Sinonim kata berpikir dalam kajian al-Qur'an

(1)

SINONIM KATA BERPIKIR DALAM KAJIAN AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).

Oleh

Yudiansyah

NIM:105024000879

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juni 2010

Yudiansyah NIM: 105024000879


(3)

SINONIM KATA BERPIKIR DALAM KAJIAN AL-QUR’AN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Yudiyansah

NIM:105024000879

Pembimbing

Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP : 195905101991031003

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010


(4)

  iv

Skripsi berjudul “Sinonim Kata Berpikir Dalam Kajian AL-Qur’an” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 17 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 195905101991031003 NIP: 197005052000031001

Anggota,

Dr. Adang Asdari, MA NIP: 195905101991031003


(5)

ABSTRAK Yudiansyah

“Sinonim Istilah kata berpikir dalam kajian al-Qur’an”. Di bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA.

Penerjemahan merupakan proses pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Dalam proses ini terdapat beberapa metode penerjemahan yang penekanannya pada kedua bahasa. Proses menerjemahkan sangat membutuhkan peran semantik sebagai alat untuk aktualisasi makna sehingga penerjemahan dirasakan lebih fleksibel.

Penulis melihat bahwa bahasa Arab memiliki kosa kata yang cukup banyak dan kaya akan makna. Di dalam dunia penerjemahan membutuhkan wawasan yang luas untuk menerjemahkan bahasa tersebut terkait dengan makna yang sama (sinonim). Implikasi dari fenomena tersebut adalah banyaknya suatu ungkapan untuk menggambarkan realita yang ada.

Penulis menemukan bahwa sinonim berpikir dalam al-Qur’an cukup banyak dan berfariatif, meskipun pada dasarnya jika kita lihat makna berpikir, secara harfiah maknanya berbeda dengan yang tercantum di kamus untuk itu butuh kehati-hatian bagi para penerjemah al-Qur’an dalam menerjemahkannya karena dalam bahasa Arab mengenal atau memiliki Quasi Syinonim (persamaan yang tak mutlak).

Penulis menarik kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan sinonim berpikir dalam kajian al-Qur’an, kita harus melihat konteks ayat sebelumnya . Dari ayat sebelum atau kata yang mengiringinya maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut bersinonim. 

Dalam penulisan skripsi ini Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan analisi deskriptif. Yang penulis lakukan dengan pengumpulan data-data tentang masalah yang sedang diteliti, lalu menganalisis data-data yang sangat kaya tersebut sejauh mungkin dalam bentuk aslinya, dalam penelitian tersebut penulis melakukan dengan sangat teliti sehingga bisa memberikan jawaban atas masalah yang sedang diteliti. Kajian dilakukan dengan cara kepustakaan (library research). Data-data yang diperlukan dicari dari sumber kepustakaan.

 


(6)

Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kepada sang Maha Pencipta Allah SWT yang selalu memberikan nikmatnya, karena atas nikmatnyalah penulis bisa menyelesaikan karya ini dengan keadaan sehat dan sampai ke hadapan pembaca. Shalawat serta salam Penulis haturkan kepada pendobrak dekadensi moral manusia, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan Syafa’atnya” di hari akhir nanti.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Serta jajaran dosen yang telah rela memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang secara tidak langsung telah menipiskan keraguan dan sikap pesimisme akan masa depan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah Penulis terima dapat menjadi manfaat kemudian hari.

Ucapan terima kasih dan doa Penulis tujukan kepada Drs. IKhwan Azizi, MA. yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi dan memberikan saran yang berguna dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah swt senantiasa memberikan kebaikan kepada Bapak dan keluarga. Amin.

Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada Kepada orang tua Penulis, Bpk. H. Jamal dan Hj. Maryam, terima kasih atas cinta, kasih dan doanya untuk Penulis. Kepada saudara Penulis; Agus Budiman-Dede Farlina, Elan Hermawan-Elis dan Deri Iskandar terima kasih telah memberikan banyak


(7)

motivasi dan dorongan. Terima kasih atas senyum, pelukan dan kecerian kepada ke tiga keponakan Wildan, Sabrina, dan Zulpa.

Penulis ucapkan terima kasih pula kepada kawan-kawan Tarjamah khususnya untuk kawan-kawan seperjuangan di Basecamp Sri Makmur yang setengah dekade terakhir ini memberikan canda tawa dengan guyonan-guyonan fresh (Semoga mimpi-mimpi kita terwujud). Kepada Tiara Rilafian terima kasih atas kebaikan dan kesabarannya dalam menghadapi penulis. Kepada Romen, Acung, dan Ipung terima kasih atas motivasi yang telah kalian berikan.

Untuk orang-orang terdekat yang tidak penulis sebutkan terima kasih telah membantu dan menyarikan padanan ide penelitian untuk Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Akhirnya, Penulis berharap semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat memberi manfaat bagi semua.

Jakarta, 22 Juni 2010 Penulis


(8)

Puji syukur senantiasa Penulis panjatkan kepada sang Maha Pencipta Allah SWT yang selalu memberikan nikmatnya, karena atas nikmatnyalah penulis bisa menyelesaikan karya ini dengan keadaan sehat dan sampai ke hadapan pembaca. Shalawat serta salam Penulis haturkan kepada pendobrak dekadensi moral manusia, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan Syafa’atnya” di hari akhir nanti.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Serta jajaran dosen yang telah rela memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang secara tidak langsung telah menipiskan keraguan dan sikap pesimisme akan masa depan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah Penulis terima dapat menjadi manfaat kemudian hari.

Ucapan terima kasih dan doa Penulis tujukan kepada Drs. IKhwan Azizi, MA. yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi dan memberikan saran yang berguna dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah swt senantiasa memberikan kebaikan kepada Bapak dan keluarga. Amin.

Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada Kepada orang tua Penulis, Bpk. H. Jamal dan Hj. Maryam, terima kasih atas cinta, kasih dan doanya untuk Penulis. Kepada saudara Penulis; Agus Budiman-Dede Farlina, Elan Hermawan-Elis dan Deri Iskandar terima kasih telah memberikan banyak motivasi dan dorongan. Terima kasih atas senyum, pelukan dan kecerian kepada ke tiga keponakan Wildan, Sabrina, dan Zulpa.


(9)

Penulis ucapkan terima kasih pula kepada kawan-kawan Tarjamah khususnya untuk kawan-kawan seperjuangan di Basecamp Sri Makmur yang setengah dekade terakhir ini memberikan canda tawa dengan guyonan-guyonan fresh (Semoga mimpi-mimpi kita terwujud). Kepada Tiara Rilafian terima kasih atas kebaikan dan kesabarannya dalam menghadapi penulis. Kepada Romen, Acung, dan Ipung terima kasih atas motivasi yang telah kalian berikan.

Untuk orang-orang terdekat yang tidak penulis sebutkan terima kasih telah membantu dan menyarikan padanan ide penelitian untuk Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Akhirnya, Penulis berharap semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat memberi manfaat bagi semua.

Jakarta, 22 Juni 2010 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Pernyataan ... ii

Persetujuan Pembimbing ... iii

Pengesahan Panitia Ujian ... iv

Prakata ... v

Daftar Isi ... vii

Pedoman Translitrasi ... ix

Abstrak ... x

Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan masalah dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka... 6

E. Metodologi Penelitian... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

Bab II KERANGKA TEORI A. Penerjemahan Secara Umum ... 9

1. Definisi Tarjamah ... 9

2. Jenis-jenis Penerjemahan ... 15

B. Semantik ... 19

1. Pengertian Semantik ... 19

2. Manfaat Semantik ... 20

3. Jenis-jenis Semantik ... 21

4. Pengertian makna ... 23

5. Sebab-sebab Perubahan Makna ... 24

C. Sinonim Secara Umum ... 24

D. Sinonim dalam Bahasa Indoneia dan Bahasa Arab ... 27

1. Sebab-sebab Terjadinya Sinonim ... 34

2. Jenis-jenis Sinonim ... 38


(11)

viii Bab III KONSEP BERPIKIR

A. Definisi Berpikir ... 44

B. Macam-macam Berpikir ... 45

1. Berpikir menurut Edward de Bono ... 45

2. Berpikir Menurut Floyd L Ruch ... 47

C. Berpikir dalam Al-Qur’an ... 48

Bab IV ANALSISIS Penerjemahan Sinonim Kata Berfikir Dalam Kajian al-Qur’an .... 51

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ... 63


(12)

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

ا ط T

ب b ظ Z

ت t ع ‘

ث ts غ Gh

ج j ف F

ح h ق Q

خ kh ك K

د d ل L

ذ dz م M

ر r ن N

ز z و W

س s ة H

ش sy ء `

ص s ي Y

ض d

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

----

a Fathah

----

i Kasrah

---

u Dammah


(13)

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---ي ai a dan i

---و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي/ا---- â a dengan topi di atas

----ي î i dengan topi di atas

---و û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta


(14)

  xi huruf /t/ (contoh no.3)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah

2 ﺔ ﻣﻼﺳﻹاﺔﻌﻣﺎ ﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyah 3 دﻮ ﻮﻟاةﺪﺣو wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital.  


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di saat-saat sekarang ini, juga pertumbuhan budaya, ekonomi, dan hubungan politik antarnegara yang terus berlangsung, telah menghadapkan umat manusia kepada kesulitan-kesulitan luar biasa dalam penerimaan informasi yang perlu dan bermanfaat. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk mengatasi persoalan hambatan bahasa dan percepatan pemerataan pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dengan metode pengajaran tradisional maupun modern. Karenanya, jika dunia ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dihari ini maupun masa mendatang, diperlukan sebuah pendekatan baru terhadap proses belajar dan mengajar.1

Melalui bahasa, segala informasi atau pesan bisa tersalurkan dan dapat dimengerti. Melalui bahasa juga kebudayaan suatu bangsa dapat ditumbuhkembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi-generasi mendatang.

Pengertian bahasa menurut para ahli berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sudut pandang mereka yang berbeda-beda terhadap bahasa itu sendiri. Namun di balik perbedaan itu terdapat manfaat besar yang dapat diambil, yaitu dari perbedaan itu justru dapat saling melengkapi suatu pengertian bahasa, sekaligus seberapa luasnya arti bahasa itu.

