Pengembangan Kesem patan Memperoleh Pendi
Pengembangan Kesempatan Memperoleh Pendidikan bagi
Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan
Aditya Awal Sri Lestari
I. Pendahuluan
Sekolah adalah salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran
untuk menghasilkan generasi yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan
moralitas yang tinggi. Sekolah yang baik dapat membekali murid-muridnya
dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan tatakrama yang diperlukan bagi
kehidupan masa depan seorang anak. Idealnya, sekolah dengan berbagai
kegiatan pembelajaranya merupakan tempat yang menyenangkan sehingga
anak-anak
dapat
mengembangkan
potensi
dan
bakatnya
secara
maksimal. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan tidak luput dari apa
yang diharapkan masyarakat luas sebagai pencetak generasi bangsa dan penerus
dari sebuah keluarga. Peran sekolah kemudian menjadi lebih penting ketika
anak tumbuh dan berkembang, berperilaku mulai menyesuaikan dengan apa
harapan dari lingkungan sekitarnya.
Menurut Harber dan Davies (1997), muncul pertanyaan baru mengenai
sistem edukasi dalam sebuah institusi pendidikan. Apa sebenarnya tujuan dan
seberapa besar efektivitas yang dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah
untuk meningkatkan serta berjalan bersama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan tersebut.1 Karena di dalam sekolah terdapat sebuah diversitas anak
yang masuk, tipe guru yang mengajar, serta pengurus sekolah dengan berbagai
macam latar belakang.
Di Indonesia, tujuan pendidikan sendiri telah mengakar dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidik dan
tenaga pengajar yang kemudian menjadi salah satu ujung tombak implementasi
1
Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and Societies. USA:
RoutledgeFahmer. Hlm. 14
1
tujuan pendidikan itu sendiri. Penyaluran lainnya adalah lewat kurikulum yang
didesain oleh pihak terkait yang mungkin dirasa cukup mewakilkan kebutuhan
belajar siswa/i masa kini. Menurut data yang diperoleh dalam situs resmi
UNDP (United Nation Development Program), Indonesia mempunyai Indeks
2
Pembangunan Manusia sebesar 0.629 dengan pendapatan per kapita $2910.
Namun hal ini berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura
yang memiliki indeks lebih tinggi 0,83 dan 0,86 persen.3 Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang masih tertinggal dari negara tertangga dapat berimplikasi
buruk bagi pembangunan Indonesia ke depannya dan kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memiliki pendidikan mapan dapat menjadi salah satu
faktor.
Lebih spesifiknya lagi, anak yang tersandung masalah hukum kerap tidak
bisa mendapatkan hak yang sepatutnya didapat. Sistem peradilan pidana bagi
anak ini dibangun dengan ide bahwa anak yang berhadapan dengan hukum
haruslah diperlakukan secara berbeda dan penuh perlindungan. Anak yang
berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkab pertimbangan khusus,
dan negara di seluruh dunia wajib dalam memastikan bahwa semua anak
tumbuh, berkembang, dan mencapai hak-hak mereka secara maksimal. Sebagai
bagian integral dari hal ini, sistem peradilan harus dirancang dan dikelola untuk
menghormati hak-hak anak.4
II.Rumusan Masalah
Berikut ini lampiran dari masalah yang ingin penulis bahas dalam tulisan
kali ini. Ini adalah dua artikel berita mengenai kondisi pendidikan anak di
dalam penjara yang diambil dari dua portal berita dalam jaringan.
2
http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses pada 10
Desember 2013 pukul 19:45
3
http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masihrendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52
4
The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A Non-Violent Juvenile
Justicew System, Report 2013. Hlm 11
2
“Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”5
TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
M.Ihsan, meminta polisi memfasilitasi agar empat anak SMP yang kini
ditahan di Penjara Salemba dalam kasus pencabulan anak SD bisa
mengikuti ujian nasional. “Kalau orang tua takut mereka tak bisa ujian,
tak usah khawatir. Hak itu dilindungi undang-undang. Mereka bisa ujian
di kantor polisi,” ujar Ihsan, ketika dihubungi Kamis, 11 April 2013.
Menurut Ihsan, penahanan atas pelaku tindak kriminal di bawah umur
masih bisa dilakukan mengingat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak belum berlaku. Pasal 32 peraturan itu
menegaskan bahwa penahanan terhadap pelaku pidana yang masih anakanak tidak bisa dilakukan. Namun, dalam aturan peralihan, memang
dijelaskan bahwa UU Peradilan Anak baru berlaku dua tahun setelah
disahkan. Karena itu, Ihsan mengatakan polisi bisa saja melakukan
penahanan terhadap empat siswa SMP YPUI tersangka aksi pencabulan.
“Asal, ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang menjadi acuan oleh
penyidik,” ujar Ihsan.
Ihsan mengatakan, pertimbangan itu bisa meliputi untuk kemudahan
pemeriksaan dan melindungi keselamatan anak. Hal itu, kata Ihsan, sudah
diatur dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ihsan pun
mengatakan bahwa anak yang ditahan pun punya hak yang harus
dipenuhi. Beberapa di antaranya seperti diperbolehkan mengikuti ujian,
bertemu orang tua, dan dipisahkan dari sel orang dewasa.
