Meninjau Ulang Muharram Sebagai Tahun Ba

Meninjau Ulang Muharram Sebagai Tahun Baru Islam
Muhammad Anis

Seiring masuknya bulan Muharram, sebagian besar Muslimin merayakannya sebagai
awal Tahun Baru Islam yang penuh sukacita dan semarak dengan berbagai kegiatan.
Apalagi didukung oleh riwayat bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh dari banjir
bandang, selamatnya kaum Musa dari Fir’aun, dan sebagainya, pada 10 Muharram (hari
Asyura). Bahkan ditambah lagi dengan riwayat Puasa Asyura. Maka, semakin lengkaplah
kegembiraan bulan ini.
Namun sebaliknya, ada sebagian kecil Muslimin yang justru bersedih di bulan
Muharram. Seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar
Muslimin tadi. Mereka justru menangis, meratap, dan memukul dada sebagai ekspresi
kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini. Alangkah perbedaan yang
sangat kontras. Mengapa demikian?
Saya mencoba membuka-buka sejarah seputar penetapan Tahun Baru Islam. Dari
situ saya dapati bahwa penetapan Tahun Baru Islam dilakukan di masa Umar bin Khattab.
Sebelumnya Muslimin menggunakan Tahun Gajah—tahun ketika Abrahah menyerbu
Mekah untuk meruntuhkan Ka’bah—sebagai acuan penanggalan. Ada yang mengusulkan
kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bi’tsah Nabi saw sebagai awal penanggalan, atau
pada riwayat lain Umarlah yang bertekat untuk memulai penanggalan dengan mengacu
pada kelahiran atau bi’tsah Nabi saw. Namun, Ali bin Abi Thalib tidak menyetujui

pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saw sebagai

awal penanggalan. Usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar pada 8 Rabi’ul Awal 17 H.1
Oleh karena itu, nama tahunnya adalah Hijrah atau Hijriyah.
Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan
penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saw, atas perintah beliau sendiri, pasca
pelaksanaan hijrah di bulan Rabi’ul Awal. Mereka (Muslimin saat itu) mengatakan bahwa
peristiwa dimulainya penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah, dan berlanjut
“hingga diperoleh satu tahun penuh.”2 Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa sistem
penanggalan dimulai pada bulan Rabi’ul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar. Syaikh Ja’far
Subhani menegaskan bahwa riwayat inilah yang benar, berdasarkan bukti surat-surat yang
dikirim oleh Nabi saw dan bukti-bukti lainnya.3
Pada peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saw tiba di Quba (sekitar 10 Km dari
Madinah)—tepatnya di rumah Kultsum bin al-Hadam—hari Senin, 12 Rabi’ul Awal.
Perjalanan tersebut ditempuh Nabi saw sekitar sembilan hari, setelah sebelumnya
bersembunyi di Gua Tsaur (sekitar 5 Km di selatan Mekah) selama tiga hari. Ini berarti awal
hijrah Nabi saw adalah sekitar 1 Rabi’ul Awal. Sementara, Ali bin Abi Thalib baru
melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saw dari Gua Tsaur, dan ia sampai di
Quba hari Kamis, 15 Rabi’ul Awal. Esok harinya, barulah Nabi saw berangkat ke
Madinah.4 Sementara itu, riwayat lain juga menyebutkan secara tegas bahwa Nabi saw

mengawali hijrah pada 1 Rabi’ul Awal. 5

1

Tarikh Ya’qubi, jil. 2, hal. 135; Tarikh Thabari, riwayat dari Said ibn Musayyib.
Tarikh Thabari, jil. 3, hal. 1250; ibid., jil. 5, hal. 2480.
3
Syaikh Ja’far Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 103.
4
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah, jil. 3, hal. 55, no. 3150; Tarikh Thabari, jil. 1, hal. 106; Ibn Atsir, Tarikh
al-Kamil, jil. 2, hal. 106; Syaikh Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hal. 280-285, Penerbit Lentera; Syaikh Ja’far
Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 99-104; Sayed Ali Asgher Razwy, Restatement of History of Islam,
bab 18.
5
Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat,
vol. 6, no. 3 dan 4, yang mengutip dari kitab Safinah al-Bihar, jil. 2, hal. 696.
2

Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru Islam jatuh
pada 1 Muharram, padahal bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi

saw? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saw dengan tidak
memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharram, sementara
masih ada bulan lainnya? Mengapa tidak memilih saja bulan yang justru terkait dengan
peristiwa hijrah Nabi saw? Apalagi, kenyataannya penggunaan Muharram sebagai awal
tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam.
Sementara itu, sekaitan dengan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para nabi di
hari Asyura, selain tercantum pada jalur Ahlusunah, juga tercantum pada jalur Syiah.
Namun, Al-Majlisi dan ulama Syiah lainnya telah jauh-jauh hari menyatakan bahwa riwayat
tersebut dha’if (lemah) dan bohong. Apalagi diperkuat pula oleh penjelasan Maitsam alTammar (salah seorang murid dan sahabat dekat Ali bin Abi Thalib) tentang kebohongan
riwayat tersebut. Maitsam berkata, “Mereka berdalih dengan hadis yang mereka buat bahwa
Asyura merupakan hari di mana Allah mengampuni Adam, padahal peristiwa ini terjadi
pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah menerima taubat Dawud,
padahal peristiwa ini juga terjadi pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu
Allah mengeluarkan Yunus dari perut ikan Paus, padahal peristiwa ini terjadi pada
Dzulqa’dah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu bahtera Nuh berlabuh di Gunung Judi,
padahal peristiwa ini terjadi pada 18 Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah
membelah laut untuk keselamatan Bani Israel, padahal peristiwa ini terjadi pada Rabi’ul
Awal.”6
Mengenai riwayat Puasa Asyura, beberapa ulama Islam juga meyakini
kelemahannya. Riwayat yang kerap digunakan sebagai dalil adalah: Setelah Nabi saw

6

Syaikh Shaduq, Al-Amali, majlis ke-27, riwayat no.1; Syaikh Najamudin al-Thabasi, Shaum Asyura Baina
Sunnah Nabawiyah wa al-Bid’ah Umawiyah, hal. 48-49.

berhijrah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Kemudian
beliau bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini
adalah hari baik, ketika Allah menyelamatkan Bani Israel dari musuh mereka (Fir’aun).
Karenanya, Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw menjawab, “Aku lebih berhak
atas Musa daripada kalian.” Beliau lalu berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
Muslimin untuk juga berpuasa.7
Terdapat beberapa kejanggalan pada riwayat ini:8
1. Orang-orang Yahudi hanya mengenal satu jenis puasa, yaitu Puasa Pertobatan, yang
dilakukan pada hari Yom Kippur. Mereka memperingatinya sebagai hari kesedihan,
karena dipindahkannya Tabut Musa dari Gunung Sinai. Peristiwa ini terjadi pada hari
kesepuluh di bulan Tisyri (bulan ketujuh pada kalender Yahudi).
2. Berdasarkan riwayat di atas, dialog itu terjadi pada Muharram setelah hijrah. Dari
penelusuran diperoleh bahwa Muharram saat itu kurang lebih bertepatan dengan 5 Juli
623 M. Sementara, Tisyri selalu bertepatan dengan September-Oktober.
3. Peristiwa selamatnya Bani Israel dari Fir’aun terjadi di bulan Abib (bulan pertama pada

kalender Yahudi). Berarti kurang lebih bertepatan dengan Maret-April.
Dengan demikian, bulan Muharram saat itu tidak terkait sama sekali dengan
peristiwa puasa Yom Kippur dan selamatnya Bani Israel dari Fir’aun. Dari analisis ini saja
terlihat bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah).
Selain itu, riwayat-riwayat lain—baik dari jalur Ahlusunah maupun Syiah—juga
menegaskan bahwa Nabi saw meninggalkan Puasa Asyura setelah hijrah, di antaranya:
1. Abdullah meriwayatkan bahwa suatu hari Asy’ats datang ke rumahnya, sementara ia
sedang makan. Asy’ats segera berkata, “Ini hari Asyura.” Aku menjawab, “Memang
7
8

Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 251.
Sayid Akhtar Rizvi, The Fast of Ashura, Journal Al-Serat, vol. 8, no. 3 dan 4.

