HARMONISASI HUKUM TATA NEGARA DENGAN HUK

ASPEK HUKUM TATA NEGARA TERHADAP HUKUM ADAT
ASPEK-ASPEK HUKUM ADAT:
-TEORI TEORI TERKAIT HUKUM ADAT
-DASAR HUKUM

RUANG LINGKUP HTN DALAM HUKUM POSITIF:
PEMERINTAH MENGAKUI KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT
HUBUNGAN SALAH SATU ASPEK HTN DENGAN HUKUM ADAT
DALAM HTN ADA SISTEM NOKEN DALAM PEMILU:
-HUBUNGAN SISTEM NOKEN DENGAN MASYARAKAT ADAT
-TUJUAN SISTEM NOKEN
-PENJELASAN SISTEM NOKEN
-DASAR HUKUM
-TEORI TEORI TERKAIN
-DALAM SISTEM NOKEN TERPENUHI UNSUR UNSUR HUKUM ADAT
-SISTEM NOKEN MERUPAKAN BAGIAN DARI PROSES HTN DALAM LINGKUP
PEMILU
- SUATU HARMONISASI YANG LUAR BIASA ANTARA HUKUM ADAT, HTN,
MASYARAKAT ADAT, SERTA BUDAYA DALAM MASYARAKAT.
-HUBUNGKAN DENGAN BENTUK BENTUK MASYARAKAT ADAT.
-DENGAN SISTEM NOKEN INI, NEGARA SANGAT MENGAKUI DAN

MENGHARGAI HUKUM ADAT YANG ADA DI DALAM MASYARAKATNYA,
DENGAN KOMBINASI YANG TIDAK MENGHILANGKAN KEKUATAN HUKUM
ADAT MAUPUN HTN

HARMONISASI HUKUM ADAT, HUKUM TATA NEGARA, SERTA KEBUADAYAAN
MASYARAKAT ADAT

Pembahasan:
HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN

1. Pengertian Kebudayaan
Budaya menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, hasil.[1] Ada beberapa
pendapat mengenai pengertian kebudayaan diantaranya :
a. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatuyang turun temurun dari satu generasi ke generasi
kemudian.
b. Andreas Eppink mengemukakan kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious, dan segala pernyataan
intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.
c. Edward Burnett Tylor memandang kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuankemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

d. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Segi wujudnya kebudayaan menurut Koentjoroningrat ada 3 wujud yaitu :
a) Suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma aturan dsb.
b) Kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c) Benda-benda hasilkarya manusia.
Dari uraian di atas maka dapat diambil pengertian bahwa hukum adat sebagai aspek kebudayaan
adalah hukum adat yang dilihat dari sudut pandang nilai, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta
keseluruhan struktur sosial religious yang didapat seseorang dengan ekstensinya sebagai anggota
masyarakat.
Kebudayaan dalam wujud idiil, bertugas mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam
kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat merupakan suatu aspek dalam kehidupan masyarakat dalam
kebudayaan bangsa Indonesia.
2. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan
Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam
kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur
tingkah laku manusia dalam berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek
dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.[2]
Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara

keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.[3]

Apabila kita melakukan studi tentang hukum adat maka kita harus berusaha memahami cara
hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir dan struktur
kejiwaan bangsa Indonesia.[4]
Maka jelas dikatakan bahwa memang hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya
bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa Indonesia tercermin lewat hukum
adat itu sendiri.
Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh
dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat, karena hukum itu adalah merupakan salah satu aspek
dari kebuadayaan suatu masyarakat. Kebudayaan adalah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan
dirinya dengan alam sekelilingnya, karena kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat serta
struktur yang khas, maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat juga mempunyai corak,
sifat dan struktur masing-masing.
Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus menerus sepanjang sejarah,
mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai sebab. Hal ini menyebabkan pula
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum mereka, sedikit atau banyak, namun secara keseluruhan
akan terlihat persamaan-persamaan pokok, baik corak, sifat maupun strukturnya, seperti juga yang terjadi
dalam perbedaan bahasa. Hukum Adat yang mengatur masyarakat harus tetap dianut dan dipertahankan,
tidak hanya berhubungan dengan pergaulan antar sesama manusia dan alam nyata, tetapi mencakup pula