Ditanyai apakah ada kemungkinan penangguhan penahanan dilakukan,
Ihsan berkata mungkin saja. Pihak orang tua harus menyakinkan anakanak yang menjadi tersangka tak akan lagi melakukan kesalahannya dan
tak kabur dari proses hukum. “Tapi, sekali lagi, penyidik punya
5
Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”. Tempo.Co: 15 Desember
2014. Diakses dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/04/12/064472902/Komisi-AnakMinta-Tahanan-Anak-Bisa-Ikut-Ujian pada 21 Desember 2014 pukul 15:26
3
pertimbangan tersendiri, seperti anak ditahan agar selamat dari serangan
balas dendam korban,” ujar Ihsan.
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”6
TEMPO Interaktif, Semarang – Jumlah anak yang mendekam di di Jawa
Tengah saat ini mencapai 324 anak, terdiri dari 316 anak laki-laki dan
perempuan 8 anak. Mereka tersebar di berbagai Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan (Rutan) yang ada di Jawa Tengah. Terbanyak berada
di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kutoarjo sebanyak 92 anak,
terdiri 70 anak berstatus narapidana, tahanan 6 anak, serta 16 anak
negara. Sedangkan yang lain mendekam di Lembaga Pemasyarakatan
Semarang 19 anak, Rumah tahanan Blora 16, Rumah tahanan Purwodadi
16, Rumah tahanan Surakarta 15, Rumah Tahanan Pemalang 13, Rumah
Tahanan Ambarawa 13, serta rumah tahanan di Kendal sebanyak 13
anak.
Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jawa Tengah Chaeruddin menyatakan, kasus-kasus yang melibatkan
anak-anak itu diantaranya pelanggaran asusila, pencurian dan tindakan
kriminal, melarikan anak, serta kasus narkoba. Chaeruddin menyatakan
anak-anak didik tersebut ditempatkan di sel-sel dengan blok khusus anak.
“Mereka tidak dicampur dengan narapidana dan tahanan dewasa,” ujar
Chaeruddin, Jum’at (23/7). Chaeruddin menilai, banyaknya anak-anak
yang dipenjara itu disebabkan karena masih minimnya pemahaman para
aparat penegak hukum untuk melindungi hak-hak anak.
Seharusnya, kata dia, penjara adalah 4nsure4iona terakhir atau ultimum
remidium. Pilihan pertama adalah dikembalikan kepada orang tua,
dimasukkan panti rehabilitasi, menjadi anak negara, dan terakhir anak
6
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co: 23 Juli 2014.
Diakses dalam http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/177265756/Di-Jawa-Tengah324-Anak-Mendekam-di-Penjara pada 21 Desember 2014 pukul 15:38
4
pidana atau anak didik di penjara. Perlakuan para pengelola lembaga
pemasyarakatan
terhadap
anak-anak
juga
belum
mencerminkan
perlindungan hak-hak anak. Chaeruddin mencontohkan belum semua
lembaga pemasyarakatan mengijinkan anak didik untuk melanjutkan
sekolah. “Mestinya siang hari bersekolah, malam pulang ke tahanan,” ujar
Chaeruddin. Chaeruddin menambahkan, saat ini Kementerian Hukum
dan HAM masih merancang draft undang-undang sebagai payung hukum
pemberian remisi atau pengurangan hukuman pada anak-anak yang
menjalani hukuman. “Diharapkan setiap ada momentum Hari Anak
Nasional anak bisa mendapatkan remisi,” ujar Chaeruddin.
Koordinator
Yayasan
Setara,
Hening
Budiyawati
menyatakan
penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan umum harus dipantau
secara khusus. Sebab, meski beda blok tapi masih dalam satu lokasi maka
pergaulan narapidana dewasa dengan anak-anak akan tetap tak
terhindarkan. Yang juga penting, kata dia, anak yang dihukum juga harus
tetap bersekolah. “Karena yang ditahan hanya hak kebebasannnya,
sedangkan hak pendidikan dan kesehatannya tetap harus dijamin
pemerintah,” ujar Hening. Aktivis pendamping anak ini meminta agar
para penegak hukum lebih memperhatikan masa depan anak dengan
menjatuhkan hukuman yang lebih bersahabat bagi anak. Misalnya dengan
pengalihan hukuman, asimiliasi atau hukuman percobaan.
Dua berita di atas yang diambil oleh penulis dalam melihat fenomena
masalah pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
III. Analisa
Doktrin lama tentang hukum dan peradilan mulai digeser ke arah doktrin
baru, yang mana tidak mengandung power authorities dan tidak diselubungi
oleh abuses of power serta tidak mewujudkan pertarungan antara manusia yang
satu terhadap manusia yang lainnya, tidak menimbulkan degradasi manusia
melainkan
harus
mewujudkan
salah
satu
dasar
hubungankehidupan
5
tentang utility bagi semua orang sejalan dengan cita-cita human welfare.
Substansi hukum dan eksistensi peradilan perlu dikembangkan dalam satu
sistem (input-output sistem) dan hasil penerapannya harus memberikan
kontribusi kepada kepentingan kesejahteraan manusia (human welfare)7.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undangundang Nomor 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri
atas empat komponen yang masing-masing merupakan sub-sistem dalam sistem
peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga
pemasyarakatan. Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem
peradilan pidana terpadu.
Sistem peradilan pidana di Indonesia bersifat represif (memaksa) namun
masih diragukan keberhasilannya, karena kegagalan sistem tersebut untuk
memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan
oleh pelaku kejahatan. Namun faktanya, di Indonesia kerap kali menyamakan
anak-anak yang tersandung masalah hukum dengan orang dewasa yang
melakukan kejahatan, termasuk dalam hal penanganannya di dalam penjara
setelah mereka menerima vonis dari hakim.