1

Daouglas Robinson, Menjadi Penerjemah Professional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. xi.


(16)

Jika kita memperhatikan kembali pendapat Kloss (1969) yang berbicara tentang status dan korpus bahasa; Garvin (1973) tentang pilihan bahasa untuk tujuan yang direncanakan; Gorman (1973) tentang alokasi bahasa; Halim (1976a, 1976b) tentang kedudukan dan fungsi bahasa, dan memanfaatkan gagasan Stewart (1968) tentang tipologi sosiolinguistik keaneka bahasaan, maka secara teori garis haluan kebahasaan itu dapat dibahas menurut tiga dimensi, yakni (1) garis haluan yang menyangkut bahasa kebangsaan, (2) garis haluan yang menyangkut bahasa pribumi lain yang bukan bahasa kebangsaan, dan (3) garis haluan yang bertalian dengan bahasa asing yang digunakan untuk tujuan tertentu.

Tiap-tiap jenis bahasa tersebut kemudian dapat ditentukan kedudukannya berdasarkan lima fungsi pokok yang masing-masing dapat diperinci lagi. Kelima fungsi itu dengan perinciannya ialah sebagai berikut: (1) fungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan atau resmi kedaerahan; (2) fungsi sebagai bahasa perhubungan luas pada taraf subnasional, dan internasional; (3) fungsi sebagai bahasa untuk tujuan khusus; (4) fungsi sebagai bahasa dalam system pendidikan, yakni bahasa pengantar umum, bahasa pengantar permulaan, dan bahasa sebagai objek studi; dan (5) fungsi sebagai bahasa kebudayaan dibidang seni, ilmu dan teknologi. 2

Kamus umum bahasa Indonesia mendefinisikan “Bahasa adalah system lambang yang dipakai orang untuk melahirkan pikiran dan perasan’. Sedangkan Menurut al-Galayin “bahasa adalah kata-kata yang digunakan oleh sekelompok kaum untuk mengungkapkan maksud mereka’.

2

Anton M. Moeliono, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, (Jakart: Djambatan, 1985). h. 38-39.


(17)

3

Ucapan bahwa ada tempat saling-hubungan yang erat antara bahasa dan ilmu karena yang pertama merupakan alat pikiran dan penemuan ilmiah, sedangkan yang tersebut terakhir memberikan sumbangan baru yang besar kepada bahasa, hampir merupakan bahasa yang usang. Namun ilmu tidak mungkin mencapai kemajuan andai kata tidak memiliki medium bahasa yang besar yang memungkinkan ilmiawan dari seluruh dunia menyampaikan kepada satu sama lain hasil penelitiannya yang terus menerus. Sekaligus telah diperkirakan bahwa setengah daripada milik kata daripada semua bahasa modern terdiri atas istilah-istilah ilmiah dan tehnis, yang banyak diantaranya sepenuhnya bersifat internasional.3

Bahasa dan sastra pada dasarnya adalah satu. Bicara memang menimbulkan tulisan. Tetapi sekali tulisan telah tercipta, bentuk tertulis mulai mempengaruhi bahasa lisan, memantapkannya, mengolahnya, mengubahnya, memberinya bentuk yang lebih estetis, memberikannya daftar-daftar yang lebih kaya.4

Bahasa tak lain sebagai objek lnguistik, maksudnya adalah para penutur harus menyesuaikan dan membedakan setiap makna kata dan penggunaan makna kata. Oleh karena itu para ahli Linguistik Mengemukakan bahwa bahasa memiliki lima unsur kajian linguistik, yaitu : Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Dari kelima unsur kajian tersebut penulis merasa tertarik pada objek kajian semantik yaitu sinonim.

3

Mario Pei, Kisah dari pada Bahasa, (Jakarta; Iskandar Dinata, 1971) h. 261 4


(18)

Kebanyakan ahli linguistik memperlakukan sinonimi sebagai masalah semantis belaka. Kesinoniman boleh saja diperlakukan sebagai semantis untuk sebagian, tetapi dengan kritis. Seorang bahasawan atau penutur suatu bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai semua kalimat yang ada di dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya unsur kesesuaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain.

Bagaimanapun juga kehadiran Sinonim perlu diakui dalam analisis semantik, ini berarti tidak terdapat dua kata yang maknanya memang merujuk kepada ide atau referen yang sama persis. Akan tetapi, dalam pemakaian bahasa sering dijumpai pula keinginan pemakai bahasa untuk mengganti satu kata dengan kata yang lain yang maknanya kurang lebih mirip sama sebagai variasi atau juga sebagai ciri kebebasan berbahasa.

Sinonim merupakan fenomena di setiap bahasa termasuk bahasa Arab, tak dapat di pungkiri bahwa bahasa Arab memiliki kosa kata yang cukup banyak. Implikasi dari fenomena tersebut adalah banyaknya suatu ungkapan untuk menggambarkan realita yang ada. Contohnya :

Pada kata ﺮﻈﻧ dalam kamus di artikan hanya sekedar melihat dengan mata kepala atau objeknya ada langsung di hadapan kita dan di sinonimkan dengan

ﺮﺼﺑ

-

ﻠﻋ

-

ﻞﻣﺄﺗ

. Sedangkan menurut tafsir diartikan melihat dan meneliti dengan cermat, dan di sinonimkan dengan

ىأر

Kata

ىأر

dalam kamus diartikan melihat dengan mata akan tetapi disertai dengan pikiran atau akal. Sedangkan menurut tafsir disinonimkan dengan

ﺮﻈﻧ

ﻠﻋ

ﺮﺼﺑ


(19)

5

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa kata

ﺮﻈﻧ

dan

ىأر

merujuk pada suatu tindakan yang sama, yaitu melihat. Namun, kedua kata tersebut mempunyai perbedaan.

Contoh diatas memberikan penegasan kepada kita bahwa bahasa Arab memiliki kosa kata yang kaya akan makna.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin mendiskripsikan sinonim dalam istilah berfikir dalam al-Qur’an. Karena kata tersebut juga memiliki sinonim yang cukup bervariatif, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menerjemahkan teks berbahasa Arab. Oleh karena itu, sebagai acuan penulis untuk menerjemahkan istilah itu, penulis akan memakai kamus al-Munawwir dan Munjid.

Penulis melihat bahwa ternyata bahasa Arab memliki Quasi Syinonim5 walaupun sama-sama menggambarkan penglihatan tetapi

ﺮﻈﻧ

hanya sekedar memandang dengan mata kepala atau objeknya ada langsung di hadapan kita. Sedangkan

ىأر

Memandang dengan mata akan tetapi disertai dengan pikiran atau akal

Di dalam dunia penerjemahan membutuhkan wawasan yang luas terkait dengan makna yang sama (sinonim). Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.

Pengetahuan akan budaya yang melingkupi sinonim tersebut. Asumsi penulis untuk mengetahui budaya kosa kata sinonim tersebut, salah satu caranya dengan kamus Munjid

dan

al-Munawwir, untuk itu penulis

5


(20)

berkeinginan untuk mengangkat judul PENERJEMAHAN  SINONIM   KATA 

BERPIKIR DALAM KAJIAN AL‐QUR’AN

Semoga penelitian ini dapat membuka wawasan te

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi dan merumuskan masalah sinonimi dalam kamus al-Munawwir dan Munjid.

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimana menerjemahkan sinonim istilah berpikir dalam kajian al-Qur’an.

2. Bagaimana konsep berpikir dalam al-Qur’an

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah :

1. Untuk mengetahui cara menerjemahkan kata sinonim yang bermakna berpikir dalam kajianal-Qur’an

2. untuk mengetahui konsep berpikir dalam al-Qur’an

Sedangkan manfaat yang akan dihasilkan dari skripsi ini, yaitu : 1. Menambah wawasan penerjemah dalam menerjemahkan teks Arab 2. Menjadi bahan rujukan untuk para penerjemah teks Arab agar terhindar dari kesalahan menerjemahkan.

3. Memberikan pengetahuan yang lebih mengenai sinonim terkait dengan kata berpikir dalam bahasa Arab.


(21)

7

D. Tinjauan Pustaka

Alasan penulis memilih judul ini, dikarenakan rasa keingintahuan yang mendalam tentang sinonim. Selama ini orang beranggapan bahwa sinonim itu persamaan kata yang maknanya juga sama, sedangkan jika kita pelajari lebih dalam bahwa sinonim itu memang benar persamaan kata tetapi secara makna berbeda. Dalam skripsi ini belum ada judul yang menyerupai pembahasan pada skripsi ini. Penelitian pada skripsi ini membahas tentang penerjemahan sinonim istilah berpikir dalam al-Qur’an yang memang belum diteliti sebelumnya, padahal istilah berpikir itu banyak sekali sinonim yang secara maknanya berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan kamus al-Munawwir dan Munjid sebagai pustaka utama. Dan untuk melengkapi pembahasan ini, penulis juga menggunakan literatur lain yang membahas tentang sinonimitas. Selain buku tersebut, penulis juga menggunakan beberapa kamus lainnya dan beberapa referensi lain yang membahas tentang semantik dan metode penerjemahan untuk memperkuat penelitian ini.

E. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif dengan analisi deskriptif. Yang penulis lakukan dengan pengumpulan data-data tentang masalah yang sedang diteliti, lalu menganalisis data-data yang sangat kaya tersebut sejauh mungkin dalam bentuk aslinya, dalam penelitian tersebut penulis melakukan dengan sangat teliti sehingga bisa memberikan jawaban atas masalah yang sedang diteliti.

Kajian dilakukan dengan cara kepustakaan (library research). Data-data yang diperlukan dicari dari sumber kepustakaan.


(22)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini agar lebih sistematis, dan untuk melihat persoalan dengan lebih objektif, maka penulis menyusun skripsi ini kedalam 5 bab, yaitu :

Bab I. Pendahuluan : terdiri dari 6 Sub Bab, yaitu : Pertama, Latar Belakang Masalah yang didalamnya penulis memaparkan sedikit tentang sinonimi. Kedua, Batasan dan Rumuan Masalah. Ketiga, Tujuan dan Manfaat Penulisan. Keempat, Tinjauan Pustaka. Kelima, Metodologi Penelitian, dan Keenam, Sistematika Penulisan.

