Perlindungan Warga Negara Indonesia WNI

Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI)
di Negara Konflik Bersenjata
( Studi Kasus Konflik Bersenjata di Marawi, Filipina)
Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Hukum Humaniter Internasional
Pengajar :
Ikaningtyas, SH. LLM.

Disusun Oleh :
Nisha Ardhayani
145010100111018

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Universitas Brawijaya
Fakultas Hukum
Malang
2017

BAB I
PENDAHULUAN
I.I.


Latar Belakang
Warga merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk Negara secara de facto. Dalam

hubungan antara warga negara dan negara, warga Negara mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap Negara dan sebaliknya warga Negara juga memiliki hak-hak untuk dilindungi oleh
Negara. Termasuk diantaranya melindungi warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut
dengan WNI) yang sedang berada di luar negeri. Perlindungan terhadap WNI di Indonesia
diatur dalam UUD 1945. Hal itu disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 “…melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Kebijakan perlindungan ini penting artinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak
WNI sebagai salah satu bagian dari negara Indonesia serta memberikan rasa nyaman bagi
warga Negara Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri. Selain sebagai langkah dalam
melaksanakan konstitusi, perlindungan terhadap WNI khususnya yang berada di luar negeri
dapat menumbuhkan rasa bangga karena menjadi warga Negara Indonesia.
Stabilitas keamanan nasional di negara tempat WNI bermukim menjadi salah satu
faktor terhadap pelaksanaan hak-hak WNI di luar negeri. Sementara itu, situasi keamanan dan
politik di luar negeri tidak selalu kondusif, dikarenakan masih berbenturan dengan situasisituasi tertentu, seperti konflik bersenjata Internasional yang tentunya akan berdammpak
terhadap WNI yang berada di negara tersebut, seperti konflik bersenjata yang terjadi di
Marawi, Filipina.

Konflik di Marawi, Filipina melibatkan kelompok ISIS atau kelompok Maute dengan
angkatan bersenjata negara Filipina. Dalam konflik tersebut beredar kabar bahwa adanya
keterlibatan 11 WNI sebagai militan ISIS. Berdasarkan informasi resmi dari Kementerian
Luar Negeri, tidak ada keterkaitan antara WNI dengan kelompok Maute atau ISIS ataupun
kelopok teroris lain yang terlibat konflik di Marawi. Pihak KJRI juga telah mengkonfirmasi
bahwa kondisi 11 WNI dalam keadaan aman.(www.detik.com)
Negara yang dalam hal ini Pemerintah harusnya memberikan perhatian yang lebih
terkait Perlindungan terhadap WNI yang berada di luar negeri, khususnya di wilayah negara
dengan situasi keamanan yang tidak kondusif.

I.II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang warga negara asing di
negara konflik bersenjata?
2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap penduduk sipil warga negara asing
saat konflik bersenjata?
3. Bagaimana perlindungan penduduk sipil WNI (Warga Negara Indonesia) saat
terjadi konflik bersenjata di Marawi, Filipina.
I.III. Tujuan
1. Mengetahui, memahami, dan menganalisis perlindungan terhadap penduduk sipil
warga negara asing di negara konflik bersenjata.

2. Mengetahui, memahami, dan menganalisis tanggung jawab pemerintah terhadap
penduduk sipil warga negara asing saat konflik bersenjata
3. Mengetahui, memahami, dan menganalisis perlindungan penduduk sipil WNI
(Warga Negara Indonesia) saat terjadi konflik bersenjata di Marawi, Filipina.

BAB II
PEMBAHASAN

II.I.

Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Warga Negara Asing di Negara Konflik
Bersenjata.
Pada prinsip pembedaan dalam hukum humaniter, dikenal dengan adanya pembagian