Menurut UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang
berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus
memproleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah,
maupun sosial. Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya. Melalui undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa
negara memberikan jaminan untuk memberikan perlindungan terhadap hak
anak, bahkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bertanggung
jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.
7
Muntaha. 2004. Penerapan Hukum Di Masyarakat Dan Keterpaduannya Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal Protectorat. Hlm 1.
6
Konsep perlindungan anak mencakup dalam empat kelompok
permasalahan, yaitu perlindungan terkait aspek sosial budaya, ekonomi,
politik/hukum dan pertahanan keamanan. (Supatmi dan Puteri, 1999: 109-110).8
Menurut Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi PBB
No.40/33, 1985 menyatakan tujuan sistem peradilan bagi anak adalah
mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun
terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadaan
baik
pada
pelanggar-pelanggar
hukumnya
maupun
pelanggaran hukumnya.9
Sementara ketika anak sudah memasuki proses pemidanaan, tugas
perlindungan anak pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam prosedur
hukum dibebankan pada ketentuan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan.
Sebagaimana
telah
ditelaah
pada
Bab
I
Lembaga
Pemasyarakatan pada umumnya berfungsi sebagai berikut 10 : (1) Perlindungan
hukum (protective), (2) Mendapat hukuman (punitive), (3) Memperbaiki
(reformative), (4) Rehabilitas (rehabilitative).
Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, Resolusi 45/113, 1990 dalam Pasal 37 menyebutkan bahwa:
“Setiap fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak menerima
makanan yang disiapkan secara pantas dan disajikan pada waktu-waktu makan
yang normal dan berjumlah serta bermutu cukup untuk memenuhi standar diet,
kebersihan dan kesehatan serta, sejauh mungkin, persyaratan-persyaratan
keagamaan dan budaya. Air minum bersih harus tersedia bagi setiap anak pada
setiap saat.”
8
Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari Perkawinan
Campuran. Depok: FISIP UI.
9
M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm 49
10
Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: Grasindo. Hlm 78
7
Kasus anak dapat masuk dalam sistem peradilan pidana ditentukan oleh
peranan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum, khususnya polisi
kemudian menerapkan kebijakan diskresi, yaitu kebebasan yang luas bagi
petugas kepolisian dalam menentukan penanganan bagi remaja pelaku
pelanggaran, apakah para pelaku akan ditangani secara tidak resmi, atau remaja
pelaku akan ditahan dan diproses secara resmi.11 Dalam sistem peradilan pidana
ini pula masyarakat menggantungkan harapannya untuk mendapat keadilan atas
apa yang menimpanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tidak hanya bagi orang dewasa, sistem peradilan pidana ini juga
diberlakukan bagi anak-anak yang notabennya seharusnya mendapat perlakuan
berbeda dari orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum.
Goffman (1961) menggunakan konsep lembaga total dalam menggambarkan
masalah-masalah dalam penjara, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan
hak pendidikan bagi anak dalam penjara. Thomas (1983) menguraikan masalah
yang dalam menerapkan pendidikan formal dalam penjara seperti perilaku
diskresioner dari pihak staf penjara, subkultur dalam penjara serta
mengembangkan hubungan saling percaya antara pengajar dan siswa. Hal ini
dipersulit dengan sikap tidak ramah dengan orang-orang yang memegang
kekuasaan karena kebencian terhadap sipir penjara.12 Tidak jarang pula
penghuni penjara terutama anak-anak mempunyai pengalaman buruk dengan
pendidikan formal di luar penjara sebelumnya. Penerapan silabus sesuai
kurikulum yang dirancang oleh pihak yang berkepentingan, yang kerapkali
disamakan dengan pendidikan formal di luar penjara, sedangkan penjara
merupakan institusi total yang menjadikan ini sebagai pelanggaran atas
kebebasan akademik yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
11
Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A Sociological Approach
Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401
12
Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison Classroom:
Marginalized Identities and Sociological Imaginations Behind Bars”. Teaching Sociology, Vol.
39, No. 2 (April 2011), pp. 165-178. Hlm 167
8
Menurut studi yang dilakukan oleh Yochelson dan Samenow (1976),
narapidana anak yang berada di dalam penjara belum memiliki pola pikir yang
matang dan pantas untuk dilakukan pelatihan pengembangan pola pikir yang
lebih efektif.13 Hal ini menjadikan pengembangan bagi pendidikan tidak hanya
dalam sektor formal, melainkan juga informal (berupa pelatihan kemampuan di
luar bidang akademis) menjadi perlu untuk dilakukan oleh pihak penyelenggara
pendidikan berkerjasama dengan pihak pengelola lembaga pemasyarakatan.
Dalam berita pertama yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini, sudah
sewajarnya jika pihak lembaga pemasyarakatan menyediakan sebuah cara agar
anak-anak SD yang menjadi tahanan dapat belajar sebagai bentuk persiapan
menuju Ujian Nasional. Perluasan kesempatan untuk memperoleh akses
terhadap pendidikan ini dapat dilakukan dengan mendatangkan guru ke dalam
lembaga pemasyarakatan maupun berkerjasama dengan sekolah yang berada di
dekat lembaga pemasyarakatan.