Bab II. Berisikan tentang kerangka teori yang terdiri Terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama, Penerjemahan secara Umum; Definisi Penerjemahan; Jenis-jenis penerjemahan; Kedua, Sinonim secara umum; Definisi sinonim; Sebab-sebab terjadinya sinonim; Jenis-jenis terjadinya sinonim; Sinonim dalam bahasa Indonesia dan Sinonim dalam bahasa Arab.

Bab III. Konsep berpikir dan pendidikan, terdiri dari 2 Sub Bab, yaitu : Pertama, Berpikir; Definisi berfikir; Macam-macam berfikir; Kedua, Berfikir dalam al-Qur’an.

Bab IV. Penerjemahan sinonim, terdiri dari satu Bab, yaitu Penerjemahan Sinonim Kata Berfikir Dalam Kajian al-Qur’an.


(23)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Penerjemahan

1. Definisi Terjemahan

Translation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Meskipun sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini. 1

Penerjemahan adalah suatu aktivitas kecerdasan yang melibatkan proses belajar yang kompleks secara alam sadar maupun dibawah alam sadar. Kita semua belajar dengan cara yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, pembelajaran yang bermanfaat haruslah seluwes, sekompleks, dan sekaya mungkin, demikian pula halnya dengan proses untuk mengaktifkan saluran-saluran yang ada pada mahasiswa untuk belajar dengan sebaik-baiknya.2

Sejauh yang dapat dilacak, bukti sejarah tertua tentang aktifitas penerjemahan yang paling pertama kali dilakukan adalah terjemahan yang terpatri pada batu rosetta di sepanjang sungai Nil (Mesir), yang ditemukan para arkeolog barat tahun 1799 M. Pada batu itu terpahat tulisan kuno Hiroglyf dengan terjemahannya dalam bahasa Yunani kuno.3

Kegiatan terjemah juga dikerjakan oleh bangsa Yahudi sekitar 397 SM tahun, atau tahun 445 SM dalam catatan sejarah yang lain. Masyarakat

1

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000). h. 4-5

2

Douglas Robinson,Menjadi Penerjemah Profesional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 77

3

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, (Bandung; Mandar Maju, 1999), h. 32-33


(24)

Nehemiah biasa dikumpulkan di alun-alun kota untuk mendengarkan berbagai penjelasan hokum. Masyarakat asing yang tidak mengenal bahasa Ibrani kemudian dapat mendengarkan terjemahannya dalam bahasa Aramaika, bahasa yang dipergunakan secara luas di Mediterania.4

Penerjemah interlingual karya sastra Eropa yang pertama kali dikerjakan oleh Livius Adronicus yang menterjemahkan naskah karya Homerus Odyssey, dari bahasa Yunani kuno kedalam bahasa latindan Naevius. Kemudian Ennius mentrjemahkan naskah-naskah Yunani kuno karya Euripides, dan yang paling terkenal sangat produktif adalah Cicero dan catulus dalam menerjemahkan naskah-naskah Yunani kedalam bahasa latin. 5

Pada tahun 384 SM, Paus Damasus menugaskan Jerome untuk menerjemahkan kitab suci perjanjian baru kedalam bahasa latin, karena terjemahan lamayang dikerjakan para penerjemah terdahulu dirasakan kaku dan buruk, dan diubahnya dengan model terjemahan bebas. 6

Pada Abad ke-7, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filsafat klasik Aristoteles, Plato, Galen, Hipocrates dan lain-lainnya kedalam bahasa Arab. Sedangkan penerjemahan al-Qu’an kedalam bahasa Eropa dimulai pada abad ke-12 oleh Riobert de Ratines pada tahun 1141-1143 M. Terjemahan ini, menurut Abu Bakar Aceh, dianggap banyak yang menyimpang banyak yang sengaja disimpangkan agar isi al-Qur’an manjadi rusak. Terjemahan itu pula yang

4

Eko Setyo Humanika, Mesin Penerjemah: Sebuah Tinjauan Linguistik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), h. 4

5

Eko Setyo Humanika, Mesin Penerjemah: Sebuah Tinjauan Linguistik 6


(25)

11

menjadikan pegangan untuk menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris. 7

Selanjutnya dengan berkembagnya ilmu linguistik, mulai banyak para ahli yang berbicara tentang teori terjemah, di antaranya: Eugine A. Nida, Ian Finly, Theodore Savory, J.C Catford, J.B Carol, Leonard Foster, P. Newmark, dan lain-lain. 8

Kemudian cara menerjemahkan al-Qur’an tentu saja sangat berbeda dengan menerjemahkann teks biasa. Seorang penerjemah al-Qur’an harus memulai dengan beberapa tahapan. Seperti diungkapkan oleh H. Datuk Tombak Alam dengan bukunya yang berjudul Metode Menerjemahkan Al-Quran AL-Karim100 Kali Pandai, beliau memberikan beberapa proses yang harus ditempuh seorang mutarjim al-Qur’an. Adapun tahapannya sebagai berikut: Pertama, menerjemahkan secara harfiah dan menurut susunan bahasa Arabnya yang sudah tentu tidak cocok dengan susunan bahasa Indonesia yang baik. Hal ini dilakukan pada tahap pertama agar dalam menerjemahkan dapat mengenal kedudukan dan hukum kata-kata itu. Kedua, membuang kata-kata yang ada dalam al-Qur’an ke dalam terjemahan. Ketiga, menggeser atau menyusun kalimatnya dalam penerjemahan untuk mencapai bahasa Indonesia yang baik, yaitu diawal digeser ke belakang dan di akhir diletakan di muka sesuai dengan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia (SPOK). Tahap ini boleh digunakan jika diperlukan, akan tetapi jika seorang penerjemah ingin dikatakan terjemahannya itu baik maka tahap ini harus dipenuhi.9

7

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah h. 33-35

8

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah h.38

9


(26)

Definisi terjemah menurut Widyawartama adalah: penerjemahan dengan memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapakan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.10

Sedangkan penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Secara luas terjemah dapat diartikan semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal, dari suatu bentuk ke bentuk lainnya. 11

Lain dengan pendapat Bunyamin Ahmad yang menyebutkan dengan lebih sederhana bahwa terjemah merupakan aktifitas dan mengalih kata dari bahasa sumber ke bahasa kedua. 12

Namun menurut Maurits Simatupang, Menerjemahkan adalah mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan mewujudkan kembali di dalam bahasa sasaran dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran. Jadi yang dialihkan makna bukan bentuk. 13Asan yang memerlukan penyelesaian masalah secara kreatif dalam kondisi budaya, sosial, dan tekstual secara baru. Seperti yang sudah kita ketahui, aktivitas kecerdasan ini terkadang berlangsung di alam sadar, “di bawah” kesadaran kita. Aktivitas ini tidak kurang cerdasnya, tak kalah kreatif dan analisisnya, walaupun saat kita tidak

10

A. Widyamartama, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 11

11

Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. Ke-1, hal. 119

12

Solihin Banyumas ahmad, Metode Granada: Sistem 8 Jam Bisa Menerjemahkan al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), h. 22

13

Maurits Simatupang, Pengantar Teori Terjemahan, (Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas, 1999), h. 2


(27)

13

menyadarinya. Ini bukanlah suatu model penerjemahan “sihir”. Kecerdasan yang sudah terarah-lah yang memungkinkan kita menerjemahkan dengan cepat, terpercaya dan menyenangkan. Kecerdasaan seperti ini merupakan hasil pembelajaran.

Menerjemahkan adalah suatu aktivitas kecerdasan yang memerlukan penyelesaian masalah secara kreatif dalam kondisi budaya, social, dan tekstual secara baru. Seperti yang sudah kita ketahui, aktivitas kecerdasan ini terkadang berlangsung di alam sadar, “di bawah” kesadaran kita. Aktivitas ini tidak kurang cerdasnya, tak kalah kreatif dan analitisnya, walaupun saat kita tidak menyadarinya. Ini bukanlah suatu model penerjemahan “sihir”. Kecerdasan yang sudah terarah-lah yang memungkinkan kita menerjemahkan dengan cepat, terpercaya dan menyenangkan. Kecerdasaan seperti ini merupakan hasil pembelajara. Artinya, hasil pengalaman yang tersimpan di dalam memori dengan cara-cara yang memungkinkanya untuk diingat kembali secara luwes dan serbaguna.

Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan yang buruk. Karena seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Penerjemah yang berspealisasi, misalnya hukum, teknik, atu kedokteran, harus menguasai substansi yang diterjemahkan. 14

Syarif Hidayatullah mengatakan cara menanggulangi penerjemah berkualitas buruk adalah :

14

Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemah, (Jakarta, Tp, 2007), h. 3


(28)

Pertama, Etik. Salah satu butir kode etik himpunan Penerjemah Indonesia menyebutkan penerjemah yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Kedua, peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas serta meyegarkan pengetahuanya. Ketiga, perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan program peletihan di samping program pendidikan formal di jenjang pascasarjana (spesialis atau magistery). Keempat, HPI sedang membina para penerjemah dengan pendididkan nonformal untuk meningkatkan kualitas. Kelima, peneliti dan kritisi terjemah harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas, keenam, penegetahuan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna.15

Sedangkan pengertian terjemah menurut Khalid Abdurrahman al-Ak adalah memindahkan makna dari satu bahasa kebahasa yang lain. 16Secara definitif, terjemah adalah suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran.17

Meski secara definitif terdengar sederhana, proses penerjemahan tidaklah mudah. Proses penerjemahan senantiasa melewati sebuah proses atas apa yang dipahami seorang penerjemah dalam sebuah bahasa untuk diterjemahkannya dalam sebuah bahasa lainnya. Proses ini, tentunya melewati sebuah proses pencitraan, di mana gambaran tentang sebuah konsep, baik itu sebuah peristiwa atau hanya sebuah benda, direfresentasi hanya dengan satu atau beberapa buah kata. Hal ini karena bahasa merupakan simbol dan sistem

15

Hidayatullah, h. 3-4

16

Khalid Abdurrahman al-Ak. Ushul Wa tafsir wa Qawaiduhu,( Beirut, Daru al Nafais, 1986), h. 461

17


(29)

15

penandaan dari dunia nyata. Realitas adalah realitas yang diketahui setelah dibahasakan, atau realitas adalah realitas yang terbahasakan. 18

Sedangkan Muhammad ibn Shalih menyebutkan bahwa terjemah adalah ”Menerangkan suatu pembicaraan dengan menggunakan bahasa yang lain”. 19 Dengan melihat definisi diatas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaaan dan penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima pembaca.

