Pengaruh Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata, Nees) Terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris Suum, Goeze In Vitro

PENGARUH EKSTRAK HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata, Nees) TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING

Ascaris suum, Goeze in vitro SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CHANIF LUTFIYATI MUYASAROH G0008070 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user

Skripsi dengan judul : Pengaruh Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze in vitro

Chanif Lutfiyati Muyasaroh, G0008070, Tahun 2011

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Kamis, Tanggal 23 Juni 2011

Pembimbing Utama Penguji Utama

Yulia Sari, S.Si, M.Si Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes

NIP. 19800715 200812 2 001 NIP. 19540505 198503 2 001

Pembimbing Pendamping Anggota Penguji

Jarot Subandono, dr., M.Kes. Makmuroch, Dra., M.S.

NIP. 19680704 199903 2 001 NIP. 19530618 198003 2 002

Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes

NIP. 19660702 199802 2 001

commit to user

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 23 Juni 2011

Nama : Chanif Lutfiyati Muyasaroh NIM. G0008070

commit to user

Chanif Lutfiyati Muyasaroh, G0008070, 2011. Pengaruh Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Waktu Kematian

Cacing Ascaris suum, Goeze in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang

: Pengobatan askariasis selama ini masih bergantung pada

obat antihelmintik seperti Mebendazol yang menimbulkan berbagai efek samping. Oleh karena itu, perlu dicari bahan alam sebagai alternatif pengobatan askariasis. Sambiloto memiliki potensi sebagai antihelmintik karena kandungan tannin, saponin dan andrografolid.

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan posttest only controlled group design , menggunakan 112 ekor cacing Ascaris suum, Goeze dewasa, dibagi dalam 7 kelompok perlakuan (kelompok kontrol negatif, ekstrak 20%, 40%, 60%, 80%, 100% dan kelompok pembanding, yaitu Mebendazol 30 ppm). Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Cacing direndam dalam larutan uji sebanyak 25 ml, diinkubasi pada suhu 37 ºC. Pengamatan dilakukan tiap 2 jam hingga semua cacing mati dan dihitung waktu kematian semua cacing. Data dianalisis dengan uji one way ANOVA dilanjutkan uji Post Hoc LSD.

Hasil Penelitian

: Rerata waktu kematian cacing pada kontrol negatif adalah

96 jam, 4 jam pada Mebendazol 30 ppm, sedangkan pada perendaman dengan ekstrak herba sambiloto menunjukkan waktu kematian cacing 11 jam, 9,5 jam, 7,5 jam, 5,5 jam dan 4 jam pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Data yang telah diuji dengan uji one way ANOVA menunjukkan nilai probabilitas (p) < 0,05 sedangkan berdasar uji Post Hoc LSD tidak semua nilai p antara dua kelompok yang dibandingkan memiliki nilai < 0,05.

Simpulan Penelitian : Simpulan dari penelitian ini adalah ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro, yaitu semakin besar konsentrasi ekstrak herba sambiloto yang digunakan, maka semakin pendek waktu kematian cacing.

Kata Kunci

: ekstrak herba sambiloto, Ascaris suum, Mebendazol

commit to user

Chanif Lutfiyati Muyasaroh, G0008070, 2011. The Effect of Sambiloto Herb (Andrographis paniculata, Nees) Extract toward the Death Time of Ascaris

suum, Goeze in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Background : The treatment of ascariasis still depends on anthelmintic drugs such as Mebendazol which has some side effects. Therefore, there should be an alternative treatment to cure ascariasis. Sambiloto has an anthelmintic potency because of its tannin, saponin and andrographolide.

Objective

: To understand the effect of Sambiloto Herb (Andrographis

paniculata , Nees) extract toward the death time of Ascaris suum, Goeze in vitro.

Methods

: Experimental laboratoric, with posttest only controlled group

design using 112 adult Ascaris suum, Goeze divided into 7 groups. NaCl 0.9% solution for negative control, Mebendazol 30 ppm solution for drug comparator and intervention using 20%, 40%, 60%, 80% and 100% concentration of Sambiloto herb (Andrographis paniculata, Nees) extract. Observation was done in every two hours until worm died and started count after all worms died. Data was analyzed with one way ANOVA test continued with Post Hoc Least Significance Difference (LSD) test.

Results

: All Ascaris suum, Goeze died in 96 hours in averages under

negative control, 4 hours at Mebendazol 30 ppm solution and the intervention using Sambiloto herb (Andrographis paniculata, Nees) extract showed 11 hours,

9.5 hours, 7.5 hours, 5.5 hours and 4 hours for each 20%, 40%, 60%, 80% and 100%. After being analyzed with one way ANOVA test, the probability value of all datas were < 0.05. In the other hand, based on the result of Post Hoc LSD test, not all datas showed the probability value < 0.05.

Conclusion : The conclusion is Sambiloto herb (Andrographis paniculata, Nees) extract has an effect toward the death time of Ascaris suum, Goeze in vitro, the bigger the concentration, the smaller the death time.

Keywords : sambiloto herb extract, Ascaris suum, Mebendazol

commit to user

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze in vitro”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD-KR-FINASIM selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.