puasa dilakukan pada hari itu, sebelum kewajiban Puasa Ramadhan turun. Tetapi, ketika
kewajiban Puasa Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan. Jadi, ikutlah
makan bersamaku.”9
2. Ibnu Umar berkata, “Nabi saw berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan Muslimin
untuk juga berpuasa pada hari itu. Ketika kewajiban Puasa Ramadhan turun, maka
beliau meninggalkan Puasa Asyura.”10

3. Saat Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab, “Puasa tersebut
dilakukan sebelum turunnya kewajiban Puasa Ramadhan. Ketika kewajiban Puasa
Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan.”11
4. Di saat yang lain, ketika Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia
menjawab, “Puasa ini telah ditinggalkan dengan turunnya kewajiban Puasa Ramadhan.
Dan segala yang ditinggalkan itu bid’ah.” Demikian halnya dengan Ja’far ash-Shadiq,
saat ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab persis seperti jawaban ayahnya itu.
Bahkan ia menambahkan, “Adapun puasa pada hari itu tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an,
tidak pula oleh Sunah Nabi saw, kecuali sunah keluarga dan pengikut Ziyad dalam
rangka (merayakan) terbunuhnya al-Husein.”12
Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya—baik dari jalur
Ahlusunah maupun Syiah—justru diperoleh fakta bahwa pada bulan Muharram telah terjadi
peristiwa kezaliman terbesar di jagad raya ini atas keluarga Nabi saw. Yaitu terbantainya alHusein di Karbala, beserta keluarga dan para sahabatnya, oleh Yazid bin Mu’awiyah dan
pasukannya. Diriwayatkan bahwa al-Husein beserta rombongannya berangkat dari Mekah
menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (Karbala) pada 2 Muharram 61 H (atau semestinya 60

9

Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, jil. 5, hal. 154-155.
Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 226.

11
Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 51; Al-Hurr al-‘Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, jil.
10, hal. 459.
12
Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 4, hal. 146; Syaikh Thusi, Al-Istibshar, jil. 2, hal. 134.

10

H). Sejak saat itu hingga 10 Muharram, ia diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun
tak akan mampu melakukannya. 13 Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian
kecil Muslimin berduka, menangis, dan meratapinya, sebagaimana tersebut di awal tulisan
ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pengaitan Muharram dengan Tahun
Baru Islam—berikut keberuntungan para nabi dan Puasa Asyura—menurut saya merupakan
hasil rekayasa. Pengaitan tersebut mungkin dibuat pasca peristiwa Karbala, untuk
memalingkan umat manusia dari tragedi kemanusiaan terbesar itu dan menjauhkan mereka
dari hujjah Allah di muka bumi. Sekalipun dengan cara mempertahankan tradisi
penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran bila Ibn Sirin (w. 110 H)
menyatakan, “Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal
tahun pada bulan Muharram,” yang sejatinya merupakan penegasan bahwa penanggalan

Muharram hanyalah kesepakatan orang-orang tertentu di masanya. 14
Dengan demikian, sudah semestinya Muharram (khususnya tanggal 1 hingga 10)
dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Husein dan berduka atas tragedi besar yang
menimpanya. Ja’far ash-Shadiq berkata, “Allah menjadikan bagi kami Syiah, yang mereka
bergembira atas kegembiraan kami dan bersedih atas kesedihan kami.”15
Murtadha Muthahhari, saat menjelaskan filosofi menangis atas tragedi al-Husein,
berkata bahwa, “Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena
menangis itu bersifat al-Ruh al-Ijtima’iyah (kebersamaan ruh), yang mendekatkan sang
penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara, tertawa bersifat al-Ruh al-Fardiyah
(kesendirian ruh), yang hanya akan menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut.

13

Thabari, Tarikh al-‘Umam wa al-Mulk, jil. 6, Bab Peristiwa Pada 61 H; Abul A’la al-Maududi, Khilafah
dan Kerajaan, hal. 231-234; Ibn Atsir, Tarikh al-Kamil, jil. 4, hal. 46.
14
Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat,
vol. 6, no. 3 dan 4.
15
Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 10, hal. 114, riwayat no. 1; ibid., jil. 44, hal. 287, riwayat no. 26.