kepentingan yang bersifat batiniah dan struktur rohaniah yang berhubungan dengan kepercayaan yang
mereka anut dan hormati.
Penyelidikan Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah Hukum
Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah hukum Republik Indonesia yaitu terbatas
pada daerah kepulauan Nusantara kita. Hukum Adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati
nurani orang Indonesia yang menjadi warga Negara Republik Indonesia di segala penjuru Nusantara
kita, tetapi tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Philipina dan Taiwan di sebelah Utara, di pulau
Malagasi (Madagskar) dan berbatas di sebelah Timur sampai di kepulauan Paska, dianut dan
dipertahankan oleh oang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti ethnis. Dalam
wilayah yang sangat luas ini Hukum Adat tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga
tata-tertib sosial dan tata-tertib hukum di antara manusia, yang bergaul di dalam suatu masyarakat,
supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah
mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat batiniah maupun

jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai berkubur
berkalang tanah. Di mana ada masyarakat, disitu ada Hukum (Adat).
Hukum yang terdapat di dalam masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecil pun masyarakat
itu, menjadi cerminnya. Karena tiap masyarakat, tiap rakyat, mempunyai kebudayaan sendiri dengan
corak dan sifatnya sendiri, mempunyai alam dan struktur alam pikiran sendiri, maka hukum di dalam tiap
masyarakat yang bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya sendiri, yaitu: hukum dari masyarakat

masing-masing berlainan.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti “Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat)
dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan,
maka juga hukum masyarakat itu berlainan pula.
Begitu pula halnya Hukum Adat di Indonesia, hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan atau dibuat, apabila
hukum yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang
bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tak boleh
meninjau Hukum Adat Indonesia terlepas dari “Volkgeist;, dari sudut alam pikiran yang khas orang
Indonesia yang terjelma dalam Hukum Adat itu. Kita juga tak boleh lupastruktur rohaniah masyarakat
Indonesia yang bersangkutan.
Tidak semua perubahan dalam jiwa dan struktur masyarakat merupakan perubahan fundamental
yang melahirkan suatu jiwa dan struktur yang baru, sebab masyarakat adalah sesuatu yang kontinu
(berjalan terus/tidak berhenti). Masyarakat berubah tetapi tidak sekaligus meninggalkan yang lama. Jadi
di dalam sesuatu masyarakat terdapatlah realitas bahwa sesuatu proses perkembangan mengatur kembali
yang lama serta menghasilkan synthese dari yang lama dan yang baru, sesuai dengan kehendak,
kebutuhan, cara hidup dan pandangan hidup sesuatu rakyat. [5]

1.1 Cara Berpikir Masyarakat Indonesia

Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat
Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat yaitu : [6]

a.

Mempuyai Sifat Kebersamaan (Communal)
Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa
kebersamaan, meliputi segala lapangan hukum adat.

b. Mempunyai Corak Magis-Religius
Corak Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan didalam masyarakat Indonesia.
c. Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret
Misalnya : Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam, perhubungan jual (pemindahan)
pada perjanjian tentang tanah dan sebagainya.
d. Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual
Hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam ikatan yang dapat dilihat.
1.2 Sifat-sifat Umum Hukum Adat
F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de commune trek in het indonesische
rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam kehidupan hukum indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4
sifat umum Hukum Adat Indonesia yaitu : [7]

a.
a)
b)
c)
d)
e)

Sifat Religio-magis.
Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-magis itu mempunyai unsurunsur sebagai berikut:
Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam
semesta dan khusus.
Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda- benda.
Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa,
tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische kracht dalam berbagai
perbuatan-perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib;
Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan
timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan bertindak

didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.

b. Sifat komunal.
Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil
dan kehidupannya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam
masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan individual.
c.

Sifat Kontan.
Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau
suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan
demikian segela sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di luar akibatakibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab akibatnya menurut hukum.

d. Sifat Nyata
Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan ditransformasikan atau diwujudkan dengan
sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai
obyek yang dikehendaki.

3. Proses Terbentuknya Hukum

3.1 Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir
Hukum adat pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata
seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan
pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat
yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan
dapat dituntut dan kemudian dihukum.
3.2 Hukum Adat Tidak Statis
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata
dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri. [8]
Van Vollen Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :
“Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, hukum adat menunjukkan
perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju terus, keputusankeputusan adat menimbulkan hukum adat”

3.3 Timbulnya Hukum Adat
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama
keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan
keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi. Ajaran
ini dikemukakan oleh Ter Haar yang dikenal sebagai Teori Keputusan.