3. Yulia Sari, S.Si, M.Si sebagai pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

4. Jarot Subandono, dr., M.Kes sebagai pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

5. Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes sebagai penguji utama yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

6. Makmuroch, Dra., M.S. sebagai anggota penguji yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

7. Keluarga besar Lab. Parasitologi FK UNS untuk segala bantuan dan kemudahannya.

8. Bapak dan ibu tercinta (Munawir dan Sartini) atas doa restu yang tiada habis dan dukungan baik moril maupun materiil. Adik-adikku tersayang (Rifqi, Rani, Zulfa) atas segala motivasi dan keceriannya.

9. Sahabat-sahabatku tersayang: Mega, Agri, Sari, Utami, Dea atas semua support , motivasi dan semangat yang selalu diberikan.

10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 23 Juni 2011

Chanif Lutfiyati Muyasaroh

commit to user

DAFTAR ISI ………………………………………………………......

vii

DAFTAR TABEL …………………………………………………......

viii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….....

ix

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….

x BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………….....

B. Perumusan Masalah ……………………………………………

C. Tujuan Penenlitian …………………………………………......

D. Manfaat Penelitian …………………………………………......

4 BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ……………………………………………....

B. Kerangka Pemikiran …………………………………………...

20

C. Hipotesis ……………………………………………………….

21 BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………………………………………………...

22

B. Lokasi Penelitian ……………………………………………....

22

C. Subjek Penelitian …………………………………………........

22

D. Teknik Sampling ……………………………………................

22

E. Identifikasi Variabel Penelitian ………………………………..

24

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……………...............

24

G. Rancangan Penelitian ………………………………………….

27

H. Alat dan Bahan ………………………………………………...

28

I. Cara Kerja …………………………..........................................

28

J. Teknik Analisis Data …………………………………………..

32 BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian …………………………………………..

33

B. Analisis Data …………………………………………..............

37

BAB V. PEMBAHASAN …………………………………………….

42 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ……………………………………………………….

49

B. Saran …………………………………………………………...

49

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………

50 LAMPIRAN

commit to user

Tabel 1 Hasil pengamatan waktu kematian Ascaris suum, Goeze in

vitro ….................................................................................

33

Tabel 2 Persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis

paniculata , Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum , Goeze in vitro …………………………………….........

35

Tabel 3 Nilai probabilitas (p) uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk ….. 37 Tabel 4 Hasil uji one way ANOVA ……………………………………… 38 Tabel 5 Hasil uji Post Hoc LSD …………………………………………. 39

commit to user

Gambar 1 Morfologi Ascaris suum, Goeze ………………………….. 10 Gambar 2 Skema kerangka pemikiran ……………………………….. 20 Gambar 3 Skema rancangan penelitian ……………………………… 27 Gambar 4 Grafik rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in

vitro …………………………………………………………

34

Gambar 5 Diagram persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto

(Andrographis paniculata , Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm ………………………………………

36

commit to user

Lampiran 1 Uji one way ANOVA Lampiran 2 Uji Post Hoc LSD Lampiran 3 Perhitungan persentase ekstrak herba sambiloto (Andrographis

paniculata , Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro

Lampiran 4 Foto alat dan baha penelititan Lampiran 5 Foto rendaman cacing pada masing-masing perlakuan Lampiran 6 Surat ijin penelitian dan pengambilan sampel Lampiran 7 Surat keterangan pembuatan ekstrak

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Askariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Linn. Askariasis adalah salah satu manifestasi penyakit cacing yang paling sering ditemukan di dunia (David, 2008). Ascaris lumbricoides, Linn diperkirakan menginfeksi 25% populasi dunia tiap tahunnya atau 0,8 – 1,22 milyar orang dari total populasi dunia (Carneiro et al., 2002; Kazura, 2007). Penyakit ini terutama ditemukan di daerah-daerah tropis dengan suhu panas dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Oleh karena daerah-daerah seperti ini banyak terdapat di negara berkembang, maka angka kejadian askariasis di negara berkembang relatif tinggi (Pohan, 2006).

Angka kejadian askariasis di Indonesia masih cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari adanya data yang menyatakan bahwa hampir semua anak yang berusia 1-10 tahun terdapat manifestasi askariasis, sedangkan pada orang dewasa yang tinggal di Jakarta diperkirakan angka kejadiannya mencapai 60% (Rampengan, 2007). Hasil survei yang dilakukan pada 40 sekolah dasar (SD) di 10 propinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2 - 96,3% (Depkes RI, 2004; Rampengan, 2007).

Tujuan dari pengobatan terhadap penyakit askariasis yang merupakan salah satu infeksi soil-transmitted helminthes adalah mengeluarkan cacing dari saluran cerna (Bethony et al., 2006). Obat-obatan antihelmintik yang umum

commit to user

Mebendazol dan Albendazol (Bethony et al., 2006). Mebendazol merupakan obat antihelmintik berspektrum luas dan dapat digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan massal penyakit cacing juga infeksi campuran dengan dua atau lebih cacing (Syarif dan Elysabeth, 2007; Tjay dan Rahardja, 2007). Pemakaian obat ini mempunyai efek samping yaitu sakit perut, diare, mual, dan sakit kepala (Bethony et al., 2006). Kerugian lainnya dari obat ini adalah bahwa Mebendazol mempunyai efek teratogen yang berbahaya apabila diminum ibu hamil, dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, gangguan hemopoesis dan dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas (Katzung, 2004).

