Pandangan Islam Tentang Filsafat dalam

Kata Pengantar
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya kita masih
diberikan kesehatan. Dan tak lupa kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW.
Makalah yang bertemakan Filsafat Islam dengan judul ”Islam Dalam Memandang Filsafat” dibuat
atas dasar tugas yang diberikan dan merupakan kewajiban untuk menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik.
Pembuatan makalah ini tidak terlepas dari kendala-kendala. Namun, kendala-kendala itu dapat
diatasi dengan baik.
Dengan dibuatnya makalah ini, semoga dapat bermanfaat sehingga menambah cakrawala berpikir
dan pengetahuan pembaca.

Bandung, 15 Desember 2014

Riefky Maulana Tahta Boedhi Perbawa

1

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................3

1.

Latar Belakang Masalah...................................................................................................................3

2.

Rumusan masalah............................................................................................................................3

BAB II...........................................................................................................................................................4
1.

Pengertian Agama............................................................................................................................4

2.

Pengertian Islam..............................................................................................................................5

3.

Pengertian Filsafat.........................................................................................................................14


4.

Sejarah Filsafat Masuk Ke Dunia Islam...........................................................................................15

5.

Pandangan Para Ulama Tentang Filsafat........................................................................................18

6.

Pengertian Ilmu Pengetahuan........................................................................................................21

7.

Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama..................................................................................21

BAB III........................................................................................................................................................24
1.


Kesimpulan....................................................................................................................................24

Daftar Pustaka...........................................................................................................................................26

2

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Melihat sejarah masuknya filsafat ke dunia islam melahirkan kemajuan – kemajuan sains di dunia
islam. Kemajuan – kemajuan sains tersebut diperoleh melalui tokoh – tokoh terkenal seperti Ibnu Sina, Al
– Kindi, Al – karabi, dll. Namun di sisi lain, banyak ulama yang berpendapat bahwa filsafat sangatlah
berbahaya. Filsafat dapat merusak pemahaman dan akidah islam kita, karena dalam filsafat kita hanya
mengedepankan logika saja. Sedangkan ilmu manusia itu terbatas. Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan “ lantas bagaimana cara kita sebagai muslim memandang filsafat?”. Hal tersebut merupakan
rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini.

2. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud agama?
2. Apa yang dimaksud dengan Islam?

3. Apa yang dimaksud dengan filsafat?
4. Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan?
5. Apa hubungan antara agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat?
6. Bagaimana cara kita sebagai muslim memandang filsafat?

3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Agama
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan
makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan
mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama
atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi
tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci.
Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa
atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan,

meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama
juga mungkin mengandung mitologi.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau
kadang-kadang mengatur tugas;[3] Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda
dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" [4] Émile Durkheim
juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal
mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan
bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang
ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari tahun 2005.[5] Rata-rata, wanita
lebih religius daripada laki-laki [6]. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa
prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip
agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.
4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".[10]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang

berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak
terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini
dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu
perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan
keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal
dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan
bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya
menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lainlain.Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara
menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin
berasal dari Tuhan, dan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama
terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan
batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,

bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.

2. Pengertian Islam
Islam (Arab: al-islām, ‫ ) السلم‬adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari
satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua
di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya
kepada Tuhan (Arab: ‫الله‬, Allāh).[4] Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti
"seorang yang tunduk kepada Tuhan, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat
bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para
nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan
rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Aspek kebahasaan
Islam berasal dari kata Arab "aslama-yuslimu-islaman" yang secara kebahasaan berarti
"menyelamatkan", misal teks "assalamu alaikum" yang berarti "semoga keselamatan menyertai kalian
5

semuanya". Islam atau Islaman adalah masdar (kata benda) sebagai bahasa penunjuk dari fi'il (kata
kerja), yaitu "aslama" bermakna telah selamat (kala lampau) dan "yuslimu" bermakna "menyelamatkan"
(past continous tense).


Kata triliteral semitik 'S-L-M' menurunkan beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai
keislaman, yaitu Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian.[7] Kata
Islam lebih spesifik lagi didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna "untuk menerima, menyerah
atau tunduk" dan dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan.[8]

Aspek kemanusiaan
Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari dan penyerahan diri kepada Tuhan, dan penganutnya
harus menunjukkan ini dengan menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme.
Perkataan ini memberikan beberapa maksud dari al-Qur’an. Dalam beberapa ayat, kualitas Islam sebagai
kepercayaan ditegaskan: "Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam..."[9] Ayat lain menghubungkan Islām
dan dīn (lazimnya diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu."[10] Namun masih ada yang lain yang menggambarkan Islam itu sebagai perbuatan kembali
kepada Tuhan-lebih dari hanya penyataan pengesahan keimanan.[11]

Kepercayaan
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin ("dua kalimat persaksian"),
yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" - yang berarti "Saya
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah".

