BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD N 3 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grob

7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Pembelajaran Matematika
Nurhadi (2004: 8) mengartikan belajar matematika sebagai belajar
ilmu pasti. Belajar ilmu pasti berarti belajar bernalar. Keterpaduan antara
konsep belajar dan konsep mengajar melahirkan konsep baru yaitu proses
belajar mengajar yang dikenal dengan proses pembelajaran. Usman (2004:
4) mengartikan proses belajar mengajar adalah suatu proses yang
mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan
timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu.
Sunarti (2011:10) mendefinisikan belajar matematika adalah proses
psikologis berupa kegiatan aktif dalam upaya seseorang untuk memahami
atau menguasai materi matematika. Aisyah dkk (2007: 1) menjelaskan
bahwa Matematika mengkaji benda abstrak yang disusun dalam suatu
sistem aksiomatis dengan menggunakan simbol (lambang) dan penalaran
deduktif.
Pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

matematika adalah proses penyajian materi kepada siswa yang dapat
mengembangkan pengetahuan dan ketrampian siswa berhubungan dengan
penalaran yang logik, bilangan, bersifat eksak, dan terorganisasi secara
sistematik yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, berargumentasi,
memberi kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari serta
memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2.1.2. Teori Belajar Matematika
Brunner dalam Aisyah dkk (2007: 16) menyatakan bahwa anak
berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:

8

1. Tahap enaktif; pada tahap ini, dalam belajar, anak-anak menggunakan
atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung.
2. Tahap ikonik; pada tahap ini kegiatan anak mulai menyangkut mental
yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Dalam hal ini,
anak-anak tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti
pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan
memakai gambaran dari objekobjek yang dimaksud.

3. Tahap simbolik; tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbolsimbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objekobjek.
Tahapan yang disebutkan oleh Brunner, usia anak kelas IV masih
dalam tahap ikonik. Tahap ini menjelaskan bahwa kemampuan anak akan
tercapai dengan maksimal jika anak akan mempelajari mata pelajaran harus
dikaitkan dengan objek yang bersifat nyata meskipun tidak secara langsung
tapi siswa diberikan gambaran tentang objek yang mudah ditemui dalam
keseharian. Hal ini akan berakibat positif dalam rangka membelajarkan
matematika secara efektif. Untuk mendukung usaha pembelajaran yang
mampu menumbuhkan kekuatan matematika, diperlukan guru yang
profesional dan kompeten.
Teori perkembangan intelektual dari Jean Piaget dalam Muhsetyo
(2008: 19) menjelaskan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang
secara bertingkat atau bertahap yaitu:
1. Tahap sensorimotor (0-2 tahun); pada tahap ini anak mengembangkan
konsep pada dasarnya melalui interaksi dengan dunia fisik.
2. Tahap pra-operasional (2-7 tahun); pada tahap ini anak sudah mulai
menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide tersebut
masih tergantung pada persepsi. Pada tahap ini anak sudah mulai
menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau
istilah dengan menggunakan objek yang diwakili oleh kata atau istilah

tersebut.

9

3. Tahap

operasional

konkret

(7-11tahun)

selama

tahap

ini

anak


mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk
menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak.
4. Tahap operasi formal (11-15 tahun), pada tahap ini anak sudah mulai
berpikir secara abstrak, dia data menyusun hipotesis dari hal-hal yang
abstrak menjadi dunia real dan tidak tergantung pada benda-benda konkret.
Tahapan usia anak berdasarkan piaget, usia anak kelas IV ada pada
tahap operasional konkret. Dalam tahap ini anak dalam rangka mempelajari
mata pelajaran khususnya matematika, anak harus dikaitkan dengan media
yang masih konkret atau nyata sehingga akan tercapai pembelajaran sesuai
tahapan usia anak yang maksimal.
Pendapat teori pembelajaran diatas dapat disimpulkan bahwa proses
pembelajaran matematika akan berhasil dan lebih bermakna jika proses
pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dari struktur-sruktur yang termuat
dalam pokok bahasan dengan cara melibatkan siswa secara langsung
menggunakan media pembelajaran yang relevan seperti gambar, lambang
atau simbol dan benda-benda konkret lainnya sehingga siswa lebih
memahami terhadap konsep matematika.
2.1.3. Tujuan Pembelajaran Matematika
Depdiknas (2006:346) menjelaskan tujuan pembelajaran matematika
yaitu memahami konsep matematika, keterkaitan antar konsep, akurat, efesien,

dan tepat dalam pemecahan masalah. Menggunakan penalaran pada pola dan
sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Memecahkan masalah
yang

meliputi

kemampuan

memahami

masalah,

merancang

model

matematika, menyelesaikan model dan dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, digram atau media lain

untuk

menjelaskan

keadaan.