Mebendazol yang digunakan secara massal dan berulang membutuhkan biaya yang besar dan menimbulkan efek samping, oleh sebab itu dicari bahan yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan askariasis. Sambiloto diyakini mempunyai potensi sebagai antihelmintik. Pada beberapa penelitian, sambiloto terbukti dapat membunuh cacing tanah Pheretima posthuma (Siddhartha et al., 2010) dan nematoda Pratylenchus vulnus (Ferris and Zheng, 1999).

Sambiloto berpotensi sebagai antihelmintik karena mengandung saponin, tannin dan andrografolid (Kumoro and Hasan, 2006; Sule et al., 2010). Saponin bersifat toksik terhadap Ascaris sp. karena dapat menurunkan tegangan permukaan membran dinding sel serta menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga dapat menimbulkan paralisis pada cacing (Satriawan, 2009). Saponin juga dapat menginduksi terjadinya radikal bebas

commit to user

membran sel (Babu et al., 2006). Tannin bereaksi dan membentuk kompleks dengan protein tubuh cacing sehingga menyebabkan gangguan metabolisme dan homeostasis cacing. Tannin dikatakan mempunyai efek vermifuga (Iqbal et al., 2002; Harvey and John, 2005). Andrografolid merupakan antioksidan handal yang dapat menangkal berbagai macam antigen dan radikal bebas (Kumoro and Hasan, 2006). Zat ini juga menciptakan suasana yang basa, sehingga kurang menguntungkan bagi kehidupan cacing di dalam usus. Andrografolid yang terkandung dalam herba ini merupakan hepatoprotektif dan renoprotektif sehingga herba ini aman dikonsumsi oleh pasien yang mempunyai kelainan hati serta ginjal (Singh et al., 2009).

Oleh karena latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian secara in vitro mengenai efektivitas antihelmintik ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap cacing Ascaris suum, Goeze. Dalam penelitian ini, penggunaan ekstrak lebih dipilih daripada infusa disebabkan sediaan dalam bentuk ekstrak lebih menjamin kemurnian zat antihelmintik yang terkandung dalam herba sambiloto. Selain itu, dalam penelitian sebelumnya terbukti infusa herba sambiloto tidak lebih efektif dibandingkan dengan pirantel pamoat (Budiyanti, 2010).

Ascaris suum , Goeze digunakan sebagai subjek pada penelitian ini karena keterbatasan dalam memperoleh sampel Ascaris lumbricoides, Linn. Ascaris suum, Goeze adalah cacing gelang yang terdapat dalam usus halus babi. Cacing ini secara morfologis hampir sama dengan Ascaris lumbricoides,

commit to user

dengan Ascaris lumbricoides, Linn pada manusia. Cacing ini memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn (Miyazaki, 1991; Roberts et al., 2005). Selain itu, cacing ini juga mempunyai sifat biokimiawi dan fisiologi yang hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn (Loreille and Bouchet, 2003).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis Menyediakan data ilmiah mengenai pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

commit to user

Memberikan informasi tentang khasiat antihelmintik herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) yang diharapkan dapat menjadi obat alternatif yang mudah didapat dan murah disamping Mebendazol.

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ascaris lumbricoides, Linn

a. Taksonomi

: Ascaris lumbricoides, Linn

(Utari, 2002)

b. Morfologi

Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan yang betina sekitar 22-35 cm. Cacing dewasa tubuhnya berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus. Kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing mempunyai bibir sebanyak 3 buah, satu di bagian dorsal dan yang lain di bagian subventral. Pada cacing jantan ditemukan 2 buah spikula atau bagian

commit to user

spikula berukuran 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus. Pada sepertiga bagian depannya terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi (Zaman, 1997). Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang dibuahi berukuran 60x45 mikron sedang telur yang tak dibuahi bentuknya lebih besar sekitar 90x40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia (Gandahusada dkk, 2006).

c. Habitat dan Siklus Hidup

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfa lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan oleh hospes sampai berkembang

commit to user

waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada dkk, 2006). Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus tetapi kadang-kadang dijumpai di bagian usus lainnya (Soedarto, 1992).

d. Patologi dan Gambaran Klinis

Penularan askariasis melalui tertelannya telur yang infeksius bersama makanan atau minuman, kemudian telur akan menetas di bagian atas usus halus dan keluarlah larva yang berbentuk rhabtidiformis. Infeksi bertambah di masyarakat akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan perkembangan telur menjadi infektif (Capello and Hotz, 2003). Sebagian besar kasus askariasis tidak menujukkan gejala. Infeksi biasa yang mengandung 10 sampai

20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja (Widoyono, 2008). Timbulnya gejala klinis pada askariasis disebabkan oleh:

1) Spoilative Action

Keberadaan cacing Ascaris lumbricoides, Linn dalam jumlah besar (hiperinfeksi) terutama pada anak – anak, dapat menimbulkan kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini timbul akibat gangguan penyerapan monosakarida, asam amino, asam lemak dan gliserol di jejunum (Hutz, 2004).

commit to user

Beberapa alergi yang timbul yaitu asma bronchial, urtikaria, hipereosinofillia dan Sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan suatu kelainan yaitu terdapatnya infiltrat eosinofil pada paru-paru yang memberikan gambaran bronkopneumonia yang atipik (Pohan, 2006).