Esensinya adalah prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Adapun bila
seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah
menjadi seorang muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan
lamanya).

Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi terakhir setelah diutusnya Nabi
Isa 6 abad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan
perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental.[12] Mereka
tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan
pembaharu kepercayaan monoteistik yang diturunkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi oleh Tuhan
yang sama. Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen belakangan setelah kepergian para
nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks
dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.[13]

6

Umat Islam juga meyakini al-Qur'an yang disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara
Malaikat Jibril adalah sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah 2:2). Di dalam alQur'an Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman.

Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk beriman dan

meyakini kebenaran kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil
dan suhuf para nabi-nabi yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu sebelum Muhammad.[14] Umat
Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan
oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satusatunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.

Umat Islam meyakini bahwa agama yang dianut oleh seluruh nabi dan rasul utusan Allah sejak masa
Adam adalah satu agama yang sama dengan (tauhid|satu Tuhan yang sama), dengan demikian tentu saja
Ibrahim juga menganut ketauhidan secara hanif (murni) yang menjadikannya seorang muslim.[15][16]
Pandangan ini meletakkan Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama yang
mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut Yahudi dan Kristen sering direferensikan
sebagai Ahli Kitab atau orang-orang yang diberi kitab.

Lima Rukun Islam
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rukun Islam
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang
Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas.[17] Tambahan
dari Lima Rukun, hukum Islam (syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada
hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari hal praktikal
seperti kehalalan, perbankan, jihad dan zakat.[18]


Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah:

Mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah
dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah.
Mendirikan salat wajib lima kali sehari.
Berpuasa pada bulan Ramadan.
Membayar zakat.
Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu.
Enam Rukun Iman
7

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rukun Iman
Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara yaitu:

Iman kepada Allah
Iman kepada malaikat Allah
Iman kepada Kitab Allāh (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf)
Iman kepada nabi dan rasul Allah
Iman kepada hari kiamat
Iman kepada qada dan qadar
Ajaran Islam
Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari empat mazhab yaitu Mazhab Syafi'i, Mazhab
Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki. Islam adalah agama dominan sepanjang wilayah Timur
Tengah atu negara-negara Arab, juga di sebagian besar Afrika Utara, Afrika Barat dan Asia Selatan serta
Asia Tenggara. Komunitas besar juga ditemui di RRT yaitu Muslim Hui dan Muslim Xinjiang Uighur,
Semenanjung Balkan di Eropa Timur dan Rusia. Terdapat juga sebagian besar komunitas imigran Muslim
di bagian lain dunia, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negaranegara Arab,[19] 30% di subbenua India dan 15.6% di Indonesia, negara Muslim terbesar berdasar
populasi.[20]

Allah
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Allah dan Tauhid
Konsep Islam teologikal fundamental ialah tauhid, yaitu kepercayaan tentang keesaan Tuhan. Istilah Arab
untuk Tuhan ialah Ilāh; kebanyakan ilmuwan[butuh rujukan] percaya kata Allah didapat dari
penyingkatan dari kata al- (si) dan ʾilāh' (dewa, bentuk maskulin), bermaksud "Tuhan" (al-ilāh'), tetapi
yang lain menjejakkan asal usulnya dari bahasa Aram Alāhā.[21] Kata Allah juga adalah kata yang
digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan dari ho theos dari Perjanjian
Baru dan Septuaginta. Yang pertama dari Lima Rukun Islam, tauhid dituangkan dalam syahadat
(pengakuan), yaitu bersaksi:

‫لإلهإلاللهمحمدرسوللله‬
Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah
—Syahadat
Konsep tauhid ini dituangkan dengan jelas dan sederhana di dalam al-Qur'an pada Surah Al-Ikhlas yang
terjemahannya adalah:
8

"Dia-lah Allah (Tuhan), Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
—Surah Al-Ikhlas
Nama "Allah" tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan dengan jenis kelamin tertentu. Dalam
Islam sebagaimana disampaikan dalam al-Qur'an dikatakan:

"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan
dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat."
—Asy-Syu'ara' 42:11
Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia
melalui al-Quran :

"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah salat untuk mengingat Aku"
—Ta Ha 20:14
Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat Islam percaya bahwa Tuhan yang
mereka sembah adalah sama dengan Tuhan umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan
Ibrahim. Namun, Islam menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap
Politeisme.

