana pada dasarnya pasti terdapat pelaku dan korban.
Pengertian korban berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sesorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dalam suatu peradilan pidana, pihak
korban diwakilkan oleh penuntut umum dan untuk menguatkan pembuktian,
lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi (korban). Namun seringkali
penuntut umum tidak merasa mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai
dengan kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban
diabaikan.2 KUHAP yang berlaku di Indonesia, sebagai hukum pidana formil,
terlalu

besar

memberikan

hak

kepada

pelaku

atau


tersangka

tanpa

memperhatikan hak-hak korban. Oleh karena itu viktimologi hadir untuk
memberikan perhatian lebih utamanya bagi perumus kebijakan.
1

2

Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 1
Bambang Waluyo, Op.cit, hlm. 8

1

Proses pembangunan di Indonesia yang terus berjalan membawa berbagai
dampak baik dampak positif dan negatif yang secara langsung dirasakan oleh
masyarakat. Pembangunan nasional yang seringkal tidak mengarah pada tujuan
negara Indonesia yang termakktub dalam alenia keempat pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan angka

kemiskinan tidak mengalami perubahan. Kemiskinan adalah akar dari sebuah
masalah. Miskin harta menyebabkan beberapa orang tidak dapat menikmati
pendidikan yang berkualitas tidak mampu mendapatkan pelayan kesehatan yang
memadai. Hal terburuknya adalah miskinnya harkat dan martabat serta moralitas
sebagai manusia sehingga masalah-masalah sosial dengan mudah muncul dan
menimbulkan keresahan. Kemiskinan sepertinya berkorelasi positif dengan
kejahatan dan tindak kriminalitas seperti pembunuhan, perampokan, dan juga
pemerkosaan.3
Sepanjang tahun 2013 kasus perkosaan di Indonesia terus melonjak hingga
25 kasus dengan jumlah korban mencapai 29 orang dan jumlah pelaku 45 orang.4
Kejahatan perkosaan dimuat dalam Pasal 285 KUHP yang rumusannya sebagai
berikut:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.”
Perempuan sangat rentan menjadi korban kejahatan. Dalam lingkungan
pekerjaannya pun, perempuan berpeluang menjadi korban kejahatan akibat
ketidaksetaraan gender dengan laki-laki. Dominasi patriarku yang meletakkan
kaum perempuan sebagai subordinasi laki-laki adalah faktor utama berbagai

kasus pemerkosaan, bukan ketimpangan ekonomi maupun demografi yangs
ebenarnya tidak berperan benyak dalam maraknya kejahatan terhadap kesusilaan
ini.5 Representasasi sistem patriarki tersebut kemudian mengakar secara turun
temurun dari generasi ke generasi hingga mempengaruhi pembagian peran di
3

http://www.sapa.or.id/f2/1691-kemiskinan-dapat-menyebabkan-kejahatan, 27 Oktober 2014
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/01/28/ipw-sepanjang-januari-2013-pemerkosaan
mencapai-25-kasus, 27 Oktober 2014
5
Renaldi Sofwan dan Erna Karim, Pemerkosaan: Dominasi Pria terhadap Wanita,
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140910100910-114-2897/pemerkosaan-dominasipria-terhadap-wanita/, 27 Oktober 2014
4

2

masayarakat, seperti misalnya peranan perempuan di ranah publik yang masih
sedikit. Selain itu laki-laki selalu dianggap sebagai kaum yang kuat, sedangkan
perempuan sebagai kaum yang lemah yang harus selalu berlaku feminim dan
lemah lembut. Pola pikir demikian menjadikan perempuan seakan tidak memiliki

kekuatan untuk melawan ketika harus berhadapan dengan laki-laki.
Ketika di dalam pemikiran sosial perempuan dianggap lebih rendah
kedudukannya, maka timbullah rasa kekuasaa lakilaki terhadap perempuan,
dengan alasan yang tersebutlah maka pemerkosaan dapat dengan mudahnya
terjadi pada kaum perempuan karena kaum laki-laki merasa berkuasa terhadap
kaum yang tidak memiliki aksesibilitas atau kemampuan untuk melakukan
pembelaan diri.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat dari 93.960
kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual dengan perkosaan menempati
jumlah terbanyak yakni 4.845 kasus sepanjang tahun 1998 hingga 2011.6 Kasus
perkosaan selalu menjadi momok sendiri bagi si korban karena ketidakberanian
korban untuk melaporkan kejadiantersebut karena ketidakberanian korban untuk
melaporkan kepada polisi atau pihak yang berwenang. Hal semacam itu
membuat proses penegakan hukum pidana di Indonesia menjadi terganjal karena
pihak korban merupakan saksi kunci dalam kejahatan perkosaan. Kasus yang
baru saja terjadi misalnya di Sukoharjo Solo, Raja Solo diduga melakukan tindak
pidana pemerkosaan kepada seorang siswi SMK pada bulan Maret 2014.
Berdasarkan assesment yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) didapati korban mengalami depresi akibat tindak perkosaan yang
dialaminya. Keadaan tersebut berpotensi tidak bisanya korban untuk memberikan