Peran tenaga pendidik profesional di dalam lembaga pemasyarakatan
menjadi penting untuk ditindaklanjuti secara serius karena menurut Letkemann
(1973) dan Duguid (1979), tahanan secara otodidak dan sadar memiliki unsur
yang kuat dalam menentukan pilihan untuk menjadi pelaku kejahatan di masa
depan.14 Peran tenaga pendidik menempati peran sentral dalam mencegah
seorang anak yang tersandung masalah hukum menjadi penjahat di masa depan
dan menyadarkan si anak bahwa ia memiliki masa depan yang lebih cerah
dengan tidak melakukan pelanggaran hukum di masa depan. Di sisi lain, peran
pendidikan dapat memberikan kesempatan kedua bagi si anak ketika ia sudah
keluar dari lembaga pemasyarakatan untuk memperoleh pekerjaan dan
pendidikan yang lebih layak.
Terlepas dari banyaknya kelebihan dalam memperluas akses memperoleh
pendidikan bagi anak di dalam lembaga pemasyarakatan, tidak jarang staf dan
13
Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural Perspective. Canadian
Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38. Hlm 27
14
Ibid. Hlm 29
9
pihak pengelola lembaga pemasyarakatan mempersulit apa yang seharusnya
menjadi hak anak. Model pendidikan yang diperlukan dalam merubah perilaku
anak-anak tersebut dengan melakukan perbaikan atas tiga asumsi dasar yang
perlu diubah dari anak-anak yang terlibat masalah hukum,15 yakni (1) mereka
memiliki kekurangan dalam membangun serta mengembangkan perilaku
kognitif, sosial, dan moral, (2) ketrampilan mengembangkan kognitif
diperlukan dalam membangun ketrampilan interpersonal dan pengembangan
moral sang anak, (3) membangun kesadaran bahwa apa yang dilakukan
sebelum ia tersandung masalah hukum adalah sebuah kesalahan.
Ada banyak manfaat bagi individu terutama anak, dalam meningkatkan
motivasi mengeyam pendidikan meskipun mereka berada di dalam lembaga
pemasyarakatan karena nilai pendidikan, memikirkan pekerjaan untuk masa
depan setelah bebas dari menjalani masa hukuman.16 Tidak hanya itu, tidak
jarang mengejar pendidikan selagi menjalani masa hukuman dapat menjadi
alasan untuk perencanaan masa depan, alasan sosial serta pelarian dan
membangun kompetensi diri. Remaja mungkin sudah menyadari pentingnya
posisi pendidikan di dalam kehidupannya, namun yang masih perlu diberikan
pengertian adalah anak-anak yang umumnya lebih menyukai untuk bermain dan
tidak melakukan apa-apa di dalam menjalani masa hukumannya.
IV. Kesimpulan
Banyak masalah dalam sistem kepenjaraan Indonesia dan menjadikannya
tumpang tindih dengan sub-budaya yang ada di dalam institusi total ini.
Subkultur dalam institusi total ini dapat menjadi bumerang Salah satu
masalahnya adalah penerapan sistem pendidikan formal yang tidak disediakan
dalam lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Di sisi lain, posisi dari
anak yang tersandung masalah hukum menjadikan ia rentan untuk tidak
15
Ibid.
Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’ Participation in
Education and Educational Desires. Springer Sciences and Business Media. Hlm 245.
16
10
memperoleh hak-hak yang seharusnya didapatkan, salah satunya adalah
mengenyam bangku pendidikan. Perlindungan terhadap salah satu hak anak
sebagai bentuk dari realisasi janji konstitusi negara ini perlu diperhatikan
dengan sangat seksama. Bentuk realisasi yang tidak jarang menjadikan anak
berada dalam posisi terpojok dan menerima saja apa yang diberikan selama
mereka berada di dalam masa tahanan. Pendidikan yang inklusif dan
memperluas akses dalam meraihnya perlu untuk dilakukan sebagai sebuah cara
untuk si anak memperoleh masa depan yang lebih layak pasca menyelesaikan
masa hukumannya.
11
V. Daftar Pustaka
Buku
Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari
Perkawinan Campuran. Depok: FISIP UI.
M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo.
Muntaha. 2004. Penerapan Hukum di Masyarakat Dan Keterpaduannya
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal
Protectorat.
Jurnal
Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural
Perspective. Canadian Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38.
Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A
Sociological Approach Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401
Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison
Classroom: Marginalized Identities and Sociological Imaginations Behind
Bars”. Teaching Sociology, Vol. 39, No. 2 (April 2011), pp. 165-178.
Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and
Societies. USA: Routledge Fahmer
Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’
Participation in Education and Educational Desires. Springer Sciences and
Business Media.
Laporan Lembaga
The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A
Non-Violent Juvenile Justicew System, Report 2013.
12
Publikasi Online
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co:
23
Juli
2014.
Diakses
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/177265756/Di-Jawa-Tengah-324Anak-Mendekam-di-Penjara pada 21 Desember 2014 pukul 15:38
http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses
pada 10 Desember 2013 pukul 19:45
http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-diindonesia-masih-rendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52
Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”.
Tempo.Co:
15
Desember
2014.
Diakses
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/12/064472902/Komisi-Anak-MintaTahanan-Anak-Bisa-Ikut-Ujian pada 21 Desember 2014 pukul 15:26
13
Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan
Aditya Awal Sri Lestari
I. Pendahuluan
Sekolah adalah salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran
untuk menghasilkan generasi yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan
moralitas yang tinggi. Sekolah yang baik dapat membekali murid-muridnya
dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan tatakrama yang diperlukan bagi
kehidupan masa depan seorang anak. Idealnya, sekolah dengan berbagai
kegiatan pembelajaranya merupakan tempat yang menyenangkan sehingga
anak-anak
dapat
mengembangkan
potensi
dan
bakatnya
secara
maksimal. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan tidak luput dari apa
yang diharapkan masyarakat luas sebagai pencetak generasi bangsa dan penerus
dari sebuah keluarga. Peran sekolah kemudian menjadi lebih penting ketika
anak tumbuh dan berkembang, berperilaku mulai menyesuaikan dengan apa
harapan dari lingkungan sekitarnya.