2 golongan, yaitu kombatan dan penduduk sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang
secara aktif turut serta dalam pertempuran. Penduduk sipil adalah golongan penduduk yang
tidak berhak ikut serta dalam suatu pertempuran. Pada hukum humaniter, kedua golongan
tersebut sama-sama dilindungi.
Penduduk sipil merupakan golongan yang tidak boleh dijadikan objek kekerasan atau
sasaran. Perlindungan penduduk sipil dalam hukum internasional terdiri dari perlindungan

pada masa perang dan damai. Pada masa perang terangkum dalam hukum humaniter
internasional dan dalam masa damai terangkum dalam hukum hak asasi manusia.
Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniter internasional terdapat dalam
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan tahun 1977.
Pada Pasal 4 Konvensi Jenewa IV dijelaskan mengenai orang-orang yang tergabung
dalam peperangan atau pertikaian bersenjata yang telah menjadi korban perang.
Article 4 : Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in
any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the hands
of a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals. Nationals
of a State which is not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a
neutral State who find themselves in the territory of a belligerent State, and nationals of a
co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons while the State of which
they are nationals has normal diplomatic representation in the State in whose hands they
are. 1
Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949, terdapat pengaturan yang umum mengenai
perlindungan terhadap warga sipil yaitu dalam Pasal 27-39, dan Pasal 47, 48, 50, 55, dan 58.
Substansi ini turut diatur dalam Pasal 7, 13, 14, 17 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan

1


Konvensi Jenewa IV 1949

saat konflik bersenjata menurut Konvensi Jenewa IV tahun 1949, dibagi menjadi 2 macam,
yaitu :
1. Perlindungan Umum
a. Orang Asing di Wilayah Pendudukan
Pada saat konflik, lalu orang asing yang berdiam di negara musuh dianggap
sebagai warga negara musuh dan mereka tetap mendapatkan penghormatan dan
perlindungan di negara dimana mereka berdiam.
b. Orang yang Tinggal di Wilayah Pendudukan
Penduduk sipil yang berada di negara yang terjadi konflik harus sepemuhnya
dilindungi oleh penguasa pendudukan. Tidak boleh merubah hukum yang berlaku
di wilayah tersebut
c. Interniran Sipil
Interniran sipil tidak boleh ditempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat
terancam bahaya perang. Bila ada kepentingan militer maka tempat interniran ini
harus ditandai dengan “IC”, internment camp.
2. Perlindungan Khusus
Biasanya perlindungan khusus diberikan kepada penduduk sipil yang tergabung
dalam organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas


sosial

untuk

membantu

penduduk sipil lainnya saat terjadi konflik bersenjata. Biasanya mereka adalah
penduduk sipil yang menjadi anggota Palang Merah Nasional dan erhimpunan
Penolong Sukarela lainnya.
Penduduk sipil yang dianggap sebagai pihak yang lemah dan menderita, sangat
mudah untuk dijadikan sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan dibuat sedemikian rupa.
Hukum humaniter telah mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Konvensi IV
1949, yang pengaturannya lebih sempurna jika dibandingkan dengan Konvensi Den Haag.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa pihak-pihak yang bertikai dilarang melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut:
1. Memaksa baik secara jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan.
2. Menimbulkan penderitaan jasmani.
3. Menjatuhkan hukuman kolektif.
4. Mengadakan intimidasi, terorisme, dan perampokan.

5. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil.
6. Menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera.

II.II. Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penduduk Sipil Warga Negara Asing
Saat Konflik Bersenjata.
Suatu negara juga memiliki tanggung jawab tambahan terhadap warga negara sipil asing
yang berada di wilayahnya yaitu melakukan kebijakan yang sama terhadap warga sipil dari
negaranya terhadap warga negara asing ketika terjadi konflik bersenjata sesuai dengan Pasal 9
Konvensi Montevideo tahun 1933 yang berbunyi:
“Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national
authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the
nationals.”2
Oleh karena itu tidak ada pembeda terkait dengan perlindungan warga sipil, entah itu warga sipil
yang merupakan warga negara tersebut atau waraga sipil asing.

