MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG

BUKU AJAR
MPK SENI WAYANG

Penyusun
PRIYANTO, S.S., M.Hum DARMOKO, S.S., M.Hum

Program Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi
Universitas Indonesia
2012

ASPEK-ASPEK SENI DALAM WAYANG

1. Asal-usul kata wayang
Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti
bayangan, seperti halnya kata walu dan batu, yang berarti batu atau kata wuri dan
buri, yang berarti belakang. Bunyi yang dilambangkan dengan huruf w dan b pada
kata yang pertama dengan yang ke dua tidak mengakibatkan perubahan makna
pada kedua kata tersebut.
G.A.J Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti:
bayangan, dalam bahasa Melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya, bayangan,
samara-samar, remang-remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayang,

artinya bayangan, bahasa Bugis bayang atau wayang, dalam bahasa Bikol
menurut keterangan Profesor Kern, bayang, atau barang atau nerawang. Semua
itu berasal dari akar kata, yang, yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti
dalam kata: layang (nglayang) = yang, dhoyong = yong, reyong = yong, reyongreyong, atau reyang-reyong, yang berarti selalu berpindah tempat sambil
membawa sesuatu, poyang-payingan = bingung, ruwet, dari kata asal: poyang,
akar kata yang.
Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari
yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong
ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, berubah, melayang, samara-samar. Kata
depan wa menurut parmasastra jaman sekarang sudah tidak pernah digunakan
lagi, dan tidak memberi daya atau wibawa lagi pada akar kata tadi (kata yang
didahului). Seperti misalnya dalam kata wahiri yang artinya iri, bila
diperbandingkan dengan kata bahiri.
Kalau demikian kata Jawa: wayang artinya berjalan berkali-kali, lalu
lalang, tidak tinggal tetap, samara-samar, remang-remang, jadi kata bendanya
juga; wayang atau wayangan. Pembentukan kata seperti itu tentu sudah semenjak
jaman kuna, dimana kata depan wa pada saat itu masih mampu memberi daya atau
wibawa pada akar kata yang didahuluinya, tidak beda awalan. Lebih jauh Hazeu

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI


1

menyatakan bahwa kata hyang (roh, sukma, dewa, Allah) juga berasal dari akar
kata yang.
Menurut buku kamus Kawi-Bali karangan Dr, Van der Tuuk, arti Hyang
sebenarnya adalah leluhur persamaannya dalam kata Jawa : heyeng (eyang),
(heyang-heyang). Mengapa Dr. Van der Tuuk memperbandingkan hyang dengan
heyang, itu menandakan bahwa kata pendahulunya (kata depan) adalah ha (h)
tidak dianggap sebagai akar kata. Dengan demikian akar kata hyang adalah yang.
Akar kata yang ini, di atas sudah diberi arti = bergerak berkali-kali, simpang siur,
lalu lalang, melayang. Dengan demikian kata hyang dapat diartikan yang
tinggalnya tidak tetap, melayang, oleh karena itu dapat pula berarti : sukma, roh,
yang melayang, yang mengitar, jadi makna dan artinya dapat diperinci menjadi
dua : pertama sukma, roh, Allah, kedua : orang yang sudah meninggal (leluhur).
Adapun kaitannya dengan akar kata yang, kalau sudah mendapat imbuhan
menjadi: hyang dan wayang ; dan semuanya ini memang ada kemiripannya
seperti: layangan (bayang-bayang), sukma, roh, leluhur. Tapi hal ini memang tak
ada bukti yang memperkuatnya. Oleh karena wayang kulit itu menghasilkan
bayangan (wayangan), maka lalu dinamakan wayang. Adapun awayang atau

amayang di jaman kuna, sekarang berarti amayang atau mayang (memainkan
wayang). Lama-lama wayang jadi terbiasa menjadi nama wayang kulit. Semakin
lama pula, setelah wayang kulit menjadi tontonan yang umum di masyarakat
maka kata atau istilah wayang tadi dipakai pula untuk menamakan tontonan yang
mirip wayang kulit purwa, seperi wayang golek, beber, gedog, wayang orang,
malah sekarang ada yang menamakan wayang topeng2.
Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata
dan makna wayang yaitu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang.
Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemuadian ia
diterpa cahaya / sinar matahari yang mengenai badan si orang itu, maka orang itu
kemudian menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang
Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang dan pendeknya ayangayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari
dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut
posisi matahari tinggi, bayangan semakin pendek.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

2

Terdapat pula kata yang berhubungan dengan kata ayang, yaitu ngayang.

Ngayang (Bahasa Jawa), artinya seseorang dalam keadaan melengkungkan
badannya ke belakang dengan posisi kepala melihat ke belakang ; atau hanya
sampai pada melihat dan memperhatikan langit, angkasa atau ‘atas’. Sehingga
apabila dikaitkan dengan pengertian wayang dalam konteks kata hyang, yang
berarti roh melayang-layang di angkasa atau ke atas, maka kata ngayang tersebut
ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang biasanya dipergunakan dalam konteks
permainan maupun olah raga.
Pengertian-pengertian wayang di atas lebih berorientasi pada seni
pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan oleh
suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenai/disorot dengan cahaya
yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan
suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh
sekat, layer (kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang
layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang
pertama, bayangan di bagian depan layar dan yang kedua bayangan di balik layar.
Bayangan yang terdapat di bagin depan layar terjadi apabila boneka tersebut
digerakkan menjauhi layar dn mendekati blencong. Apabila boneka wayang
tersebut di dekatkan pada blencong, maka bayangan akan membesar baik di depan
atau di belakang layar.


2.

Perkembangan pengertian wayang
Berdasarkan asal-usul kata, wayang dapat diartikan sebagai bayangan.

