MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
PERSPEKTIF GENDER DALAM ORGANISASI
Oleh:
Kelompok IV
(Angkatan E63)
1. Ayu Septi Indriani
2. Dwi Widodo P
3. Glynae Widyawati
4. Ilham Arie Hermanda
5. Kasaya Annisa Rahmaniah
6. Muhammad Fachril Husain Jeddawi
7. Novie Nostalgia Adiwinata
8. Sujianto

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
1


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami telah mampu menyelesaikan tugas makalah mengenai studi
kasus “Perspektif Gender Dalam Organisasi”. Tugas makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia.
Kami menyadari bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis selaku dosen mata kuliah Manajemen
Sumber Daya Manusia.
2. Pihak lain yang turut membantu dalam proses penyusunan makalah ini,
baik secara langsung maupun tidak.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat
membangun dalam penyempurnaan karya tulis ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat, khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.

Bogor, November 2016


Penulis

i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
PENDAHULUAN...................................................................................................2
1.1 Latar Belakang...............................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4
1.3 Tujuan.............................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 Kebijakan Ekspor Jagung...............................................................................5
2.2 Kebijakan Impor Jagung................................................................................7
2.1.1 Kuota Impor.............................................................................................8
2.1.2 Tarif Impor...............................................................................................9
2.3 Kebijakan Benih Jagung...............................................................................11
2.4 Kebijakan Subsidi Pupuk.............................................................................13
2.5 Kebijakan Perluasan Lahan Jagung..............................................................19
2.6 Kebijakan Fiskal...........................................................................................24
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................29

3.1 Kesimpulan...................................................................................................29
3.2 Saran.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
.
1.3 Tujuan

BAB II
2

PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Ekspor Jagung

Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Di lain pihak negara pengekspor jagung terbesar
di dunia seperti Amerika Serikat sudah mengurangi ekspor jagungnya karena
digunakan untuk bahan baku ethanol. Demikian pula halnya dengan China yang
dulu merupakan negara pengekspor jagung, sekarang sudah menghentikan
ekspornya guna memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya sehingga
mendorong harga jagung semakin tinggi (Departemen Pertanian, 2008). Selain itu
negara China menghadapi permasalahan penurunan luas areal penanaman jagung
dengan maraknya pembangunan di berbagai tempat.
Kondisi ini akan menjadikan hal yang mengkhawatirkan jika Indonesia masih
tergantung pada impor jagung. Namun di sisi lain justru menjadikan kesempatan
untuk memenuhi pasar jagung dunia yang semakin kompetitif, paling tidak
mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Sebagai salah satu Negara
pengekspor jagung, Indonesia tidak hanya memanfaatkan jagung sebagai bahan
pangan, tetapi juga digunakan sebagai pakan ternak. Proporsi penggunaan jagung
oleh industri pakan ternak telah mencapai lebih dari 50 persen dari total
kebutuhan nasional. Dalam 20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan
diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60 persen
dari kebutuhan nasional (Ditjen Tanaman Pangan, 2006)
Tabel 1. Produksi Jagung Tahun 2010 – 2013 (Ton)


Tahun

Produksi Jagung (Ton)

2010

18.327.636

2011

17.643.250

2012
2013
Sumber : Kementrian Pertanian, 2016

19.387.022
18.511.853


Tabel 2. Ekspor Jagung Tahun 2010 – 2013 (Ton)

Tahun

Ekspor (Ton)

3

2010

41.954

2011

12.472

2012

39.817


2013

11.438

Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

Dari data diatas, diketahui bahwa terjadi fluktuasi produksi jagung nasional
dari tahun 2010 sampai 2013. selama periode tersebut volume ekspor jagung
tidak lebih dari 100 ribu ton. Fluktuasi ekspor terjadi karena rendahnya nilai tukar
rupiah, sehingga harga komoditas pertanian di pasar internasional menjadi tinggi
karena

perubahan

nilai

tukar

rupiah


terhadap

dollar,

sehingga

lebih

menguntungkan untuk mengekspor dalam jumlah banyak. Selama periode 20102013 rata – rata volume ekspor adalah 23,96 ribu ton.
Oleh sebab itu pemerintah selalu berusaha mendorong ekspor melalui
kebijakan ekspor dengan cara berikut :
a) Diversifikasi Ekspor/Menambah Keragaman Barang Ekspor
Diversifikasi ekspor merupakan penganekaragaman barang ekspor dengan
memperbanyak macam dan jenis barang yang diekspor. Misalnya Indonesia
awalnya hanya mengekspor tektil dan karet, kemudian menambah komoditas
ekspor seperti kayu lapis, gas LNG, rumput laut dan sebagainya. Diversifikasi
ekspor dengan menambah macam barang yang diekspor ini dinamakan
diversifikasi horizontal. Sedangkan divesisifikasi ekspor dengan menambah
variasi barang yang diekspor seperti karet diolah dahulu menjadi berbagai macam
ban mobil dan motor atau kapas diolah dulu menjadi kain lalu diproses menjadi

pakaian. Diversifikasi yang demikian ini disebut diversifikasi vertikal.
b)

Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan dengan cara memberikan subsidi/bantuan kepada

eksportir dalam bentuk keringanan pajak, tarif angkutan yang murah, kemudahan
dalam mengurus ekspor, dan kemudahan dalam memperoleh kredit dengan bunga
yang rendah.
c)

Meningkatkan Promosi Dagang ke Luar Negeri
Pemasaran suatu produk dapat ditingkatkan dengan mempromosikan produk

yang akan dijual. Untuk meningkatkan ekposr ke luar negeri maka pemerintah

4

dapat berusaha dengan melakukan promosi dagang ke luar negeri, misalnya
dengan dengan mengadakan pameran dagang di luar negeri agar produk dalam

negeri lebih dapat dikenal.
d)

Menjaga Kestabilan Nilai Kurs Rupiah terhadap Mata Uang Asing
Kestabilan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing sangat dibutuhkan

oleh para importir dan pengusaha yang menggunakan peroduk luar negeri untuk
kelangsungan usaha dan kepastian usahanya. Bila nilai kurs mata uang asing
terlalu tinggi membuat para pengusaha yang bahan baku produksinya dari luar
negeri akan mengalami kesulitan karena harus menyediakan dana yang lebih besar
untuk membiayai pembelian barang dari luar negeri. Akibatnya harga barang yang
diproduksi oleh pengusaha tersebut menjadi mahal. Hal ini dapat menurunkan
omzet penjualan dan menurunkan laba usaha, yang akhirnya akan mengganggu
kelangsungan hidup usahanya.
e)