Menurut Harber dan Davies (1997), muncul pertanyaan baru mengenai
sistem edukasi dalam sebuah institusi pendidikan. Apa sebenarnya tujuan dan
seberapa besar efektivitas yang dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah
untuk meningkatkan serta berjalan bersama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan tersebut.1 Karena di dalam sekolah terdapat sebuah diversitas anak
yang masuk, tipe guru yang mengajar, serta pengurus sekolah dengan berbagai
macam latar belakang.
Di Indonesia, tujuan pendidikan sendiri telah mengakar dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea keempat, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidik dan
tenaga pengajar yang kemudian menjadi salah satu ujung tombak implementasi
1
Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and Societies. USA:
RoutledgeFahmer. Hlm. 14
1
tujuan pendidikan itu sendiri. Penyaluran lainnya adalah lewat kurikulum yang
didesain oleh pihak terkait yang mungkin dirasa cukup mewakilkan kebutuhan
belajar siswa/i masa kini. Menurut data yang diperoleh dalam situs resmi
UNDP (United Nation Development Program), Indonesia mempunyai Indeks
2
Pembangunan Manusia sebesar 0.629 dengan pendapatan per kapita $2910.
Namun hal ini berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura
yang memiliki indeks lebih tinggi 0,83 dan 0,86 persen.3 Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang masih tertinggal dari negara tertangga dapat berimplikasi
buruk bagi pembangunan Indonesia ke depannya dan kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memiliki pendidikan mapan dapat menjadi salah satu
faktor.
Lebih spesifiknya lagi, anak yang tersandung masalah hukum kerap tidak
bisa mendapatkan hak yang sepatutnya didapat. Sistem peradilan pidana bagi
anak ini dibangun dengan ide bahwa anak yang berhadapan dengan hukum
haruslah diperlakukan secara berbeda dan penuh perlindungan. Anak yang
berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkab pertimbangan khusus,
dan negara di seluruh dunia wajib dalam memastikan bahwa semua anak
tumbuh, berkembang, dan mencapai hak-hak mereka secara maksimal. Sebagai
bagian integral dari hal ini, sistem peradilan harus dirancang dan dikelola untuk
menghormati hak-hak anak.4
II.Rumusan Masalah
Berikut ini lampiran dari masalah yang ingin penulis bahas dalam tulisan
kali ini. Ini adalah dua artikel berita mengenai kondisi pendidikan anak di
dalam penjara yang diambil dari dua portal berita dalam jaringan.
2
http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses pada 10
Desember 2013 pukul 19:45
3
http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masihrendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52
4
The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A Non-Violent Juvenile
Justicew System, Report 2013. Hlm 11
2
“Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”5
TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
M.Ihsan, meminta polisi memfasilitasi agar empat anak SMP yang kini
ditahan di Penjara Salemba dalam kasus pencabulan anak SD bisa
mengikuti ujian nasional. “Kalau orang tua takut mereka tak bisa ujian,
tak usah khawatir. Hak itu dilindungi undang-undang. Mereka bisa ujian
di kantor polisi,” ujar Ihsan, ketika dihubungi Kamis, 11 April 2013.
Menurut Ihsan, penahanan atas pelaku tindak kriminal di bawah umur
masih bisa dilakukan mengingat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak belum berlaku. Pasal 32 peraturan itu
menegaskan bahwa penahanan terhadap pelaku pidana yang masih anakanak tidak bisa dilakukan. Namun, dalam aturan peralihan, memang
dijelaskan bahwa UU Peradilan Anak baru berlaku dua tahun setelah
disahkan. Karena itu, Ihsan mengatakan polisi bisa saja melakukan
penahanan terhadap empat siswa SMP YPUI tersangka aksi pencabulan.
“Asal, ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang menjadi acuan oleh
penyidik,” ujar Ihsan.
Ihsan mengatakan, pertimbangan itu bisa meliputi untuk kemudahan
pemeriksaan dan melindungi keselamatan anak. Hal itu, kata Ihsan, sudah
diatur dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ihsan pun
mengatakan bahwa anak yang ditahan pun punya hak yang harus
dipenuhi. Beberapa di antaranya seperti diperbolehkan mengikuti ujian,
bertemu orang tua, dan dipisahkan dari sel orang dewasa.
Ditanyai apakah ada kemungkinan penangguhan penahanan dilakukan,
Ihsan berkata mungkin saja. Pihak orang tua harus menyakinkan anakanak yang menjadi tersangka tak akan lagi melakukan kesalahannya dan
tak kabur dari proses hukum. “Tapi, sekali lagi, penyidik punya
5
Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”. Tempo.Co: 15 Desember
2014. Diakses dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/04/12/064472902/Komisi-AnakMinta-Tahanan-Anak-Bisa-Ikut-Ujian pada 21 Desember 2014 pukul 15:26
3
pertimbangan tersendiri, seperti anak ditahan agar selamat dari serangan
balas dendam korban,” ujar Ihsan.