kesaksian di hadapan penyidik di kepolisian.7 LPSK dalam kasus perkosaan yang
dilakukan oleh raja Solo tersebut melakukan pendampingan dan melakukan
pemulihan secara medis kepada korban karena korban terjangkit penyakit
menular akibat perbuatan yang dilakukan oleh tersangka.
6

Khaerudin,
Perkosaan
Kekerasan
terbanyak
di
Indonesia,
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/24/21344444/Perkosaan.Kekerasan.Seksual.Terbanyak.d
i.Indonesia, 27 Oktober 2014
7
Pers Release Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 51/PR/LPSK/X/2014, LPSK
Bantu Pulihkan Psikologis Korban Dugaan Perkosaan Raja Solo, http://lpsk.go.id, 27 Oktober
2014

3


Kasus lain juga terjadi pada bulan Mei 2014, seorang siswi Sekolah
Menengah Pertama di daerah Bogor diperkosa dengan cara digilir oleh empat
orang pria selepas korban mengikuti ujian nasional.8 Karena ketakutan dan rasa
malu, korban pun tidak segera melaporkan kejadian tersebut sehingga proses
penyidikan dan peradilan terhadap tersangka tidak segera tertangani. Selain itu,
sinonim dengan korban-korban perkosaan pada umumnya, korban juga
menaglami guncangan jiwa yang cukup berat akibat perbuatan biadab yang
dilakukan tersangka kepadanya. Gangguan secara psikologis ini benar-benar
membutuhkan tenaga ahli untuk mengembalikan rasa kepercayaan diri seorang
perempuan.
Banyak alasan yang melatarbelakangi terjadinya kasus perkosaan ini, namun
dimensi yang paling dominan adalah terjadinya krisis nilai-nilai agama dan moral
yang secara lahiriah dan batiniah merupakan batasan bagi seorang manusia untuk
bertindak dan bersikap. Selain itu terdapat faktor lain seperti misalnya seakin
majunya teknologi, setiap orang dapat dengan mudahnya mengakses situs-situs
pornografi yang menyebabkan keingintahuan dan cenderung melakukan
kejahatan.
Upaya pemenuhan hak-hak dan perlindungan korban sedikit banyak mulai
diakomodir dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) dimana salah satu point penting
dalam Undang-Undang tersebut adalah diberikannya perhatian khusus mengenai
perlindungan dan bantuan bagisaksi dan atau korban. Pemberian bantuan dalam
UU PSK merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang kemudian
dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun
sayangnya, konsep pemberian bantuan yang diatur dalam UU PSK dibatasi
sedemikian rupa hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial. Bantuan tersebut juga hanya diberikan kepada korban pelanggaran hak
asasi manusia yang berat. Hal tersebut dirasa membatasi konsep umum
pemberian bantuan bagi korbn yang prinsipnya tidak diskriminatif. Tidak
memadainya konsep pemberian bantuan dalam UU PSK dikahwatirkan akan

8

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/10/13/ndddjo-angka-perkosaancenderung-meningkat, 27 Oktober 2014

4

menyulitkan implementasi pemberian bantuan oleh LPSK di masa mendatang. 9
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dianalisis dan juga dikaji kembali
bagaimana konsep perlindungan hukum bagi korban kejahata pemerkosaan

melalui sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia dilihat dari perspektif
viktimologi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan korban pemerkosaan dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia?
2. Apa upaya perlindungan hukum bagi korban kejahatan pemerkosaan dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia?