Memiliki

sikap

menghargai

kegunaan

matematika dalam kehidupan yaitu mempunyai rasa ingin tahu, perhatian, dan

10

minat untuk mempelajari, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.

Aisyah dkk (2007: 14) menjelaskan tujuan matematika di sekolah
dasar (SD) yaitu agar siswa memiliki kemampuan antara lain:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika

dalam

membuat

generalisasi,

menyusun

bukti,

serta


menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan matematika yang bersifat material, yaitu untuk
membekali siswa agar menguasai matematika dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari tetapi pembelajaran matematika dimaksudkan untuk
mencapai tujuan pendidikan matematika yang bersifat formal, yaitu untuk
menata nalar siswa dan membentuk kepribadiannya.
2.1.4. Hasil Belajar
a.

Pengertian Hasil Belajar
Dimyati (2009:3) menjelaskan hasil belajar adalah hasil dari suatu

interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Nasution (2002:39) juga
berpendapat bahwa hasil belajar matematika merupakan perubahan yang
terjadi pada individu siswa, bukan saja perubahan mengenai kemampuan

11

menghitung, mengoprasikan bilangan-bilangan, menggunakan rumusrumus, tetapi juga kemampuan dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap,
penguasaan dan penghargaan dalam diri individu siswa .
Hakikatnya proses belajar yang dilakukan oleh seorang individu
memberikan sebuah hasil. Hasil belajar matematika siswa di SD
ditunjukkan dengan adanya kemampuan dan pemahaman dalam diri siswa
yang hasilnya berupa perubahan pengertahuan, sikap, keterampilan,
penerapan konsep-konsep, struktur dan pola dalam matematika sehingga
menjadikan siswa berpikir logis, kreatif, sistematis dan kritis dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan konsep dan struktur
matematika serta menghubungkannya dalam membuat keputusan, yang
pada akhirnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum
hasil belajar diharapkan mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Tipe hasil belajar, menurut Sudjana (2011:22), dibagi menjadi tiga
bagian yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiganya tidak dapat

berdiri sendiri, tetapi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tingkat
hasil belajar kognitif di mulai dari yang paling rendah dan sederhana yaitu
hafalan sampai yang paling tinggi dan kompleks yaitu evaluasi.
Pendapat tentang hasil belajar dari para ahli dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang yang meliputi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor setelah individu yang bersangkutan
terlibat dalam proses belajar mengajar.
b. Faktor

faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Sastrawijaya

(1991:41)

menjelaskan

faktor-faktor

yang


mempengaruhi hasil belajar antara lain :
1) Faktor Eksogin yaitu faktor yang datangnya dari luar diri siswa atau anak.
Faktor ini ada yang berasal dari lingkungan dan ada yang bersifat
instrumental.
Faktor Lingkungan terdiri dari lingkungan alami, seperti keadaan
suhu, kelembaban udara, berpengaruh terhadap prose balajar dan hasil