Mengadakan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Internasional
Melakukan perjanjian kerja sama ekonomi baik bilateral, regional maupun

multilateral akan dapat membuka dan memperluas pasar bagi produk dalam negeri

di luar negeri. serta dapat menghasilkan kontrak pembelian produk dalam negeri
oleh negara lain. Misalnya perjanjian kontrak pembelin LNG (Liquid Natural
Gas) Indonesia yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan.
2.2

Kebijakan Impor Jagung
Perdagangan antar negara dari waktu ke waktu semakin berkembang,

bahkan dalam perkembangannya saat ini, perdagangan antarnegara semakin
meluas hingga meliputi beragam bidang kehidupan. Bahkan barang-barang yang
kita konsumsi sehari-hari tidak bisa lepas dari keterlibatan negara lain.
Kemudahan dalam gaya hidup menyebabkan masyarakat mudah pula untuk
mengonsumsi produk impor, dengan demikian kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi. Di pihak lain, maraknya produk impor di pasar dalam negeri dapat
menjadi pesaing bagi pengusaha domestik, bahkan dapat mematikan. Peran
pemerintah dalam bidang impor adalah dengan menerapkan berbagai macam
kebijakan impor.

5

2.1.1 Kuota Impor
Kebijakan kuota impor diartikan sebagai suatu hambatan non tarif yang
digunakan untuk membatasi jumlah komoditas pangan tertentu yang boleh
diimpor selama jangka waktu tertentu. Dengan demikian, secara umum
kebijakan impor kuota ditujukan untuk membatasi jumlah komoditas pangan
tertentu yang diimpor dari luar negeri dan sekaligus sebagai salah satu alat
untuk mengendalikan harga komoditas tertentu di pasar dalam negeri.
Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi impor yang
sah kepada perusahaan tertentu dan terbatas serta melarang impor tanpa
lisensi.
Kebijakan kuota impor ini bisa membuat rent seeker muncul. Karena
kebijakan kuota impor ini juga disertai dengan pembatasan pada perusahaan
mana yang bisa mengimpor, maka jumlah kuota yang diimpor biasanya dapat
mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Dalam situasi ini maka peluang
untuk menjadi rent seeker terjadi. Ada kemungkinan perhitungan kuota impor
lebih rendah dari yang seharusnya sehingga harga komoditas pangan menjadi
lebih tinggi. Selisih harga beli di luar negeri dengan harga jual dalam negeri
menjadi semakin melebar, dan selisih ini yang bisa digunakan oknum untuk
meminta bagian dari keuntungan perusahaan pengimpor.
Kebijakan kuota impor juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Bagi konsumen, kebijakan kuota impor akan mengurangi surplus
konsumen yaitu perbedaan diantara kepuasan yang diperoleh seseorang
didalam mengkonsumsikan sejumlah barang dengan pembayaran yang harus
dibuat untuk memperoleh barang tersebut. Akibatnya, tingkat kepuasan
konsumen akan tertekan dan mengurangi kesejahteraan sosial. Jika kuota
impor dibatasi dengan volume jauh di bawah defisit antara penawaran dan
permintaan produk pangan yang dihasilkan dalam negeri, maka harga
komoditas pangan akan meningkat. Peningkatan harga bisa menjadi tidak
wajar dan kondisi ini membuat konsumen dirugikan

6

2.1.2 Tarif Impor
Kebijakan lain untuk komoditas jagung adalah pengenaan tarif impor
dengan tujuan untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun
1974 – 1979, besarnya tarif impor adalah 5 % kemudian meningkat menjadi
10 % selama tahun 1980 – 1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5
% pada tahun 1994 dan sejak tahun 1995 tarif impor ditiadakan (Rachman
Benny. Perdagangan internasional komoditas jagung, 2003).
Tarif impor sekarang merupakan suatu kebijakan perdagangan yang
paling umum digunakan dalam perdagangan internasional. Kebijakan tarif
impor ini merupakan konsekuensi dari kesepakatan WTO. Pada prinsipnya
tarif impor adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang
diimpor. Kebijakan tarif impor ini lebih mudah dilaksanakan sebagai
alternatif kebijakan impor pangan karena berbagi alasan.
Pertama, harga komoditas pangan di luar negeri dan dalam negeri dapat
diketahui dengan pasti pada setiap waktu. Dengan kemudahan tersebut,
pemerintah tinggal menentukan berapa besar tarif yang ingin diterapkan.
Kedua, kebijakan tarif akan menguntungkan pemerintah karena ada
penerimaan yang pasti dari tarif. Penerimaan dari tarif dapat menjadi sumber
tambahan pendanaan pemerintah untuk berbagai keperluan, seperti untuk
insentif peningkatan produksi pangan dalam negeri.
Ketiga, bagi Indonesia sebagai negara pengimpor pangan yang tidak bisa
memengaruhi harga pangan dunia, kebijakan tarif ini memberikan
perlindungan bagi produsen dalam negeri. Kebijakan tarif impor membuat
harga barang yang diimpor menjadi meningkat di pasar dalam negeri.
Kondisi ini membuat produsen dalam negeri tetap mendapat insentif dalam
upaya meningkatkan produksinya. Di Indonesia sendiri tarif impor untuk
produk jagung dikenakan sebesar 5 % dan masih berlangsung sampai saat ini

7

Tabel 3. Data Impor Jagung Indonesia Tahun 2012 – 2014 (Kg)
Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016
Quartal

2012

2013

2014

Q1

456,870,689

761,995,826

567,204,819

Q2

451,911,322

571,943,165

937,936,985

Q3

531,877,683

660,923,336

812,454,613

Q4

480,241,284

1,300,049,240

1,056,905,365

Total

1,920,900,978

3,294,911,567

3,374,501,782

Berdasarkan pada Tabel 3 maka dapat dilihat bahwa hasil impor pada tahun
2012 adalah pada quartal 3, namun pada tahun 2013 dan 2014 impor paling tinggi
pada qurtal 4. Peningkatan ekspor jagung dari tahun 2012 ke tahun 2013 sangat
signifikan, kenaikna impor tersebut mencapai peningkatan sebesar 58% dari tahun
sebelumnya.
Tabel 4. Konsumsi per Kapita dalam Rumah Tangga Tahun 2012 – 2014 (Kg)
Jenis Jagung
Jagung basah dengan
kulit
Jagung pipilan/beras
jagung
Total