4. Sumber Pengenal Hukum Adat
4.1 Corak Hukum Adat
Corak dalam hukum adat :
1. Tradisional
2. Keagamaan
3. Kebersamaan
4. Konkret dan Visual
5. Terbuka dan Sederhana
6. Dapat berubah dan menyesuaikan
7. Tidak dikodifikasi
8. Musyawarah Mufakat
Dalam hukum tata Negara di aspek pemilu terdapat sistem noken di Papua Barat yang
berlandaskan musyawarah dan mufakan dalam suatu wilayah hal itu sudah mencerminkan dari salah satu
corak dalam hukum adat serta corak terbuka dan sederhana, saat proses sistem noken dalam pemilu

para masyarakat adat berkumpul untuk bermusyawarah sehinggah dalam poses ini merupakan
keterbukaan antar warga dalam wilayah itu, serta proses ini merupakan proses yang sederhana dalam
pendidikan politik yang di kombinasikan dengan kearifan local.
Hubungannya dengan hukum tata Negara, proses demokrasi di Indonesia yang di cerminkan
melalui pemilihan langsung dengan dasar uu pemilu


4.2 Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang tidak
sama dengan alam pikiran masyarakat Barat. Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat
terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
Hukum Barat
Hukum Adat
- Mengenal hak suatu barang dan - Tidak mengenal dua pembagian
hak orang seorang atas sesuatu hak tersebut, perlindungan

hak

objek yang hanya berlaku terhadap ditangan hakim
sesuatu orang lain yang tertentu
- Mengenal Hukum Umum dan - Berlainan daripada batas antara
Hukum Privat

lapangan public dan lapangan privat

pada Hukum Barat
- Ada Hakim Pidana dan Hakim - Pembetulan
hukum
Perdata

kembali

kepada hakim (kepala adat) dan
upaya adat (adat reaksi)

4.3 Kekuatan Materiil Hukum Adat
Menurut Soepomo kekuatan materiil Hukum Adat bergantung pada beberapa factor, antara lain :
1. Lebih atau kurang banyaknya penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas pada peraturan hukum
yang diwujudkan oleh penetapan itu.
2. Seberapa jauh keadaan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.
3. Seberapa jauh peraturan yang diwujudkan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku.
4. Seberapa jauh peraturan itu selaras dengan syarat-syarat kemanusiaan dan rasa keadilan.
4.4 Hubungan hukum adat serta system noken dalam pemilu pada aspek hukum tata Negara

Dalam pemilu di Indonesia pengambilan keputusan dilakukan dengan sistem noken atau ikat. Di
dalam tradisi masyarakat Papua untuk mengambil keputusan biasanya dalam rapat atau musyawarah yang
melibatkan masyarakat keseluruhan atau orang-orang tertentu.
Mekanisme noken atau ikat dapat berdasarkan musyawarah bersama atau otoritas kepala suku yang
merupakan representasi keputusan masyarakat.
"Kenyataan empiris pemilu di Papua dengan menggunakan sistem noken atau ikat dimulai pada pemilu
1971 di mana pemilu legislatif, pemilu kepala daerah atau pilpres dilakukan melalui sistem noken,"

MK mempertimbangkan putusan MK Nomor 47/81/PHPU.A/VII/2009. MK berpandangan, pemilu di
Yahukimo tidak diselenggarakan sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Karena tidak dengan cara mencoblos atau mencontreng, melainkan kesepakatan warga atau aklamasi.
MK menimbang dapat memahami dan menghargai nilai budaya di Papua sehingga MK menerima cara
pemilihan kolektif dengan aklamasi.
Karena kalau dipaksakan pemilu sesuai peraturan undang-undang, dikhawatirkan akan timbul konflik
masyarakat setempat. Penerimaan realistis ini harus dilaksanakan dengan baik oleh KPU kabupaten.
"Karena mekanisme pemungutan suara didasarkan pada hukum adat setempat dan tidak diatur dalam
undang-undang pemilu. Tapi konstitusi memberikan pengakuan terhadap perlindungan masyarakat adat
dan hak-hak konstutisonal,