Lebih dari itu apabila kita berbicara mengenai wayang maka paling tidak secara
aspektual terdiri atas empat hal, yaitu wayang sebagai : 1. pertunjukan /
performance, penampilan, pemanggungan; 2. boneka atau sejenisnya, yang
terbuat dari bahan kayu, kulit (kerbau) dan lain-lain ; 3. sastra dalam wujud lakon
/cerita; 4. penari-penari dia atas panggung.
Pengertian yang pertama berorientasi pada bagaimana seluruh aspek seni
dipentaskan dalam seni pertunjukan wayang, seperti : seni sastranya, seni
musiknya, seni rupanya, seni dramanya dan seni tarinya; pengertian yang ke dua
berorientasi pada tokoh (yang hidup maupun yang mati), artis-artis atau aktor

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

3

yang digerakkan oleh seniman/dalang, dalam bentuk boneka atau sejenisnya,

pengertian ketiga, cenderung terfokus pada bahan lakon, cerita atau sastranya
(sastra wayang), pengertian keempat mengacu kepada orang-orang yang menari di
atas panggung yang berperan menjadi wayang (wayang orang).
Disamping wayang mempunyai pengertian sebagai bayangan (bayangbayang), wayang secara khusus (filosofis) mempunyai pengertian lukisan atau
gambaran mengenai kehidupan manusia, bagaimana perwatakannya, bentuknya,
kegiatannya, lakuan, kejadiannya, sejarahnya, dan juga bagaimana hubungannya
dengan Tuhan, alam semesta dan makhluk hidup lainnya, seperti tumbuhtumbuhan dan binatang. Secara lebih makro, wayang mempunyai pengertian
lukisan atau gambaran mengenai keadaan dan kehidupan kosmos (lam semesta),
baik mengenai wujud maupun isinya. Kosmos terbagi atas mikro kosmos (jagad
cilik) dan makro kosmos (jagad gedhe). Mikro kosos (jagad cilik) sebagai dunia
(batin) manusia sedangkan makro kosmos (jagad gedhe) sebagai dunia besar / luas
yang melingkupi dunia (batin) manusia. Di dalam wayang dilukiskan bahwa alam
semesta (kosmos) merupakan wujud satu kesatuan yang serasi dan harmonis,
tidak terlepaskan anatara unsur yang satu dengan yang lainnya dan selalu
berhubungan. Hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya ternyata
tidak selalu serasi dan harmonis, pendek kata, pada suatu saat akan terjadi
kegoncangan (kelabilan). Mikro kosmos selalu mempengaruhi ; kejadian yang
timbul pada dunia mako sebagai akibat dari ulah dunia mikro atau sebaliknya.
Untuk mengembalikan suasana dari kelabilan menjadi keserasian biasanya dengan
mengadakan upacara persembahan untuk keselamatan alam semesta. Unsur-unsur

di dalam alam semesta itu berjalan dan beputar sesuai dengan fungsinya masingmasing dalam ruang dan waktu tertentu. Memperhatikan hal ini, maka kosmos
atau alam semesta dapat dipandang sebagai suatu susunan yang tertata rapi (tertib
kosmos). Tertib di dalam makro kosmos dapat terjaga dengan baik (serasi) apabila
mikro kosmos, sebagai dunia batin manusia, mengusahakan untuk selalu berbuat
baik (laku beik sejtining becik) dan mengusahakan pula untuk selalu menjaga
ketentraman dan keselamatan alam semesta (memayu hayuning bawana).
Pengertian lain untuk kata wayang; yang cenderung mengacu / berorientasi
pada tempat untuk menyimpan dan memainkan wayang yaitu paringgitan. Hazeu

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

4

mengatakan bahwa, di jaman dulu yang mendalang atau memainkan wayang
adalah si kepala keluarga, tempatnya di bagian rumah yang dipandang paling
sesuai. Tempat tadi sampai sekarang disebut paringgitan (ringgit = wayang,
paringgitan = tempat untuk wayangan). Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari
konsep membuat rumah bagi oranng Jawa; bagaimana harus menempatkan fungsifungsi tertentu di dalam suatu tempat / ruang di dalam rumah itu. Misalnya : kata
pawon (pa-awu-an) = per-abu-an, berarti bagian suatu rumah yang dipergunakan
untuk ‘memproses terjadinya abu’ ; dalam konteks tempat untuk memasak

(dapur); karena ketika memasak menggunakan kayu, daun-daun dan lain-lain
kemudian menghasilkan abu, maka tempat tersebut dinamakan pawon.

3.

Wayang dalam karya sastra
Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri

secara diakronis, maka cerita dan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari
perjalanan karya sastra wayang itu sendiri. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang
dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak
terpisahkan dari epos tanah Hindu (India). Tokoh-tokoh wayang tersebut dalam
karya sastra Hindu (India), terutama Ramayana dan Mahabharata memang ada
perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau dari persamaan
nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan (kerangka pemikiran histories),
meskipun mengalami sedikit peubahaan (transformasi budaya).
Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukan wayang, tidak secara
langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa
Sansekerta) maupun Jawa Kuna, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang
sudah diciptakan dan digubah oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada ‘jaman

Jawa baru’, seperti Kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta). Paling tidak dari
dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan.
Lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan tersebut dapat berbentuk di
dalam dua lakon besar, yaitu lakon pokok / baku / lajer / baku / pakem dan lakon
carangan. Lakon pakem yaitu lakon yang sudah dibukukan (serat pakem tuntunan
pedalangan), sudah diturunkan selama lebih dari dua generasi dan sudah
dipentaskan oleh banyak dalang. Lakon carangan (carang = ranting) ; ibarat pohon

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

5

merupakan cabang-cabang dari pohon inti (batang) ; yaitu lakon yang belum
dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua generasi dan belum dipentaskan oleh
banyak dalang. Adapun pengertian lakon pakem terbagi lagi menjadi dua bagian,
yaitu : lakon pakem balungan dan lakon pakem jangkep. Lakon balungan ialah
lakon yang memuat seluruh / hampir seluruh unsur-unsur di dalam pertunjukan
wayang, yang biasanya mempergunakan judul serat pakem tuntunan pedhalangan
(sedalu muput).
Ki Siswoharsojo menulis beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan

(lakon pakem) oleh para calon dalang maupun para dalang, antara lain : Wahyu
Makutharama dan Wahyu Purbasejati ; Ki Nojowirongko mengubah buku pakem
pedalangan Lampahan Irawan Rabi / pernikahan Irawan (berisi mengenai patokan
mendalang dan lakon pernikahan Irawan itu sendiri). Sedangkan untuk lakon
balungan sebagai contoh yaitu : Pakem Ringgit Purwo Lampahan Lairipun Romo
– Brubuh Ngalengka, yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang
pernah dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pethel dan
Bagong sunat.
Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai
sumber informasi mengenai adanya pertunjukan wayang (permainan bayangbayang), bukan mengenai cerita atau lakon wayang itu sendiri. Sebagai contoh : di
dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Mpu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa
Timur (950 Saka = XI sesudah Masehi), masa Kediri, disebutkan mengenai
seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia, padahal sudah tahu
bahwa yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah, kata orang ia terkena daya
gaib. (R.Ng.Poerbatjaraka, 1926 : 20-21).