12

belajar dan lingkungan sosial, baik yang berwujud manusia dan
representatifnya maupun yang berwujud lain, langsung berpengaruh
terhadap proses dan hasil belajar. Sedangkan Faktor instrumental adalah
faktor yang adanya dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil
belajar yang diharapkan. Faktor ini terbagi menjadi faktor-faktor perangkat
keras. Misalnya: Gedung, alat-alat bermain, meja, kursi dan lainnya dan
faktor-faktor perangkat lunak misalnya: Kurikulum, program kerja dan
lainnya.
2) Faktor Indogen. Faktor ini dibedakan menjadi dua, yaitu: Kondisi
Fisiologis dan Psikologis.
Sriyanti (2003: 10) menjelaskan bahwa kondisi fisik anak yang
meliputi kesehatan, kelelahan dan cacat tubuh serta gangguan panca
indera, sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Belajar
tidak hanya melibatkan aspek pikir dan psikologis lainnya, namun yang
tak kalah penting adalah adanya keterlibatan aspek fisik. Pengaruh aspek
fisik bisa langsung berkaitan dengan aktivitas belajar sendiri, namun juga
bisa memberikan pengaruh tidak langsung, bila kondisi jasmani anak
mempengaruhi kepribadiannya. Kondisi Psikologis, baik yang bersifat
bawaan maupun yang diperoleh, terdiri atas: Faktor intelektif yang
meliputi faktor potensial, yaitu kecerdasan dan bakat serta faktor
kecakapan nyata, yaitu prestasi yang dimiliki. Faktor non intelektif yaitu
unsur-unsur

kepribadian

tertentu

seperti

sikap,

kebiasaan,

minat

kebutuhan.
a. Minat merupakan kecenderungan untuk memperhatikan dan berbuat
sesuatu.
b. Intelegensi. Tinggi rendahnya intelegensi siswa akan mempengaruhi hasil
belajar. Anak dengan intelegensi tinggi akan lebih cepat menangkap
pelajaran dari pada anak yang memiliki intelegensi rendah
c. Bakat merupakan kemampuan potensial pada anak, yang akan menjadi
aktual jika sudah melalui proses belajar /latihan. Bakat membuat anak
hanya memerlukan waktu sedikit dalam menyelesaikan sesuatu.

13

d. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru.
e. Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga kemampuan ini
mempunyai pengaruh positif terhadap proses dalam mencapai prestasi
belajar.
Pendapat para ahli dan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh model belajar siswa, keadaan
kelas

yang

tidak

tertata

dan

cara

mengajar

siswa

juga

dapat

mempengaruhinya. Suasana pembelajaran dan fasilitas-fasilitas di kelas juga
dapat

mempengaruhi

hasil

belajar

siswa

tersebut.

Permasalahan-

permasalahan di atas harus dicarikan solusi. Solusi tersebut dapat berupa
penerapan model pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih
aktif dalam pembelajaran di kelas.
2.1.5. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a. Pengertian
Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai sistem kerja atau
belajar kelompok yang terstruktur. Struktur ini terdiri dari lima unsur
pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual,
interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Siswa
dalam pembelajaran kooperatif diarahkan untuk bisa juga bekerja,
mengembangkan diri, dan bertanggung jawab secara individual (Dewi,
2009: 202).
Eggen dan Kaucak (dalam Trianto, 2007:42) mendefinisikan
pembelajaran kooperatif merupakan kelompok strategi pengajaran yang
melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan
bersama. Tujuan dibentuknya kelompok yaitu untuk memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses
berfikir dan kegiatan belajar. Riyanto (2008: 271) juga menjelaskan
pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dirancang
untuk membelajarkan kecakapan akademik, sekaligus keterampilan sosial
termasuk interpersonal skill.

14

Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana
dalam sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang
berjumlah 4 sampai 6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang
siswa lebih bergairah dalam belajar (Tukiran, dkk., 2011:55).
Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara
berkelompok. Belajar kooperatif terdapat struktur dorongan atau tugas
yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara
anggota kelompok. Hubungan kerja memungkinkan timbulnya persepsi
yang positif tentang apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik untuk
mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan secara individu
dan sumbangan dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam
kelompok.
Lie dan Tejada (dalam Chotimah dan Dwitasari, 2009:2)
mengemukakan ada lima elemen dasar dalam strategi kooperatif yaitu 1)
Saling ketergantungan positif di antara anggota kelompok di mana
keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya,
tanggung jawab individu dan kelompok. 2) Kelompok bertanggung jawab
untuk mencapai tujuan bersama dan setiap individu bertanggung jawab
atas pekerjaan masing-masing. 3) Interaksi yang baik. Anggota kelompok
bekerja sama untuk memahami materi dengan saling memberikan
dukungan dan bantuan. 4) Keterampilan interpersonal dan kelompok.
Terjadinya
pembelajaran

pembelajaran

keterampilan

tentang

kepemimpinan,

sosial

yang

menyangkut

pengambilan

keputusan,

membangun kepercayaan, komunikasi dan penanganan konflik. 5)
Kelompok berdiskusi antara satu dengan yang lainnya dalam mencapai
tujuan.
b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Dewi