2. Jenis-jenis Penerjemahan

Bagi penerjemah professional, penerjemahan merupakan rangkaian proses belajar yang terus bergerak tiada henti melalui tahapan naluri (kesiapan yang tidak terarah), pengalaman (keterlibatan dengan dunia nyata), dan kebiasaan (“ketepatan tindakan”), dan di dalam pengalaman sendiri melalui tahapan abduksi (menebak-nebak), induksi (pembentukan pola), dan deduksi (kaidah, hukum, teori; penerjemah adalah seorang profesional yang kompleks, baginya telah menjadi kebiasaan yang sudah melekat (sehingga bersifat bawah sadar), sekaligus seorang pembelajar (learner) yang harus terus menerus menghadapi persoalan-persoalan baru dan memecahkannya secara sadar dan analitis.20

Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain. Bentuk lain yang dimaksud bisa berupa bentuk bahasa sumber

18

H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinas: Suatu Telaah Filsafat Postmoderrisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 27

19

Muhammad ibn Shahih al Ashimaini, Ushul fi al Tafsir, (Kairo: Dar ibn al Qayyim, 1989), cet. Ke-1, h. 31

20

Douglas Robinson, menjadi Penerjemah Profesional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 158


(30)

atau bahasa sasaran. Secara sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan yaitu “memindahkan amanat dari bahasa sumber kebahasa sasaran, dengan pertama-tama memindahkan dan yang kedua mengungkapkan gaya bahasanya. 21

Dalam praktek menerjemahkan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan beberapa factor, yaitu:

A. Adanya perbedaan system bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran B. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan

C. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi D. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan sutau teks

Dalam kegiatan menerjemahkan yang sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan kita menerapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks”. 22

Para ahli membagi kegiatan penerjemahan berbeda-beda, seperti Nida dan Taber membagi penerjemahan menjadi terjemahan harfiah dan dinamis, Larson membaginya menjadi terjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan terjemahan berdasarkan bentuk (form-(meaning-based translation). Sedangkan Maurits Simatupang membagi dalam dua bagian besar, yaitu terjemahan harfiah (literal translation) dan terjemahan yang tidak harfiah/terjemahan bebas (non-literal translation/free translation). 23

21

Wadya Martaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Knisius. 1991). Cet. Ke-1, h. 11

22

M. Rudolf Nababa, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. Ke-1,

23

Maurits Simatupang, Pengantar teori Terjemahan, (Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 1999), h. 2


(31)

17

Dalam metode penerjemahan Newmark membagi menjadi delapan bagian, yaitu:

1. Penerjemahan kata demi kata ( word for word ) 2. Penerjemahan harfiah ( literal translation ) 3. Penerjemahan setia ( faithful translation ) 4. Penerjemahan semantik ( semantic translation ) 5. Saduran ( adaption )

6. Penerjemahan bebas ( free translation )

7. Penerjemahan idiomatik ( idiomatic translation )

8. Penerjemahan komunikasi (communicative translation )

Nida dan Taber (1969: 33), dikutip dalam Novianti (2005: 16), membagi proses penerjemahan ke dalam tiga tahapan:

1) Analisis pesan pada bahasa sumber; 2) Transfer, dan;

3) Rekonstruksi pesan yang ditransfer ke dalam bahasa target. Proses penerjemahan ala Nida & Taber’s

Tahap analisis adalah proses di mana hubungan gramatikal dan makna atau kombinasi kata dianalisis. Pada tahap transfer, bahan yang telah dianalisa dalam tahap 1 ditransfer dalam pikiran penerjemah dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Tahap rekonstruksi adalah tahap di mana penulis menuliskannya kembali atau mengekspresikan kembali bahan sedemikian rupa sehingga produk terjemahan dapat diterima dan dibaca dalam aturan dan gaya bahasa target.


(32)

Bell (1991: 60) menggambarkan proses terjemahan sebagai proses interaktif yang berisi tiga tahap utama –sintaksis, semantik, dan pengolahan pragmatik. Masing-masing harus dilibatkan baik dalam analisis maupun sintesis. Dia menambahkan bahwa dalam proses tersebut ada kemungkinan (a) beberapa tahapan terlewati dengan cepat, dan (b) norma proses menjadi kombinasi bottom-up dan top-down, yaitu analisis (dan kemudian sintesis) dari klausa diberi pendekatan simultan baik oleh prosedur pengenalan-pola maupun prosedur inferencing berdasarkan pengalaman dan ekspektasi sebelumnya.

Bell, kemudian menjelaskan bahwa proses penerjemahan tidak linear di mana tahap diikuti tahap dalam rangkaian terbatas. Proses penerjemahan merupakan proses yang terpadu, walaupun setiap tahapan harus dilalui, urutannya tidak tetap dan pelacakan kembali, revisi, dan pembatalan atas keputusan sebelumnya merupakan norma, bukan sekedar pengecualian.

Weick, dalam Robinson (1997:102), menjelaskan bahwa proses penerjemahan dapat dirumuskan sebagai (1) menerjemahkan: bertindak; melompat ke dalam teks; menerjemahkan secara intuitif. (2) Edit: berpikir tentang apa yang telah dilakukan; menguji tanggapan intuitif terhadap semua yang anda tahu, tetapi terlalu intuitif memungkinkan terjemahan (bahkan yang paling berhasil) menghadapi adanya tantangan untuk prinsip yang baik dan masuk akal serta dipercayai secara mendalam; biarkan diri merasakan ketegangan antara kepastian intuitif dan keraguan kognitif, dan tidak secara otomatis memilih salah satu; menggunakan siklus perbuatan-respon-penyesuaian daripada aturan kaku. (3) menghaluskan: menginternalisasi apa


(33)

19

yang telah dipelajari melalui proses give-and-take ini untuk penggunaan di lain waktu; menjadikannya alami; menjadikannya bagian dari rekaman intuitif, tetapi mmungkinkannya fleksibel, sebagai suatu yang dapat diarahkan pada keadaan konflik; namun jangan pernah membiarkan alam bawah sadar mengikat pola fleksibilitas; selalu siap jika diperlukan “untuk keraguan, perdebatan, pertentangan, kesalahan, sikap kontra, tantangan, pertanyaan, kebimbangan, dan bahkan bertindak hipokritis.”

Naskah dan terjemahan

Untuk tujuan penerjemahan, Newmark (1988:39) membagi jenis teks berdasarkan teori Buhler (1965). Jenis-jenis itu adalah:

1. Jenis teks ekspresif merupakan karya literal, pernyataan resmi, autobiografi, esei dan korespondensi pribadi;

2. Jenis teks informatif adalah buku teks, laporan teknis, artikel, karya ilmiah, tesis, atau agenda pertemuan;

3. Jenis teks vokatif adalah pemberitahuan, instruksi, propaganda, publisitas, dan fiksi popular.

B. Semantik

1. Pengertian semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sama (kata benda) yang berati “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Sedangkan menurut Verhaar semantik


(34)

adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti ( dalam linguistik kedua istilah itu lazimnya tidak dibedakan ).24

Semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Dalam pengertian umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 M yang dikenal melalui American Philogigical Association ‘Organisasi filologi Amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning. A Point in Semantic. Istilah ini sudah ada sejak abad ke-17 SM bila dipertimbangkan melalui frase Semantic Philosophy.25

Namun, sejak tahun enam puluhan studi mengenai makna ini menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari study linguistik lainnya. Orang mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa sesungguhnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang-lambang bahasa tersebut untuk menyampaikan makna-makna yang ada pada lambang tersebut, kepada lawan bicaranya (dalam komunikasi lisan) atau pembacanya (dalam komunikasi tulis). Jadi, pengetahuan akan adanya hubungan antar lambang atau satuan bahasa, dengan maknanya sangat diperlukan dalam berkomunikasi dengan bahasa itu.26

2. Manfaat Semantik

Studi semantik dari segi manfaatnya memang sangat banyak. Ilmu ini sangat dibutuhkan diberbagai bidang keilmuan untuk pemahaman yang lebih dalam terhadap suatu masalah yang sedang dikaji. Selain itu, semantik juga

24

J. W. M. Verhaar, Pengantar linguistic, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995),cet. Ke-20, h.

25

J. W. M. Verhaar, Pengantar linguistic, h. 12

26


(35)

21

sangat membantu dalam bidang yang berhubungan dengan bahasa dan teks-teks yang menjadi bahan pustaka.

Dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik yang dapat membantu dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Bagi pelajar, pengajar, dan peneliti bahasa dan sastra pengetahuan semantik tentu banyak memberi manfaat. Bagi pelajar bermanfaat untuk menganalisis bahasa yang sedang dipelajari, bagi pengajar bermanfaat untuk memahami dengan baik dan mudah menyampaikannya kembali kepada para siswanya. Sedangkan bagi peneliti bermanfaat sebagai alat bantu yang dapat memudahkan menganalisis suatu permasalahan kebahasaan.

Selain itu, semantik juga bermanfaat bagi orang awam untuk memahami dunia yang penuh dengan informasi dan kebahasan yang terus berkembang, karena mereka tidak bisa dapat hidup tanpa memahami sekeliling mereka yang mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi.27

3. J nis-Jenis Semantik e

Jenis-jenis semantik cukup beragam, tetapi ada beberapa macam jenis semantik yang selalu menjadi pembahasan pada ilmu tersebut. Diantara jenis-jenis semantik ada 4 macam, yaitu :

27

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,2002), hal. 12


(36)

1) Semantik Leksikal

Semantik leksikal adalah semantik yang objek penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa. Dan di dalam semantik leksikal diselidiki makna yang ada pada leksem dari bahasa tersebut. Sedangkan leksem itu adalah satuan gramatikal bebas terkecil dan dalam bahasa Arab disebut dengan kalimah. Dalam studi semantik, semantik leksikal ini digunakan untuk menyebut satuan bahasa bermakna.