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”6
TEMPO Interaktif, Semarang – Jumlah anak yang mendekam di di Jawa
Tengah saat ini mencapai 324 anak, terdiri dari 316 anak laki-laki dan
perempuan 8 anak. Mereka tersebar di berbagai Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan (Rutan) yang ada di Jawa Tengah. Terbanyak berada
di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kutoarjo sebanyak 92 anak,
terdiri 70 anak berstatus narapidana, tahanan 6 anak, serta 16 anak
negara. Sedangkan yang lain mendekam di Lembaga Pemasyarakatan
Semarang 19 anak, Rumah tahanan Blora 16, Rumah tahanan Purwodadi
16, Rumah tahanan Surakarta 15, Rumah Tahanan Pemalang 13, Rumah
Tahanan Ambarawa 13, serta rumah tahanan di Kendal sebanyak 13
anak.
Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jawa Tengah Chaeruddin menyatakan, kasus-kasus yang melibatkan
anak-anak itu diantaranya pelanggaran asusila, pencurian dan tindakan
kriminal, melarikan anak, serta kasus narkoba. Chaeruddin menyatakan
anak-anak didik tersebut ditempatkan di sel-sel dengan blok khusus anak.
“Mereka tidak dicampur dengan narapidana dan tahanan dewasa,” ujar
Chaeruddin, Jum’at (23/7). Chaeruddin menilai, banyaknya anak-anak
yang dipenjara itu disebabkan karena masih minimnya pemahaman para
aparat penegak hukum untuk melindungi hak-hak anak.
Seharusnya, kata dia, penjara adalah 4nsure4iona terakhir atau ultimum
remidium. Pilihan pertama adalah dikembalikan kepada orang tua,
dimasukkan panti rehabilitasi, menjadi anak negara, dan terakhir anak
6
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co: 23 Juli 2014.
Diakses dalam http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/177265756/Di-Jawa-Tengah324-Anak-Mendekam-di-Penjara pada 21 Desember 2014 pukul 15:38
4
pidana atau anak didik di penjara. Perlakuan para pengelola lembaga
pemasyarakatan
terhadap
anak-anak
juga
belum
mencerminkan
perlindungan hak-hak anak. Chaeruddin mencontohkan belum semua
lembaga pemasyarakatan mengijinkan anak didik untuk melanjutkan
sekolah. “Mestinya siang hari bersekolah, malam pulang ke tahanan,” ujar
Chaeruddin. Chaeruddin menambahkan, saat ini Kementerian Hukum
dan HAM masih merancang draft undang-undang sebagai payung hukum
pemberian remisi atau pengurangan hukuman pada anak-anak yang
menjalani hukuman. “Diharapkan setiap ada momentum Hari Anak
Nasional anak bisa mendapatkan remisi,” ujar Chaeruddin.
Koordinator
Yayasan
Setara,
Hening
Budiyawati
menyatakan
penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan umum harus dipantau
secara khusus. Sebab, meski beda blok tapi masih dalam satu lokasi maka
pergaulan narapidana dewasa dengan anak-anak akan tetap tak
terhindarkan. Yang juga penting, kata dia, anak yang dihukum juga harus
tetap bersekolah. “Karena yang ditahan hanya hak kebebasannnya,
sedangkan hak pendidikan dan kesehatannya tetap harus dijamin
pemerintah,” ujar Hening. Aktivis pendamping anak ini meminta agar
para penegak hukum lebih memperhatikan masa depan anak dengan
menjatuhkan hukuman yang lebih bersahabat bagi anak. Misalnya dengan
pengalihan hukuman, asimiliasi atau hukuman percobaan.
Dua berita di atas yang diambil oleh penulis dalam melihat fenomena
masalah pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
III. Analisa
Doktrin lama tentang hukum dan peradilan mulai digeser ke arah doktrin
baru, yang mana tidak mengandung power authorities dan tidak diselubungi
oleh abuses of power serta tidak mewujudkan pertarungan antara manusia yang
satu terhadap manusia yang lainnya, tidak menimbulkan degradasi manusia
melainkan
harus
mewujudkan
salah
satu
dasar
hubungankehidupan
5
tentang utility bagi semua orang sejalan dengan cita-cita human welfare.
Substansi hukum dan eksistensi peradilan perlu dikembangkan dalam satu
sistem (input-output sistem) dan hasil penerapannya harus memberikan
kontribusi kepada kepentingan kesejahteraan manusia (human welfare)7.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undangundang Nomor 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri
atas empat komponen yang masing-masing merupakan sub-sistem dalam sistem
peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga
pemasyarakatan. Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem
peradilan pidana terpadu.
Sistem peradilan pidana di Indonesia bersifat represif (memaksa) namun
masih diragukan keberhasilannya, karena kegagalan sistem tersebut untuk
memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan
oleh pelaku kejahatan. Namun faktanya, di Indonesia kerap kali menyamakan
anak-anak yang tersandung masalah hukum dengan orang dewasa yang
melakukan kejahatan, termasuk dalam hal penanganannya di dalam penjara
setelah mereka menerima vonis dari hakim.
Menurut UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang
berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus
memproleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah,
maupun sosial. Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya. Melalui undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa
negara memberikan jaminan untuk memberikan perlindungan terhadap hak
anak, bahkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bertanggung
jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.
7
Muntaha. 2004. Penerapan Hukum Di Masyarakat Dan Keterpaduannya Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal Protectorat. Hlm 1.