(2009:204)

menyebutkan

karakteristik

atau

ciri-ciri

pembelajaran kooperatif diantaranya adalah 1) Siswa bekerja dalam

15

kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2) Anggotaanggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan
rendah, sedang, dan tinggi. 3) Masing-masing anggota kelompok
kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. 4) Sistem
penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1.
Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Tahap

Tingkah Laku guru

Tahap 1

Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang
akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan
Menyampaikan tujuan menekankan pentingnya topik yang akan
dan memotivasi siswa dipelajari dan memotivasi siswa belajar.
Tahap 2
Guru menyajikan informasi atau materi
Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau melalui bahan bacaan.
Tahap 3
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
Mengorganisasikan
memebimbing setiap kelompok agar
siswa
ke
dalam melakukan transisi secara efektif dan
kelompok-kelompok
efisien.
belajar
Tahap 4
Guru membimbing kelompokkelompok
belajar
pada saat mereka mengerjakan
Membimbing
kelompok bekerja dari tugas mereka.
belajar
Tahap 5

Evaluasi
Tahap 6
Memberikan
penghargaan

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
balik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.

Chotimah dan Dwitasari (2009:3) menjelaskan empat tahapan
keterampilan kooperatif selain yang dijelaskan di atas yaitu: 1) Forming
(pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk

16

kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma, 2)
Functioning (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina
hubungan kerja sama di antara anggota kelompok, 3) Formatting
(perumusan) yaitu keterampilan yang diperlukan untuk pembentukan
pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan yang dipelajari, merangsang
penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan
penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan, 4) Fermenting
(penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang
pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih
banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh
kesimpulan.
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif
Sanjaya

(2006:246-247)

membagi

empat

prinsip

dalam

pembelajaran kooperatif yang meliputi:
1. Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)
Kelompok kerja yang efektif dapat tercipta dari masing-masing anggota
kelompok dengan melakukan pembagian tugas. Tugas tersebut
disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Hakikat
inilah yang dimaksud ketergantungan positif, artinya setiap anggota
kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan dalam menyelesaikan
tugas kelompok dan semua ini memerlukan kerjasama yang baik dari
masing-masing anggota kelompok.
2. Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama.
Keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap
anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan
tugasnya. Anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan
kelompoknya dan guru perlu memberikan penilaian terhadap individu
dan juga kelompok.

17

3.

Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas
kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka yaitu saling
memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka
akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota
kelompok

untuk

bekerjasama,

menghargai

setiap

perbedaan,

memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing
anggota.
4. Partisipasi dan Komunikasi (Participation and Communication)
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi
aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal
mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Partisipasi dan
komunikasi dapat dilakukan siswa dengan dibekali kemampuan
berkomunikasi.
d. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Linda L (dalam Setyono, 2005:35) mengemukakan beberapa unsurunsur dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar pembelajaran
kooperatif lebih efektif diantaranya: 1) Siswa harus memiliki persepsi
bahwa mereka tenggelam dan berenang bersama, 2) Siswa memiliki
tanggung jawab terhadap siswa lain di dalam kelompoknya, disamping
tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang
dihadapi, 3) Siswa harus berpandangan bahwa mereka memiliki tujuan
yang sama, 4) Siswa harus membagi tugas dan berbagai tanggung jawab
yang sama besarnya diantara para anggota kelompok, 5) Siswa akan
diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok, 6) Siswa berbagi
kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama
selama belajar, 7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara
individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

18

e. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Ide utama dari belajar kooperatif adalah siswa bekerja sama untuk
belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Belajar
kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya
dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan atau
penguasaan materi. Manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat
mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada
level individual (Trianto, 2009: 57).
Ibrahim, et. all. dalam Umi Kulsum (2011: 83-84) merangkum
model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan untuk mencapai tiga
tujuan pembelajaran, yaitu:
1.