2012

2013

2014

0.574

0.574

0.678

1,512

1,304

1,199

1,513

1,305

1,200

Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016
Dari data diatas menunjukkan bahwa peningkatan impor jagung ini tidak
di pengaruhi oleh konsumsi masyarakat akan tetapi hal lain seperti pakan
ternak harga jagung impor di Indonesia.
Kebijakan kuota impor dan tarif impor belum terlalu memberikan efek
untuk menekan impor khususunya untuk produk jagung. Hal itu dapat kita
lihat dari tabel diatas yang memperlihatkan bahwa impor jagung Indonesia
meningkat 42 % dari tahun 2012 ke tahun 2013 sedangkan konsumsi jagung
nasional sendiri mengalami penurunan sebesar -16 %. Kemudian di tahun
8

2014 sendiri mengalami kenaikan jumlah impor sebesar 2 % dan konsumsi
mengalami penurunan sebesar – 9 %.
2.3 Kebijakan Benih Jagung
Produktivitas tanaman jagung sangat dipengaruhi oleh mutu benih yang
ditanam. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas jagung di sebagian wilayah
Indonesia adalah penggunaan benih bermutu rendah. Upaya peningkatan
produktivitas jagung memerlukan dukungan varietas unggul dan benih bermutu,
yang mencakup aspek genetik, fisiologis, dan fisik. Penggunaan benih varietas
hibrida menjadi persyaratan dalam upaya peningkatan produksi per satuan luas
(Arief, 2010). Luas panen jagung nasional rata-rata 4 juta hektar tiap tahun
dengan rata-rata hasil 4,4 t/ha. Produksi jagung tersebut berasal dari varietas
hibrida dan bersari bebas (komposit). Kebutuhan benih jagung memerlukan benih
sebanyak 82 ribu ton benih (Sutoro, 2012). Produksi benih varietas unggul jagung
hibrida dan komposit lebih dari 49 ribu ton. Sehingga masih terdapat kekurangan
akan kebutuhan benih sebesar 33 ribu ton benih. Jika rata-rata produksi benih per
hektar sebesar 8 ton, maka masih diperlukan sekitar 4.130 ha kebun penangkaran
benih untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu. Produksi benih jagung hibrida
terkonsentrasi di Jawa sehingga kalau benih di luar Jawa diperlukan biaya
pengangkutan yang akan mempengaruhi harga benih. Oleh karena itu, agar
distribusi benih merata di seluruh wilayah maka produksi benih di luar Jawa perlu
dilakukan lebih intensif.
Tabel 5. Ketersediaan Varietas Jagung Hibrida dan Komposit
Jenis dan
Varietas
Hibrida
Bima-2
Bima-3
Bima-5
Bima-6
Bima-7
DK-2
DK-3
Bersari Bebas
Lagaligo
Gumarang

Umur Panen
(Hari)

Potensi
Hasil (t/ha)

100

10,0-11,0

103
104
90
98

11,4
10,6
12,1
11,6-11,9

Beradaptasi baik pada lahan
subur dan suboptimal
Daun tetap hijau
Daun tetap hijau
Umur genjah
Toleran kekeringan

90
82

7,5
8,0

Toleran kekeringan
Genjah

Karakteristik

9

Sukmaraga
105
8,5
Toleran masam
Anoman-1
103
7,0
Toleran kekeringan
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Kelebihan dan keuntungan varietas unggul komposit bagi petani lemah modal
dibandingkan dengan varietas hibrida antara lain adalah:
1. Harga benih lebih murah, (benih jagung bersari bebas sekitar Rp 6.000,
sedangkan benih hibrida Rp 45.000-60.000/kg)
2. Lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti cekaman
kekeringan
3. Kebutuhan pupuk sedikit
4. Produksi lebih stabil
5. Relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
Kekurangannya adalah daya hasil lebih rendah dan penampilan tanaman
kurang seragam. Mutu olah sebagai bahan pangan pokok yang baik sering hanya
dapat dipenuhi oleh varietas lokal, demikian juga daya simpan biji dan daya
simpan benihnya. Harga yang relatif tinggi memerlukan dukungan pemerintah
dalam hal pemberian subsidi harga benih. Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah
bagaimana benih dapat sampai ke tangan petani secara tepat waktu, jumlah dan sesuai
dengan jenis kebutuhannya (Mayrowani, 2008).

Beberapa persyaratan teknis benih jagung yang secara ideal dikembangkan:
1. Daya tumbuh perkecambahan jagung tinggi
2. Produktifitas tinggi
3. Adaptif terhadap perubahan iklim dan mampu hidup di lahan suboptimal
(kekeringan, masam dan tingkat kesuburan rendah)
4. Waktu umur panen pendek
5. Tahan terhadap serangan penyakit tanaman
Kebijakan pemerintah terhadap sistem perbenihan jagung terdapat dalam
pasca yasa (lima usaha pemerintah) butir ke tiga yaitu penerapan teknologi benih
mendukung produktivitas padi melalui pengalihan penggunaan benih kompisit
kepada benih hibrida dan komposit unggul . Kebijakan lain yaitu pembentukan
penangkaran yang baik berjalan sesuai fungsi kelembagaan antara para pelaku
penangkaran yaitu petani, penangkar dan Balai Sertifikasi Benih Pangan dan
Hortikultura (BPSTPH) (Margareth, 2016). Benih sumber berasal dari lembaga
10