6
Konsep perlindungan anak mencakup dalam empat kelompok
permasalahan, yaitu perlindungan terkait aspek sosial budaya, ekonomi,
politik/hukum dan pertahanan keamanan. (Supatmi dan Puteri, 1999: 109-110).8
Menurut Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi PBB
No.40/33, 1985 menyatakan tujuan sistem peradilan bagi anak adalah
mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun
terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan
keadaan-keadaan
baik
pada
pelanggar-pelanggar
hukumnya
maupun
pelanggaran hukumnya.9
Sementara ketika anak sudah memasuki proses pemidanaan, tugas
perlindungan anak pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam prosedur
hukum dibebankan pada ketentuan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan.
Sebagaimana
telah
ditelaah
pada
Bab
I
Lembaga
Pemasyarakatan pada umumnya berfungsi sebagai berikut 10 : (1) Perlindungan
hukum (protective), (2) Mendapat hukuman (punitive), (3) Memperbaiki
(reformative), (4) Rehabilitas (rehabilitative).
Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, Resolusi 45/113, 1990 dalam Pasal 37 menyebutkan bahwa:
“Setiap fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak menerima
makanan yang disiapkan secara pantas dan disajikan pada waktu-waktu makan
yang normal dan berjumlah serta bermutu cukup untuk memenuhi standar diet,
kebersihan dan kesehatan serta, sejauh mungkin, persyaratan-persyaratan
keagamaan dan budaya. Air minum bersih harus tersedia bagi setiap anak pada
setiap saat.”
8
Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari Perkawinan
Campuran. Depok: FISIP UI.
9
M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika. Hlm 49
10
Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: Grasindo. Hlm 78
7
Kasus anak dapat masuk dalam sistem peradilan pidana ditentukan oleh
peranan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum, khususnya polisi
kemudian menerapkan kebijakan diskresi, yaitu kebebasan yang luas bagi
petugas kepolisian dalam menentukan penanganan bagi remaja pelaku
pelanggaran, apakah para pelaku akan ditangani secara tidak resmi, atau remaja
pelaku akan ditahan dan diproses secara resmi.11 Dalam sistem peradilan pidana
ini pula masyarakat menggantungkan harapannya untuk mendapat keadilan atas
apa yang menimpanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tidak hanya bagi orang dewasa, sistem peradilan pidana ini juga
diberlakukan bagi anak-anak yang notabennya seharusnya mendapat perlakuan
berbeda dari orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum.
Goffman (1961) menggunakan konsep lembaga total dalam menggambarkan
masalah-masalah dalam penjara, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan
hak pendidikan bagi anak dalam penjara. Thomas (1983) menguraikan masalah
yang dalam menerapkan pendidikan formal dalam penjara seperti perilaku
diskresioner dari pihak staf penjara, subkultur dalam penjara serta
mengembangkan hubungan saling percaya antara pengajar dan siswa. Hal ini
dipersulit dengan sikap tidak ramah dengan orang-orang yang memegang
kekuasaan karena kebencian terhadap sipir penjara.12 Tidak jarang pula
penghuni penjara terutama anak-anak mempunyai pengalaman buruk dengan
pendidikan formal di luar penjara sebelumnya. Penerapan silabus sesuai
kurikulum yang dirancang oleh pihak yang berkepentingan, yang kerapkali
disamakan dengan pendidikan formal di luar penjara, sedangkan penjara
merupakan institusi total yang menjadikan ini sebagai pelanggaran atas
kebebasan akademik yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
11
Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A Sociological Approach
Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401
12
Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison Classroom:
Marginalized Identities and Sociological Imaginations Behind Bars”. Teaching Sociology, Vol.
39, No. 2 (April 2011), pp. 165-178. Hlm 167
8
Menurut studi yang dilakukan oleh Yochelson dan Samenow (1976),
narapidana anak yang berada di dalam penjara belum memiliki pola pikir yang
matang dan pantas untuk dilakukan pelatihan pengembangan pola pikir yang
lebih efektif.13 Hal ini menjadikan pengembangan bagi pendidikan tidak hanya
dalam sektor formal, melainkan juga informal (berupa pelatihan kemampuan di
luar bidang akademis) menjadi perlu untuk dilakukan oleh pihak penyelenggara
pendidikan berkerjasama dengan pihak pengelola lembaga pemasyarakatan.
Dalam berita pertama yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini, sudah
sewajarnya jika pihak lembaga pemasyarakatan menyediakan sebuah cara agar
anak-anak SD yang menjadi tahanan dapat belajar sebagai bentuk persiapan
menuju Ujian Nasional. Perluasan kesempatan untuk memperoleh akses
terhadap pendidikan ini dapat dilakukan dengan mendatangkan guru ke dalam
lembaga pemasyarakatan maupun berkerjasama dengan sekolah yang berada di
dekat lembaga pemasyarakatan.
Peran tenaga pendidik profesional di dalam lembaga pemasyarakatan
menjadi penting untuk ditindaklanjuti secara serius karena menurut Letkemann
(1973) dan Duguid (1979), tahanan secara otodidak dan sadar memiliki unsur
yang kuat dalam menentukan pilihan untuk menjadi pelaku kejahatan di masa
depan.14 Peran tenaga pendidik menempati peran sentral dalam mencegah
seorang anak yang tersandung masalah hukum menjadi penjahat di masa depan
dan menyadarkan si anak bahwa ia memiliki masa depan yang lebih cerah
dengan tidak melakukan pelanggaran hukum di masa depan. Di sisi lain, peran
pendidikan dapat memberikan kesempatan kedua bagi si anak ketika ia sudah
keluar dari lembaga pemasyarakatan untuk memperoleh pekerjaan dan
pendidikan yang lebih layak.