Karena itu, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis
dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasa dekat dengan orang yang
dirindukannya.”16
Ya, menangisi al-Husein dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi
lemah. Justru hal itu akan menjadikannya dekat dengannya. Sehingga, segala pelajaran dari
misinya pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak segala bentuk
kezaliman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka
bumi.
Tangisan sepanjang masa itu pulalah yang telah berhasil menggulirkan Revolusi
Islam Ayatullah Khomeini. Sekaitan dengan ini, ia berkata, “Mengenalkan Islam kepada
manusia, sembari menciptakan hubungan dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita tetap
memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya
hilang, sehingga manusia masih berkumpul selama Muharram dan memukul dada mereka,
maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes
menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, sementara para penceramah dan
rauzakhwan17 benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka.”18
Oleh Karena itu, dalam bulan Muharram ini, saya ingin mengucapkan bela
sungkawa dan dukacita mendalam kepada Rasulullah saw dan keluarga beliau, serta kepada
Muslimin dan Mukminin di mana pun mereka berada: A’zhamallahu Ujurana bi Mushibatil

Husein ‘Alaihissalam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Husein untuk menolak dan
memerangi segala bentuk kezaliman, khususnya kezaliman Amerika, Zionis, dan antek-

16

Murtadha Muthahhari, Syahid, khususnya pada bab Falsafah al-Buka’.
Rauzakhwan adalah orang yang membawakan kisah-kisah seputar kesyahidan al-Husein, bahkan ia juga
kerap menggubah syair tentang tragedi Karbala.
18
Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 141-142, Penerbit Pustaka Zahra.
17

antek mereka. Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair Muhammad Iqbal berikut
komentarnya:

Gharib-o-sada-o-rangi’n hay dastan-e-Haram
Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail

Komentar:
Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Ka’bah itu sangat simpel dan menarik.

Ismail menderita kepedihan yang sangat, dalam peristiwa itu. Ibrahim membersihkan
Ka'bah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama
diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai korban, namun pengorbanan itu
tidak lengkap, karena diganti seekor domba. Berdasarkan Al-Qur'an, pengorbanan agung
(al-Dzibh al-‘Azhim) muncul di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang
keturunannya, yaitu al-Husein.

Sehingga, puncak ruh

kecintaan kepada

Allah

termanifestasi, ketika al-Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan
Ka’bah.19
Berikut ini saya kutipkan pula pandangan beberapa orientalis Barat non-Muslim:
1. Edward Gibbon berkata, “Pemandangan tragis kematian Husein akan membangkitkan
simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun).”20
2. Ignaz Goldziher berkata, “Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah
mengalami penderitaan dan penganiayaan terus-menerus. Hal ini diberitakan dalam
syair maupun prosa, dalam literatur-literatur tentang para syuhada—khususnya Syiah,
dan menjadikan berkumpulnya orang-orang Syiah pada sepertiga pertama Muharram,

19
20

DR. Ibrahim Ayati, A Probe Into The History of Ashura, Bab 50.
The Decline and Fall of The Roman Empire, vol. 5, hal. 391-392.

yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala.
Pemandangan tragedi itu juga ditampilkan dalam peringatan tersebut secara dramatik.
“Hari Raya kami adalah majelis duka,” bunyi sebuah syair dari seorang pangeran Syiah
yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka yang menimpa keluarga Nabi.
Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, dan
kedukaan atas para syuhada, menyebabkan peristiwa itu selalu dikenang. Bahkan dalam
masyarakat Arab dikenal pepatah: Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang
Syiah.”21
3. Reynold Alleyne Nicholson berkata, “Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah, dan
para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum
Muslim, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi Dinasti Umayyah serta
menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya.”22
4. Edward G. Brown berkata, “Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda
darah—di mana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang
terbunuh—sejak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan secara terang-terangan, dengan
dukacita mendalam serta kegairahan ruh, yang di hadapan semua itu rasa sakit, bahaya,
dan kematian menjadi hal sepele.” 23

21

Introduction to Islamic Theology and Law, hal. 179.
A Literary History of The Arabs, hal. 197.
23
A Literary History of Persia, hal. 227.
22

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Peranan Hubungan Masyarakat (Humas) Mpr Ri Dalam Mensosialisasikan Empat Pilar Bangsa Tahun 2014

4 126 93