9

Syahrial Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, Pemberian Bantuan Dalam Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2007, hlm vii

5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Viktimologi
Viktimologi berasal dari kata victim yang berarti korban dan logi yang
berarti ilmu pengetahuan. Secara sederhana, viktimologi berarti ilmu pengathuan

tentang korban kejahatan.10 Pengertian korban dalam perkembangannya
disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam bberapa perundang-undangan,
sehingga terdapat satu pengertian yang baku namun hakikatnya adalah sama
yakni sebagai korban tindak pidana. Sebagai contoh korban kekerasan dalam
rumah tangga, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan sebagainya,
pengertian tentang korban mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006. Korban kejahaan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan
kompleks. Persepsinya tidak hanya jumlah kuantitatif korban, namun juga
korporasi, institusi, pemerintah, bahkan bangsa dan negara. Hal ini dinyatakan
oleh Arif Gosita bahwa korban dapat berarti individu atau kelompok baik swasta
maupun pemerintah.11
Masalah mengenai korban kejahatan sebenarnya bukanlah hal yang baru,
Romli Atmasasmita12 memaparkan bahwa di masa abad pertengahan ketika
hukum yang bersifat primitif masih berlaku pada masyarakat bangsa-bangsa di
dunia, telah ditetapkan adanya personal reparation atau semacam pembayaran
ganti rugi yang dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Fakta tersebut dikemukakan oleh Hezel B Keper yakni:13
“Pada masa lampau, menurut sejarah perkembangan hukum di
negara Barat seperti Inggris, negara yang diwakili oleh raja, tidak
menaruh perhatian sama sekali terhadap kejahatan yang dilakukan

oleh seseorang terhadap orang lain, kecuali jika kejahatan itu
dilakukan terhadap negara (raja). Pada saat itu, “pembalasan” dari
seseorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan (asas talio)
10

Ibid, hlm 9
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Aakademika Presindo, Jakarta, hlm 75-76
12
Romli Atmasasmita,1992, Masalah Santunan Terhadap Korban Pidana, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm. 86 dalam Bambang Waluyo, Op.cit, hlm.
2-4
13
Ibid
11

6

masih diperkenankan. Bahkan seluruh keluarga korban dapat
melakukan pembalasan.”
Berpijak pada sejarah tersebut, dengan berjalannya waktu, paham itu
ditingalkan. Selanjutnya rajalah yang mengamil peran untuk mewakili negara.
Bahkan raja pula yang merangkap sebagai hakim dan menjatuhkan
hukuman/pidana. Perjalanan sejarah berikutnya, diantaranya melahirkan Trias
Politic yang melalui kekuasaan yudikatif, proses peradilan dilakukan untuk
menciptakan keadilan, kebenanran dan kepastian hukum.
2.2 Hubungan Korban dengan Peradilan Pidana
Korban bukanlah bagian yang terpisahkan dalam proses peradilan pidana
yang implementasinya ternyata sanagt kecil porsi perhatiannya. Pada saat ini,
secara formal hak, perlindungan, dan mekanismenya sudah diatur. Untuk
mewujudkan secara proporsional, profesional dan akuntabel, diperlukan
keseriusan para pihak berikut:14
a) Korban
Setiap korban harus mengetahui hak nya sebagai korban dan tata cara
memperoleh pemenuhan hak tersebut. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah sosialisasi oleh pihak-pihak terkait proses perlindungan
korban sendiri. Setelah mengetahui hak-hak tersebut, yang lebih penting
lagi adalah keberanian dan kemauan untuk mengajukan permohonan.
Selain korban, perlu diperdayakan kepedulian dan kesadaran hukum dari
pihak keluarga
b) LPSK
Menurut Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008,
LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perindungan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana
dimaksud UU Nomor 13 Tahun 2006
c) Penegak Hukum
Penengak hukum dalam hal ini adalah Polri, Jaksa Penuntut Umum, Jaksa
Agung, Kejasaan, Hakim dan Pengadilan sangat berperan dalam
pemenuhan dan perlindungan korban dan atau saksi. Ugas dan
14

Ibid

7

tanggungjawab penegak hukum selain berdasarkan masing-masing
lembaga penegak hukum serta KUHAP, juga berpedoman pada UU
Nomor 13 Tahun 2006 serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
d) Masyarakat
Masayarakat dalam arti luas termasuk LSM, mempunyai peran yang tidak
sedikit, antara lain melalui sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman
dan kesadaran hukum korban. Dengan demikian masyarakat berperan
dalam

melakukan

pengawasan

dan

mengawal

terselenggaranya

perlindungan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
2.3 Pengertian Perkosaan dan Korban
Secara yuridis formal, kejahatan atau tindak pidana adalah bentuk tingkah
laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat,
bersifat asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. tindak
pidana merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang. Sedangkan
perilaku menyimpang merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman
terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial
dan merupakan ancaman nyata bagi berlangsungnya ketertiban sosial.15 Dari
pengetian tersebut dapat dinyataka bahwa kejahatan atau indak pidana tiak
hanya masalah kemanusiaan tetapi juga merupakan masalah sosial.
Dalam KUHP, tindak pidana perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul
Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285. Berdasarkan pasal tersebut dapat
diambil unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Perbuatan memaksa
2) Caranya : a) dengan kekerasan
b) ancaman kekerasan
3) Objek : seeoerang perempuan bukan istrinya
4) Bersetubuh dengan dia16