5. Harmonisai hukum tata Negara dengan sistem noken dalam pemilu terhadap hukum adat
Kerahasiaan sistem noken maupun kepastian hukum dalam pemilu perlu ditinjau dari aspek
hukum adat
(1). Filosofi kerahasiaan sistem Noken. Pro-kontra terhadap kerahasiaan sistem noken dalam pemilihan
umum yang selama ini diperbincangkan adalah, menyangkut terbukanya asas “rahasia” pemilih karena
dianggap tidak sesuai hati nurani, hilangnya sifat rahasia, keterwakilan dan terbukanya kondisi kotak
suara (noken). Namun jika dianalisis dari segi filosofi kerahasiaan sistem noken bagi masyarakat
setempat mengandung nilai rahasia kekompakan dalam mengamankan kepentingannya, dimana
masyarakat pemilih meyakini dengan cara sistem noken tentunya mengakmodir harapan akan terpilihnya
pemimpin daerah maupun keterwakilan daerahnya di tingkat kabupaten, provinsi maupun tingkat pusat.
Filosofi kerahasiaan sistem politik noken mengarah pada penemuan harga diri dan martabat kemanusiaan
masyarakat pemilih setempat ditinjau dari perjalanan berbagai aspek pembangunan yang terkesan tidak
seimbang atas partisipasi politik, birokrasi, pendidikan, kesehatan serta faktor infrastrukturnya.
Sebagian masyarakat terutama pemangku kepentingan politik merasa sistem noken tidak demokratis dan
terkesan gelisah karena menghambat perubahan demokrasi menuju modernisasi sistem pemilihan umum

di Indonesia, tetapi juga kegelisaan akan hilangnya jumlah suara pemilih bagi kandidat tertentu di
wilayah pemilihan sistem noken maupun di luar daerah pemilihannya. Kilas balik atau latar belakang
lahirnya sistem noken kebanyakan orang tidak memahami secara utuh ketika dihadapkan dalam situasi
politik. Padahal politik identik dengan “proses perubahan pemerintahan” di lembaga legislatif maupun
eksekutif di daerah pemilihan terkait guna menerjemahkan visi-misi pemenang pemilu dalam program
pembangunan berkelanjutan (sustainable development program).
(2) Koneksitas Sistem Noken dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan regulasi
menyangkut sistem noken menjelang pemilihan umum legislatif pada hari Rabu 9 April 2014
mengundang reaksi berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, politisi, praktisi maupun
penyelenggara pemilihan umum di daerah papua. Memang sempit terbatas dan keliru jika memandang
hukum ditinjau dari acuan pelaksanaan tahapan pemilihan umum di Indonesia, terutama provinsi papua
jika dikaitkan dengan sistem penyelenggaraan pemilu secara nasional, karena keutuhan nilai demokrasi
tidak harus menilai secara parsial, cepat dan membingungkan.
Dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum sistem noken di beberapa kabupaten Pegunungan tengah
dalam rangka menemukan kepastian hukum perlu ditinjau dari beberapa landasan hukum, diantaranya:
(a) Pancasila sebagai landasan filosofis NKRI dan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang menyebutkan bahwa, Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara,
sehingga dikaitkan dengan pemberlakuan sistem noken di beberapa daerah wilayah papua, tentunya dapat
mengakomodir nilai kebinekaan.
(b) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, artinya menyangkut segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku di NKRI mengacu pada UUD 1945. Sementara menyangkut sistem
noken sudah jelas-jelas diatur dalam perubahan ke-II pasal 18B ayat (1) dan (2) yang mana pasal (1)
berisi: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, sedangkan pasal (2) menyebutkan: Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dari pasal 18B ayat (1), (2) di atas bertujuan mengakomodir upaya pemerintahan daerah yang bersifat
kekhususan seperti Provinsi Papua, Provinsi NAD (Aceh), Provinsi Bali, DKI Jakarta dan Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam rangka menerapkan kewenangan mengatur otonomi daerah. Menyangkut
daerah-daerah tersebut negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
tradisionalnya guna memperkuat proses penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia yang
kaitannya dengan urusan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi khusus maupun keistimewaan
seluas-luasnya. Pengecualiannya adalah yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam
pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah di Indonesia
meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal nasional dan agama.
(3) Instrumen Internasional dan UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua. Koneksitas
sistem noken dan makna kekhususan dalam otonomi khusus papua menjadi suatu kesatuan konsep
otonomi daerah, jika ditinjau dari risalah undang-undang otonomi khusus papua. Noken merupakan salah
satu aspek budaya warisan yang memiliki fungsi ganda, sehingga menyangkut noken juga mendapat