4.

Wayang dalam prasasti dan relief candi
Pada masa purba Indonesia, informasi mengenai suatu berita dapat ditulis


pada prasasti. Prasasti dapat berupa tonggak batu maupun lempengan tembaga.
Sebagai contoh : prasasti Mulawarman dari Kutei, bertuliskan Pallawa sekitar
tahun 400 M, berupa yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban), berbahasa
Sansekerta dan tersusun dalam bentu syair. (Soekmono, 1991 : 35). Prasasti dapat
dipandang sebagai benda yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

6

keterangan-keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari
prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar belakang / orientasi pemikiran
religius Jawa Kuna, yang salah satunya adalah menyembah dan mengagungkan
dewa-dewa, seperti kepada dewa Wisnu, Brahma dan Siwa.
Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang telah
ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan tembaga yang ditemukan di
Bali. Lempengan ini berangka tahun 980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalin
oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit.
Kata ringgit hingga kini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang.
Dengan demikian penggunaan kata ringgit untuk pengertian wayang telah sangat
tua. Lebih lanjut Hazeu mengatakan lempengan berangka tahun 782 Saka yang
diterbitkan dan diterangkan oleh Prof. Kern terdapat istilah juru barata. Istilah
tersebut berarti orang yang memainkan teater atau dalang atau lelucon. (1979:45).
Kecuali itu di dalam lempengan logam yang memuat kata kawi yang diterbitkan
oleh Cohen Stuart, dibicarakan tentang juru banyol dan aringgit, abanyol.
Lempengan ini berangka tahun 762 Saka. Meskipun di dalam prasasti (lempengan
logam) berulang kali disebutkan kata aringgit, namun dengan menyebutkan secara
berdiri sendiri, kiranya sulit untuk membuat kesimpulan.
Sementara itu ternyata sejak abad IX sesudah Masehi, sekalipun dalam
keadaan yang sangat kuna, di Jawa sudah ada pertunjukan teater. Pertunjukan
teater bayang-bayang tersebut diduga merupakan asal dari pertunjukan wayang
yang kita kenal sekarang.
Keterangan mengenai wayang juga ditemukan pad relief candi; berupa
gambar-gambar atau visualisasi tokoh-tokoh wayang yang dipahat pada dindingdindingnya. Apabila kita beranggapan bahwa wayang berasal dari gambar-gambar
relief candi, maka dugaan yang dapat dikemukakan adalah adanya usaha orang
jaman dahulu untuk mengutip gambar pada relief candi tersebut agar dapat
digulung dan dapat dibawa kemana-mana, sehingga dapat diceritakan dan
dipentaskan atau dipergelarkan. Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya candi
yang memuat relief cerita wayang. Misalnya: relief di candi Prambanan
(Kabupten Klaten, dekat Yogyakarta), candi Panataran (Blitar), candi Jago di desa
Tumpang (Malang). Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi tokoh-tokoh

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

7

dalam relief yang tidak serupa dengan wayang Parwa di Bali. Hal ini didukung
pula dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar, dikenal
dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang di daerah
Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk
stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah
perkembangan yang terakhir.
Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya
yang dekat dengan bentuk-bentuk di alam, seperti yang terdapat pada relief cerita
Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yng terdapat pada panil-panil relief
Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu anggapan yang
memandang gaya realistik pada relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur
berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada relief candi-candi Jawa
Timur yang lebih tua usianya.
Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk membatasi adeganadegan dalam relief dengan menggunkan gunungan atau kayon seperti yang
terdapat dalam pertunjukan wayang kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pakeliran
wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan
menancapkan gunungan di tengah layar. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil
orang sampai pada pemilihan gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan
dalam relief candi. Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif
ikal bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan
demikian maka keterangan mengenai wayang pun dapat pula ditemukan pada
prasasti dan relief candi, di samping keterangan mengenai wayang di dalam karya
sastra.

5.

Sekilas perkembangan bentuk pertunjukan wayang
Berbicara mengenai perkembangan wayang tidak terlepas dari kerangka

sejarah kebudayaan. Literatur yang membahas tentang sejarah kebudayaan di
Indonesia antara lain Sejarah Kebudayaan Indonesia (jilid 1,2 dan 3) yang ditulis
oleh Prof. Dr. Soekmono, yang menitikberatkan pada bahan dan data arkeologis.
Pada buku jilid I membicarakan periode pra-sejarah, jilid 2 membicarakan masa
Hindu dn Budha sedangkan jilid 3 membicarakan masa Islam sampai

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

8

kemerdekaan. Disamping itu Kapustakan Jawi yang ditulis oleh Prof. Dr.
Poerbotjaraka di dalam pendahuluan dapat dipergunakan pula sebagai acuan
menerangkan tentang latar belakang adanya wayang, meskipun di dalamnya
dibahas mengenai sejarah bangsa, bahasa, sastra dan tulisan Jawa.
M.C. Ricklefs juga pernah menulis tentang Sejarah Indonesia Modern,
yang menitikberatkan pada tinjauan sejarah sosial; diawali dari munculnya jaman
modern (kedangan Islam) sampai Indonesia Merdeka. Adapun yang secara khusus
membahas mengenai bagaimana Islam masuk dan berkembang di Indonesia, yang
sedikit banyak memberikan latar belakang wayang pada jaman Islam adalah De
Graaf dan TH Pegeaud dalam tulisannya Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia.
Mengenai asal-usul wayang, baik bonekanya, sastranya, maupun
pertunjukannya, memang masih terus diperdebatkan. Namun ada kecenderungan
para sarjana Indonesia mengikuti pendapat G.A.J. Hazeu; yang mengatakan
bahwa wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek
moyang yang disebut hyang. Atas dasar keterangan ini, maka periodesasi
mengenai perkembangan pertunjukan wayang di Indonesia diawali dari jaman
prasejarah.