15

Saparinah Sadli dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang hlm, 11
16
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm 63

8

Pengertian perbuatan memaksa (pada point pertama) adalah perbuatan yang
ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang
bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima
kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.
Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu:
a) Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya;
b) Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang
dikehendaki orang yang memaksa.
Cara-cara memaksa dalam hal ini terbatas dengan dua cara yaitu kekerasan
(geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Fungsi kekerasan
dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:17
a) Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan
Dalam hal ini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban.
Adanya causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan
korban. Misalnya, kekerasan pada perkosaan yang digunakan sebagai
cara dari memaksa bersetubuh
b) Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana,
bukan merupakan cara melakukan perbuatan. Misalnya kekerasan yang
diatur dalam Pasal 211 atau 212
Berdasarkan uraian di atas, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285
KUHP tentang perkosaan dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/upaya yang
sifatnya abstrak yang ditujukan kepada orang lain untuk mewujudkannya
diisyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan
yang mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik.
Karena dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan
terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya
walaupun bertentangan dengan kehendaknya, atau melakukan perbuatan sesuai
dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan
kehendaknya sendiri.

17

Ibid

9

2.4 Kedudukan Korban Perkosaan dalam Sistem Peradilan Pidana
Setiap hari, masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai
peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari media massa cetak maupun
lekerronik. Perisiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan
kerugian dan atau penderiiataan bagi korban dan pelakunya. Guna memberikan
rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya,
kejahatan-kejahatan tersebut perlu dilakukan penanggulangan baik melalui
pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif dan dilakukan secara
profesional oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, hak tersangka/terdakwa lebih
diperhatikan daripada hak-hak seorang saksi dan korban tindak pidana. Tidak
adanya keseimbangan hak antara saksi dan atau korban dengan seorang
tersangka/terdakwa dalam ketentuan peraturan perundang-undangan seperti
KUHAP, membawa pengaruh dalam mengimplementasikan hak-hak saksi,
khususnya hak korban sehingga dibutuhkan ketentuan khususnya yang mengatur
mengenai hak-hak saksi dan korban tindak pidana
Setiap korban pada dasarnya harus mengetahui hak-hak nya sebagai korban
dan juga keluarganya. Hal ini menjadi penting karena tidak jarang seseorang
yang mengalami penderitaan baik secara fisik, mental atau materiil akibat suatu
tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang
seharusnya dia terima karena berbagai alasan misalnya perasaan takut di
kemudian hari masyarakat menjadi tahun kejadian yang menimpa dirinya karena
menganggap kejadian tersebut merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya,
sehingga lebih baik korban menyembunyikan kasus tersebut dan atau korban
menolak untuk mengajukan ganti rugi karena dikhawatirkan prosesnya akan
menjadi semakin panjang dan berlarut-larut. Alasan semacam itulah yang
kemudian menjadikan beberapa korban kejahatan perkosaan menjadi enggan
untuk mengetahui dan meminta hak-haknya sebagai korban. Terdapat beberapa
hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan yang
meliputi:18

18

Dikdik M Arief Mansyur, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma
dan Realita), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53

10

a) Hak untuk memeperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang
dialaminya. Pemberian ganti rugi ini dapat diberikan oleh pelaku atau
pihak lainnya sperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk
menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan
b) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi
c) Hak untuk memeperoleh perlindungan dari ancaman pelaku
d) Hak untuk memperoleh bantuan hukum
e) Hak untuk memperoleh kembali hak berupa harta miliknya
f) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis
g) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari
tahanan sementara, atau apabila pelaku buron dari tahanan
h) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi brekaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban
i) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi seperti merahasiakan
nomor telefon atau identitas korban lainnya.
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai , bukan
berarti kewajiban dari korban kejahatan dapat diabaikan eksistensinya karena
melalui peranan korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan
dapat dicapai secara signifikan. Oleh karena itu, terdapat beberapa kewajiban
umum dari korban kejahatan antara lain adalah:19
a) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri atau balas
dendam terhadap pelaku
b) Kewjaiban

untuk

mengupayakan

pencegahan

dari

kemungkinan

terulangnya tindak pidana
c) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang
d) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan
kepada pelaku
e) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya

19

Ibid, hlm 54-55

11

f) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan
g) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi
Selama ini dalam proses peradilan pidana, keberadaan saksi dan korban
hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan dimana
keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebah tindak pidana
sehingga hal ini yang menjadi dasar aparat penegak hukum yang menempatkan
saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak
pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP. Selain
itu, dalam proses peradilan pidana, Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat)
menjunjung tinggi persamaan namun dalam implementasinya terjadi perbedaan
perlakuan antara korban dengan tersangka/terdakwa. Posisi korban sudah
diberikan perlindungan maksimal dengan menggunakan model perlindungan
saksi gabungan antara the service model dan the right prosedur model dalam
memberikan perlindungan saksi dan korban.20
Begitu penting dan urgennya korban mendapatkan perlindungan hukum,
maka dalam hukum acara pidana dikenal beberapa prinsip perlindungan saksi
dan korban, yakni perlakuan yang wajar dan manusiawi (proper and respectful
treatment).

Metode

atau

cara

peneyelidikan/penyidikan,

investigasi,

pengumpulan dan penafsiran bukti-bukti harus meminimalisir instruksi terhadap
korban dan tidak boleh merendahkan martabat korban. Korban perkosan sudah
pasti mengalami gangguan psikologis dalam dirinya bahkan juga krisis
kepercayaan diri atas tindakan tersangka yang dialaminya. Dalm hal ini, organorgan peradilan pidana dari kepolisian hingga kejaksaan dalam menyelesaikan
kasus perkosaan sudah sepatutnya menerapkan perlakuan yang wajar dan
manusiawi bagi korban. Perlakuan secara manusiawi disini artinya adalah berarti
memperlakukan korban dalam proses peradilan pidana sebagaimana kodratnya
sebagai manusia. Wanita dalam hal ini adalah korban utama dalam tindak
kejahatan perkosaan haruslah diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajibannya
sebagai korban dalam menjalani proses-proses beracara dalam sistem peradilan
20

Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem
Peradilan Pidana, 2010, CV Putra Media Nusantara, Surabaya, hlm 180-181

12

pidana, sekalipun instrumen hukum belum mampu mengakomodir segala
kebutuhan yang ada namun proses humanisasi idealnya bisa diterapkan dalam
segala aspek kehidupan salah satunya dalam penanggulangan masalah kejahatan
perkosaan dari sudut pandang korban.
2.5 Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia
Berdasarkan teori pelindungan korban, terdapat tiga jenis perlindungan
hukum yang dapat diterapkan pada korban, yaitu:21
1) Konvesional model
Berdasarkan teori perjanjian masyarakat yang dikemukakan JJ Roesseau,
keberadaan negara bersandar pada perjanjian masyarakat untuk
mengikatkan diri dengan suatu pemerintah melalui organisasi politik,
dalam hal ini, negara memeproleh mandat dari rakyat untuk memberikan
reaksi atas pelanggaran suatu delik. Perlindungan terhadap korban
diwakili oleh negara melalui instrumen penegakan hukum
2) Service model
Konsep perlindungan hukum ini tidak melibatkan korban dalam proses
peradilan pidana. polisi dan jaksa adalah aparat negara yang melayani
kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya adalah korban. Negara
bertanggungjawab terhadap rakyatnya termasuk dalam menyantuni
korban. Terdapat alasan mengapa korban tidak dilibatkan dalam proses
peradilan pidana karena keterlibatan korban akan mengacaukan sistem
pelayanan publik. Hal tersebut karena pelayanan terhadap korban adalah
bagian dari pelayanan publik yang mana apabila korban ikut di dalamnya
akan ada kepentingan individu yang masuk
3) Prosedural right model
Dalam konsep ini, korban memiliki hak hukum dalam stiap proses
peradilan. Korban dapat terlibat secara langsung dalam proses peradilan,
sedangkan kewajiban polisi dan jaksa adalah untuk mempertimbangkan
hak-hak korban dan cara pemenuhannya
21