Selain berhak atas perlindungan sebagai orang sipil dalam konflik bersenjata,
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang mengatur mengenai Perlindungan Orang Sipil saat
perang, juga menetukan hak-hak orang sipil asing. Orang sipil asing berhak mendapatkan
perlakuan sebagaimana tertera dalam Pasal 35 hingga 46, namun yang berkaitan dengan
pembahasan kali ini akan difokuskan pada Pasal 35 dan Pasal 36 Konvensi Jenewa IV tahun

1949.
Pada Pasal 35 diketahui bahwa orang sipil asing berhak untuk meninggalkan wilayah
konflik. Dikaitkan dengan perlindungan warga sipil asing yang berada di wilayah konflik,
maka warga sipil asing tersebut berhak untuk meninggalkan wilayah konflik, baik pada
permulaan konflik, maupun pada saat konflik sedang berlangsung.
Adapun mengenai keberangkatan warga sipil asing dari wilayah konflik, untuk
menjaga keamanan dari warga sipil asing tersebut, dapat diadakannya permohonan atau
perundingan untuk meninggalkan wilayah konflik tersebut kepada para pihak yang berkonflik
sehingga dalam proses keberangkatan untuk meninggalkan wilayah konflik tidak terjadi
kesalahpahaman terhadap para pihak. Selanjutnya apabila warga sipil asing yang berada di
daerah konflik tidak diperkenankan untuk meninggalkan wilayah konflik, maka para pihak
yang bersengketa, harus memberitahukan dengan cepat kepada warga sipil asing tersebut
disertai alasan-alasan yang jelas terkecuali dikhawatirkan diberitahukannya alasan-alasan
yang diberikan bertentangan dengan alasan keamanan atau apabila orang yang bersangkutan
berkeberatan atas diberikannya alasan tersebut.mmmmmmmmmm
Usaha yang dapat diajukan warga sipil asing atas penolakan pemberangkatan terhadap
dirinya tersebut, dapat diajukan permohonan terhadap suatu lembaga seperti pengadilan atau
2

Konvensi Montevideo 1933


dewan administratif Negara Penahan. Lalu pada Pasal 36 disebutkan bahwa dalam
keberangkatan-keberangkatan yang diizinkan berdasarkan Pasal diatas (sebelumnya)
dilaksanakan dengan syarat-syarat keselamatan, kebersihan, kesehatan, dan makanan. Segala
biaya tersebut, terhitung mulai keberangkatan akan ditanggung oleh negara tempat tujuan
atau dalam hal ditempatkan dalam Negara Netral, ditanggung oleh Negara yang warga
negaranyammemperoleh manfaat.kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
Negara dalam hal ini sebagai subjek hukum utama internasional memang memiliki
kekuasaan dan tanggung jawab atas individu yang terdapat dalam wilayahnya khususnya
dalam konflik bersenjata.
II.III. Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Saat Terjadi Konflik Bersenjata
di Marawi, Filipina.
Akhir Mei lalu, kelompok militan ISIS Filipina melakukan penyerangan di kota
Marawi, Filipina. Sampai sekarang masih terjadi perebutan wiliyah kota Marawi antara
tentara Filipina dengan militan ISIS. Kelompok militan ISIS mengeluarkan 400-500
militannya pada saat awal penyerangan. Mereka bersembunyi di pemukiman warga dan
cenderung menjadikan warga sipil sebagai “tameng”. Banyak warga sipil yang masih terjebak
di lokasi tersebut. ISIS juga menyandera beberapa warga sipil. Diantara warga sipil tersebut
terdapat 17 warga negara Indonesia di kota Marawi. Tujuan awal mereka adalah untuk
melakukan dakwah di kota Marawi. Pemerintah Republik Indonesia berusaha mengevakuasi

17 warga negara Indonesia tersebut dengan aman. Upaya pemerintah RI dalam melindungi
warga negaranya diawali dengan melakukan perundingan dengan pemerintah Filipina.
Perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat konflik bersenjata diatur dalam
Konvensi Jenewa Tahun 1949 Bagian IV yang melarang menjadikan penduduk sipil sebagai
target sasaran perang. WNI yang berada di Marawi tergolong dalam penduduk sipil.
Pasal 13 Konvensi Jenewa Tahun 1949 Bagian IV menyatakan bahwa: “The
provisions of Part II cover the whole of the populations of the countries in conflict, without
any adverse distinction based, in particular, on race, nationality, religion or political
opinion, and are intended to alleviate the sufferings caused by war.” 3
Pemerintah RI telah melakukan perundingan dengan pihak Filipina agar menerbitkan
safe conduct pass. Safe-conduct Pass adalah tanda bagi tim evakuasi kepada militer Filipina
yang sedang beroperasi agar diperbolehkan masuk ke daerah operasi tersebut. Setelah
3

Konvensi Jenewa IV 1949

berhasil mendapat persetujuan dari pihak Filipina maka pemerintah RI dapat melakukan
evakuasi. Evakuasi dilakukan melalui 2 jalur. Jalur pertama akan melalui Kota Illigan yang
berada di utara Mindanao, Filipina, kemudian menuju ke Bandara Cagayan De Oro. Jalur
kedua akan melalui Sultan Naga Dimaporo, kemudian ke Kota Pagadian dan Kota Iligan.