Mengutip al-Qur'an, An-Nisa' 4:71:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan janganlah kamu mengatakan
terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah
dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan (dengan tiupan )
roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu
mengatakan, "Tuhan itu tiga", berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah
Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara."
—An-Nisa' 4:17

9

Dalam Islam, visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dapat dibenarkan, hal ini dilarang karena dapat
berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan, karena Tuhan tidak serupa dengan apapun (AsySyu'ara' 42:11). Sebagai gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama/gelar/julukan Tuhan
(asma'ul husna) yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana terdapat pada al-Qur'an.

Al-Qur'an
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Al Qur'an

Al-Fatihah merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur'an berarti bacaan. Namun walau terdengar merujuk ke
sebuah buku/kitab, ummat Islam merujuk Al-Qur'an sendiri lebih pada kata-kata atau kalimat di
dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya sebagai hasil cetakan.

Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an disampaikan kepada Muhammad melalui malaikat Jibril.
Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M.
Walau Al-Qur'an lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut
Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan.

Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada
Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan
menulis isi Al Qur'an tersebut. Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur'an yang ada
saat ini pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang
berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi
ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu
dimusnahkan untuk keseragaman.[22]

Al-Qur'an memiliki 114 surah , dan sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan tergantung cara
menghitung).[23] Hampir semua Muslim menghafal setidaknya beberapa bagian dari keseluruhan AlQur'an, mereka yang menghafal keseluruhan Al-Qur'an dikenal sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian
ini bukanlah sesuatu yang jarang, dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur'an
diseluruh dunia. Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur'an yaitu lomba membaca Al-Qur'an
dengan tartil atau baik dan benar. Yang membacakan disebut Qari (pria) atau Qariah (wanita).

Muslim juga percaya bahwa Al-Qur'an hanya berbahasa Arab. Hasil terjemahan dari Al-Qur'an ke
berbagai bahasa tidak merupakan Al-Qur'an itu sendiri. Oleh karena itu terjemahan hanya memiliki
10

kedudukan sebagai komentar terhadap Al-Qur'an ataupun bentuk usaha untuk mencari makna AlQur'an, tetapi bukan Al-Qur'an itu sendiri.

Nabi Muhammad S.A.W
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Muhammad dan hadits
Muhammad (570-632 M) adalah nabi terakhir dalam ajaran Islam dimana mengakui kenabiannya
merupakan salah satu syarat untuk dapat disebut sebagai seorang muslim (lihat syahadat). Dalam Islam
Muhammad tidak diposisikan sebagai seorang pembawa ajaran baru, melainkan merupakan penutup
dari rangkaian nabi-nabi yang diturunkan sebelumnya.

Terlepas dari tingginya statusnya sebagai seorang Nabi, Muhammad dalam pandangan Islam adalah
seorang manusia biasa. Namun setiap perkataan dan perilaku dalam kehidupannya dipercayai
merupakan bentuk ideal dari seorang muslim. Oleh karena itu dalam Islam dikenal istilah hadits yakni
kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad. Hadits adalah
teks utama (sumber hukum) kedua Islam setelah Al Qur'an.

Sejarah
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Islam
Masa sebelum kedatangan Islam
Jazirah Arab sebelum kedatangan agama Islam merupakan sebuah kawasan perlintasan perdagangan
dalam Jalan Sutera yang menghubungkan antara Indo Eropa dengan kawasan Asia di timur. Kebanyakan
orang Arab merupakan penyembah berhala dan ada sebagian yang merupakan pengikut agama-agama
Kristen dan Yahudi. Mekkah adalah tempat yang suci bagi bangsa Arab ketika itu, karena di sana terdapat
berhala-berhala agama mereka, telaga Zamzam, dan yang terpenting adalah Ka'bah. Masyarakat ini
disebut pula Jahiliyah atau dalam artian lain bodoh. Bodoh di sini bukan dalam intelegensianya namun
dalam pemikiran moral. Warga Quraisy terkenal dengan masyarakat yang suka berpuisi. Mereka
menjadikan puisi sebagai salah satu hiburan disaat berkumpul di tempat-tempat ramai.

Masa awal

Negara-negara dengan populasi Muslim mencapai 10% (hijau dengan dominan sunni, merah dengan
dominan syi'ah) (Sumber - CIA World Factbook, 2004).
Islam bermula pada tahun 611 ketika wahyu pertama diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu
Muhammad bin Abdullah di Gua Hira', Arab Saudi.