Hasil belajar akademik
Model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.
Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur
penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas
dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial,
kemampuan, dan ketidakmampuannya.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan
kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi.
Rusman (2012: 201-204) menjelaskan strategi pembelajaran kooperatif
adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa di
dalam kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Strategi pembelajaran kooperatif terdapat empat hal penting yang harus
diperhatikan siswa antara lain: 1). Adanya peserta didik dalam kelompok, 2).
Adanya aturan main (role) dalam kelompok, 3). Adanya upaya belajar dalam
kelompok, 4). Adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok.

19

Tabel 2.2
Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif Dengan Kelompok Belajar
Konvensional
Kelompok Belajar Kooperatif

Kelompok Belajar Konvensional

Adanya saling ketergantungan positif, Guru sering membiarkan adanya
saling membantu, dan saling memberikan siswa yang mendominasi kelompok
motivasi sehingga ada interaksi promotif. atau menggantungkan diri pada
kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang Akuntabilitas individual sering
mengukur
penguasaan
materi diabaikan sehingga tugas-tugas
pembelajaran tiap anggota kelompok, dan sering diborong oleh salah seorang
kelompok diberi umpan balik tentang anggota
kelompok
sedangkan
hasil belajar para anggotanya sehingga anggota kelompok lainnya hanya
dapat saling mengetahui siapa yang
mendompleng
keberhasilan
memerlukan bantuan dan siapa yang
pemborong .
dapat memberikan bantuan.
Kelompok belajar heterogen, baik dalam Kelompok
belajar
biasanya
kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, homogen
etnik, dan sebagainya sehingga dapat
saling
mengetahui
siapa
yang
memerlukan bantuan dan
siapa yang memberikan bantuan.
Pimpinan kelompok dipilih secara
demokratis
atau
bergilir
untuk
memberikan pengalaman memimpin bagi
para anggota kelompok.

Pemimpin
kelompok
yang
ditentukan oleh guru atau kelompok
dibiarkan
untuk
memilih
pemimpinnya dengan cara masingmasing
Keterampilan sosial yang diperlukan Keterampilan sosial sering tidak
dalam kerja gotong royong seperti secara langsung di ajarkan
kepemimpinan,
kemampuan,
berkomunikasi, memercayai orang lain
dan mengelola konflik secara langsung
diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang Pemantauan melalui observasi dan
berlangsung guru terus melakukan intervensi sering tidak dilakukan
pemantauan melalui observasi dan oleh guru pada saat belajar
melakukan intervensi jika terjadi masalah kelompok sedang berlangsung
dalam kerja sama antara anggota
kelompok
Guru memerhatikan secara proses Guru sering tidak memerhatikan
kelompok yang terjadi dalam kelompok- proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok belajar
kelompokkelompok belajar

20

Pendekatan

kooperatif

dalam

pembelajaran

merupakan

model

pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil
antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang
kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. Model
pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang
membedakannya. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan
benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.
2.1.6. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
a. Pengertian
Suprijono (2009:45) menjelaskan bahwa “model merupakan bentuk
representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau
kelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu . Model
pembelajaran menurut Trianto (2007:5) adalah kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan aktivitas
belajar mengajar.
Huda (2012: 135) mendefinisikan model pembelajaran Make A Match
atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan
untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran ini dapat
diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Saputra
(2000:67) juga menjelaskan bahwa model Make A Match dikembangkan oleh
Lorna Curran. Metode Make A Match atau mencari pasangan merupakan
salah satu alternative yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan ini
dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat
mencocokkan kartunya diberi poin. Salah satu keunggulan metode ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai satu konsep atau topik
dalam suasana yang menyenangkan.