pengakuan warisan budaya oleh Arley Gill, ketua United Nations Education, scientific and Cultural
Organization (UNESCO) tanggal 4 Desember 2012 sebagaimana dalam kutipan (Piter Ell dkk, 86: 2012)
dijelaskan bahwa, noken merupakan warisan budaya dunia tak berbenda guna melindungi adat dan suku
dani.
Otonomi khusus sangat bermakna dan relevan apabila pemerintah memberi “kewenangan mengatur”
seluas-luasnya menyangkut urusan pemerintahan daerah sebagaiaman pasal 10 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepercayaan pemerintah
memberi kewenangan dalam urusan pemerintahan kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di
Papua, penggunaan atribut budaya dalam pemilihan umum menjadi jawaban atas harapan-harapan
masyarakat papua selama ini.
Di lain sisi langkah pemerintah mengakui, menerima konsep budaya dan memberi kewenangan mengatur
identik dengan menghargai jati diri dan martabat kesatuan-kesatuan masyarakat lokal di daerah pemilihan
sistem noken, maupun orang asli papua jika sepakat serentak dilaksanakan di seluruh tanah papua.
Tafsiran dan pemaknaan otonomi khusus diharapkan menemukan makna kekhususan substansial dan
bukan terbatas pada makna kekhususan atas jumlah uang otonomi khusus yang banyak, pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Orang Asli Papua serta kehadiran lembaga MRP maupun pertimbanganpertimbangannya.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah berisi, Pemilihan
Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan di atas jelas menunjukan terakomodirnya sistem noken dalam pancasila dan UUD 1945 ,
sehingga keliru bila pihak-pihak tertentu menanyakan dasar hukum atas sistem noken sebagai pengganti
kotak suara.
Sedangkan ayat (2) berisi, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Uraian pasal 1 ayat (1) terfokus pada
pemilihan DPR berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum maupun
landasan konstitusional NKRI.
Pasal 154 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu DPR,DPD dan DPRD sebagaimana
sistem noken diuji ke MK oleh Kamasan Institute dibawah pimpinan Habel Rumbiak (Cepos, 10 Maret
2014) menyebutkan bahwa, Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar
partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.
Komparasi persoalan pencoblosan satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama
calon pada surat suara, dengan pemberian surat suara sistem noken memiliki tujuan yang sama yaitu
terpilihnya pemimpin baru tingkat eksekutif maupun keterwakilan rakyat di kursi legislatif.

Analisis logisnya adalah pasal 54 pun memberi kesempatan untuk mencoblos gambar partai politik, tentu
merupakan politisasi pimpinan partai dalam meraup suara. Padahal kemudaan seperti hal tersebut
merupakan kecolongan dan kelemahan sistem demokrasi yang tidak menididik rakyat dengan jujur, adil
dan transparan terhadap kader internal partai politik maupun masyarakat umum.
Kelemaan politik hukum pasal 54 juga merupakan rahasia pelaku politik, sehingga dalam konteks lokal
sistem noken menjadi simbol politik hukum lokal/adat untuk menunjukan sikap keberpiahkan potensi
kepemimpinan calon setempat. Jikalau dalam amar putusan MK membatalkan pemilihan sistem noken di
beberapa kabupaten, maka lembaga sekelas MK percuma memiliki hakim-hakim berjiwa negarawan dan
konstitutif. Padahal lembaga yang memiliki kewenangan final dan mengikat terhadap persoalan UU yang
bertentangan dengan UUD 1945 atau pun sengketa pemilu ini pernah mengeluarkan Keputusan Makamah
Konstitusi No. 47-48 /PHPU.A-VI/2009, Tanggal 09 Juni 2009 dan Keputusan MK. No. 47-81/PHPUAVII/2009 Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif di Kabupaten Yahukimo tahun 2009 yang dapat
mengakui dan meperbolehkan penggunaan sistem noken.
(3). Solusinya: Mengantisipasi Konflik, Biaya Murah dan Bermanfaat. Berhubung sistem noken,
instrumen Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) nomor 169 tentang pribumi dan
masyarakat adat dalam buku Sistem Noken Demokratiskah ? (Piter Ell dkk, 84-85: 2013) mengutip Pasal
2 ayat 1 menyebutkan: pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menyusun dengan partisipasi dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak
masyarakat hukum adat ini dan untuk menjamin dihormatinya keutuhan mereka. Sementara pasal 2
ayat1.b mengutip: mengupayakan terwujudnya secara penuh hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dari
masyarakat hukum adat ini dengan penghormatan terhadap identitas sosial dan budaya mereka, adatistiadat dan tradisi mereka.
Dari segi instrumen internasional maupun tata peraturan perundang-undangan dapat mengakomodir
sistem noken. Permasalahannya adalah pertanggungjawaban pemerintah menjalin koordinasi, dalam
rangka perlindungan dan koordinasi menjamin kehormatan masyarakat adat setempat melalui identitas
sosial serta tradisi budayanya. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang
otonomi khusus papua menyebutkan bahwa, otonomi khusus adalah, kewenangan khusus yang diakui
dan diberikan kepada provinsi papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat papua.
Berhubung hal tersebut dapat dianalisis bahwa di era otonomi khusus, pemerintah provinsi papua
memiliki kewenangan mengatur dan mengurus masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar
masyarakat papua. Untuk menjawab persoalan demikian dibutuhkan figur pemimpin yang berani tetapi
juga memahami persoalan untuk menerjemahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam regulasi daerah. Karena selama pemberlakuan
otonomi khusus pemerintah memang mengakui dan menghargai tetapi belum melindungi dan
mengembangkan secara intensif kontinyu dalam regulasi daerah .
Langkah solusi seperti tersebutlah yang menjawab pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, akan pengakuan, penghormatan, perlindungan,
memberdyakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Solusi ideal menyangkut sistem noken pada saat pemilu 2014 tetap dilangsungkan jika amar putusan MK
memperbolehkan. Sementara untuk ke depannya pemerintah daerah segera merencanakan program
legislasi daerah yang selanjutnya disebut prolegda guna pembentukan Peraturan daerah provinsi atau
peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis dengan
melibatkan pihak akademisi sebagai upaya pembentukan naskah akademik dari segi yuridis, antrologis
dan sosiologis menuju pengakuan dan perlindungan sistem noken pengganti kotak suara prgogram
pemilihan umum diseluruh tanah papua.