Bahan Ajar Kuliah Viktimologi oleh Prof. Marcus

13

Perlindungan yang diberikan melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban adalah perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi dan korban
dimana bobot ancaman atau tingkat kerusakan yang diderita oleh saksi dan atau
korban ditentukan melalui proses penetapan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban. Definisi mengenai perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 1 angka
6 yang bunyinya adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan.
Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa perlindungan saksi dan
korban adalah bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.
Dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa perlindungan
utama yang diperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta benda serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksiannya dalam
proses perkara yang berjalan. Korban juga memiliki hak atas kompensasi dan hak
atas restitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PSK. Bentuk-bentuk
perlindungan korban yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dapat dilihat dalam
tabel berikut:22
Tabel Kategori Tindakan dari Layanan yang diberikan oleh LPSK
N
o
1

Kategori Tindakan dan
Layanan
Perlindungan fisik

a
b
c
d

Bentuk Perlindungan dan
Bantuan serta Rujukan Pasalnya
Perlindungan
atas
keamanan
pribadi, keluarga dan harta benda
(Pasal 5 ayat (1) a
Perlindungan dari ancaman (Pasal
5 ayat (1) a
Mendapatkan identitas baru (pasal
5 ayat (1) i
Mendapatkan tempat kediaman
baru (Pasal 5 ayat (1) j

22

Syahrizal Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, Op.cit, hlm. 9

14

2

Partisipasi saksi/korban dalam
program perlindungan LPSK
a

b

c
3

Administrasi peradilan

d

e
f

a
4

Dukungan pembiayaan dan
layanan medis/psiko-social

b
c
d
a

5

Bentuk reparasi

b

Saksi dan atau korban memiliki
hak untuk ikut serta dalam proses
memilih dan menentukan bentuk
perlindungan
dan
dukungan
keamanan (Pasal 5 ayat (1) b
Saksi dan atau korban memberikan
keterangan tanpa tekanan dalam
seiap tahapan proses hukum yang
berlangsung (pasal 5 ayat (1) c
saksi dan atau korban akan
didampingi penerjemah dalam hal
keterbatasan
atau
terdapat
hambatan berbahasa (Pasal 5 ayat
(1) d
Saksi dan atau korban terbebas dari
pertanyaan yang menjerat (Pasal 5
ayat (1) e
Saksi
dan
atau
korban
mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus hingga batas
waktu perlindungan berakhir (Pasal
5 ayat (1) f
Saksi dan atau korban akan
diberitahukan dalam hal terpidana
dibebaskan (Pasal 5 ayat (1) f
Saksi dan atau korban berhak
didampingi oleh penasehat hukum
untuk mendapatkan nasihat-nasihat
hukum (Pasal 5 ayat (1) l
Biaya transportasi (Pasal 5 ayat (1)
k
Biaya hidup sementara (Pasal 5
ayat (1) m
Bantuan medis (Pasal 6a)
Bantuan rehabilitasi psiko-sosial
(Pasal 6b)
Pengajuan kompetensi bagi korban
(Pasal 7 ayat (1) a
Pengajuan restitusi bagi korban
(Pasal 7 ayat (1) b

Dalam Rancangan UndangUndang KUHP, tindak pdana perkosaan diatur
dalam Pasal 423 yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan dengan
pidana paling lama dua belas tahun dan paling singkat 3 tahun:

15

a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di
luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan
tersebut
b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di
luar perkawinan tanpa persetujuan perempuan tersebut
c. Laki-laki yang
melakukan
persetubuhan
dengan
perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi
persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk
dibunuh atau dilukai
d. Laki-laki
yang
melakukan
persetubuhan
dengan
perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena
perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut
adalah suaminya yang sah
e. Laki-laki
yang
melakukan
persetubuhan
dengan
perempuan
yang
berusia dibawah 14 tahun dengan
persetujuannya
f. Laki-laki
yang
melakukan
persetubuhan
dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
(2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika
dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1:
a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus
atau mulut perempuan
b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan
bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Pasal 423 Rancangan UU KUHP yang menyebutkan batas minimal pidana
bagi pelaku perkosaan adalah tiga tahun dan maksimal 12 tahun, merupakan
kemajuan dibanding dengan Pasal 285 KUHP yang memberi ancaman hukuman
penjara minimal satu hari dan maksimal 12 tahun. Pencantuman ancaman pidana
minimum khusus (tiga tahun pidana penjara) dimaksudkan untuk memenuhi
keinginan masyarakat yang seringkali harus kecewa atas putusan hakim yang
dianggap kurang memperhatikan “pandangan masyarakat” maupun “pengaruh
tindak pidana terhadap korban”. Disamping itu pemberlakuan batas hukuman
minimum tiga tahun pidana penjara tersebut mempunyai efek penjeraan yang
lebih kuat dibanding aturan lama (Pasal 285 KUHP), karena hukuman yang
lebih berat terhadap pelaku tindak pidana perkosaan sangatlah dibutuhkan.
Selain itu, adanya kesamaan persepsi aparat penegak hukum atas
ketercelaan tindak pidana perkosaan dalam masyarakat juga sangat penting. Hal
ini karena seringkali aparat penegak hukum khususnya penyidik mempunyai
persepsi bahwa tindak pidana perkosaan hanya sebagai perbuatan persetubuhan