3) Traumatic Action

Dalam lumen usus, cacing Askaris dapat berkumpul dan membentuk bolus yang cukup besar sehingga dapat menyebabkan obstruksi. Pada banyak kasus perlu dilakukan pembedahan untuk menghilangkan obstruksi (Rampengan, 2007).

4) Eratic Action

Eratic action merupakan kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Di nasofaring, Askaris dapat migrasi ke tuba eustachii sehingga dapat menimbulkan Otitis Media Akut. Dari nasofaring, cacing ini dapat masuk ke laring, trakea, bronkus sehingga dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila terdapat cacing dalam jumlah banyak di kolon dapat menyebabkan komplikasi seperti apendisitis akut, ileus, pankreatitis dan diare akut. Apabila sampai di ginjal dapat menyebabkan nefritis (Hutz, 2004).

commit to user

2. Ascaris suum, Goeze

a. Taksonomi

: Ascaris suum, Goeze

(Loreille and Bouchet, 2003)

b. Morfologi

Gambar 1. Morfologi Ascaris suum, Goeze (www.googleimage.com/ascarissuum, 2010)

Cacing Ascaris suum, Goeze disebut juga Ascaris suilla yang secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn mulai dari telur sampai bentuk dewasa. Kemiripan morfologi

commit to user

tetapi dengan mikroskop elektron, menunjukkan sedikit perbedaan pada deretan gigi dan bentuk bibirnya (Gregers, 2006).

Hospes yang penting untuk cacing ini adalah babi, tetapi cacing ini dapat juga menjadi parasit pada manusia, kambing, domba, dan anjing. Bukti menunjukkan bahwa cacing tanah dan kumbang tinja (Geotrupes) dapat bertindak sebagai hospes paratenik bagi larva Ascaris suum, Goeze (Noble and Noble, 1989).

c. Habitat dan Siklus Hidup

Siklus hidup Ascaris suum, Goeze sedikit berbeda dengan Ascaris lumbricoides , Linn. Siklus hidup Ascaris suum, Goeze dapat terjadi secara langsung ( direct ) maupun tidak langsung (indirect).

Pada siklus direct, babi akan menelan telur fertil yang mengandung larva II. Telur tersebut akan masuk ke dalam lambung kemudian menuju ke usus halus. Telur tersebut kemudian menetas di usus halus dan keluarlah larva II (Beaver et al., 1984). Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika hospes batuk larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal migration. Di dalam traktus gastrointestinal (terutama di usus halus), larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa dan selanjutnya akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Moejer and Roepstroff, 2006).

commit to user

paratenik atau perantara. Telur fertil (berisi larva II) tertelan oleh hospes paratenik bersama makanan dan minuman. Larva II akan berada di jaringan sampai babi memangsa hospes paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva

III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Moejer and Roepstroff, 2006).

d. Patogenesis dan Gejala Klinis

Infeksi Ascaris suum, Goeze dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium II melalui makanan atau minumannya. Telur tersebut akan menetas di usus halus dan keluarlah larva II. Larva II akan berkembang menjadi larva III. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dari usus halus ke hati dan menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal babi. Hepato- tracheal migration juga dapat menyebabkan peradangan ringan pada hati (Yoshihara, 2008). Walaupun demikian, gejala yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005).

Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi dari hati ke kapiler paru. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005).

commit to user

3. Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

a. Taksonomi

Divisi

: Spermathophyta

Sub divisi

Sub kelas

Sub famili

: Andrographis paniculata, Nees

(Yusron dkk, 2005)

b. Deskripsi Tumbuhan

Tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) memiliki akar tunggang, batang berkayu dan pangkal batang bulat. Daun tunggal, berbentuk bulat telur, bersilang berhadapan, pangkal dan ujung daun runcing, tepi rata, panjang kira-kira 8 cm dan lebar 1,7 cm. Bunga majemuk berbentuk tandan terletak di ketiak daun dan ujung batang. Buah muda berwarna hijau setelah tua menjadi hitam, terdiri dari 11-12 biji (Pujiasmanto dkk, 2007).

c. Habitat

Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) merupakan tanaman kosmopolit yang berasal dari India dan telah menyebar di

commit to user

di berbagai ketinggian, mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut. Sambiloto dapat tumbuh pada daerah pedesaan, tepi jalan, tempat pembuangan sampah, ladang, ataupun daerah berpasir yang kaya akan sinar matahari. Namun, tanaman ini juga dapat tumbuh pada hutan lebat dengan hanya memperoleh 10-20 % cahaya matahari (Pujiasmanto dkk, 2007).

d. Efek

(Andrographis paniculata, Nees)

Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) merupakan obat tradisional yang sering digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Tanaman ini mempunyai sifat khas, yaitu pahit, mendinginkan dan membersihkan darah. Bagian tanaman yang digunakan untuk obat adalah keseluruhan tanaman atau biasa disebut sebagai herba (Kadar, 2009).

Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mengandung zat pahit bernama andrografolid yang berlimpah. Menurut beberapa penelitian, zat ini dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor, antikanker, antiviral (Kadar, 2009; Vinothkumar et al., 2010), antiinflamasi (Hidalgo et al., 2005), obat infeksi traktus respiratorius bagian atas (Coon and Ernst, 2004), antimalaria, antidiare, antiarterosklerosis (Wang et al., 1997), antidiabetika (Borhanuddin et al., 1994), antibakteri (Vinothkumar et al., 2010) dan renoprotektor (Singh et al.,

commit to user

e. Kandungan Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) yang Berpotensi sebagai Antihelmintik

Daun sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) mengandung andrografolid, tannin, dan saponin yang berpotensi sebagai antihelmintik (Kumoro and Hasan, 2006; Sule et al., 2010). Andrografolid yang merupakan suatu senyawa diterpenoid lactone (Kumoro and Hasan, 2006) adalah zat yang berlimpah dalam daun sambiloto (Varma et al., 2009). Walaupun mekansimenya belum jelas, zat pahit ini diduga membunuh cacing melalui perannya sebagai imunostimulan dan menyebabkan kondisi basa dalam usus (Puri et al., 1993). Kondisi tersebut tentu tidak menguntungkan bagi cacing sehingga cacing akan mati.

Alkaloid tannin merupakan suatu polifenol tanaman yang larut air dan dapat mendenaturasi protein. Berdasarkan struktur kimianya, tannin dibedakan menjadi tannin terkondensasi dan tannin yang larut air (Westendarp, 2006). Alkaloid ini mempunyai sifat vermifuga dengan cara merusak protein tubuh cacing (Cenci et al., 2007; Iqbal et al., 2007). Aktivitas ini dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis pada tubuh cacing, sehingga cacing akan mati (Harvey and John, 2004). Menurut Alonso et al. (2008), tannin juga dapat menghambat migrasi larva cacing.

Daun sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) juga

commit to user

mempunyai rasa pahit. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan tegangan permukaan (surface tension) pada dinding membran. Walaupun bersifat toksik, zat ini tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini dikarenakan berat jenis molekulnya yang tinggi sehingga tidak diabsorbsi oleh tubuh (Nio, 1989). Saponin dapat berpotensi sebagai antihelmintik karena bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga cacing akan mengalami paralisis otot dan berujung pada kematian (Kuntari, 2008).

4. Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

Ekstraksi ialah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang berada dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Prinsip kelarutan yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar, pelarut semipolar melarutkan senyawa semipolar dan pelarut nonpolar melarutkan senyawa nonpolar. Sediaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi dinamakan ekstrak sedangkan pelarutnya disebut penyari, sedangkan sisa-sisa yang tidak ikut tersari disebut ampas (Harbone, 1996).

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkolasi. Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Secara umum dapat

commit to user

halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan ekstraksi yang dimasukkan secara kontinu dari atas mengalir lambat melintasi jamu yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi dan kaya ekstrak. Dengan demikian keuntungan perkolasi adalah pemanfaatan jamu secara optimal serta memerlukan waktu yang singkat (Ansel, 1989; Voight, 1994).

Sebagai cairan pengekstraksi, air atau etanol lebih disukai penggunaannya. Ekstraksi air dari suatu bagian tumbuhan dapat melarutkan gula, bahan lendir, amina, tannin, vitamin, asam organik, garam organik serta bahan pengotor lain. Pada sediaan ekstraksi ini (infusa), zat-zat yang tersaring ialah zat-zat yang bersifat polar saja. Penyaringan dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar kuman dan kapang. Oleh karena itu, sari yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Etanol dapat menyari zat yang tidak tersari oleh air yaitu lemak, terpenoid, antrakinon, kumarin, flavonoid polimetil, resin, klorofil, isoflavon, alkaloid bebas, kurkumin dan fenol lain. Etanol tidak menyebabkan pembengkakaan membran sel, sehingga memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Dalam bentuk sediaan

commit to user

dipakai berulang (Voigt, 1994). Dalam ekstraksi ini digunakan larutan penyari etanol 70% karena merupakan pelarut semipolar sehingga dapat menarik saponin dan tannin (Harbone, 1996). Dengan etanol kadar 70% volume dapat dihasilkan bahan aktif yang optimal karena bahan pengotor hanya larut dalam skala kecil (Voight, 1994).

5. Mebendazol

Mebendazol merupakan Ester-metil dari benzidazol . Mebendazol adalah antihelmintik yang berspektrum luas, efektif terhadap cacing kremi, cacing gelang, cacing pita, Trichiuris trichiura, Trichostrongylus dan cacing cambuk. Mebendazol dapat digunakan sebagai monoterapi penanganan massal penyakit cacing juga untuk infeksi campuran (dua atau lebih dari dua infeksi) misal cacing tambang dengan cacing kremi atau cacing tambang dengan cacing pita dan cacing gelang. Mebendazol bekerja sebagai vermisida, larvasida dan ovisida (Tjay dan Rahardja, 2007).