21

b. Langkah-langkah Tipe Make A Match
Suyatno (2009: 51) menjelaskan tentang langkah-langkah Tipe Make A
Match antara lain:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan
bagian lainnya kartu jawaban.
2) Siswa mendapat satu buah kartu.
3) Siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang
4) Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya atau soal jawaban.
5) Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin.
6) Satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
7) Kesimpulan.
8) Penutup.
Aturan main tipe Make a Match tersebut dilakukan secara bervariasi,
yaitu dapat dilakukan di dalam atau diluar ruangan sehingga siswa tidak
bosan dan tetap menarik.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Make A Macth
Huda (2012: 253-254) menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan
model Make A Match sebagai berikut:
Kelebihan Model Make A Macth yaitu dapat meningkatkan aktivitas
belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik, karena ada unsur
permainan, pembelajaran ini menyenangkan, meningkatkan pemahaman
siswa terhadap materi yang dipelajari, meningkatkan motivasi belajar siswa,
efektif

sebagai

sarana

melatih

keberanian

siswa

untuk

tampil

presentasi,efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk
belajar.
Model Make A Match selain terdapat kelebihan juga terdapat

22

kekurangan yaitu: Model ini apabila tidak di rancang dengan baik, maka
banyak waktu terbuang. Penerapan awal model ini, banyak siswa yang malu
bisa berpasangan dengan lawan jenisnya, Guru harus hati-hati dan bijaksana
saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena
mereka bisa malu dan apabila guru tidak mengarahkan siswa dengan baik,
saat presentasi banyak siswa yang kurang memperhatikan. Pembelajaran ini
secara terus menerus digunakan akan menimbulkan kebosanan. Penerapan
Model pembelajaran kooperatif tipe make a match dalam meningkatkan
hasil belajar siswa dibuktikan dengan partisipasi dan aktivitas siswa di
kelas. Penerapan model ini dimulai dari teknik yaitu siswa mencari
pasangan soal atau jawaban sebelum batas waktunya, dan bagi siswa yang
dapat mencocokkan kartu diberi poin.
d. Teori Belajar yang Mendukung Model Make A Macth
Banyak sekali teori belajar menurut literatur psikologi dan para ahli,
namun yang paling penting dalam model Make A Match teori belajar yang
mendukung yaitu teori konstruktivisme. Sardiman (2007: 37) mengartikan
Konstruktivisme sebagai salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita itu adalah kontruksi kita sendiri.
Trianto (2007: 13) menjelaskan menurut teori kontruktivisme, satu
prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru
tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan
siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan
mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan cara mereka
sendiri untuk belajar.
Prinsip-prinsip konstruktivisme antara lain: Pengetahuan dibangun
oleh siswa secara aktif, Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,
Mengajar adalah membangun siswa belajar, Tekanan dalam proses belajar
lebih pada proses bukan pada hasil akhir, kurikulum menekankan partisipasi

23

siswa, dan Guru sebagai fasilitator. Secara umum, prinsip-prinsip tersebut
berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktik,
pembaruan dan perencanaan pendidikan.
Sani (2013: 22) menyebutkan ada beberapa kelebihan dan kekurangan
Teori konstruktivisme yaitu: Kelebihan teori konstruktivisme antara lain: 1)
Peserta didik terlibat secara langsung dalam membangun pengetahuan baru,
mereka akan lebih paham dan dapat mengaplikasikannya. 2) Peserta didik
aktif berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat
keputusan. 3) Selain itu, murid terlibat secara langsung dan aktif belajar
sehingga dapat mengingat konsep secara lebih lama.
Kekurangan teori konstruktivisme antara lain: 1) Kadang guru itu
tidak memperhatikan muridnya keseluruhan. 2) Guru sebagai pendidik itu
sepertinya kurang begitu mendukung dalam proses pembelajaran. 3) Peserta
didik apabila tidak dilibatkan dalam pembelajaran praktik maka daya ingat
dan pengetahuan peserta didik tidak akan berkembang dengan baik, dan
apabila diberi materi baru pasti materi sebelumnya akan dilupakan.
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Rahmawati (2014) dalam skripsinya yang berjudul

Pengaruh Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap Nilai Kerjasama dan
Hasil Belajar Kognitif Kimia Siswa Kelas X SMAN 1Bambanglipuro Bantul
Tahun Pelajaran 2013/2014

menyimpulkan bahwa didalam penelitiannya

dengan Quasi eksperiment, menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan
dari penggunaan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Terhadap Nilai Kerjasama siswa. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai sig (2
tailed) dari uji t