2) Semantik Gramatikal

Semantik gramatikal adalah semantik yang objek kajiannya adalah bentuk makna gramatikal dari tataran tata bahasa yaitu morfologi dan sintaksis, kata, frase, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Arab morfologi disebut dengan istilah “Ilmu Sharaf” dan sintaksis dikenal dengan istilah “Ilmu Nahwu”. Semua bentuk tersebut di atas memiliki makna dalam bentuknya masing-masing ketika satuan-satuan morfologi dan sintaksis itu membentuk sebuah kalimat.

3) Semantik Kalimat

Semantik kalimat adalah semantik yang berkaitan dengan topik kalimat. Menurut Verhaar, semantik kalimat ini belum banyak menarik perhatian para ahli linguistik.

4). Semantik Maksud

Semantik maksud adalah semantik yang berkenaan dengan pemakaian bentu-bentuk gaya bahasa seperti : metafora, ironi, litotes, dan majas perbandingan lainnya. Menurut Verhaar semantik maksud ini mirip dengan istilah semantik pragmatik yang biasa diartikan dengan bidang


(37)

23

studi semantik yang mempelajari makna ujaran yang sesuai dengan konteks situasinya. 28

4. Pengertian Makna

Sudah disebutkan pada sub bab yang lalu bahwa objek studi semantik adalah makna; atau dengan lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran seperti kata, klausa, dan kalimat.29 Aristoteles (384-322sm) seorang sarjana bangsa Yunani sudah menggunakan istilah makna, yaitu ketika dia mendefinisikan mengenai kata. Menurutnya, kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna.30

Palmer dan Lyons membedakan pengertian makna dan arti. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Menurut palmer makna hanya menyangkut intra bahasa. Lyons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksem.31

Mengenai makna kata biasanya di bedakan bermacam-macam makna, maka pertama-tama harus diketahui dasar-dasar pengertian makna. Di sekitar kita terdapat bermacam-macam peristiwa atau hal yang dapat diserap panca indra kita yang secara tradisional kita kenal sebagai rumah, binatang,

28

J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 29-30

29

Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 2

30

Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia h. 27

31


(38)

bulan, tanah, batu dan pohon. kata-kata semacam itu merupakan lambang bunyi ujaran untuk mengacu kepada benda-benda yang ada dialam itu.32

5. Sebab-sebab perubahan makna

Ahli bahasa Perancis Antoine Meiller “Bahwa bahasa ada tiga penyebab pokok untuk merubah makna yaitu: Bahasa, Sejarah, Masyarakat atau yang mengakibatkan atas perkataan ini. Macam-macam yang tiga ini menghimpun hal-hal yang bisa didalamnya antara menjelaskan banyak keadaan dari perubahan makna, akan tetapi bersamaan dengan hal itu bukan semua dari berbagai keadaan.

Sebab-sebab yang mengakibatkan perubahan makna yaitu nampaknya kebutuhan, Ketika masyarakat memiliki ide bahasa atau selainnya, dia ingin menciptakan yang baru , bahwa contoh dari semua suara didalam kosakata atau kamus bahasa.

Ketika masyarakat memiliki ide bahasa atau selainnya, dia ingin menciptakan yang baru , bahwa contoh dari semua suara didalam kosakata atau kamus bahasa.

Telah ada dalam perumpaan ini dari metode natralisasi (ketika diambil sesuatu dari referensi luar). Ada metode yang menjadikan kata baru ‘coining’ pada metode kalimat bahasa ini.

C. Sinonim secara umum

Kebanyakan ahli linguistik memperlakukan sinonimi sebagai masalah semantis belaka. Kesinoniman boleh saja diperlakukan sebagai semantis untuk sebagian, tetapi dengan kritis. Seorang bahasawan atau

32

Gorys Keraf, tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesi: Untuk Tingkat Pendidikan Menengah, (Jakarta: Grasindo, 1991), h. 159-160


(39)

25

penutur suatu bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai semua kalimat yang ada di dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya unsur kesesuaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain.

Seorang penganalisis dan penulis tentang sinonimi memerlukan pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh tentang sejarah perkembangan makna kata, derivasi-derivasi makna, pemilihan makna oleh para pengarang yang kurang memahami makna kata dan kontak antarbahasa yang serumpun dan antarbahasa yang tidak serumpun. Pengetahuan-pengetahuan ini membantu seorang penganalisis dan penulis tentang sinonim untuk membedakan dengan benar makna-makna kata yang sama, mirip sama, dan penggunaan makna kata-kata tersebut oleh pemakai bahasa.

Berapa besar kata atau frase yang bersinonim dalam satu bahasa? Adakah sinonim dalam sebuah bahasa? Bukankah sinonim dalam sebuah bahasa merupakan sebuah kemubaziran? Jika kata merupakan simbol dari referen yang mempunyai referen atau kata juga merupakan sebuah konsep, maka sinonim seharusnya tidak ada atau hanya sedikit sekali.

Kita dapat mencatat bahwa simbol bahasa atau kata yang tidak mempunyai sinonim ialah kata-kata yang merujuk: benda yang khusus, binatang, senjata, hiasan, ukuran, dan sebagian nasabah keluarga. Kesinoniman dalam sebuah bahasa lebih banyak terjadi akibat serapan antar bahasa, antar dialek, dan antarragam bahasa. Ini berarti bahasa yang tidak pernah berkontak dengan bahasa atau dialek yang lain tidak akan mempunyai banyak sinonim. Jadi, sebuah kamus sinonim hanya disusun untuk bahasa


(40)

yang sudah banyak menyerap kosakata bahasa yang lain atau bahasa yang sudah lama dan akrab berkontak dengan bahasa lain.

Kita mengenal sebuah kamus sinonim yang besar untuk kamus bahasa Inggris dengan judul Webster’s New Dictionary of Synonims. Kamus ini diantar dengan pengantar materi yang sangat luas dan mendalam (hlm. 5a-31a). para penyusun kamus sinonim sadar betul akan kesulitan menyusun kamus sinonim . usaha mereka yang utama ialah memberikan ciri pembeda yang paling kecil antara kata-kata yang dicalonkan sebagai sinonim.

Dengan teori semantik, misalnya teori referensial, teori mentalistik, teori pemakaian, kita akan menemukan sinonim antara morfem terikat, kata frase, klausa, dan kalimat. Sampai saat ini para pakar lebih memfokuskan analisis semantik sinonim kata. Dalam bahasa Indonesia ada sinonim morfem terikat, misalanya Pe- (penyata orang/personal) dan –wan/wati (juga penyata persona/orang/pelaku) sebagai misal, kita catat bentuk’pemirsa’ dan ‘pirsawan’, ‘pengolahraga’ dan ‘olahragawan’, ‘pegolf’ dan ‘golfwan’. Kita jumpai sinonim antar morfem terikat ke-an dan morfem terikat ke-an dan morfem terikat serapan –itas sebagai pembentuk nomen. Misalnya , ‘kestabilan’, dan ‘stabilitas’, keproduktifan’, dan ‘ produktifitas’.

Frase yang bersinonim dapat dicontohkan ‘buku ayah’ dan ‘buku kepunyaan ayah’, ‘sabun mandi’ dan ‘sabun untuk mandi’, juga antara kata frase, misalnya ‘putra’, dan ‘anak laki-laki’. Perhatian para pakar linguistik belum banyak kesinoniman frase. Kami mencari dan menemukan bahwa terdapat sinonim antara pasangan-pasangan tetap dan pasangan berpartikel. Misalnya, ‘rumah jaga’ sinonim dengan ‘rumah untuk orang yang


(41)

27

menjaga/untuk penjagaan’. Mungkin disinilah letak salah satu fungsi analisis semantik, yakni, menjawab, sinonim antara kata dan parafrasis.33

D. Sinonim dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab 1. Pengertian sinonim

Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu syn yang berarti ‘dengan’ dan onoma yang berarti ‘nama’. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama’ lain untuk benda atau hal yang sama’.

34

Jadi sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. 35 Misalnya, antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.

Sedangkan Verhaar menyebutkan bahwa sinonim adalah ungkapan (biasanya sebuah kata, tetapi dapat pula berupa frase atau malah kalimat), yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain. 36

Pada definisi Verhaar di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama” ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu kesamaanya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak. Karena berdasarkan prinsip umum semantik, apabila bentuk berbeda, maka maknanya pun tidak persis sama. 37 Jadi, makna kata saya dan aku tidak persis sama.

Dalam ilmu bahasa yang murni, sebenarnya tidak diakui adanya sinonim. Tiap kata memepunyai makna atu nuansa makna yang berlainan,

33

J.D. Parera, Teori Semantik, h. 63

34

Abdul Chaer, Pengantar Semanti Bahasa Indonesia , (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet. Ke-5, h. 82

35

Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet. ke-1, hal. 297

36

Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), cet. Ke-15, jil. 1, h. 132

37


(42)

walaupun ada ketumpang tindihanantara satu kata dengan kata yang lain. Ketumpang tindihan inilah yang membuat orang menerima konsep sinonim. Disamping itu, konsep ini juga diterima untuk tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengan kata-kata lama yang sudak dikenal. 38

Untuk mendefinisikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan, yaitu: 1) kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus, 2) Kata-kata yang mengandung makna yang sama, misalnya kata memberitahukan dan kata menyampaikan, 3) kata-kata yang dapat disubstitusi dalam kontek yang sama, misalnya “ kami berusaha agar pembangunan ini berjalan terus”. “Kami berupaya agar pembangunan ini berjalan terus”. Kata berusaha bersinonim dengan kata berupaya. 39

Kesamaan kata (sinonim) dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu :

a) Substitusi (penyulihan). Hal tersebut dapat terjadi bila kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang lain dan makna konteks tidak berubah, maka kedua kata itu disebut sinonim. Lyons mengemukakan bila dua kalimat memiliki struktur yang sama, makna yang sama, dan hanya berbeda karena di dalam kalimat yang satu terdapat kata ‘Y’, maka ‘X’ sinonim dengan ‘Y’, misalnya Amir anak pandai dengan Amir anak pintar, maka pandai bersinonim dengan pintar.

b) Pertentangan. Kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata lain. Pertentangan itu dapat menghasilkan sinonim. Misal, kata berat bertentangan dengan ringan dan enteng disebut sinonim.