16

atau pelecehan seks, sehingga jaksa hanya menuntut hukuman rendah pada
pelaku, demikian pula dengan hakim dimana dalam mengambil keputusan lebih
memperhatikan hal-hal atau keadaan yang meringankan dari pelaku, bukan
terfokus (mempertimbangkan) pada penderitaan korban. Faktor kerugian dan
penderitaan yang diderita korban serta persepsi tentang perkosaan dalam
masyarakat harus mendasari penegakan hukun pidana perkosaan. Karena tanpa
memperhatikan hal-hal tersebut maka akan berakibat pelaku tindak pidana
perkosaan dihukum ringan, bahkan divonis bebas. Hal demikian pasti akan
terjadi karena disamping faktor kerugian, penderitaan yang dialami korban dan
persamaan persepsi, pembuktian kasus atau tindak pidana perkosaan bukanlah
perkara gampang di samping perlu adanya keberanian korban untuk melaporkan
tindak pidana perkosaan yang dialaminya pada aparat penegak hukum.
Tindak pidana perkosaan merupakan kekerasan terburuk yang dapat dialami
perempuan, bahkan lebih buruk dari pembunuhan, karena korban tindak pidana
perkosaan akan mengalami trauma sepanjang hidupnya. Trauma ini dimulai dari
ketika perkosaan terjadi, sesudah diperkosa, selama dalam pemeriksaan polisi
dan jaksa, dalam persidangan dan menjalani hidup sesudahnya. Sistem hukum
yang ada di Indonesia, dan budaya patriarkhi yang amat kuat berakar di
masyarakat menyebabkan perempuan sering menjadi pihak yang disalahkan
ketika mengalami perkosaan. Bahkan tidak jarang korban perkosaan merasa
bahwa dialah yang menjadi penyebab terjadinya perkosaan yang menimpa
dirinya dengan ungkapan-ungkapan dalam pemeriksaan seperti mengapa keluar
malam sendirian, mengapa memakai baju pendek atau baju ketat, bahkan riwayat
seksual korban dapat menyebabkan korban semkain disalahkan
Kurangnya perhatian atau perlindungan pada korban kejahatan dan
sebaliknya banyak keadaan-keadaan yang menguntungkan pelaku tindak pidana.
Pelaku tindak pidana perkosaan tidak akan dijatuhi pidana penjara apabila baru
pertama kali melakukan tindak pidana perkosaan, hal ini tentu akan mendorong
laki-laki untuk melakukan perkosaan. Pelaku yang telah membayar ganti
kerugian kepada korban, tidak dipidana penjara, hal ini tidak mengandung efek
jera bagi pelaku perkosaan. Orang kaya akan dengan mudah membayar ganti
kerugian dan akan dengan mudah pula terhindar dari pidana penjara. Ketentuan

17

yang memungkinkan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara apabila
korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana, sangat merugikan
korban tindak pidana perkosaan. Hal ini karena dalam peradilan pidana, korban
perkosaan seringkali disalahkan atas terjadinya perkosaan.
Program pelayanan korban kejahatan (pemberian bantuan) terbagi dalam tiga
fungsi utama yakni: 23
a) Fungsi primer
Fungsi primer adaah bersifat segera dan diperlukan, ditujukan untuk
emberikan pelayanan langsung kepada para korban. Fungsi primer ini
meliputi bentuk layanan seperti menjamin korban dengan pelayanan
medis atau pelayanan sosial darurat, melayani keluarga korban yang
mendesak, menjamin tidak akan terjadinya eksploitasi korban lebih
lanjut oleh sistem peradilan pidana
b) fungsi sekeunder
Fungsi sekunder berkaitan dengan perhatian jangka panjang bagi korban
yang ruang lingkupnya lebih luas. Fungsi sekunder program pelayanan
korban misalnya adalah mengurangi resiko reviktimisasi, melanjutkan
bantuan yang telah diberikan para korban dan keluarganya oleh badanbadan pelayanan masyarakat, dan mempertahankan keseimbangan
kepentingaan antara keperluan-keperluan korban dan penuntut umum
c) Fungsi tersier
Berkenaan dengan pengembangan dari faktor eksternal yang mendukung
bagi

program

pelayanan

korban

kejahatan.