> 0,05yaitu sebesar 0,282. Tidak ada pengaruh yang

signifikan dari penggunaan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A
Match Terhadap hasil belajar kognitif Kimia. Hal ini dibuktikan dengan hasil
nilai sig (2 tailed) dari Uji Mann Whitney > 0,05 yaitu sebesar 0,953. Artinya
tidak ada perbedaan rata-rata scor kerjasama dan rata-rata scor hasil belajar
kognitif Kimia kelas eksperimen sama dengan rata-rata scor hasil belajar

24

kognitif Kimia kelas kontrol.
Pratama
Meningkatkan

(2013)
Prestasi

dalam
Belajar

penelitiannya
Sejarah

yang

berjudul

Kebudayaan

Islam

Upaya
Dengan

Menggunakan Model Make A Match Pada Siswa Kelas V MIN Rejotangan
Tulungagung . Hasil penelitian dalam skripsi tersebut adalah dalam
penggunaan model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa dalam pembelajaran SKI, prestasi belajar yang pada awalnya
rata-rata sebesar 60 dan pada siklus I terjadi peningkatan 13, 66 % dan pada
siklus II terjadi peningkatan 12,67 %. Dari penggunaan model pembelajaran
Make A Match dapat dilihat yaitu : Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam
proses pembelajaran yaitu kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan
dinamis. Munculnya dinamika gotong-royong diseluruh siswa, Siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana
yang menyenangkan.
Nurjanah (2014) dalam penelitian yang berjudul

Penerapan Model

Pembelajaran Make A Match dalam mata pelajaran PKn materi lembagalembaga Negara kelas IV di MI Pesantren Tanggung Kota Blitar . Hasil
penelitian penerapan model pembelajaran kooperatif Make A Match dapat
disimpulkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa melalui
penerapan model pembelajaran Make A Match pada mata pelajaran PKN. Hal
ini dapat diketahui dari indikator keberhasilan yang berupa nilai hasil belajar
peserta didik dan proses pembelajaran. Nilai ketuntasan belajar peserta didik
pada siklus 1 sebesar 56,67 % yang sebelumnya pada pelaksanaan pre tes
hanya sebesar 20 % pada siklus II meningkat menjadi 86,67 %. Nilai hasil
belajar ini belajar pada tingkat keberhasilannya berada pada kriteria yang
sangat baik. Hal ini menunjukkan peserta didik telah mampu menguasai
materi PKN dengan baik. Indikator proses pembelajaran adalah aktifitas
pendidik dan peserta didik. Aktifitas pendidik pada siklus I adalah 81,42 %
kemudian pada siklus II meningkat menjadi 88,57 %. Aktifitas peserta didik
pada siklus I sebesar 77,5 % pada siklus II meningkat menjadi 95,55 %. Hal
ini menunjukkan bahwa aktifitas pendidik dan peserta didik menunjukkan

25

pada kriteria yang sangat baik.
Mardliyah (2010) dalam skripsinya yang berjudul

Penerapan Model

Pembelajaran Kooperatif Metode Make A Match untuk Meningkatkan
Perhatian Siswa Pada Pembelajaran Matematika di SMP YMJ Ciputat
(Penelitian Tindakan Kelas di Sekolahan YMJ Ciputat)”. Tujuan penelitian
ini yaitu untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran kooperatif
metode Make A Match dapat meningkatkan perhatian siswa pada
pembelajaran Matematika,m engetahui respon siswa terhadap penerapan
model pembelajaran kooperatif metode Make A Match, mengetahui
peningkatan perhatian siswa dan peningkatan hasil belajar matematika
melalui penerapan model pembelajaran kooperatif metode Make A Match.
Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran
kooperatif metode Make A Match dapat meningkatkan perhatian siswa dan
dapat meningkatkan hasil belajar matematika di SMP YMJ Ciputat.
Rofiqoh