5.1. Masa prasejarah
Seiring dengan pendapat G.A.J. Hazeu, Sri Mulyono menguraikan bahwa,
pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara keagamaan atau upacara
yang berhubungan dengan kepercayan untuk memuja arwah nenek moyang
(Hyang). Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil roh nenek moyang untuk
dimintai pertolongan dan restunya dalam melakukan berbagai kegiatan. Mereka
percaya bahwa orang mati merupakan roh pelindung yang kuat, yang dapat
dibangunkan dengan nyanyian pujian (hymne) dan sajian. Pikiran ini mendorong
mereka untuk membuat bayangan sehingga orang dapat membayangkan roh orang
yang telah meninggal itu. Oleh karena itu nenek moyang kita berusaha meniru
bentuk bayang-bayang seperti yang mereka lihat pada siang hari. Bayang-bayang
tersebut dilukiskan di atas kulit. Kemudian untuk keperluan ini dipasang tabir atau
kain. Bayang-bayang tersebut tidak harus berbentuk manusia, namun setidaknya

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

9

harus melukiskan bayang-bayang. Karena itulah pada perkembangannya wayang
mempunyai bentuk yang unik, tidak menyamai manusia (1975:48).
Upacara pemujaan roh nenek moyang itu dilakukan pada waktu malam hari
di tempat yang mereka anggap suci. Pelaksanaannya dipimpin oleh seorang
Syaman atau kepala keluarga yang bersangkutan. Lakonnya sendiri menceritakan
tentang kepahlawanan atau petualangan nenek moyang dan dibawakan dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuna. Cerita ini merupakan sastra lisan yang
diturunkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, tidak ada kepustakaan
mengenai wayang (Hazim Amir, 1991:34).
Pendapat Hazeu yang disunting oleh Sri Mulyono dan Hazim Amir pada
dasarnya menekankan perihal hubungan antara manusia sebagai makhluk yang
hidup nyata dengan para roh yang hidup di alam supranatural (gaib). Jadi syaman
dapat dipandang sebagai penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib.
Mengenai bahasa yang dipergunakan dalam upacara tersebut saya kira
mempergunakan “bahasa mantra”. Hazim Amir mengatakan bahwa pertunjukan
wayang pada masa itu menggunakan bahasa Jawa Kuna, bahasa yang manakah ini
?. Padahal jaman itu adalah pra-sejarah dan apabila mempergunakan bahasa Jawa
Kuna yang bersifat literer atau bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Kuna
dipergunakan di dalam literature Jawa Kuna dalam bentuk prosa maupun puisi
setelah bangsa Hindu masuk ke Indonesia. Bahkan sebelum bahasa Jawa Kuna
berkembang terlebih dahulu tersebar karya sastra berbahasa Sansekerta baru
kemudian karya sastra-karya sastra ini disadur, diterjemahkan atau disalin ke
dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuna. Tentu saja ini bukan masa pra-sejarah,
maka masih belum jelaslah bahasa Jawa Kuna yang dikemukakan oleh Hazim
Amir itu.

5.2

Masa Hindu dan Budha
Pada masa Hindu-Budha, penampilan pertunjukan wayang mengalami

perubahan-perubahan dan kemajuan. Masyarakat sedikit demi sedikit menerima
pengaruh kebudayaan Hindu, terutama mengenai agama dan bahasa. Wayang juga
termasuk salah satu bagian yang tak luput dari pengaruh ini, walaupun tak layak,
hanya kulit luarnya saja (Sri Mulyono, 1975:61).

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

10

Selama periode ini wayang mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Perpustakaan wayang mulai dikenal dengan adanya kitab-kitab yang dijadikan
bahan rujukan. Wayang mendapat bentuk-bentuk barunya. Selain itu fungsi
wayang pun tidak lagi sebagai sarana yang bersifat ritual semata, tetapi jug
menjadi sarana pendidikan dan komunikasi.

5.3. Masa Mataram I
Pada masa Mataram I ini cerita wayang diambil dari epos Ramayana dan
Mahabharata yang diberi sifat lokal. Orang-orang Indonesia mengadopsi dewadewi dan pahlawan dari India yang kemudian dicampur dengan mitos kuna
tradisional. Cerita-cerita pewayangan mulai ditulis secara teratur, diantaranya
kitab Ramayana yang ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung pada
tahun 903 Masehi dalam bahasa Jawa Kuna bercampur Sansekerta (S.Haryanto,
1988:189). Diduga bahwa penampilan pertunjukan wayang diadakan pada malam
hari dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna yang bercampur bahasa Sansekerta.
Wayang pada masa ini dibuat dari kulit.
Selain itu, ada hasil karya yang erat hubungannya dengan wayang, antara
lain : 1). Candi Prambanan. Adanya relief cerita Ramayana yang dibuat pada
dinding-dinding candi Loro Jonggrang. Pembuatannya dimulai kurang lebih pada
tahun 856 M. Apa yangn dilukiskan pada dinding candi ini merupakan gambar
yang polanya dibuat terlebih dahulu; 2). Adanya sebuah inskripsi batu dari jaman
pemerintahan raja Dyah Balitung yang oleh Claire Holt dibaca sebagai mawayang
buat Hyang atau performing (Sri Mulyono, 1975:63-68)
Apabila ditelusuri dari aspek bahasanya, memang pertunjukan wayang
yang kini berkembang, masih sedikit mempergunakan bahasa Jawa Kuna dan
Sansekerta. Dugaan bahwa pada masa Hindu dan Budha di Indonesia (Mataram I)
pertunjukan wayang mempergunakan bahasa Jawa Kuna bercampur dengan
bahasa Sansekerta ada benarnya, seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata : Om
awignam astu (Sansekerta) dan teks-teks suluk pedalangan yang dipetik dari
Baratayuda kakawin (Jawa Kuna).