38

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1990), cet. Ke-6, h. 34

39

Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223


(43)

29

c) Penentuan konotasi. Jika terdapat perangkat kata yang memiliki makna kognitifnya sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata-kata itu tergolong sinonim, missal kamar kecil, kakus, jamban, dan WC, mengacu ke acuan yang sama, tetapi konotasinya berbeda.40

Dalam bahasa Arab banyak ragam kosa kata yang mempunyai makna yang sama. Kata yang mempunyai makna yang sama dalam ilmu bahasa (linguistik) disebut sinonim yang dalam bahasa Arab disebut al-taraduf (فداﺮ ا). Para ahli bahasa Arab memberikan definisi yang berbeda mengenai al_taraduf, seperti al-Fakhru-Razi yang mendefinisikan taraduf dengan beberapa yang mempunyai makna yang sama.41

Sedangkan Emil Badi’ Ya’ qub di dalam bukunya Fiqh al-Lughah al-Arabiyah wa Khashaishuha, mendefinisikan taraduf dengan dua buah kata atau lebih yang berbeda lafaznya tetapi mempunyai makna yang sama, seperti kata مﺎﺴﺤ ا ,ﺪﻨﻬﻤ ا, ﺴ ا yang mempunyai makna yang sama. 42

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam menyikapi ada atau tidak adanya taraduf. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kesepakatan antara para ahli bahasa terhadap pengertian, definisi atau maksud yang sebenarnya dari taraduf itu sendiri.

Ullman mengambil jalan tengah untuk menjembatani perbedaan pandangan para ahli bahasa terhadap taraduf, yaitu dengan memberikan teori sinkronis. Dalam teori ini dikemukakan bahwa, apabila kita akan menentukan dua buah

40

T. Fatimah Djadjasudarma, Semantik I : Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Eresco, 1993), cet. Ke-I,h. 36-37

41

Mukhtar ‘Umar, Ilm ad-dalalah, (Kuwait: Muktabah Dar ‘Urubah, 1982), cet. Ke-1, h. 215

42

Emil Badi’ Ya’qub, Fiqh Lughah Arabiyah wa khashaishuha, (Beirut: dar al-Tsaqafahal-Islamiyah,t.t), cet.ke-4, h. 173


(44)

kata atau lebih itu dianggap ber-taraduf, maka terlebih dahulu harus memperhatikan beberapa hal, antara lain :

1. Kata-kata yang akan disinkronkan atau dipadankan harus terbatas pada lingkungan, waktu dan tempat tertentu.

2. Memperhatikan hubungan kata dalam konteks kalimat. Karena terkadang sebuah kata akan memiliki pengertian yang berbeda bila ditempatkan pada konteks kalimat yang berbeda.

3. Adanya penyesuaian arti antara satu kata dengan kata yang lain yang pada umumnya dapat dipahami oleh orang-orang yang tinggal di suatu lingkungan tertentu. 43

Berikut ini pandangan para ahli bahasa dalam menangggapi ada atau tidaknya taraduf , sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Mukhtar ‘Umar dalam bukunya yang berjudul ‘ilm ad-dalalah.

1. Pandangan Mutaqaddimin ( ahli Bahasa Klasik )

Para ahli bahasa klasik berbeda pendapat dalam menyukai atau tidaknya taraduf di dalam bahasa Arab, mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Kelompok yang mendukung adanya taraduf

Orang yang pertama kali menulis buku yang membahas tentang taraduf adalah Abi Hasan ‘Ali bin Isa ar-Rahmani (W. 384 h), yang berjudul ; Kitabul al-fadz al- mutarodifah wa al-Mutaqaribah fi al-Ma’na yang merupakan telaah dari buku Abu al-Husain Ahmad bin Faris (W. 377 H) yang berjudul Assahiby.

43

Zahrudin, Sinonim dalam al-Qur’an, Tesis Pascasarjana, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002), h. 39-40


(45)

31

Sedangkan orang yang pertama kali mengakui adanya taraduf dalam bahasa Arab adalah Abu zaid al-Anshari (W. 251 H). Al-Suyuti (W. 911 H) mengemukakan dalam bukunya Muzhar, bahwa Abu Zaid al-Anshari, mencoba mengumpulkan kata-kata yang ber-tarduf, di antaranya adalah antara kata ﺊ ﻨ ﺤﻤ ا dengan kata ﻦ ﻤﺴ ا.

Tokoh lain pendukung adanya tarduf adalah Ibn al-Arabi (W. 232 H) dan Asmhu’I (W. 216 H) dengan bukunya yang terkenal kitab al-Fadz. Pada abad ke-4 H muncul tokoh lain yang mendukung adanya taraduf seperti ibn al-khalawaih (W. 816) dengan bukunya yang berjudul Asma’ al Hayah dan Asma’ al-Asad. Kemudian pada abad ke-8 H, muncul al-Fairuz (W 216 H) dengan kamusnya yang terkenal, yaitu al-muhith. Pada abad ke-9 muncul pula as-Suyuthi yang membahas taraduf secara spesifik dalam bukunya al-Muzhar, kemudian pada abad ke-12 H, muncul pula al-Thamuni.44

Kelompok pendukung adanya taraduf mengemukakan alasan adanya tarduf, yaitu pertama bahwa ketika seseorang akan menjelaskan kata ا, maka mau tak mau harus mendapatkan kata lain yang mempunyai makna yang sama dengan kata tersebut, misalnya dengan kata

ﻘﻌ ا. Kedua kata tersebut mempunyai makna dan pengertian yang sama yaitu akal, karena itu, kedua kata tersebut dianggap bertaraduf.

Kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh ibn Faris seandainya sebuah kata bisa diungkapkan dengan satu makna saja, niscaya tidak mungkin bagi seseorang mengungkapkan suatu makna dengan kata yang

44


(46)

Ketiga, dalam sebuah riwayat hadits diceritakan bahwa Rasulullah SAW menjatuhkan sebuah pisau, kemudian ia meminta abu Hurairah : “Ambilkan pisau itu (ﻦ ﻜﺴ ا) untukku” Abu Hurairah menoleh kekanan dan kekiri. Setelah rasulullah mengulang ucapannya sebanyak tiga kali, Abu Hurairah berkata “Pisau (ﻪ ﺪ ) kah yang engkau maksudkan? Rasul menjawab: “Ya”.

Al-Fakhru al-Razi (W. 666H) menyatakan bahwa ada sebagian orang yang menolak taraduf. Mereka berpendapat bahwa kata-kata yang dianggap bertaraduf sebenarnya tidak memiliki makna yang sama, tetapi kata-kata tersebut hanya saling menjelaskan. Karena kata yang satu adalah kata yang mempunyai makna yang sebenarnya, sedangkan kata lain yang dianggap memiliki makna yang sama sebagai sifat. Pendapat seperti ini sebenarnya boleh-boleh saja dan dapat diterima, seperti kata ﺴ ا dan kata مرﺎﺼ ا , tidak memiliki makna yang sama. Karena kata yang bermakna pedang hanya kata ﺴ ا , sedangakan kata مرﺎﺼ ا , hanyalah kata yang hampir sama maknanya dengan kata ﺴ ا .

Al-Ashfahani juga mengatakan bahwa al-Taraduf al-Haqiqi hanya terdapat pada kata-kata yang berada pada suatu dialek atau lahjah. Sedangkan kata-kata yang tidak satu lahjah bagaimanapun tidak terdapat taraduf.45

45


(47)

33

b. Kelompok yang menolak adanya taraduf

Ahli bahasa yang menolak adanya taraduf didalam bahasa Arab adalah Abu Al-Abbas Tsa’lab, Abu Ali al-farisi, Ibn farisi, dan Abu Hilal al-Askari. Ibn faris mengatakan bahwa setiap isim hanya memiliki satu makna, sedangkan kata-kata yang kemudiakan diartikan pedang bukan makna yang sebenarnya, tetapi hanya laqab atau sifat saja, seperti ﺴ ا yang berarti pedang. Begitu pula pada kata kerja, seperti ﺪﻌ dan . kedua kata tersebut tidaklah bermakna sama, masing-masing kata secara spesifik memiliki makna sendiri-sendiri yang berbeda.

Abu al-Farisi mengatakan: “saya hanya mengenal satu nama pedang yaitu

ﺴ ا “, ketika ditanya: “bagaimana dengan dengan kata-kata ﺪﻨﻬﻤ ا , dan

مرﺎﺼ ا ?, beliau menjawab: “kata-kata tersebut tidak memiliki makna pedang yang sebenarnya, tetapi hanya sebatas pedang saja”.

Abu Hilal al-Askari, seorang kritikus sastra yang menolak adanya taraduf cenderung untuk membedakan kata-kata yang dianggap bertaraduf. Ia mengatakan bahwa perbedaan pada ungkapan dan nama mengakibatkan perbedaan pula pada makna. Apabila sebuah kata telah menunjukan pada sebuah makna tertentu, maka tidak tepat bila kata tersebut ditunjukan pada makna yang lain. Menurutnya, bahasa mempunyai kata-kata yang jelas maknanya, sehingga kata-kata tersebut sudah menunjukan satu makna, sedangkan makna yang lain dimilikinya sudah tidak tepat lagi dan itu hanya makna tambahan saja. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa tidaklah benar apabila ada sebuah kata yang


(48)

mempunyai dua makna atau lebih, begitu juga sebaliknya, tidaklah benar apabila ada dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama.

Abu Hilal al-Askari memperkuat argumennya dengan membedakan kata-kata yang sapadan atau serupa maknanya, seperi kata

ءﺎﻨﺜ ا , حﺪﻤ ا dan ءاﺮ ﻹا , yang mempunyai makna pujian. Tapi sesungguhnya ketiga kata ini bila dikaji secara mendalam, masing-masing memiliki makna yang spesifik dan berbeda. Kata حﺪﻤ ا berarti pujian pada perbuatan, ءﺎﻨﺜ ا berarti pujian yang diulang-ulang, sedangkan kata

ءاﺮ ﻹا berarti pujian pada orang yang berwajah tampan atau cantik.

Ibn faris juga membedakan antara kata ﺪﻌ dan yang didukung oleh para ahli bahasa lain yang menolak taraduf. Kata ﺪﻌ berarti duduk dari kondisi sebelumnya berdiri, sedangkan kata berarti duduk dari kondisi sebelum tidur.46 Kedua kata tersebut ternyata memiliki makna yang berbeda.