penelitian penghasil varietas unggul. Dalam penyediaan benih jagung, peranan
Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) sebagai penghasil benih pokok sangat
menentukan penyebaran benih sebar di tingkat penangkar (Suparman, 2013).
Benih Dasar (BD) dari UPBS disalurkan ke petani atau kelompok tani penangkar
di daerah atau sentra pengembangan jagung. Pola penangkaran dapat
mengakomodir sister penangkaran benih berbasis komunal. Penangkaran benih
berbasis komunal adalah penangkaran benih di tingkat pedesaan yang
dilaksanakan dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan benih di
lingkungan komunitasnya (Saenong dan Pabage, 2007).
Beberapa kelemahan penerapan kebijakan perbenihan jagung di masyarakat:
1) Terbatasnya jumlah jumlah petani penangkar
2) Minimnya keahlian petani untuk menangkarkan benih bermutu
3) Ketersediaan benih jagung dari varietas unggul masih sulit didapatkan.
Beberapa daerah yang tidak memiliki akses infrastruktur yang baik
mengalami kesulitan dalam memperoleh ketersediaan bibit.
4) Harga benih jagung hibrida relatif mahal dibandingkan dengan benih jagung
komposit
5) Perijinan, kemudahan, pengawasan penangkaran benih untuk menjamin mutu
belum spenuhnya menjadi kesadaran pemerintah dan masyarakat.
2.4 Kebijakan Subsidi Pupuk
Keberadaan industri pupuk di dalam negeri memiliki peranan strategis dalam
menunjang program pembangunan perekonomian Indonesia. Secara nasional
keberadaan industri pupuk mampu memberikan andil yang cukup besar tidak saja
bagi perkembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan, namun juga
memberikan dampak bagi perkembangan di sektor perkebunan, industri kimia dan
bidang jasa lain. Kebutuhan pupuk dalam negeri mengalami peningkatan sekitar
4,6% per tahun, seiring dengan masifnya program intensifikasi dan peningkatan
produktivitas komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah (Rachman, 2004).
Produksi pupuk nasional sepanjang tahun 1990 – 2004 sebagian besar adalah
urea, yaitu sebesar 79,95% dari total produksi pupuk nasional. Pupuk TSP/SP-36
menduduki urutan kedua sebesar 12,29% dari total produksi pupuk. Produksi
pupuk ZA di urutan ketiga dengan 7,32%, dan NPK di urutan keempat dengan

11

0,44% dari total produksi pupuk sebesar 106.293.961 ton. Dari segi konsumsi
pupuk, sektor pertanian merupakan pengguna pupuk urea dengan porsi terbesar
yaitu 91,34% dibandingkan sektor industri yaitu sebesar 8,66%. Kebutuhan pupuk
urea yang tergolong besar, selain menjadi faktor yang sangat dibutuhkan oleh
petani, pupuk urea juga menjadi bahan baku dalam beberapa industri. Pupuk urea
dalam industri dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri perekat
kayu lapis, industri farmasi, kosmetika, dan industri plastik (PT PUSRI, 2005).
Permintaan pupuk yang terus meningkat menuntut peningkatan volume
produksi pupuk dan penyesuaian kebijakan perdagangan pupuk dalam upaya
menjaga kontinuitas pasokan pupuk dalam negeri. Kasus kelangkaan pupuk
terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang
hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di
tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah. Padahal produksi pupuk urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi
pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk
sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang
diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan
menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena pasokanlangka dan lonjakan
harga di atas HET.
Kedudukan pupuk yang amat penting dalam produksi pertanian mendorong
campur tangan pemerintah untuk mengatur tataniaga pupuk. Kebijakan
pemerintah terkait masalah ini adalah melalui subsidi. Subsidi pupuk yang
diberlakukan sejak tahun 1971 bertujuan menekan biaya yang akan ditanggung
petani dalam pengadaan pupuk. Sehingga petani tidak kesulitan untuk
memperoleh pupuk karena masalah biaya.

Dikaitkan dengan fenomena yang

terjadi saat ini dimana terjadinya kelangkaan pasokan dan lonjakan harga, maka
dapat dikatakan bahwa program kebijakan pupuk yang amat komprehensif
dibangun pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kebijakan peemrintah terkait pupuk bersubsidi adalah dengan pemberia
subsidi pada industri pupuk tertentu. Subsidi yang diberikan lewwat subsidi gas ke
pabrik pupuk, bukan subsidi harga pupuk seperti mekanisme pemberian subsidi

12

sebelumnya. Subsidi tersebut dalam bentuk bahan baku utama pabrik urea yaitu
gas bumi. Ongkos gas bumi merupakan komponen utama biaya pokok produksi
urea yang menurut sejumlah penelitian, porsinya mencapai 30-50% dari total
biaya produksi (Khudori: 2008).
Beban subsidi pupuk timbul sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan
pemerintah dalam rangka penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk
yang lebih rendah dari harga pasar. Tujuan utama subsidi pupuk adalah agar harga
pupuk di tingkat petani dapat tetap terjangkau oleh petani, sehingga dapat
mendukung peningkatan produktivitas petani, dan mendukung program ketahanan
pangan. Sementara itu, dalam kurun waktu 2008–2013, realisasi subsidi pupuk
bagi petani yangdisalurkan melalui BUMN produsen pupuk, menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat. Kenaikan realisasi anggaran subsidi pupuk
tahun 2008-2013 berkaitan dengan: (1) meningkatnya volume pupuk bersubsidi;
(2) anggaran bertambahkarena kurang bayar subsidi pupuk tahun sebelumnya; dan
(3) semakin besarnya subsidi harga pupuk (selisih antara harga pokok produksi
atau HPP dengan harga eceran tertinggi atau HET. Untuk itulah pada pasca krisis
moneter pemerintah kembali memberlakukan subsidi pupuk (walaupun masih
terbatas untuk tanaman pangan), karena didasari pada kenyataan bahwa peranan
pupuk sangat penting dalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil komoditas
pertanian, sehingga menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat
strategis (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011).
Kebijakan komprehensif mengenai pupuk bersubsidi tersebut antara lain : (1)
pembangunan industri pupuk untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan sisanya
untuk ekspor; (2) rayonisasi pasar; (3) pemberlakuan HET sesuai rayon sehingga
tidak memberatkan/ menyulitkan petani untuk memperolehnya; (4) pabrik pupuk
memperoleh subsidi gas sebagai imbalan pelaksanaan produksi dan distribusi
pupuk bersubsidi sampai kios pengecer sesuai HET; (5) besaran subsidi pupuk
sama dengan besaran subsidi gas dan volume pupuk bersubsidi yang disalurkan;
(6) pelaksanaan subsidi pupuk dan distribusinya diawasi oleh pemerintah dan
DPR. (Simatupang, 2004 dalam Kariyasa dan Yusdja, 2005).
Subsidi yang diberikan kepada industri pupuk memang dianggap pemerintah
sebagai kebijakan yang tepat agar petani dapat mengakses pupuk dengan harga