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

11

5.4
5.4.1

Masa kerajaan di Jawa Timur
Kerajaan Kediri
Pada masa ini kepustakaan wayang semakin bertambah. Kitab-kitab yang

dihasilkan antara lain : Agastyaparwa, Uttarankanda, Adiparwa dan lain-lain.
Antara tahun 1157-1188, tokoh punakawan mulai dikenal. Hal ini didasarkan pada
kitab pewayangan Gathotkacasraya yang ditulis Empu Panuluh. Penggambaran
wayang selain dilakukan di atas kulit, juga di atas daun lontar, kulit sapi yang
telah diolah dan dikeringkan (yang kemudian dikenal dengan wayang purwa), atau
pada kayu pipih (kemudian dikenal sebagai wayang klithik) (Haryanto, 1988:188189).
Selain itu terdapat juga hasil karya lain yang berhubungan erat dengan
wayang pada masa itu, antara lain : candi Jago, relief-reliefnya merupakan
pahatam mendatar berupa gambar-gambar cerita wayang yang menyerupai
wayang purwa Bali sekarang. Juga terdapat arca punakawan : candi panataran,
terdapat arca punakawan dan inye (pelayan wanita) (Haryanto, 1988:189).

5.4.2 Kerajaan Majapahit
Pada masa Majapahit, wayang mengalami masa penyempurnaan. Wayang
telah diberi warna, digambarkan dalam kain sehingga tercipta wayang beber
purwa dengan gamelan slendro di tahun 1361 M. (Haryanto, 1988:198-199).
Kepustakaan wayang diperkaya dengan penulisan kitab-kitab Tantu Panggelaran,
Korawasrama, Dewaruci dan Sudamala. Pertunjukan wayang diadakan pada
malam hari, kecuali untuk cerita Murwakala, diadakan di rumah atau tempat yang
dianggap keramat dengan pimpinan raja, orang sakti atau kepala keluarga dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuna bercampur Sansekerta (Hazim Amir, 1991:35).
Hasil-hasil karya lainnya yang berhubungan dengan wayang pada masa
Majapahit, antara lain : candi Panataran, pada candi ini didapati relief-relief cerita
Ramayana dan Kresnayana. Corak reliefnya hampir menyerupai corak wayang
kulit Bali yang sangat berlainan dengan corak relief pada candi-candi Jawa
Tengah ; candi Suawana dan Tegalwangi, relief-relief pada kedua candi ini
mengisahkan adegan Sudamala. Bentuk reliefnya hampir menyerupai gambar
wayang kulit (purwa) sekarang (Haryanto, 1988:200).

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

12

5.4.3

Masa Islam
Wayang pada masa Islam bertambah fungsinya menjadi alat dakwah, alat

pendidikan dan komunikasi, sumber sastra dan budaya dan sebagai hiburan
(Hazim Amir, 1991:35). Ceritanya diambil dari cerita-cerita babad yang
menyerupai percampuran antara epos Ramayana dan Mahabharata versi Indonesia
dengan cerita-cerita Arab atau Islam. Pertunjukan wayang dipimpin oleh dalang
dan diadakan pada malam hari selama semalam suntuk dengan mempergunakan
bahasa Jawa Tengahan (1476-1715) (Sri Mulyono, 1975-100).
Pertunjukan wayang memang tidak terlepas dari aspek bahasa yang
dipergunakan, namun bahasa Jawa tengahan yang disajikan untuk pertunjukan
wayang pada masa Islam ini belum jelas bentuknya, bahasa literer atau bahasa
sehari-hari?. Menurut Poerbatjaraka bahasa Jawa tengahan tumbuh pertama kali
tergamar dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Tengahan dalam bentuk prosa dan
puisi (kidung). Karya sastra dalam bentuk prosa seperti : Tantu Panggelaran,
Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawasrama, Pararaton; sedangkan dalam
bentuk puisi (kidung) tergambar dalam kitab : Dewaruci, Sudamala, Subrata, Panji
Angreni dan Sri Tanjung (1952:170).

5.4.4 Kerajaan Demak (1478-1548)
Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama
Raden Patah adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari raja sebelum Islam),
yang dalam legenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri
Cina dari kraton raja Majapahit. Waktu hamil itu dihadiahkan kepada seorang nk
emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Disitulah Raden Patah lahir.
Setelah kerajaan Majapahit (Jawa Timur) runtuh, semua perlengkapan
kerajaan, termasuk wayang dan perlengkapannya dipindahkan ke kerajaan Demak
(Jawa Tengah); yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Pada masa
inilah wayang mengalami penyempurnaan dan perubahan bentuk agar dalam
pertunjukannya tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, antara lain : 1).
Pada tahun 1518-1521 wayang dibuat pipih dua dimensional dan digambar miring
sehingga tidak menyerupai relief candi (Jawa Timur) atau manusia, lebih
diperindah dan menghilangkan kesan meniru wayang dari candi yang mirip

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

13

dengan rupa manusia; 2). Wayang dibuat dari kulit kerbau yang ditatah halus dan
diberi warna hitam putih, sedang gambar muka dibuat miring dengan tangan
masih melekat pada badan serta diberi pegangan (gapit) untuk dapat ditancapkan
pada batang pisang (debog) atau pada kayu yang berlubang; 3). Bentuk dan
gambar dibuat serupa dengan wayang beber Majapahit dan dipisahkan satu
persatu untuk dapat dijajarkan di kanan kiri dalang pada tahun 1521, bentuk
wayang tersebut lebih disempurnakan lagi dengan menambah jumlahnya,
sehingga dapat dipergunakan untuk pementasan cerita Ramayana maupun
Mahabharata semalam suntuk dengan gamelan slendro (Haryanto, 1988:202).
Pada masa ini, wayang beber lenyap dari peredaran dan yang berkembang
adalah wayang purwa. Perlengkapan pertunjukan ditambah dengan adanya
wayang gunungan (kayon), ricikan (Sri Mulyono, 1975:85), baik berupa binatangbinatang, barisan prajurit (prampogan) (Haryanto, 1988:202). Adanya keterangan
bahwa wayang beber telah lenyap, agaknya perlu dipertanyakan, apakah memang
demikian?. Nyatanya hingga sekarang wayang beber masih ada dan lestari.
Mungkin saja pada masa ini, untuk sementara waktu wayang beber tersisih dari
wayang purwa, karena masyarakat lebih menggemari wayang purwa dibanding
dengan wayang beber.