2. Sebab-sebab terjadinya sinonim

Sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sinonim adalah :

a. Karena adanya proses serapan (borrowing). Pengenalan dengan bahasa lain membawa akibat penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Misalnya dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil, kita masih menerima kata prestasi, dan produksi, sudah ada kata jahat dan kotor, masih menerima kata maksiat. Serapan ini bukan hanya menyangkutreferen yang sudah ada katanya dalam bahasa

46


(49)

35

sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih dari sebuah bahasa donor, seperti buku, kitab; sekolah, madrasah; reklame, iklan; dan advertensi.

b. Penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia. Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi pula peradaban kosa kata yanh di gunakan, walaupun referennya sama, misalnya kata tali dan tambang, parang dan golok, ubi kayu dan singkong, lempung dan tanah liat, dan sebagainya hampir sama dengan kelas sinonim ini adalah sinonim yang terjadi karena pengambilan data dari dialek yang berlainan, misalnya tuli dan pekak, sore dan petang, dan sebagainya.

c. Makna emotif (nilai rasa) dan evaluativ. Makan kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluativ dan nilai emotifnya berbeda, misalnya kata ekonomis, hemat, dan irit; kikir dan pelit; rindu dan damba; mayat, jenazah, dan bangkai; mati, meninggal,wafat, mangkat. 47

Sedangkan Ramadhan Abdu al-Tawwab, di dalam bukunya Fushul Fi Fiqh al-Lughah mengemukakan beberapa faktor penyebab munculnya taraduf, yaitu :

a. Banyaknya nama suatu benda dengan ungkapan yang berbeda. Suatu benda terkadang mempunyai nama yang banyak, sehingga timbulah hubungan arti antara nama-nama tersebut. Kondisi kebahasaan seperti ini biasanya dipengaruhi oleh factor agama, ekonomi, maupun politik yang terjadi pada

47


(50)

saat itu. Sebagai contoh kata ﺔﻜ dalam dialek Mesir sama dengan ﺮ اﺮ dialek Libanon, atau antara kata ﺷﺮآ ,شﺮ dan ﺪﻌﻘ .

b. Adanya perkembangan bahasa (penggunaan kosa kata), sehingga sebuah benda dapat memiliki nama yang cukup banyak, contoh kata ﺴ اkata ini sebenarnya mempunyai arti yang spesifik, tetapi dalam perkembangan berikutnya muncul nama-nama lain, sepertiﺮ ﺎ ا ,مرﺎﺼ ا , ﺑﺎﻘ ا

c. Karena dua pengucapan yang mirip dan jumlah hurufnya sama, hanya susunannya saja yang berbeda. Pengucapan kata-kata seperti ini menjadi salah satu faktor timbulnya taraduf, misalnya kata ﺑر dan kata

رDisebabkan pula dengan adanya dua kata lebih yang jumlah hurufnya sama, hanya saja salah satu huruf pada kata-kata tersebut berbeda, contoh kata ه dengan kata ﻨ ه . kedua kata ini berbeda, tetapi karena kemiripan antara keduanya, akhirnya diartikan sama.

d. Meminjam kata-kata asing, sebagaimana yang terjadi pada masa Jahily dan pada masa Islam, sehingga terjadi asimilasi bahasa. Pada masa itu bahasa yang banyak diadopsi adalah bahasa Persia, seperti kata ﻚﺴ ﺪ ا,قﺮ ﻹا yang berarti sutra. 48

Itulah faktor-faktor penyebab munculnya sinonim, baik dalam bahsa Arab maupun dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, kata-kata tertentu yang dianggap bersinonim tidak lantas diterima begitu saja, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :

a. Kata-kata yang bersinonim harus memiliki persesuain makna, seperti kata

dengan kata ﺪﻌ. kedua kata ini mempunyai makna yang sama, yaitu

48

Ramadhan’Abdu al Tawwab, Fushul Fi Fiqh al-Lughah al-Arabiyah, (KAiro: Maktabah al-Khanji, 1997), h. 316-317


(51)

37

b. Kata-kata yang dianggap bersinonim, harus berada dalam lingkungan bahasa dan geografis tertentu pula, seperti bahasa Arab di Jazirah Arabia.49

Dalam bahasa Indonesia, kesinoniman mutlak atau simetris memang tidak ada. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Pada suatu tempat kita mungkin dapat menukar kata mati, dan kata meninggal, tetapi di tempat lain tidak dapat.50 Dua buah kata yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.

Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim disebabkan berbagai faktor, antara lain:

a. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Karena hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini.

b. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya bersinonim dengan kata beta. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku). Sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.

c. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah bersinonim. Tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman yang sebaya dan tidak dapat

49

Zahruddin , Op. Cit., h. 30

50


(52)

digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.

d. Faktor bidang kegiatan , misalnya kata tasawuf, kebatinan dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam dan kata mistik untuk semua agama.

e. Faktor nuansa makna, misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau dan mengintip adalah bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata, kata melotot untuk menyatakan melihat dengan mata terbuka lebar, kata meninjau digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.

3. Jenis-jenis sinonim

Tiap-tiap ahli bahasa membagi jenis sinonim berbeda-beda, di antaranya :

a. Pembagian sinonim menurut Colliman yang dikutip Ullman membagi jenis sinonim menjadi Sembilan, yaitu :

1) Sinonim yang salah satunya memiliki makna yang lebih umum (generik), misalnya tumbuh-tumbuhan lebihumum dari tebu.

2) Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif, misalnya jenuh dan bosan.

3) Sinonim yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif misalnya hati kecil dan hati nurani.


(53)

39

4) Sinonim yang salah satunya bersifat mencela atau tidak membenarkan, misalnya boros dan tidak hemat.

5) Soedjito menyatakan bahwa pasangan kata dan frase yang berawal dengan kata “tidak’ seperti contoh diatas (tidak hemat) meskipun maknanya sama, dianggap bukan sinonim. Frase “tidah hemat” seperti contoh diatas merupakan deskripsi makna kata. 51

6) Sinonim yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu, misalnya ordonansi dan peraturan.

7) Sinonim yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai di dalam bahasa tulisan, misalnya bisa dan racun.

8) Sinonim yang salah satu anggotanya lebih lazim dipakai dalam bahasa percakapan, misalnya kayak dan seperti.

9) Sinonim yang salah satu anggotanya di pakai dalam bahasa kanak-kanak, misalnya mam (mamam) dan makan.

10)Sinonim yang salah satu anggotanya biasa di pakai di daerah tertentu saja, misalnya cabai dan Lombok. 52

b. Pembagian sinonim menurut Palmer sebagai berikut :

1) Perangkat sinonim yang salah satu anggotanya berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing dan lainnya, terdapat dalam bahasa umum, misalnya domisili dan kediaman.

2) Perangkat sinonim dan pemakaiannya bergantung kepada lagam dan laras bahasa, misalnya, mati, meninggal dan wafat.

51

Soedjito, Sinonim, (Bandung: Sinar Baru Offset, 1989), cet. Ke-1, h. 3

52


(54)

3) Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama, misalnya negarawan dan politikus.

4) Perangkat sinonim yang pemakaiannya terbatas pada kata tertentu (keterbatasan Kolokasi), misalnya, busuk, basi, tengik, asam, dan apek memiliki makna yang sama, yakni, buruk, teapi tidak dapat saling menggantikan. Karena dibatasi oleh persandingan yang dilazimkan. 5) Perangkat sinonim yang maknanya kadang-kadang tumpang tindih,

misalnya nyata dan kongkrit. 53

c. Sedangkan menurut Lyons Membagi sinonim kedalam empat jenis, yaitu : 1) Sinonim mutlak dan lengkap

Dalam bahasa-bahasa alamiah tidak terdapat “sinonim-sinonim murni”. Walaupun ada, sedikit sekali ditemukan. Ullman mengatakan bahwa sinonim mutlak dan lengkap sulit sekali ditemukan, karena sangat jarang didapat, seperti barang mewah yang sulit di berikan oleh bahasa. Sinonim lengkap dan mutlak harus memenuhi dua syarat yaitu : 1) dapat di tukar-tukar dalam segala konteks, 2) identik artinya, baik kognitif maupun emotif. 54

Lyons menyebut sinonim jenis ini dengan “sinonim sempurna dan absolute”. Ia membedakan kata yang bersinonim sempurna dan kata yang bersinonim secara absolut. Suatu kata dapat dikatakan bersinonim secara sempurna apabila kata-kata tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama. Sedangkan suatu

53

T. Fatimah Djajasudarma, h. 40

54

Jhon Lyons, Pengantar Teori Linguistik, terj. I. Soetikno, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 439


(55)

41

kata disebut bersinonim secara absolut apabila kata-kata tersebut mempunyai distribusi yang sama dan bermakna sempurna didalam kehadirannya pada semua konteks. Zgusta menggunakan istilah absolut, near synonyms. 55

Para ahli bahasa menjadikan jarangnya sinonim lengkap dan mutlak sebagai landasan untuk menolak adanya sinonim. 56 Contoh sinonim lengkap dan mutlak adalah surat kabar dan Koran.

2) Sinonim lengkap dan tidak mutlak, misal orang dan manusia. 3) Sinonim tidak lengkap dan tidak mutlak misal, gadis dan cewek. 4) Sinonim tidak lengkap dan mutlak misal, wanita dan perempuan.57 d. Pembagian Sinonim menurut Verhaar

Menurut Verhaar, jenis-jenis sinonim sebenarnya berkaitan erat dengan satuan-satuan bahasa. Satuan bahasa tersebut dapat berbentuk morfem, kata, frase, bahkan kalimat. Menurut Verhaar jenis-jenis sinonim dibedakan :

1) Sinonim antarkalimat, mislnya Adik menendang bola dengan bola ditendang Adik. Kedua kalimat ini dianggap bersinonim, meskipun yang pertama kalimat aktif dan yang kedua kalimat pasif.

2) Sinonim antarfrase, misal antara ayah ibu dan Orang tua. 3) Sinonim antarkata, misal kata mati dengan meninggal.