13

yang murah. Namun di sisi lain hal tersebut telah menyebabkan banyak masalah
dalam penerapannya. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya ketimpangan di
lapangan yang justru merugikan petani yang seharusnya menjadi prioritas
pemerintah.
Adapun penyebab terjadinya ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk yang
komprehensif tersebut dikarenakan adanya dugaan peningkatan ekspor pupuk
ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup
seiring peningkatan margin antara harga pupuk urea di pasar dunia dengan harga
pupuk di pasar domestik. Ini telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah
tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih
memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut
adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang notabene merupakan
kelompok masyarakat miskin. Ekspor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui
pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi
Utara dan Kalimantan.
Faktor lain yang menyebabkan kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar
domestik adalah perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi.
Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan
perkebunan besar. Sejak ditetapkan kebijakan harga pupuk, telah menyebabkan
pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar
nonsubsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem
pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Langka pasok dan lonjak
harga juga terjadi akibat perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain
dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi). Ada beberapa petani yang masih
memiliki fanatisme terhadap pupuk merek tertentu, sehingga mereka mau
membeli sekalipun dengan harga yang lebih mahal. Perilaku ini mengakibatkan
terjadi kelangkaan pupuk pada daerah-daerah tertentu. Banyak produsen pupuk
dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai gudang penyimpanan pupuk di lini
III pada beberapa daerah diduga juga turut berkontribusi terhadap kelancaran
pendistribusian pupuk yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan pupuk di
tingkat pengecer atau petani.

14

Kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi
secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh
melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi
(HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk urea dari 5 pabrik
pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik.
Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada
kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk
non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena
langka pasok dan lonjak harga di atas HET.
Adapun penyebab terjadinya ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk yang
komprehensif tersebut karena :
1.

Adanya peningkatan ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu
sendiri maupun melalui penyelundup seiring peningkatan margin antara harga
pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah
membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan
untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea
yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan
hak petani yang notabene merupakan kelompok masyarakat miskin. Eskpor
pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik
individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.

2.

Perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan
ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan
besar. Sejak ditetapkan kebijakan harga pupuk, telah menyebabkan pasar
pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar nonsubsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem
pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Langka pasok dan lonjak
harga juga terjadi akibat perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain
dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi).

3.

Terjadi pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana. Pertama,
pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam
perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan

15

pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak
petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg/ha. Penggunaan
pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea
merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya
seperti SP36 dan KCl hanya merupakan pupuk pelengkap. (Adnyana dan
Kariyasa, 2000).Sehingga seringkali dijumpai banyak petani yang tidak
menggunakan pupuk KCl di samping karena harganya memang relatif mahal.
Kedua, pemilikan lahan yang sempit (< 0.3 ha) juga menyebabkan
penggunaan pupuk kalau dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat
tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman
komoditas pangan (padi). Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan
Departemen Pertanian yang merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan
Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya,
sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan.
Keempat, adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan pola tanam.
Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi dua kali,
ketika begitu masih ada persediaan air yang mencukupi pada gadu dua (MK
II) petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan
permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada tanaman hortikultura juga sangat
sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak
pasti dan selalu berubah-ubah sesuai permintaan pasar. Kelima, terjadi
penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi.
Jadi, pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi pupuk yang pada intinya untuk
kesejahteraan petani serta kesinambungan usahataninya, masih terkendala pada
ketidaktepatan azas enam tepat di lapangan dan sistem distribusi pupuk yang
masih belum teratur dan konsisten. Maka perlu kebijakan subsidi pupuk ini
diperbaiki lagi dari enam variable kendala dan peta masalah yang terjadi selama
ini ditemukan dilapangan.
2.5 Kebijakan Perluasan Lahan Jagung
Tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah
dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada
lingkungan fisik dan sosial ekonomi yang sangat beragam. Jagung dapat ditanam
16

pada lahan kering, lahan sawah, lebak, dan pasang-surut, dengan berbagai jenis
tanah, pada berbagai tipe iklim, dan pada ketinggian tempat 0–2.000 m dari
permukaan laut. Selama periode 2001-2006, rata-rata luas areal pertanaman
jagung di Indonesia sekitar 3,35 juta ha/tahun dengan laju peningkatan 0,95% per
tahun. Luas areal pertanaman jagung menduduki urutan kedua setelah padi sawah.
Jika dibandingkan dengan komoditas lain, luas pertanaman jagung hanya 0,32 kali
dari luas pertanaman padi, dan 5,32 kali luas pertanaman kedelai.
Produktivitas jagung di Indonesia masih sangat rendah, baru mencapai 3,47
t/ha pada tahun 2006, namun cenderung meningkat dengan laju 3,38% per tahun.
Masih rendahnya produktivitas menggambarkan bahwa penerapan teknologi
produksi jagung belum optimal. Dalam periode 1990- 2006, produksi jagung ratarata 9,1 juta ton dengan laju peningkatan 4,17% per tahun. Terindikasi bahwa
peningkatkan produksi jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh perbaikan
produktivitas daripada peningkatan luas panen (laju peningkatan 0,96%). Jagung
dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi Mink et al. (1987)
menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat di lahan
kering, 11% terdapat di lahan sawah irigasi, dan 10% di sawah tadah hujan. Saat
ini data tersebut telah mengalami pergeseran. Berdasarkan estimasi Kasryno
(2002), pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan
meningkat berturut-turut menjadi 10-15% dan 20-30%, terutama di daerah
produksi jagung komersial.
Produktivitas jagung Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara kawasan Asia Tenggara lainnya. Padahal, Indonesia memiliki lahan lebih
luas di antara negara lainnya. Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika
Serikat (United States Department of Agriculture), pada saat ini produktivitas
tanaman jagung di Indonesia hanya mencapai 4,1 ton per hektare. Indonesia kalah
dibandingkan dengan Thailand 4,3 ton/ha, Vietnam 4,4 ton/ha, dan China 5,2
ton/ha. Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina 2,8 ton/ha.
Amerika merupakan negara pemimpin produktivitas tanaman jagung dunia yang
mencapai 9,5 ton/ha, kemudian diikuti oleh Argentina 7,5 ton/ha dan negara yang
tergabung dalam Uni Eropa rata-rata 6,2 ton/ha. Padahal Indonesia memiliki lahan