Reabsorbsi Mebendazol di usus rendah sekali, kurang dari 10%. Batas amannya rendah akibat “first pass effect” tinggi. Waktu paruh berkisar 2-6 jam. Eksresi Mebendazol berlangsung lewat urin dan empedu (Tjay dan Rahardja, 2007). Hal ini ditinjau dari segi farmakokinetiknya.

Obat ini, apabila ditinjau dari segi farmakodinamiknya,

commit to user

asetilkolinesterase cacing sehingga terjadi paralisis pada cacing. Mebendazol juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing. Farmakoterapi obat ini yaitu cacing akan mati perlahan-lahan dengan hasil memuaskan pada 3 hari setelah pengobatan (Syarif dan Eysabeth, 2007) dan tidak memerlukan laksan untuk mengeluarkan cacing (Tjay dan Rahardja, 2007).

Pemberian Mebendazol dosis rendah selama 1-3 hari untuk terapi nematoda intestinal hampir bebas dari efek samping. Namun demikian, dapat timbul mual ringan, muntah, diare dan nyeri perut terutama pada anak-anak dengan infeksi Ascaris berat. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan trimester pertama. Penggunaan pada anak di bawah 2 tahun harus dipertimbangkan dan penggunaan harus hati-hati pada penderita sirosis hepatis (Katzung, 2004; Syarif dan Elysabeth, 2007).

Mebendazol tersedia dalam tablet 100 mg dan sirup 20 mg/ml. Dosis untuk askariasis yaitu 2x100 mg selama 3 hari berturut-turut, bila perlu diulang setelah 3 minggu. Untuk terapi visceral larva migrant dosisnya 200-400 mg sehari dalam dosis terbagi selama 5 hari. Angka penyembuhan untuk penyakit askariasis dan trikuriasis mencapai 90-100% (Syarif dan Elysabeth, 2007; Tjay dan Rahardja, 2007).

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

: mengandung, berefek : variabel perancu yang mempengaruhi hasil penelitian : hal yang dipengaruhi oleh variabel perancu

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Tidak terkendali:

1. Umur cacing

2. Variasi kepekaan cacing terhadap larutan uji

3. Ketahanan cacing

Terkendali:

1. Besar dan Jenis cacing

2. Suhu percobaan (37 0 C)

Ascaris suum , Goeze

Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

enzim Asetilkolinesterase

Imunomodulator dan menciptakan

suasana basa

Lama waktu semua

cacing mati

Perbedaan efek

antihelmintik

Vermifuga (mendenaturasi protein tubuh

cacing) Paralisis otot

cacing

commit to user

C. Hipotesis

Ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.

commit to user

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian posttest only controlled group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di LPPT UGM untuk melakukan ekstraksi herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) dan Laboratorium Parasitologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau hewan uji adalah Ascaris suum, Goeze yang masih aktif bergerak diperoleh dari usus halus babi dari tempat penyembelihan “Radjakaja” Kotamadya Surakarta.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan menyamakan kondisi (dilihat dari gerakan, warna, dan keutuhan bagian tubuh) cacing dan tidak dibedakan jantan dan betina serta ukurannya.

commit to user

Keterangan: n = besar sampel t = jumlah kelompok perlakuan (Hanafiah, 2001)

Pada penelitian ini digunakan 7 kelompok perlakuan, maka:

(n-1) (t-1) ≥ 15 (n-1) (7-1) ≥ 15 6n

≥ 21

≥ 3,5

Masing-masing kelompok akan memiliki besar sampel sebanyak 4 ekor cacing.

Dengan rumus Federer juga dapat ditentukan besar pengulangan:

Keterangan: t = jumlah kelompok perlakuan r = ulangan / replikasi (Hanafiah, 2001)

Pada penelitian ini digunakan 7 kelompok perlakuan, maka:

(t-1) (r-1) ≥ 15 (7-1) (r-1) ≥ 15 6r

≥ 21

≥ 3,5

(n-1) (t-1) ≥ 15

(t-1) (r-1) ≥ 15

commit to user

sebanyak 4 kali.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent Variable) Konsentrasi ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) dan Mebendazol.

2. Variabel Terikat (Dependent Variable) Waktu kematian semua cacing dalam tiap rendaman setelah pemberian perlakuan.

3. Variabel Perancu (Confounding Variable)

a. Variabel Perancu yang Terkendali

1) Besar dan jenis cacing : dipilih cacing gelang yang ukurannya sama besar dan hidup di usus halus babi.

2) Suhu percobaan : dipilih suhu percobaan 37ºC dengan inkubator

b. Variabel Perancu yang Tidak Terkendali

1) Variasi kepekaan cacing terhadap larutan uji

2) Ketahanan dan lama hidup cacing di luar tubuh babi

3) Umur cacing

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Ekstrak Herba Smbiloto (Andrographis paniculata, Nees)

Proses ekstraksi herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) didahului dengan pembuatan serbuk. Serbuk herba sambiloto

commit to user

sambiloto (mulai dari akar, batang, daun dan bunga) yang sudah masak, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 0 C. Hasil yang diperoleh kemudian diblender dan diayak dengan pengayak nomor 40. Ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) adalah ekstrak yang dihasilkan dengan metode perkolasi, menggunakan pengekstraksi etanol 70% dan hasil akhir berupa gel.