11

Muhammad dilahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (571 masehi). Ia dilahirkan di
tengah-tengah suku Quraish pada zaman jahiliyah, dalam kehidupan suku-suku padang pasir yang suka
berperang dan menyembah berhala. Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim, sebab ayahnya
Abdullah wafat ketika ia masih berada di dalam kandungan. Pada saat usianya masih 6 tahun, ibunya
Aminah meninggal dunia. Sepeninggalan ibunya, Muhammad dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib
dan dilanjutkan oleh pamannya yaitu Abu Talib. Muhammad kemudian menikah dengan seorang janda
bernama Siti Khadijah dan menjalani kehidupan secara sederhana.

As-Sabiqun al-Awwalun
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: As-Sabiqun al-Awwalun
Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia mulai mendapatkan wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril, dan
sesudahnya selama beberapa waktu mulai mengajarkan ajaran Islam secara tertutup kepada para
sahabatnya. Setelah tiga tahun menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi, ia akhirnya
menyampaikan ajaran Islam secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekkah, yang mana sebagian
menerima dan sebagian lainnya menentangnya.

Pada tahun 622 Masehi, Muhammad dan pengikutnya berpindah ke Madinah. Peristiwa ini disebut
Hijrah, peristiwa itu menjadi dasar acuan permulaan perhitungan kalender Islam. Di Madinah,
Muhammad dapat menyatukan orang-orang anshar (kaum muslimin dari Madinah) dan muhajirin (kaum
muslimin dari Mekkah), sehingga umat Islam semakin menguat. Dalam setiap peperangan yang
dilakukan melawan orang-orang kafir, umat Islam selalu mendapatkan kemenangan. Dalam fase awal ini,
tak terhindarkan terjadinya perang antara Mekkah dan Madinah.

Keunggulan diplomasi nabi Muhammad pada saat perjanjian Hudaibiyah, menyebabkan umat Islam
memasuki fase yang sangat menentukan. Banyak penduduk Mekkah yang sebelumnya menjadi musuh
kemudian berbalik memeluk Islam, sehingga ketika penaklukan kota Mekkah oleh umat Islam tidak
terjadi pertumpahan darah. Ketika Muhammad wafat, hampir seluruh Jazirah Arab telah memeluk
agama Islam.

Khalifah Rasyidin
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khulafaur Rasyidin
Khalifah Rasyidin atau Khulafaur Rasyidin memilki arti pemimpin yang diberi petunjuk, diawali dengan
kepemimpinan Abu Bakar, dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abu Thalib. Pada masa ini umat Islam mencapai kestabilan politik dan ekonomi. Abu Bakar
memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam dan mengatasi pemberontakan beberapa suku-suku
Arab yang terjadi setelah meninggalnya Muhammad. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin
Abu Thalib berhasil memimpin balatentara dan kaum Muslimin pada umumnya untuk mendakwahkan
12

Islam, terutama ke Syam, Mesir, dan Irak. Dengan takluknya negeri-negeri tersebut, banyak harta
rampasan perang dan wilayah kekuasaan yang dapat diraih oleh umat Islam.

Masa kekhalifahan selanjutnya
Setelah periode Khalifah Rasyidin, kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan dengan
pemimpinnya yang juga disebut "khalifah", atau kadang-kadang disebut "amirul mukminin", "sultan",
dan sebagainya. Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di
kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga
banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah,
hingga Bani Utsmaniyyah yang kesemuanya diwariskan berdasarkan keturunan.

Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik yang terkuat dan
terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains,
dan tata bahasa Arab di berbagai wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan
Islam yang agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai negeri-negeri Islam,
terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13 masehi.

Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai
sejak abad ke-8, menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang berbentuk
"kesultanan"; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan
Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki
kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia. Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanankesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari
kekhalifahan Islam.

Pada kurun ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa.
Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam
terakhir, akhirnya tumbang selepas Perang Dunia I. Kerajaan ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan
Muhammad V. Karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa
Kemal Pasha atau kemal attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.
Demografi

Masjid Quba di Madinah, Arab Saudi.
Saat ini diperkirakan terdapat antara 1.250 juta hingga 1,4 miliar umat Muslim yang tersebar di seluruh
dunia. Dari jumlah tersebut sekitar 18% hidup di negara-negara Arab, 20% di Afrika, 20% di Asia
Tenggara, 30% di Asia Selatan yakni Pakistan, India dan Bangladesh. Populasi Muslim terbesar dalam satu

13

negara dapat dijumpai di Indonesia. Populasi Muslim juga dapat ditemukan dalam jumlah yang signifikan
di Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Eropa, Asia Tengah, dan Rusia.