17

lebih luas, yakni 3,1 juta hektare, dibandingkan dengan Thailand 1 juta hektare,
Vietnam 1,2 juta hektare, dan Filipina 2,6 juta hektare.
China dan India merupakan pemilik lahan terluas di Asia Pasific yang masingmasing mencapai 36 juta hektare dan 9,4 juta hektare. Head of Asia Pasific Corn
Syngenta Hardeep Grewal mengungkapkan masalah penggunaan teknologi dan
pemilihan benih masih menjadi kendala peningkatan produktivitas jagung di
negara kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Faktor lainnya adalah karena
produktivitas jagung di negara kawasan Asia Pasifik tidak sebanding dengan
konsumsi. Hal ini terlihat dalam satu dekade terkahir produktivitas tumbuh 38%
dari rata-rata 3,7 ton/ha menjadi 5,1 ton/ha. Sedangkan konsumsi melonjak 77%
yang terdorong oleh kebutuhan biofuel, sehingga konsumsi saat ini terdiri dari
makanan ternak 60%, makanan manusia 30%, dan biofuel 10%. Namun,
konsumsi dengan produksi masih terpenuhi dengan rasio konsumsi 23 juta ton dan
produksi 26 juta ton.
Pemerintah berusaha terus mengurangi ketergantungan impor sejumlah
komoditas pertanian sebagai salah satu upaya mencapai kemandirian pangan.
Jagung, sebagai salah satu komoditas pertanian penting, saat ini pemenuhan
kebutuhannya masih dilakukan dengan mengimpor. Ketergantungan terhadap
impor ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Salah satu
solusinya adalah menambah luas areal tanam.

Tabel 6. Luas Panen Jagung Tahun 2006 -2015

18

Sumber : Kementrian Pertanian, 2016
Dilihat dari tabel 6, diketahui bahwa luas panen jagung sebetulnya meningkat
secara umum, namun, di beberapa daerah khsusnya Provinsi Kalimantan, luas
areal panen jagung mengalami penuruana. Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian
Pertanian (Kementan), Sembiring, menargetkan tambahan luas tanam tahun 2016
dapat mensubsitusi kebutuhan jagung yang tahun lalu impornya mencapai 3,2 juta
ton. Pada 2017, impor komoditas jagung diharapkan dapat mencapai nol.
Kementan menganggarkan fasilitas penambahan luas tanam jagung hingga 2,2

19

juta hektare. Artinya, di penghujung tahun akan ada sekitar 8,8 juta ton tambahan
produksi jaung dari perluasan tanam.
Kementan mentargetkan Indonesia swasembada jagung paling lambat 2018.
Bahkan, jika program perluasan areal tanam dan harga jagung stabil, tahun 2017
tak perlu mengimpor jagung. Proyeksi permintaan jagung pada 2017 sekitar 21
juta ton. Sedangkan sasaran produksi 2017 ditetapkan 25,2 juta ton, sehingga ada
surplus sekitar 4 juta ton untuk kontingensi. Daerah sentra produksi antara lain
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Kementan juga terus
meningkatkan indeks pertanaman di daerah yang biasa tanam jagung sekali
menjadi dua kali. Lahan jagung secara nasional 4 juta hektar, dengan Indeks
Pertanaman (IP) sebesar 200-300 (2-3 kali tanam) dalam setahun, maka total luas
panen jagung secara nasional 12-14 juta hektar per tahun. Produksi jagung akan
naik pada 2016 sekitar 10-15 % atau 2 jutaan ton, sehingga produksi tahun ini
totalnya sekitar 24-25 juta ton.
Pengembangan jagung melalui perluasan areal diarahkan pada lahan-lahan
potensial seperti sawah irigasi dan tadah hujan yang belum dimanfaatkan pada
musim kemarau, dan lahan kering yang belum dimanfaatkan untuk usaha
pertanian. Berdasarkan penyebaran luas sawah dan jenis irigasinya, potensi
pengembangan areal jagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP) pada
lahan sawah diperkirakan 457.163 ha, dengan rincian: (a) 295.795 ha di Sumatera
dan Kalimantan, (b) 130.834 ha di Sulawesi, dan (c) 30.534 ha di Bali dan Nusa
Tenggara (Tabel 2). Luas lahan kering yang sesuai dan belum dimanfaatkan untuk
usahatani jagung adalah 20,5 juta ha, 2,9 juta ha di antaranya di Sumatera, 7,2 juta
ha di Kalimantan, 0,4 juta ha di Sulawesi, 9,9 juta ha di Maluku dan Papua, dan
0,06 juta ha di Bali dan Nusa Tenggara. Potensi tersebut jauh lebih besar dari luas
areal pertanaman jagung saat ini. Namun potensi aktual yang diperuntukkan bagi
pengembangan jagung perlu ditetapkan, sebab lahan tersebut juga menjadi sasaran
pengembangan komoditas lainnya (perkebunan, hortikultura, pangan lainnya).
Selain melalui perluasan lahan, Kementan juga memberlakukan pengetatan
impor jagung sejak awal tahun. Kebijakan ini dinilai menguntungkan produsen
benih kendati di sisi lain memukul produsen pakan ternak. Menjelang panen raya,

20

Kementan menahan 353.000 ton jagung impor bahan baku pakan ayam di
pelabuhan Januari lalu. Akibatnya, harga pakan melesat karena kekurangan
pasokan bahan baku yang selanjutnya memicu kenaikan harga daging ayam di
pasaran. Di sisi lain, pemerintah mematok harga jagung di tingkat petani sebesar
Rp3.150 per kg. Sebelumnya, pemerintah menetapkan harga pembelian jagung
sebesar Rp3.150/kg di tingkat petani untuk menggairahkan semangat menanam
komoditas pangan tersebut sehingga mendorong peningkatan produksi nasional.
Menteri Pertanian menetapan harga pembelian jagung dituangkan dalam
Peraturan Presiden (Perpres).
Tabel 7. Potensi Perluasan Areal Tanam
Pertanaman (IP) Di Lahan Sawah
Sawah
Daerah
Irigasi
Tanam
Tanam
Padi 1x
Padi 2
(Ha)
kali (Ha)
Jawa,
Kecil
Kecil
sumater
91.599 x
82.376 x
a
(20% x
(10% x
Sulawe
30.474
74.488
si
(25%
x
(15%
Bali
13.224 x
10.891xx
dan
(10% x
(5% x
Indone
135.297
167.755
sia