5.4.5

Kerajaan Pjang (1546-1586)
Perkembangan wayang pada masa kerajaan Pajang dapat tercatat, yaitu:

pembuatan wayang kidang kencana, dibuat pada tahun 1556. Wayang ini lebih
kecil ukurannya dibanding wayang pada umumnya. Wayang Gedog, dibuat pada
tahun 1563 oleh Sunan Giri dengan cerita Panji dan memkai gamelan pelog.
Kemudian pada tahun 1564 dibutlah wayang beber gedog oleh Sunan Bonang.
Ada beberapa kemajuan pada perkembangan bentuk dan pertunjukan
wayang, ialah: pekaian wayang disempurnakan dengan memakai makutha, gelung
dan kain dodot, dibuat berbagai macam senjata, diadakan pertunjukan pada siang
hari dan khusus untuk wayang ini dibuatlah wayang krucil atau wayang golek
purwa oleh Sunan Kudus (1584). Wayang ini terbuat dari kayu berbentuk pipih
dan tangannya dibuat dari kulit kerbau. Pertunjukannya tidak menggunakan kelir,
tetapi gawang (Sri Mulyono, 1975:87-88).

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

14

5.5

Masa Mataram II
Dari tahun 1586-1942 terjadi banyak perkembangan, penyempurnaan,

penciptaan bentuk-bentuk baru pada wayang. Selam periode ini terjadi perubahan
pada bahasa yang digunakan. Sampai dengan tahun 1745 bahasa yang
dipergunakan ialah bahasa Jawa Tengahan dengan cerita babad yang bercampur
dengan mitos, epos dan hikayat.
Kemudian sejak tahun 1745-1945 bahasa yang digunakan bahasa Jawa Baru
dengan cerita yang diambil dari babad (Sri Mulyono, 1975:88-100). Waktu
pertunjukan wayang tidak hanya dilakukan pada malam hari, tetapi juga pada
siang hari. Lakon-lakon wayangpun bertambah, seperti yang terjadi pada masa
Kartasura (dua gaya lakon), yaitu gaya wetan (Kanoman) dan gaya kulon
(Kasepuhan) yang dipentaskan di dalam kraton. Pertunjukan wayang telah
memakai tokoh punakawan Bagong (1680) (Sri Mulyono, 1975:88-100).
Disamping itu terdapat penyempurnaan pakaian wayang, tatanan rambut,
pembuatan wayang-wayang baru (wayang klitik, wayang-wayang dagelan,
sabrangan, kenyawandu dan lain-lain), yang mengisyaratkan adanya perhatian dan
minta yang besar di kalangan istana dan budayawan kita pada masa itu terhadap
wayang. Dalam periode ini fungsi wayang sebagai upacara agama telah
mengalami perubahan menjadi suatu bentuk seni klasik tradisional yang
mempunyai unsur : seni, kejiwaan (dakwah dan upacara agama yang bersifat
magis religius), pendidikan dan komunikasi, ilmu pengetahuan dan sastra budaya,
hiburan (Sri Mulyono, 1975:88-100).

5.6

Masa Kemerdekaan
Dalam perkembangannya, wayang pada masa kemerdekaan ini telah

mencapai puncaknya (kesempurnaannya). Pertunjukan wayang merupakan
pertunjukan teater total yang hampir melibatkan seluruh aspek seni yang terdapat
di dalamnya, antara lain seni drama, tari, musik, sastra dan rupa perkembangan
selanjutnya, pertunjukan wayang mengalami penggarapan dn pengolahan baik
dari aspek bahasa, gending, sanggit dan alur, sabetan, banyol, waktu, narasi,
suluk, artis pendukung, dn boneka wayang. Hal ini dilakukan untuk
menyelaraskan dengan perkembangan masyarakat yang telah demikian maju

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

15

sehingga wayang dapat terus mempunyai eksistensi dan diminati oleh masyarakat.
Pertunjukan wayang tersebut dilakukan pada waktu malam hari maupun siang hari
dan seringkali dilakukan tidak semalam suntuk (Sri Mulyono, 1975:103-108).
Tema lakon yang diangkat pada pertunjukan tersebut dapat berupa tema sosial dan
tidak terlalu istanasentris. Bahasa yang dipergunakan sebagai pengantar dapat
berupa bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia.
Di dalam masa ini juga diciptakan bentuk-bentuk wayang baru, seperti
wayang suluh, Pancasila, perjuangan (1947), wayang wahyu (1969). Wayang
Sandosa (wayang berbahasa Indonesia) dan sebagainya. Fungsi wayangpun
bertambah luas, disamping sebagai hiburan juga sebagai komunikasi massa,
pendidikan sastra, filsafat, pendidikan kesenian, agama, dan lain-lain. (Hazim
Amir, 1991:35-36).
Pada kenyataannya pertunjukan wayang dapat berisi konsep-konsep
ideology, politik, sosial, budaya, hankam dan lain-lain. Pertunjukan wayang
adalah pertunjukan teater yang bersifat momot kamot, artinya suatu sajian teater
yang dapat memuat berbagai aspek nilai kehidupan manusia. Di jaman
kemerdekaan wayang sangat erat hubungannya dengan para pendukungnya. Oleh
karena itu para birokrat, seniman / dalang, sastrawan dan pendukungnya selalu
berusaha

untuk

melestarikan,

mengembangkan

dan

membina

terhadap

kebudayaan wayang ini. Demikian pentingnya fungsi dan kedudukan wayang di
dalam kehidupan masyarakat, maka pertunjukan wayang pun selalu dapat hidup
dan berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat pendukungnya itu.

6.