4) Sinonim antarmorfem (terikat dan bebas), misalnya kulihat dengan saya lihat. 58

55

Mansoer Pateda, Op. cit., h. 223

56

Gorys Keraf, Op. Cit., h. 35

57


(56)

Parera menyebutkan jenis sinonim morfem terikat yangt lain, yaitu antara penyata orang atau personal dan –wan atau –wati (juga penyata orang atau personal dan pelaku), misal pemirsa dan pirsawan, pengolah raga dan olah ragawan, pegolf dan golfwan. Juga sinonim antara morfem terikat ke-an dan morfem terikat serapan –itas sebagai pembentuk nomen, misalnya kestabilan dan stabilitas, keproduktifan dan produktivitas. 59 Abdul Chaer juga membagi sinonim sama dengan Verhaar, hanya ia menambahkan satu jenis sinonim yang lain, yaitu sinonim antar kata dengan frase atau sebaliknya, misalnya antara meninggal dengan tutup usia, antara tamu yang tidak diundang dengan pencuri.60

Sedangkan Soedijto membagi sinonim menjadi: 1) sinonim antara kata dasar dan kata dasar, misalnya betul dan benar; 2) sinonim antara kata dasar dan kata jadian, misalnya awal dan permulaan; 3) sinonim antar kata jadian dan kata jadian, misalnya ketua dan pemimpin. Ia juga menyebutkan bahwa jenis atau kelas kata yang bersinonim itu selalu sama, seperti kata benda dengan kata benda, kata kerja dengan kata kerja, kata sifat dengan kata sifat, kata keterangan dengan kata keterangan, dan kata tugas dengan kata tugas. 61

Kesinoniman dalam sebuah bahasa lebih banyak terjadi akibat serapan antar bahasa, antar dialek, dan antarragam bahasa. Kesinoniman juga dapat terjadi antara kata asli dan kata serapan, misalnya suhu dan temperatur, keluarga dengan family, serta antara kata serapan dan bentuk

58

Verhaar, Loc. Cit.

59

J.D Parera, h. 52

60

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 87

61


(57)

43

terjemahan pinjaman, misalnya akselerasi dengan percepatan. 62 Juga dapat terjadi antara kata asli dan kata asli, misalnya, baik, bagus, dan indah; jatuh, rebah, dan roboh; kata serapan dan kata serapan, misalnya bagai dan laksana, waktu dan ketika. 63

62

J.D, h. 51

63


(58)

KONSEP BERPIKIR

A. Definisi Berpikir

Secara etimologi “berpikir” adalah terjemahan istilah bahasa Inggris “thingking”. Thingking pada hakikatnya adalah kejadian batiniah, kebetulan, tak keruan dan berulang kali (Hullfish and Smith, 1964: 216). Dari pengertian berpikir yang demikian, aktifitas berpikir membutuhkan alat control berpikir yang oleh Jhon Dewey (Titus, 1984: 348) menyatakan “reflection” sebagai kontrolnya. “ Reflection” adalah kata benda yang dapat berarti daya reflek yang ada pada manusia. Pikiran adalah bagian organ tubuh manusia yang memiliki daya –daya reflek yang dapat dikembangkan dengan cara merefleksikannya ke dalam dunia disekelilingnya. Untuk memmbantu pengembangan “reflection” aktifitas berpikir menggunakan tiga aspek” pengindraan, ingatan, imaginasi. Tiga aspek ini dinyatakan sebagi control berpikir.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat ditarik pengertian bahwa “thingking” (berpikir) adalh aktifitas yang dipusatkan untuk pngembangan potensi diri sehingga dapat mewujudkan kebaikan-kebaikan tuhan diatas dunia ini, dan menjadikan “reflection” (reflection” (refleksi) sebagai kontrolnya, untuk melahirkan hidupnya kesadaran (pengetahuan) dalam pikiran.1

Pikiran adalah gagasan dan proses mental. Berpikir memungkinkan seseorang untuk merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan

1

Lian Hasibuan, Berpikir dalam Konsepsi Metode Belajar, (jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2000) h. 9


(1)

285. Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."

Penulis melihat dari hasil terjemahan di atas bahwa kata ﻊﻤﺴ ا mempunyai pengertian berpikir setelah mendengar atau berpikir lewat pendengaran, karena jika kita lihat contoh ayat di atas ”Kami dengar dan Kami taat” dapat kita ambil keputusan bahwa sebelum mereka mendengar ke benaran mereka tidak taat. Akan tetapi setelah mereka mendengar mereka taat dan percaya kepada ajaran yang di bawa oleh Rasulullah. jadi dapat penulis kemukakan bahwa berpikir tidak hanya melalui mata tetapi melalui pendengaran pun bisa, terbukti dari contoh ayat yang telah penulis berikan.

9. Al-Basru (

ﺮﺼ ﻟا

)

Kata

ﺮﺼ ﻟا

adalah masdar dari kata kerja ﺮﺼﺑ atau ﺮﺼﺑ, artinya melihat dengan mata melalui pandangan yang tajam. Menurut al-Ragib kata

ﺮﺼ ﻟا

dan

حﺮﺼ ﻟا

juga dipergunakan untuk menunjukan daya akal (al-qalb) untuk mengetahui sesuatu (berpikir).

Ibnu Mansur mendefinisikan

حﺮﺼ ﻟ

ا dengan arti mengenai hakikat sesuatu. Sedangkan menurut tafsir al-mizan al-Qur’an sendiri disebut namanya dengan al-basirah (jamaknya ﺮﺋﺎﺼﺑ) karena al-Qur’an merupakan keterangan nyata


(2)

Dalam al-Qur’an penggunaan

ﺮﺋﺎﺼﺑ

tersebut dapat dilihat pada surat al-An’am: 104

104. Sesungguhnya Telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; Maka barangsiapa melihat (kebenaran itu)[496], Maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (Tidak melihat kebenaran itu), Maka kemudharatannya kembali kepadanya. dan Aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).

Dari redaksi di atas dapat kita ketahui bahwa Tuhan telah memberikan bukti-bukti yang terang, maksudnya adalah Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-petunjuk mengenai makna kehidupan, dalam ayat di atas menyuruh kita untuk berpikir dengan cermat mengenai kehidupan ini. Karena apabila kita salah melangkah atau kurang cermat dalam menjalani kehidupan ini maka kemudharatan yang akan kita dapatkan.

Penulis melihat bahwa

ﺮﺼ ﻟا

mempunyai makna berpikir, terlihat dari hasil terjemahan di atas karena kebaikan dan keburukan itu tidak dapat di ketahui hanya dengan melihat saja, akan tetapi di butuhkan pemahaman dan pengetahuan akan perbuatan itu.


(3)

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan sinonim berpikir dalam kajian al-Qur’an, kita harus melihat konteks ayat sebelumnya. Dari ayat sebelum atau kata yang mengiringinya maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut bersinonim.

Bagi seorang penerjemah, memilih diksi (kata) yang tepat dalam menerjemahkan sebuah teks amat berpengaruh pada hasil terjemahannya, apakah sesuai dengan bahasa sasaran atau tujuan yang di maksud dari penulis bahasa asal (teks tersebut)

Pada kasus penerjemahan kata sinonim ini, di perlukan

adanya latar belakang turunnya ayat, atau kronologis turunya sebuah ayat. Inilah keagungan yang di miliki al-Qur’an di mana ia menyimpan rahasia atau ke dalaman kandungannya.

Dari hasil analisis sebelumnya Penulis dapat mengambil benang merah tentang konsep berpikir dalam al-Qur’an. Al-Qur’an ternyata memiliki motivasi kepada manusia untuk berpikir sebagai metode belajar untuk merefleksikan kebenaran-kebenaran Allah di alam semesta ini. Motivasi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa aktivitas berpikir sebagai metode bertujuan untuk merefleksikan fenomena alam sebagai simbol-simbol dari kebenaran Allah.


(4)

Aktivitas berpikir Sebagai metode ditujukan untuk merefleksikan kebenaran Allah, dipandang sebagai metode belajar islami yang terkandung dalam konseosi al-Qur’an. Berdasarkan konsepsi ini, pengembangan berpikir juga tidak terlepas dari pengontrolan yang mengunakan pendirian, ingatan dan imajinasi.

B. Saran

Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat al-Qur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku.


(5)

Abdurrahman al-Ak, Ahmad. Ushul Wa tafsir wa Qawaiduhu. Beirut, Daru al Nafais, 1986.

Akmaliyah. Wawasan dan Teknik Menerjemahkan. Bandung : N&Z Press, 2007. Atsa’labi, Abu Mansur. Fiqh Lughah wa Sirul Arabi.

Banyumas Ahmad, Solihin. Metode Granada: Sistem 8 jam bisa menerjemahkan al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000.

Bono, de, Edward, Pemikiran Baru Era Milenium. Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2000.

Chaer, Abdul. Pengantar Teori Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Bhineka cipta. 2

Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 2 Pemahaman Makna. Bandung: Pt. Refika., 1999.

Hidayatullah, M. Syarif. Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan Arab-Indonesia. 2006.

Keraf, Gorys. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesi: Untuk Tingkat Pendidikan Menengah. Jakarta: Grasindo. 1991.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. 5th ed. Jakarta: Gramedia, 20 Lyons, John. Pengatar Teori Linguitk. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 1995. Machali, Rochayah, Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000. Martaya, Wadya. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Knisius. 1991.

Moeliono, M Anton, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Jambatan. 1985.

Parera, Jhon D. Teori Semantik. 2nd ed. Jakarta: Erlangga, 2004. Pateda, Mansur. Semantik Leksikal. Jakarta:Rineka Cipta, 2001. Pei, Mario, Kisah Dari Pada Bahasa, Jakarta: Iskandar Dinata, 1971.

Robinson, Douglas. Menjadi Penerjemah Profesional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.


(6)

Setyo Humanika, Eko. Mesin Penerjemah: Sebuah Tinjauan Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

Simatupang, Maurits. Pengantar Teori Terjemahan. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas, 1999.

Soedjito, Sinonim. Bandung: Sinar Baru Offset, 1989.

Tombak, Alam Datuk. Metode Menerjemahkan al-Qur’an al-Karim 100 kali pandai

Verhaar, J.W.M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta; UGM Press, 1989 Widyawartama, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius,1989. Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah. Bandung; Mandar Maju, 1999.

Zahrudin. Sinonim dalam al-Qur’an. Tesis Pascasarjana. Jakarta: UIN Syarif