Misalnya

adalah

pengembangan standar-stanar untuk menjamin semua bagian peradilan
kriminal dengan memperhatikan kondisi korban berkaitan dengan peran
yang khusus, pengembangan perundang-unndangan yang berorientasi
pada kepentingan pihak korban, dan pengembangan penataran.latihan
untuk para petugas peradilan pidana khususnya pada polisi dan jaksa
unuk menangani masalah keadaaan darurat dan trauma pada korban

23

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia,
2004, hlm 222 dalam Shahrizal Martanto W, Op.cit, hlm 17-18

18

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, hak tersangka/terdakwa
lebih diperhatikan daripada hak-hak seorang saksi dan korban tindak
pidana. Tidak adanya keseimbangan hak antara saksi dan atau korban
dengan

seorang

tersangka/terdakwa

dalam

ketentuan

peraturan

perundang-undangan seperti KUHAP, membawa pengaruh dalam
mengimplementasikan hak-hak saksi, khususnya hak korban sehingga
dibutuhkan ketentuan khususnya yang mengatur mengenai hak-hak saksi
dan korban tindak pidana. Selama ini dalam proses peradilan pidana,
keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat
memberikan keterangan dimana keterangannya dapat dijadikan alat bukti
dalam mengungkap sebah tindak pidana sehingga hal ini yang menjadi
dasar aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya
sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki
hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP.
2. Perlindungan yang diberikan melalui Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban adalah perlindungan khusus yang diberikan kepada
saksi dan korban dimana bobot ancaman atau tingkat kerusakan yang
diderita oleh saksi dan atau korban ditentukan melalui proses penetapan
oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 Undang-Undang
tersebut menyebutkan bahwa perlindungan utama yang diperlukan adalah
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda serta
bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksiannya dalam proses
perkara yang berjalan. Korban juga memiliki hak atas kompensasi dan
hak atas restitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PSK

19

B. Saran
Diperlukan adanya perhatian terhadap perlindungan hukum kepada korban
tindak pidana perkosaan dalam penjatuhan sanksi secara tegas sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, setiap korban harus memahami
hak dan kewajibannya sebagai korban dalam menjalani tiap-tiap proses
peradilan pidana. Hal tersebut tentu saja juga membutuhkan peran aktif dari
lembaga-lembaga terkait seperti LPSK, Kepolisian dan Kejaksaan.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Aakademika Presindo,
Jakarta.
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar
Grafika, Jakarta.
Dikdik M Arief Mansyur, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
(Antara Norma dan Realita), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, 2010, CV Putra Media Nusantara,
Surabaya.
Saparinah Sadli dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan legislatif Dalam
Penanggulangan Kejahatan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang
Syahrial Martanto Wiryawan, Melly Setyowati, 2007, Pemberian Bantuan
Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Indonesia
Corruption Watch, Jakarta.
Pers

Release

Lembaga

Perlindungan

Saksi

dan

Korban

Nomor

51/PR/LPSK/X/2014, LPSK Bantu Pulihkan Psikologis Korban Dugaan
Perkosaan Raja Solo, http://lpsk.go.id, 27 Oktober 2014
Http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/10/13/ndddjo-angkaperkosaan-cenderung-meningkat, 27 Oktober 2014

20

Renaldi Sofwan dan Erna Karim, Pemerkosaan: Dominasi Pria terhadap
Wanita, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140910100910-1142897/pemerkosaan-dominasi-pria-terhadap-wanita/, 27 Oktober 2014
Khaerudin,

Perkosaan

Kekerasan

terbanyak

di

Indonesia,

http://nasional.kompas.com/read/2011/11/24/21344444/Perkosaan.Kekerasan
.Seksual.Terbanyak.di.Indonesia, 27 Oktober 2014
http://www.sapa.or.id/f2/1691-kemiskinan-dapat-menyebabkan-kejahatan,

27

Oktober 2014
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/01/28/ipw-sepanjang-januari-2013pemerkosaan mencapai-25-kasus

21