Terlepas dari banyaknya kelebihan dalam memperluas akses memperoleh
pendidikan bagi anak di dalam lembaga pemasyarakatan, tidak jarang staf dan
13
Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural Perspective. Canadian
Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38. Hlm 27
14
Ibid. Hlm 29
9
pihak pengelola lembaga pemasyarakatan mempersulit apa yang seharusnya
menjadi hak anak. Model pendidikan yang diperlukan dalam merubah perilaku
anak-anak tersebut dengan melakukan perbaikan atas tiga asumsi dasar yang
perlu diubah dari anak-anak yang terlibat masalah hukum,15 yakni (1) mereka
memiliki kekurangan dalam membangun serta mengembangkan perilaku
kognitif, sosial, dan moral, (2) ketrampilan mengembangkan kognitif
diperlukan dalam membangun ketrampilan interpersonal dan pengembangan
moral sang anak, (3) membangun kesadaran bahwa apa yang dilakukan
sebelum ia tersandung masalah hukum adalah sebuah kesalahan.
Ada banyak manfaat bagi individu terutama anak, dalam meningkatkan
motivasi mengeyam pendidikan meskipun mereka berada di dalam lembaga
pemasyarakatan karena nilai pendidikan, memikirkan pekerjaan untuk masa
depan setelah bebas dari menjalani masa hukuman.16 Tidak hanya itu, tidak
jarang mengejar pendidikan selagi menjalani masa hukuman dapat menjadi
alasan untuk perencanaan masa depan, alasan sosial serta pelarian dan
membangun kompetensi diri. Remaja mungkin sudah menyadari pentingnya
posisi pendidikan di dalam kehidupannya, namun yang masih perlu diberikan
pengertian adalah anak-anak yang umumnya lebih menyukai untuk bermain dan
tidak melakukan apa-apa di dalam menjalani masa hukumannya.
IV. Kesimpulan
Banyak masalah dalam sistem kepenjaraan Indonesia dan menjadikannya
tumpang tindih dengan sub-budaya yang ada di dalam institusi total ini.
Subkultur dalam institusi total ini dapat menjadi bumerang Salah satu
masalahnya adalah penerapan sistem pendidikan formal yang tidak disediakan
dalam lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Di sisi lain, posisi dari
anak yang tersandung masalah hukum menjadikan ia rentan untuk tidak
15
Ibid.
Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’ Participation in
Education and Educational Desires. Springer Sciences and Business Media. Hlm 245.
16
10
memperoleh hak-hak yang seharusnya didapatkan, salah satunya adalah
mengenyam bangku pendidikan. Perlindungan terhadap salah satu hak anak
sebagai bentuk dari realisasi janji konstitusi negara ini perlu diperhatikan
dengan sangat seksama. Bentuk realisasi yang tidak jarang menjadikan anak
berada dalam posisi terpojok dan menerima saja apa yang diberikan selama
mereka berada di dalam masa tahanan. Pendidikan yang inklusif dan
memperluas akses dalam meraihnya perlu untuk dilakukan sebagai sebuah cara
untuk si anak memperoleh masa depan yang lebih layak pasca menyelesaikan
masa hukumannya.
11
V. Daftar Pustaka
Buku
Dendy Lesmana Ellion. 2009. Pemenuhan Perlindungan bagi Anak dari
Perkawinan Campuran. Depok: FISIP UI.
M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Maulana Hassan Wadang. 2000. Perlindungan Advokasi dan Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo.
Muntaha. 2004. Penerapan Hukum di Masyarakat Dan Keterpaduannya
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal
Protectorat.
Jurnal
Ayers, Douglas. Education in Prisons: A Developmental and Cultural
Perspective. Canadian Journal of Education, Vol. 6, No. 2 (1981), pp. 20-38.
Bynum, Jack E., & William E. Thomson. 2007. Juvenile Delinquency : A
Sociological Approach Sevent Edition, USA: Pearson Education Inc., pp. 401
Gretchen H. Thompson and Kylie L. Parrotta. “Sociology of the Prison
Classroom: Marginalized Identities and Sociological Imaginations Behind
Bars”. Teaching Sociology, Vol. 39, No. 2 (April 2011), pp. 165-178.
Harber, Clive. 2004. Schooling as Violence: How School Harm Pupils and
Societies. USA: Routledge Fahmer
Terje Menger, et.al. 2012. Effects of Educational Motives on Prisoners’
Participation in Education and Educational Desires. Springer Sciences and
Business Media.
Laporan Lembaga
The International NGO Council on Violence Against Children. Creating A
Non-Violent Juvenile Justicew System, Report 2013.
12
Publikasi Online
“Di Jawa Tengah, 324 Anak Mendekam di Penjara”. Rofiuddin, Tempo.Co:
23
Juli
2014.
Diakses
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/23/177265756/Di-Jawa-Tengah-324Anak-Mendekam-di-Penjara pada 21 Desember 2014 pukul 15:38
http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/countryinfo/ diakses
pada 10 Desember 2013 pukul 19:45
http://www.beritasatu.com/pendidikan/144143-kualitas-pendidikan-diindonesia-masih-rendah.html diakses pada 10 Desember 2013 pukul 19:52
Istiman MP. “Komisi Anak Minta Tahanan Anak Bisa Ikut Ujian”.
Tempo.Co:
15
Desember
2014.
Diakses
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/12/064472902/Komisi-Anak-MintaTahanan-Anak-Bisa-Ikut-Ujian pada 21 Desember 2014 pukul 15:26
13