(2010)

dalam

skripsinya

yang

berjudul

Efektifitas

Pembelajaran Kooperatif Model Make A Match dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPS . Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari hasil belajar siswa terdapat peningkatan hasil belajar pada setiap
siklus yaitu ditunjukkan dengan nilai rata-rata pada siklus 1 sebesar 47%,
sedangkan pada siklus 2 menjadi 65%. Pada siklus 3 terjadi peningkatan
sebesar 77%. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi
keberhasilan dengan adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran IPS materi hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan
ekonomi melalui pembelajaran kooperatif model Make A Match.
Hasil penelitian tersebut ternyata pembelajaran kooperatif model Make
A Match mampu meningkatkan aktivitas belajar siswa, hasil belajar siswa,
dan performansi guru. Banyak penelitian tentang penggunaan model Make A
Match, tetapi dalam pembelajaran matematika, penelitian harus terus
dikembangkan. Penulis mencoba dalam penelitian tindakan kelas ini
menggunakan model Make A Match yang bertujuan untuk meningkatkan
hasil belajar siswa, dan performansi guru pada materi KPK dan FPB pada

26

siswa kelas IV SDN 03 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten
Grobogan.
2.3. Kerangka Pikir Penelitian
Pengajaran mata pelajaran matematika kelas IV SDN 3 Tanjungrejo
Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobogan masih belum dilaksanakan secara
optimal karena belum memanfaatkan metode pendekatan dan model
pembelajaran yang ada, masih menggunakan metode ceramah klasikal.
sehingga aktivitas belajar matematika terlihat kurang menarik, membosankan
dan sering ramai pada saat pembelajaran berlangsung artinya siswa kurang
tertarik untuk mempelajari matematika sehingga keaktifan siswa di dalam
kelas dan interaksi antar siswa maupun guru masih kurang dan siswa
cenderung pasif dengan mengikuti perintah guru saja. Hal ini berdampak juga
pada hasil belajar siswa yang kurang maksimal. Peneliti berisiatif
menggunakan model pembelajaran baru dengan menerapkan model
pembelajaran Make A Match. Peneliti mengharapkan agar peserta didik lebih
aktif didalam kelas dan interaksi atau komunikasi antar siswa maupun guru
dapat lebih terjalin dengan baik, sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan
hasil belajar siswa akan meningkat.
Peneliti tertarik untuk mengenalkan tentang kegiatan belajar mengajar
matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match
karena mengingat pentingnya mata pelajaran matematika yang bisa membuat
siswa untuk tertarik belajar matematika sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa kelas IV di SDN 3 Tanjungrejo pada pokok bahasan
menentukan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dan faktor persekutuan
terbesar (FPB). Model ini membuat siswa bisa bermain sekaligus belajar
dengan suasana yang menyenangkan.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match pada
dasarnya adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV di SDN 3
Tanjungrejo Kecamatan Wirosari. Peneliti menggambarkan secara grafis
pemikiran dalam bentuk diagram sebagai berikut:

27

- Siswa tidak mendengarkan penjelasan guru
- Siswa berbicara dengan temannya saat
pelajaran berlangsung
- Siswa kurang konsentrasi
- Siswa mengalami kesulitan dalam memahami
materi
- Hasil belajar siswa kurang dan rendah dibawah
KKM

Kondisi Awal

Make A Match

Tindakan

Hasil Akhir

1. Siklus 1
- Observasi
- Mempersiapkan skenario pembelajaran
- Menyiapkan Materi Pembelajaran
- Menyiapkan tes formatif
- Instrumen Penilaian
2. Siklus II
- Peneliti memotivasi dan memancing
pertanyaan kepada siswa
- Memberi penjelasan dan mengarahkan siswa
- Memberi kesempatan siswa untuk mengenal
temannya agar tidak malu
- Memberi instruksi untuk menyimak pelajaran
- Memotivasi siswa agar percaya diri
- Gambar
Latihan dan
2.1.pengulangan materi
- Memberikan batas waktu dan point dalam
mencari pasangan kartu

-

Siswa lebih mudah memahami materi
Siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran
Siswa dapat bertukar pikiran, saling bekerja
sama dalam mencari pasangan
Siswa lebih senang membahas soal secara
bersama dan mencari cara penyelesaiannya
Kegiatan belajar model Make A Match
mendapat respon sangat positif
Hasil belajar siswa yang diperoleh meningkat
Gambar 2.1

Bagan Kerangka Pikir Penelitian

28

2.4. Hipotesis Penelitian
Kajian teoretik dan penyusunan kerangka pikir di atas, menghasilkan
hipotesis penelitian tindakan ini yaitu dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Make A Match diduga dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas IV SD N 3 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari
Kabupaten Grobongan.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13