Jagung dengan Peningkatan Indeks
Sawah
Hujan
Tanam
Padi 1
kali (Ha)
Kecil
98.249 x
(15%
23.816
(10%
6.419 xx
(10% x
128.484

Tadah
Tanam Padi
2 kali (Ha)
Kecil
23.571 x
(10% x
2.056 x (5%
x0 41.135)
x (0% x
4.191)
25.627

Juml
ah

295.7
95
130.8
34
30.53
4
457.1
63

Sumber :Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

Perluasan areal tanam diarahkan ke luar Jawa pada lahan sawah selama musim
kemarau yang tidak ditanami padi dan lahan kering. Hingga 2015 akan terjadi
tambahan areal panen sekitar 457.163 ha (Tabel 5). Karena itu, penambahan luas
areal tanam lebih difokuskan pada lahan sawah setelah padi (peningkatan IP).
Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan investasi yang lebih murah (tidak
membuka lahan), produk yang akan diperoleh lebih bermutu, dan harga akan lebih
baik karena pasokan jagung kurang pada musim kemarau. Daerah/lokasi produksi
ditetapkan melalui analisis daya saing komoditas, kecukupan air irigasi
(permukaan atau air tanah), dan ketersediaan tenaga kerja. Selama 2015-2025,
pengembangan areal tanam (minimal 974.490 ha) difokuskan kepada lahan kering
di luar Jawa.

21

Dalam kaitan ini pewilayahan komoditas diperlukan, sebab areal yang sama
juga berpeluang dikembangkan untuk berbagai komoditas (perkebunan, pangan,
dan hortikultura). Pemanfaatan lahan sawah setelah padi (musim kemarau) perlu
diarahkan pada lahan yang ketersediaan air irigasinya memadai, baik dari air
permukaan maupun air tanah. Untuk memanfaatkan air tanah, pembuatan sumur,
dan penyediaan pompa perlu direncanakan. Pewilayahan komoditas pada lahan
kering perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih rencana penggunaan
lahan dengan komoditas lain. Agar sistem produksi jagung pada lahan kering
dapat berkelanjutan, aspek konservasi lahan perlu mendapat perhatian. Daerahdaerah yang baru dibuka memerlukan dukungan pembangunan infrastruktur
(jalan, transportasi), kelembagaan sarana produksi, alsintan, dan permodalan.
2.6 Kebijakan Fiskal
Komoditas pertanian sangat penting dan strategis karena menyangkut
kebutuhan dasar manusia. Teori Piramida Maslow menyatakan bahwa kebutuhan
fisiologis manusia termasuk pangan merupakan kebutuhan paling mendasar yang
harus dipenuhi (Goble,1987). Jagung (Zea mays) merupakan salah satu komoditi
strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan
karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah
beras. Jagung tidak saja digunakan untuk bahan pangan tetapi juga untuk pakan
ternak. Proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan ternak telah mencapai
lebih dari 50 persen dari total kebutuhan nasional (Utomo,2012).
Untuk subsektor tanaman pangan, jagung adalah kontributor terbesar kedua
setelah padi. Sumbangan jagung terhadap PDB terus meningkat setiap tahun
sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung terhadap
perekonomian Indonesia sebesar Rp 9.4 triliun dan pada tahun 2003 meningkat
tajam menjadi Rp 18.2 triliun (Tangendjaja, dkk, 2005). Dalam 20 tahun ke depan,
penggunaan jagung untuk pakan diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah
tahun 2020 lebih dari 60 persen dari kebutuhan nasional (Ditjen Tanaman Pangan,
2006).
Seiring dengan terus meningkatnya jumlah populasi di dunia yang tidak
diimbangi dengan kenaikan penyediaan bahan pangan karena produktifitas
pertanian pangan yang meningkat lebih lambat mengakibatkan ketahanan pangan

22

global berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menyebabkan
harga komoditas pertanian di dunia terus meningkat. Harga komoditas yang
sangat fluktuatif dan cenderung meningkat akhir-akhir ini sangat dipengaruhi oleh
harga internasional, dimana lonjakan harga pangan dunia saat ini sudah berada di
posisi tertinggi di tingkat indeks 214,8. Berdasarkan data FAO food prices index
yang dihitung dari rata-rata tertimbang 55 jenis komoditas perdagangan
internasional, FAO dan Bank Dunia telah memperingatkan bahwa risiko iklim
yang tidak pasti dan kondisi geopolitik di dunia dapat mengakibatkan instabilitas
produksi pangan dan berpotensi menimbulkan kenaikan harga komoditas pangan
ke depan (Sujai, 2011).
Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Di lain pihak negara pengekspor jagung terbesar
di dunia seperti Amerika Serikat sudah mengurangi ekspor jagungnya karena
digunakan untuk bahan baku ethanol. Demikian pula halnya dengan China yang
dulu merupakan negara pengekspor jagung, sekarang sudah menghentikan
ekspornya guna memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya sehingga
mendorong harga jagung semakin tinggi (Utomo,2012).
Berkaitan dengan gejolak harga komoditas pertanian saat ini, Pemerintah
Indonesia dapat mengambil peran yang sangat penting dalam upaya stabilisasi
harga melalui kebijakan fiskal. Kebijakan yang diambil dapat berupa pajak
termasuk bea masuk dan bea keluar, maupun dalam bentuk subsidi yang
merupakan negative tax. Berkaitan dengan kebijakan fiskal yang diambil
pemerintah dalam upaya stabilisasi harga komoditas pertanian, ada sejumlah
permasalahan yang dihadapi, antara lain: (i) fluktuasi harga komoditas pertanian
sangat dipengaruhi oleh kondisi yang berada diluar control pemerintah atau
bahkan manusia sekalipun seperti kondisi iklim ekstrim dan kondisi geopolitik di
dunia internasional, (ii) harga beberapa komoditas pertanian seperti gandum, beras
dan jagung telah diperdagangkan di bursa komoditas sehingga tidak hanya kondisi
riil supply demand yang mempengaruhi, tetapi faktor spekulasi dan profit taking
juga sangat menentukan, (iii) kebijakan fiskal berupa pajak, tarif dan subsidi
merupakan instrumen yang sangat distortif terhadap perekonomian, sehingga