Evakuasi melibatkan 4 tim yang terdiri dari gabungan dari tim KBRI, KJRI dan orang-orang
yang merupakan International Monitoring Team.
Evakuasi ini disebutkan dalam Pasal 61 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun
1977. Dalam Pasal tersebut evakuasi termasuk dalam tindakan “civil defence” atau
pertahanan sipil merupakan pelaksanaan dari tugas kemanusiaan untuk melindungi penduduk
sipil terhadap bahaya-bahaya. Pelaksanaan evakuasi juga didasari dengan ketentuan dalam
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 Bagian IV Pasal 51 ayat (1) disebutkan :
“The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection
against dangers arising from military operations.”
Yang diperjelas dalam Commentary 1987 of Protection of The Civilian Population
yang menyatakan bahwa :
“... It explicitly confirms the customary rule that innocent civilians must be kept
outside hostilities as far as possible and enjoy general protection against danger arising
from hostilities...”
Selain itu, evakuasi juga didasarkan pada asas perlindungan maksimum, dimana
pemerintah wajib melindungi warga negaranya dalam keadaan apapun baik di dalam maupun
diluar negeri.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki memiliki kewenangan dan
tanggung jawab terhadap setiap individu yang berada di wilayahnya. Perlindungan penduduk
sipil seperti pada saat konflik bersenjata yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa IV tahun
1949 berlaku untuk semua penduduk sipil di wilayah konflik bersenjata tersebut, baik yang
merupakan warga negara dari negara tersebut atau warga negara asing. Dalam Konvensi
Jenewa IV tahun 1949, terdapat pengaturan yang umum mengenai perlindungan terhadap
warga sipil yaitu dalam Pasal 27-39, dan Pasal 47, 48, 50, 55, dan 58. Substansi ini turut
diatur dalam Pasal 7, 13, 14, 17 Protokol Tambahan II 1977.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi warga
negaranya yang berada di daerah konflik bersenjata Marawi, Filipina secara umum terdiri
dari 2 cara, yang pertama adalah melakukan perundingan melalui Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia dengan Pemerintahan Filipina mengenai penerbitan safe conduct pass
yang nantinya akan digunakan sebagai tanda bagi tim evakuasi kepada militer Filipina yang
sedang beroperasi agar diperbolehkan masuk ke daerah operasi tersebut. Hal itu berfungsi
sebagai bantuan pengamanan selama proses evakuasi warga negara Indonesia yang ada di
Marawi, serta sebagai ijin untuk memasuki wilayah kedaulatan Filipina dengan damai.
merupakan International Monitoring Team. Evakuasi ini disebutkan dalam Pasal 61 Protokol

Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977. Dalam Pasal tersebut evakuasi termasuk dalam
tindakan “civil defence” atau pertahanan sipil merupakan pelaksanaan dari tugas kemanusiaan

untuk melindungi penduduk sipil terhadap bahaya-bahaya . Pelaksanaan evakuasi juga didasari
dengan ketentuan dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 Bagian IV Pasal 51 ayat

(1) yang pada dasarnya menjelaskan tentang perlindungan terhadap penduduk dari bahaya operasi
militer. Selain itu, evakuasi juga didasarkan pada asas perlindungan maksimum, dimana

pemerintah wajib melindungi warga negaranya dalam keadaan apapun baik di dalam maupun
diluar negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949

Konvensi Montevideo Tahun 1933
Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa Tahun 1977
Website
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/06/02/17-wni-yang-berhasil-dievakuasi-dalamkondisi-sehat
https://news.detik.com/berita/d-3516509/menlu-polisi-filipina-segera-evakuasi-wni-darimarawi
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/31/angkatan-bersenjata-filipina-evakuasi-wnidi-marawi-ini-rutenya

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1