Konsentrasi ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) dibuat dengan cara pelarutan ekstrak kental herba sambiloto dari proses perkolasi dengan satuan berat per volume menurut konsentrasi yang telah ditentukan. Konsentrasi ekstrak herba sambiloto yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Skala variabel dari ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) adalah skala ordinal.

2. Mebendazol Mebendazol adalah obat antihelmintik yang digunakan sebagai obat pembanding sekaligus kontrol positif dalam penelitian ini. Mebendazol digunakan sebagai obat pembanding karena Mebendazol merupakan obat terpilih untuk askariasis. Dalam penelitian ini digunakan Mebendazol dengan konsentrasi 30 ppm (part per million). Konsentrasi 30 ppm ini didapat dari penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa babi yang terinfeksi Ascaris suum, Goeze in vivo mencapai tingkat kesembuhan askariasis 100% pada terapi pemberian

commit to user

and

de Nollin, 1975). Larutan Mebendazol konsentrasi 30 ppm didapat dengan melarutkan 30 mg Mebendazol dalam 1 liter NaCl 0,9%.

3. Waktu Kematian Cacing Waktu kematian cacing adalah waktu matinya semua cacing dalam rendaman setelah pemberian perlakuan. Cacing dianggap mati apabila tidak ada respon gerakan saat ujung tubuhnya disentuh dengan pinset anatomis. Skala variabel dari waktu kematian cacing adalah skala rasio.

commit to user

G. Rancangan Penelitian

Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian

Dihitung waktu kematian semua cacing

Dihitung waktu kematian semua cacing

Replikasi 4x

Replikasi 4x

Replikasi 4x

Pengamatan tiap 2 jam hingga semua cacing mati

Pengamatan tiap 2 jam

hingga semua cacing

mati

Pengamatan tiap 2 jam hingga semua cacing mati

Dihitung waktu kematian semua cacing

Uji one way ANOVA

Uji Post Hoc LSD

Ascaris suum , Goeze

Direndam dalam ekstrak herba sambiloto konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, 100%

Direndam dalam larutan Mebendazol

30 ppm

Direndam dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%)

commit to user

H. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Cawan petri diameter 15 cm

b. Batang pengaduk kaca

c. Pinset anatomis

d. Gelas piala

e. Gelas ukur

f. Labu takar

g. Toples untuk menyimpan cacing

h. Inkubator

i. Timbangan

2. Bahan

a. NaCl 0,9%

b. Mebendazol

c. Ekstrak herba sambiloto dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%

I. Cara Kerja

1. Pembuatan Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

a. Pengambilan Bahan Herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) yang diekstrak didapat dari pasar Mangu Kecamatan Ngemplak, Boyolali.

commit to user

b. Pembuatan Serbuk Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

Herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) dicuci bersih pada air mengalir, untuk menghilangkan semua kotoran yang melekat. Kemudian, dikeringkan dalam almari pengering pada suhu 40 0 C, untuk mencegah terjadinya pembusukan oleh bakteri atau oleh cendawan, serta lebih mudah dihaluskan (untuk diserbuk). Herba sambiloto yang telah kering, dihaluskan menjadi serbuk halus, diayak dengan ayakan nomor 40 lalu serbuk halus ditimbang. Simplisia yang digunakan merupakan simplisia herba yaitu menggunakan semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun dan bunga.

c. Pembuatan Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)

Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM). Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkolasi. Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Secara umum dapat dinyatakan sebagai proses dimana obat atau bahan mentah yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang

commit to user

mengalir lambat melintasi jamu yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi dan kaya ekstrak (Ansel, 1989; Voight, 1994).

Dalam ekstraksi ini digunakan larutan penyari etanol 70% karena merupakan pelarut semipolar sehingga dapat menarik saponin dan tannin (Harbone, 1996). Dengan etanol kadar 70% volume dapat dihasilkan bahan aktif yang optimal karena bahan pengotor hanya larut dalam skala kecil (Voight, 1994).

2. Penentuan Konsentrasi Larutan Uji yang Digunakan

Penentuan konsentrasi larutan uji yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Budiyanti (2010), konsentrasi larutan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% . Pembuatan konsentrasi untuk larutan uji sebagai berikut: Konsentrasi I : 20 gram ekstrak herba sambiloto + 100 ml larutan NaCl