Jenis-Jenis serta Unsur-Unsur Pertunjukan Wayang di Indonesia
Wayang yang tersebar di seluruh Indonesia terdiri dari berbagai bentuk

dan jenisnya. Bentuk dan jenis wayang tersebut dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yaitu berdasarkan; (1) Sumber ceritanya, meliputi wayang
purwa, wayang babad, wayang wahyu, wayang Pancasila, wayang menak, wayang
kancil, wayang wasana, wayang madya. (2) Bahan bonekanya, meliputi wayang
rontal, wayang daun singkong, wayang bambu, wayang rumput, wayang kardus,
wayang kulit, wayang golek, wayang kartu, wayang kaleng, wayang kain, wayang
kertas, wayang batu, wayang wong. (3) Wilayah kebudayaan (asal dan

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

16

penyebarannya) Wayang betawi, wayang cirebon, wayang jawa timuran, wayang
sasak, wayang bali, wayang banjar. (4)Bunyi (musik) pengiringnya, meliputi
wayang cekdong/dakdong, wayang jemblung, wayang kentrung. (5) Bentuk
pertunjukkan, meliputi wayang beber, wayang topeng. Wayang cirebon, wayang
jawa timuran, wayang sasak, wayang bali, wayang banjar.(6) Fungsi, meliputi
wayang suluh, wayang dakwah. (7) bunyi benturan boneka wayang meliputi
wayang klitik/krucil.
Kemudian pendukung seni pertunjukkan wayang, ini terdiri paling tidak 4
unsur, yaitu dalang, niyaga, pesinden dan wiraswara. Sedangkan perlengkapan
seni pertunjukan wayang dapat terdiri dari wayang, kelir, blencong, debog, kotak
wayang, cempala, kepyak, dan gamelan.

7.

Seni Gerak dalam Pertunjukan Wayang
Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan.

Dalam seni gerak wayang dikandung aturan-aturan, norma-norma atau wewaton
yang

merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang

ketika menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam
pertunjukan wayang adalah udanegara. Udanegara yaitu tatacara bertutur kata,
bersikap, dan bertingkah laku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang
didalamnya dikandung etika dan estetika. Yang dimaksud dengan gerak wayang
meliputi, antara lain: menyembah, berjalan, berlari, menari, terbang, dan perang.
Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua muda (usia), klasifikasi,
dan wanda tokoh-tokah wayang. Dalam seni gerak memperhatikan juga prinsip
wiraga (benar dan tepatnya action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya
penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama dalam gerak).

8.

Seni Musik dalam Pertunjukan Wayang
Musik sebagai salah satu jenis seni bersifat universal, dapat dirasakan,

dinikmati, dan dihayati oleh siapapun dan lapisan masyarakat manapun. Seni
musik dalam pertunjukan wayang berfungsi untuk mendukung gerakan-gerakan
wayang, menciptakan keadaan/suasana yang melatarbelakangi peristiwa yang

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

17

dilakukan oleh tokoh-tokoh wayang, ekspresi perasaan batin, seperti: kemarahan,
keharuan, kesedihan, kecintaan, keagungan, kekacauan, keheningan.

8.1 Vokal dan Instrumen
Musik dibagi menjadi dua, yaitu musik vokal dan musik instrumen.
Pembagian ini berdasarkan pada alat yang menghasilkan suara. Musik vokal
dihasilkan oleh mulut dan musik instrumen dihasilkan oleh alat yang diciptakan
manusia dari berbagai bahan.

8.2 Notasi
Pada dasarnya notasi terbagi menjadi dua, yaitu diatonis dan pentatonis.
Notasi diatonis yaitu satu titian/susunan nada terdiri dari 7 nada pokok, ialah 1 2 3
4 5 6 7 (do re mi fa sol la si) sedangkan notasi pentatonis terdiri dari nada slendro
dan pelog; yaitu satu titian/susunan nada terdiri dari 5 nada pokok, ialah 1 2 3 5 6
(siji loro telu lima enem disingkat ji ro lu ma nem (slendro dan pelog) ditambah 7
2 3 5 6 (pelog barang).

8.3 Gending
Komposisi musik tradisional yang mengandung aspek nada dan irama
tertentu. Gamelan nusantara yang dimiliki oleh masing masing etnik memiliki
konvensi penulisan dan komposisi berbeda. Jawa menuliskan untuk slendro dan
pelog 1 2 3 5 6 (ji ro lu ma nem) meskipun sama lambang tetapi berbeda intensitas
bunyinya. Satu varian susunan nada pelog barang 7 2 3 5 6 (pi(tu) ro lu ma nem)

8.4 Komposisi lancaran
Komposisi gending dalam kebudayaan Jawa terdiri dari lancaran, ladrang,
ketawang, gending, ayak-ayak, srepeg, dan sampak. Komposisi lancaran biasanya
terdiri dari beberapa baris, setiap baris terdiri dari 16 ketukan, ditandai oleh
pukulan instrumen: kenong ketukan ke- 4, 8, 12, dan 16; kempul ketukan ke- 6,
10, 14; dan gong ketukan ke- 16.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

18

8.5 Komposisi Ladrang dan Ketawang
Ladrang: komposisi musik tradisional yang biasanya terdiri dari 2 baris
dan 32 ketukan; ditandai pukulan instrumen kenong ketukan ke-8, 16, 24, dan 32;
pukulan kempul ketukan ke-12, 20, dan 28; pukulan gong ketukan ke-32.
Ketawang: komposisi musik tradisional yang biasanya terdiri dari 16
ketukan, pukulan kenong ketukan ke-8, pukukan kempul ketukan ke-12, dan
pukulan gong ketukan ke-16.

8.6 Komposisi gending
Komposisi musik tradisional yang terdiri dari 64 ketukan. Ditandai oleh
pukulan kenong ketukan ke-16, 32, 48, dan 64; tidak ada pukuklan kempul
(kecuali sudah minggah/ ciblon), dan pukulan gong ketukan ke-64. Komposisi
ketawang gending terdiri dari 2 baris dan 32 ketukan; ditandai pukukan kenong
ketukan ke-16, 32; pukulan gong ketukan ke-32.

8.7 Komposisi Ayak-ayak
Komposisi ini agak unik, masing-masing orientasi gagrag memiliki
komposisi masing-masing. Gagrag Surakarta berbeda dengan Yogyakarta dan
Banyumas. Ditandai dengan irama yang lamban. Sedangkan komposisi srepeg
ditandai irama yang sedang, dan komposisi sampak ditandai dengan irama yang
cepat. Masing-masing gending tersebut terbagi atas beberapa pathet (nada dasar).
8.8 Pathet atau “nada dasar”
Setiap adegan dalam wayang diiringi musik yang memiliki pathet (“nada
dasar”) tertentu. Untuk slendro terdiri dari slendro pathet nem, slendro pathet
sanga, dan slendro pathet manyura. Sedangkan untuk nada pelog terdiri dari pelog
pathet lima, pelog pathet nem, pelog pathet nyamat, dan pelog pathet barang.
Pelog pathet barang merupakan varian baru dari nada pelog.