23

kebijakan yang diambil pasti akan berpengaruh baik positif maupun negative
terhadap sektor lain (Saptono,1998).
Dampak terbesar akibat kenaikan harga pangan ini adalah meningkatnya
inflasi sehingga memberatkan masyarakat di Indonesia terutama masyarakat
miskin. Namun harga komoditas pertanian yang rendah juga kurang baik karena
akan sangat merugikan petani. Karena itu perlu dicari keseimbangan harga
komoditas pertanian sehingga tidak terlalu tinggi yang memberatkan konsumen
dan tidak terlalu rendah yang merugikan petani. Pemerintah selaku regulator
mempunyai berbagai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur sektor
pertanian yang salah satunya adalah menentukan kebijakan fiskal. Kebijakan
fiskal dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui
pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah (www.wikipedia.org).
Selain kebijakan fiskal, terdapat pula kebijakan moneter yang bertujuan untuk
menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah
uang beredar. Kedua kebijakan tersebut harus berjalan beriringan dan simultan
dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional. Instrumen utama kebijakan
fiskal adalah pengeluaran pemerintah dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi
pajak serta pengeluaran pemerintah dapatmempengaruhi variabel-variabel seperti
permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi, pola persebaran sumber daya
dan distribusi pendapatan yang akan sangat mempengaruhi perekonomian
(www.wikipedia.org).
Dalam menjalankan perekonomian suatu negara, kebijakan fiskal mempunyai
peranan yang sangat penting. Beberapa fungsi dan kegunaan kebijakan fiskal
antara lain adalah untuk memobilisasi sumber daya seperti meningkatkan
investasi, menyediakan infrastruktur dan pengelolaan energi. Kegunaan lain dari
kebijakan fiskal adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada
akhirnya

akan

mengurangi

tingkat

pengangguran

dan

kemiskinan

(Restrepo,2011).
Selain itu, kebijakan fiskal dapat pula digunakan untuk menstabilkan harga,
karena kebijakan ini dapat mempengaruhi efek inflasi atau deflasi dalam suatu
perekonomian, seperti operasi pasar, penerapan pajak dan subsidi. Yang tak kalah
penting dari

fungsi

kebijakan fiskal

adalah

sebagai

instrumen

untuk

24

meminimalkan ketidak merataan pendapatan dan kekayaan masyarakat, sehingga
ada fungsi distribusi dan alokasi dalam sebuah kebijakan fiskal yang diambil
antara lain pengenaan pajak kepada orang kaya dan pemberian subsidi kepada
orang miskin (Restrepo,2011). Berkaitan dengan gejolak harga komoditas
pertanian saat ini, Pemerintah Indonesia dapat mengambil peran yang sangat
penting dalam upaya stabilisasi harga melalui kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal lain yang diambil Pemerintah dalam upaya stabilisasi harga
komoditas pangan adalah dengan memberikan insentif fiskal baik berupa
keringanan pajak, pajak ditanggung Pemerintah maupun dalam bentuk kebijakan
tarif dan bea masuk. Sementara itu, untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga
pangan, Pemerintah tetap berkomitmen untuk terus melanjutkan kebijakan
pemberian insentif perpajakan diantaranya berupa kebijakan penyesuaian 57 pos
tarif bea masuk atas biji gandum, bahan baku ternak, pupuk, produk pangan dan
bahan baku pangan menjadi nol persen sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri

Keuangan

Nomor

13/PMK.011/2011.

PMK

tersebut

mengatur

harmonisasi tarif bea masuk sehingga harga komoditas pangan di dalam negeri
menjadi lebih murah dan lebih terjangkau masyarakat. Kebijakan ini juga
dimaksudkan untuk menekan inflasi yang cenderung terus meningkat.
Berbagai kebijakan fiskal yang diambil terkait dengan keringanan pajak dan
penurunan bea masuk bukan berarti Pemerintah tidak memperhatikan produksi
dalam negeri dan ketahanan pangan domestik. Pemerintah selain berupaya
menstabilkan harga pangan domestik, juga terus berupaya untuk meningkatkan
produksi pertanian dalam negeri dengan berbagai kebijakan. Kebijakan lain yang
dikeluarkan diantaranya bantuan langsung benih unggul dan bantuan langsung
pupuk. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Perpres
No.14 tahun 2011 tentang Bantuan Langsung Benih Unggul dan Bantuan
Langsung Pupuk. Kebijakan ini dikeluarkan guna membantu input petani dalam
produksi pertanian. Pemerintah tetap memberikan Bantuan Langsung Benih
Unggul (BLBU) dan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) kepada petani melalui
kelompok tani yang meliputi benih padi, jagung, dan kedelai dengan total
sebanyak 68,5 ribu ton benih, serta pupuk NPK dan organik dengan total
sebanyak 9,8 juta ton (Sujai,2011).

25

Fluktuasi harga jagung di pasar domestik terkait erat dengan dinamika harga
produk sejenis di pasar internasional, nilai kurs rupiah, dan kebijakan
perdagangan. Penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai dengan siklus
harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai langkah antisipatif
terhadap penurunan harga jagung di pasar internasional dan untuk merangsang
petani dalam meningkatkan produktivitas. Kebijakan proteksi harga hanya efektif
jika ada potensi peningkatan produktivitas, respons harga terhad

Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA SAING PENGRAJIN PERAK DI DESA PULO KECAMATAN TEMPEH KABUPATEN LUMAJANG

44 381 111

ANALISIS KONTRIBUSI MARGIN GUNA MENENTUKAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PRODUK DALAM KONDISI KETIDAKPASTIAN PADA PT. SUMBER YALASAMUDRA DI MUNCAR BANYUWANGI

5 269 94

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

UJI AKTIVITAS TONIKUM EKSTRAK ETANOL DAUN MANGKOKAN( Polyscias scutellaria Merr ) dan EKSTRAK ETANOL SEDIAAN SERBUK GINSENG TERHADAP DAYA TAHAN BERENANG MENCIT JANTAN (Musmusculus)

50 334 24

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

JI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK POLIFENOL BIJI KAKAO Escherichia coli SECARA IN VITRO

6 112 17

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT

2 62 34

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

HUBUNGAN PERHATIAN ORANGTUA DAN MANAJEMEN WAKTU BELAJAR DI RUMAH DENGAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

11 108 89

ANALISIS PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DANAU RAWA PENING KABUPATEN SEMARANG

9 68 121