0,9% larutan ekstrak herba sambiloto 20% Konsentrasi II : 40 gram ekstrak herba sambiloto + 100 ml larutan NaCl 0,9% larutan ekstrak herba sambiloto 40% Konsentrasi III : 60 gram ekstrak herba sambiloto + 100 ml larutan NaCl 0,9% larutan ekstrak herba sambiloto 60% Konsentrasi IV : 80 gram ekstrak herba sambiloto + 100 ml larutan NaCl 0,9% larutan ekstrak herba sambiloto 80%

commit to user

NaCl 0,9% larutan ekstrak herba sambiloto 100%

3. Konsentrasi Larutan Mebendazol Pada penelitian ini digunakan konsentrasi larutan Mebendazol sebesar 30 ppm. Konsentrasi 30 ppm ini didapat dari penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa babi yang terinfeksi Ascaris suum, Goeze in vivo mencapai tingkat kesembuhan askariasis 100% pada terapi pemberian diet yang mengandung Mebendazol konsentrasi 4-30 ppm (Borgers and de Nollin, 1975). Pembuatan larutan Mebendazol konsentrasi 30 ppm tersebut adalah sebagai berikut: Larutan Mebendazol konsentrasi 30 ppm = 30 mg Mebendazol + 1 liter NaCl 0,9%

4. Langkah Penelitian

a. Cawan petri disiapkan, diisi larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai kontrol negatif, larutan Mebendazol sebagai pembanding dan larutan ekstrak herba sambiloto 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%, masing-masing sebanyak 25 ml (larutan dihangatkan terlebih dahulu

dalam inkubator selama 15 menit pada suhu 37 0 C).

b. Kedalam masing-masing cawan petri dimasukkan Ascaris suum, Goeze sebanyak 4 ekor.

c. Masing-masing cawan petri diinkubasi pada suhu 37 0 C.

commit to user

tersebut disentuh dengan pinset anatomis. Jika sudah tidak bergerak, maka cacing dinyatakan mati. Pengamatan dilakukan tiap 2 jam hingga semua cacing mati.

e. Waktu kematian semua cacing kemudian dicatat dan penelitian direplikasi 4 kali.

J. Teknik Analisis Data

Data yang merupakan waktu kematian cacing dianalisis secara statistik dengan uji one way ANOVA dan uji Post Hoc LSD. Uji one way ANOVA adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean pada ketujuh kelompok sekaligus sehingga dapat diketahui apakah ketujuh kelompok memiliki mean waktu kematian cacing yang berbeda secara signifikan atau tidak. Uji Post Hoc LSD adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2008; Taufiqurrohman, 2008).

commit to user

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Hasil pengamatan pada penelitian pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro adalah sebagai berikut: Tabel 1. Hasil pengamatan waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze

in vitro

Ulangan

Lama Kematian Cacing (jam)

NaCl 0,9%

Konsentrasi Herba Sambiloto

Mebendazol 20% 30 ppm 40% 60% 80% 100%

Tabel 1 di atas dapat dibuat grafik rerata waktu kematian cacing untuk masing-masing kelompok perlakuan sebagai berikut: (pada halaman 34)

commit to user

Gambar 4. Grafik rerata waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in

vitro

Gambar 4 di atas menjelaskan bahwa pada kelompok ekstrak herba sambiloto mulai dari konsentrasi 20% sampai dengan konsentrasi 100% menunjukkan adanya pengaruh terhadap waktu kematian Ascaris suum , Goeze in vitro. Pengaruh antihelmintik ini meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Cacing Ascaris suum, Goeze yang direndam pada kelompok ekstrak herba sambiloto 100% menunjukkan waktu kematian sama dengan waktu kematian cacing Ascaris suum , Goeze yang direndam pada kelompok Mebendazol 30 ppm. Rendaman cacing Ascaris suum, Goeze pada larutan NaCl 0,9% menunjukkan rerata waktu kematian cacing 96 jam, ini menunjukkan kemampuan hidup cacing di luar tubuh babi dan digunakan sebagai waktu maksimal pengujian larutan ekstrak.

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

e ra

ta

k tu

a ti

ca

ci

ja

96

11 9.5

5.5 4 7.5 4

commit to user

besar persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata , Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm sebagai kontrol positifnya dengan perhitungan sebagai berikut: Persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm:

Hasil perhitungan untuk masing-masing konsentrasi ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) dinyatakan dalam bentuk tabel di bawah ini: Tabel 2. Persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis

paniculata , Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum , Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm

Konsentrasi ekstrak herba

sambiloto (%)

Pengaruh ekstrak herba sambiloto dibanding Mebendazol 30 ppm (%)

waktu kematian cacing dalam rendaman Mebendazol 30 ppm

x 100%

waktu kematian cacing dalam rendaman ekstrak herba sambiloto

commit to user

Perhitungan persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum , Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm dapat dilihat pada lampiran 3.

Data di atas dapat disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 5. Diagram persentase pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro dibanding Mebendazol 30 ppm

Gambar di atas menunjukkan bahwa pengaruh rendaman Mebendazol 30 ppm terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro lebih kuat daripada pengaruh ekstrak herba sambiloto konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 80% tetapi sama kuat bila dibandingkan dengan ekstrak herba sambiloto konsentrasi 100%.

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Pe

rs

ta

se

ti

lm

in

ti

%)

Rendaman

36.4

42.1

53.3

72.7

100 100

commit to user

B. Analisis Data

Data hasil penelitian pada tabel 1 yang menyajikan lama waktu kematian cacing dianalisis dengan uji one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc LSD.

1. Uji one way ANOVA