8.9 Gamelan Tumbuk Nem
Nada slendro dan pelog biasanya memiliki nada tertentu yang sama
intensitas bunyinya. Gamelan biasanya tumbuk nem, artinya nada enam pada nada

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

19

slendro sama tingginya (intensitas bunyinya) degan nada enam pada nada pelog.
Namun demikian ada pula yang tumbuk lima. Nada 5 pada slendro sama dengan
nada 5 pada nada pelog.

8.10 Seni Vokal
Seni vokal biasa diproduksi oleh dalang (pemain wayang), pesinden
(penyanyi wanita), wiraswara (penyanyi laki-laki), maupun nayaga (pemusik).
Sulukan, janturan, pocapan, carita kombangan, dialog diproduksi oleh dalang.
Gerongan dan tembang biasanya

dilantunkan oleh wiraswara, sindenan

dilantunkan oleh pesinden. Di dalam seni sastra menyatu dengan aspek-aspek
yang dilantunkan oleh dramatis personae tersebut.

9.

Seni Drama dalam Pertunjukan Wayang
Seni drama dalam pertunjukkan wayang lebih menekankan pada

pembelajaran penguasaan

dialog,

tinggi

rendah

suara,

dan

penguasaan

karakteristik tokoh.

10. Seni Sastra dalam Pertunjukan Wayang
Sastra merupakan bahasa yang indah hasil karya manusia. Rakitan kata,
frase, dan kalimat, tersusun sedemikian rupa sehingga memiliki nilai seni tinggi.
Baik naratif maupun puisi dikandung nilai seni yang tinggi. Pilihan kata dalam
struktur tertentu (wangsalan, parikan, purwakanthi, dsb) menjadi modal para
dramatis personae untuk diekspresikan ke dalam bentuk seni bersama instrumen.
Vokal dan instrumen diselaraskan dengan nada-nada yang ada. Suara
Bima, Arjuna, Kresna, Yudhistira, dll dupayakan memiliki ukuran-ukuran dalam
tataran nada, dan mengingat pada suasana dan lingkungan yang dipergunakan
sebagai latar penampilan suatu tokoh wayang. Kresna pada adegan pertama
(pathet nem-di dalam istana) (nada 2) berbeda ketika pada dini hari (pathet
manyura-di luar istana) nada 6, dll.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

20

11. Seni Rupa dalam Pertunjukkan Wayang
Seni rupa dalam wayang dikenal dengan istilah wanda. Wanda pada seni
kriya wayang (kulit maupun kayu) yakni pengejawantahan wujud dari prejengan
dan

karakter dasar pada kondisi mental

dan lingkungan tertentu. Wanda

merupakan manifestasi dari kecanggihan seni rupa wayang sebagai unsur
pendukung utama dari drama pementasan.
Pengejawantahan wujud dari prejengan dan karakter dasar pada kondisi
mental dan lingkungan tertentu. Wujud visual boneka salah satu aspek yang
diperhatikan

seniman

sebagai

titik

tolak

menggerakkan

wayangnya.

Gathutkaca=guntur, gelap, kilat, thathit.
Arjuna=jimat, mangu
Kresna=botoh, rondhon

Daftar Pustaka
Amir Hazim, 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Darmoko, 1996. Wayang, Bentuk, Isi dan Nilainya. Depok: Fakultas Sastra UI.
------------, 1996. Gendhing-Gendhing Jawa. Depok: Fakultas Sastra UI.
------------, 2004. Seni Gerak Dalam Pertunjukan Wayang : Tinjauan Etika Dan
Estetika. Makara, Sosial Humaniora.
------------, 2006. Kresna dan Bharatayuda pun Terjadi. Bogor: Akademia.
Senawangi, 2000. Ensiklopedi Wayang.
Groenendael, Victoria M. Clara Van, 1987. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta:
Grafiti-Pers.
Guritno, Pandan, 1978. Wayang Kebudayaan Indonesia danPancasila. Jakarta: UI
Pers.
Hardjowirogo, 1982. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Pradya Paramita.
Marto Sedono, Amir, 1993. Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya.
Semarang: Dahana Prize.
Mulyono, Sri, 1989. Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:
Haji Masagung.
Sagio dan Samsugi, 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: Haji
Masagung.
Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Soejanto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Soekmono, R, 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia (1), (2), (3). Yogyakarta:
Kanisius.
Suyatno Ws. Ki Ng, 1986. Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok
Mangkunegaran. Surakarta: PDMN.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

21

Wibisono Singgih, 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi dalam Seni dalam
Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Zoetmulder, P.J, 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Terjemahan: Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

22

Dokumen yang terkait

STUDI ANALISA PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA GEDUNG KULIAH STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI JAWA TIMUR

24 197 1

FUNGSI MEDIA KOMUNIKASI TRADISIONAL WAYANG KULIT DALAM ACARA RUWATAN ALAM (Studi Pada Tradisi Ruwatan Alam Di Desa Sendi, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto)

0 94 37

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAKE AND GIVE DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI KELAS XI-IIS DI SMA NEGERI 7 BANDA ACEH

0 47 1

ENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI INDONESIA DENGAN MODEL PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS V SDN GAMBIRAN 01 KALISAT JEMBER TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1 24 17

MATA TUA

0 1 4

ULANGAN HARIAN MATA PELAJARAN AQIDAH AKH

0 27 1

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI SEKOLAH TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI KEUANGAN SISWA KELAS XI AKUNTANSI SMK WIYATA KARYA NATAR TAHUN PELAJARAN 2010/2011

10 119 78

PENINGKATAN MINAT BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EXAMPLES NON EXAMPLES PADA MATA PELAJARAN PKN DI KELAS VIII.D SMP NEGERI 1 KEDONDONG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 32 82

PENGGUNAAN “ METODE DISKUSI “ UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PKn KELAS IV MI DINIYYAH PUTRI KECAMATAN GEDONG TATAAN KABUPATEN PESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013

2 33 42