5.1 Kesimpulan
Unsur-unsur hukum adat:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Adanya tingkah laku terus menerus
Tingkahlaku tersebut memiliki nilai social
Tingkahlaku tersebut teratur dan sistematis
Adanya keputusan kepala adat
Adanya sanksi / akibat hukum
Tidak tertulis
Di taati dalam masyarakat

Dari unsur-unsur di atas dapat di simpulkan bahwa Negara telah mampu mengharmoiniskan hukum adat
dengan hukum tata Negara dalam pemilu, dengan adanya sistem noken di Papua Barat Negara telah
mengakui dan menghargai struktur kebuadayaan serta hukum adat yang berlaku di daerah tersebut, di
mana di daerah tersebut unsur adanya keputusan kepala suku sangatlah kuat, dalam proses pemilu di
Indonesia masyarakat Papua Barat di beberapa daerah sangatlah mengakui keberadaan hukum adat yang
mereka lakukan secara terus menerus, di mana dengan adanya putusan MK No 48 tahun 2011 tentang
pemberian hak khusus dalam impementasi sistem nokenat dalam pemilu di Papua Barat Negara sangatlah
mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hukum adatnya, dalam sistem nokenet menentukan pilihan
dalam pemilu itu di lakukan secara musyawarah dengan hasil musyawarah warga tersebut di wakilkan
oleh kepala suku. Memang dalam perjalanannya sistem nokenet di beberapa persidangan sengketa hasil
pemilu sering di jadikan sebgai masalah dalam proses pemilu, namun Negara dalam hal pemberdayaan
masyarakat adat sangatlah luar biasa, dengan adanya putusan MK No 48 tahun 2011 negara dengan
hukum tata negaranya dalam proses pemilu telah mengakomodir setiap aspek masyarakatnya, sehingga
proses pemilu ini bena- benar berjalan secara demokratis.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta
Warjiyati, Sri. 2006.Memahami Hukum Adat. Surabaya : IAIN Surabaya
Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat di Indonesia. Bandung : PT. Refika Aditama
Soepomo. 1989. Hukum Adat. Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Soepomo.1996. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Wignjodipoero , Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung

[1]

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta :2008)

[2]

Sri Warjiyati,Memahami Hukum Adat,(Surabaya : IAIN Surabaya, 2006), h. 15

[3]

Ibid, h.16

[4]

Dewi Wulansari, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), h. 13

[5]

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : PT. Toko Gunung

Agung, 1995), h.75-76
[6] Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996), h. 140141
[7]

Ibid, Sri Warjiyati, Memahami Hukum………….. h. 17

[8] Soepomo, Hukum Adat. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1989), h. 3
[9]

Ibid, Sri Warjiyati,Memahami Hukum…………………………h. 22

*Serta artikel-artikel lainnya yang bersumber dari internet