Pertumbuhan Muslim sendiri diyakini mencapai 2,9% per tahun, sementara pertumbuhan penduduk
dunia hanya mencapai 2,3%. Besaran ini menjadikan Islam sebagai agama dengan pertumbuhan
pemeluk yang tergolong cepat di dunia. [1]. Beberapa pendapat menghubungkan pertumbuhan ini
dengan tingginya angka kelahiran di banyak negara Islam (enam dari sepuluh negara di dunia dengan
angka kelahiran tertinggi di dunia adalah negara dengan mayoritas Muslim [2]. Namun belum lama ini,
sebuah studi demografi telah menyatakan bahwa angka kelahiran negara Muslim menurun hingga ke
tingkat negara Barat.

3. Pengertian Filsafat
Falsafah berasal dari bahasa yunani yaitu dati kata philosophia. philo atau berarti cinta shopia berarti
pengetahuan, kebijaksanaan. Philosopia artinya cinta kebijaksanaan.
Menurut riwayat, istilah Philosopos pertama kali digunakan oleh Pytagoras (abad ke 6 SM). Tetapi istilah
falsafah dan failasuf (Philosophia dan philosophos) itu sendiri baru menjadi popurer dan lazim dipakai
pada masa Socrates dan Plato (abad ke 5 SM).
Menurut al Farabi falsafah adalah
‫العلمبالموجوداتبماهيموجودة‬
“Ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hekekat yang sbenarnya”.
Menurut Nadim al Jisr falsafah adalah usaha-usaha fikiran untuk mengetahui semua prinsip pertama.
Menurut Plato Filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang
kebenaran yang asli. Sedangkan menurut Aristoteles Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengikuti
kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik,
dan estetika. Dan menurut Imanuel Khant Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pangkal dari
semua pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah efistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Pada asalnya istilah filsafat atau filosof adalah istilah yang diberikan kepada orang yang mencintai
dan mencari hikmah. Kemudian istilah tersebut dikenal di kalangan mayoritas manusia dan ulama
penamaan yang khusus bagi orang orang keluar dari agama yang dibawa oleh para nabi dan hanya
berpegang dengan akal atau logika semata (para pengkultus akal). Dan lebih khusus lagi istilah ini di
kalangan orang-orang belakangan dikenal sebagai penamaan yang diberikan kepada pengikut Aristoteles.
Sejarawan muslim terkemuka Ibn Khaldun di dalam kitabnya Muqaddimah menyebutkan satu sub
pembahasan dengan judul; ‘Ilmu al -Kalâm. Sebelum menjelaskan secara panjang lebar, ia memulai
pembahasan dengan mendefinisikan pengertian dari ilmu kalam yaitu; “Ilmu yang mengandung
argument-argumen aqliyyah untuk membela akidah-akidah imaniyah dan mengandung penolakan

14

terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang akidah menyimpang dari mazhab salaf dan mazhab
Ahlusunnah.
Sejalan dengan definisi di atas ‘Adhud al-Din al-Iji, juga mengetengahkan definisi bahwa Ilmu
kalam adalah; “Ilmu yang memberikan kemampuan untuk menetapkan kaidah-kaidah agama dengan
mengajukan argument- berargumen dan untuk melenyapkan syubhat (keragu-raguan).
Selain itu, Al-Taftazani mendefinisikan ilmu kalam dengan; “Ilmu yang berdasarkan kepada
ka’idah-ka’idah syar’i tentang permasalahan akidah yang di peroleh melalui dalil-dalil yang sampai pada
derajat yaqin.”
Jika ahlul kalam (mutakallimîn) menggunakan akal sebagai sandaran penetapan akidah, maka para
ulama Ahlusunnah bermazhab salaf berpandangan bahwa dalam menetapkan pokok-pokok akidah Islam
seyogyanya menerima penetapan tersebut tanpa campur tangan akal dan ijtihad, namun menerimanya
berdasarkan tauqifiyah. Artinya, ia diterima secara apa adanya sesuai dengan apa Ayang diberitakan
secara outentik dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara posisi akal sebagai alat untuk memahami nash
wajib tunduk kepada khabar tersebut dengan meyakini bahwa nash yang shahîh tidaklah mungkin
bertentangan dengan akal yang sharîh (sehat).

4. Sejarah Filsafat Masuk Ke Dunia Islam
Pengetahuan di bangun atas dasar pengenalan indrawi dan dengan adanya kekuatan rasio. Akan
tetapi, kebenaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebenaran esensi yang tetap karena fungsi esensi
sesuatu dapat memegang cirri – cirri subtansinya yang pokok ketika terjadi perugbahan keadaan. Dari
subtansi tersebut kemudian timbul kebenaran lahiriah yang indrawi dengan rohaniah yang esensi yang di
hubungkan dengan berbagai pendekatan.
Jika kita melihat awan yang menebal itu pertanda akan turun hujan, dan jika ada orang yang sakit ia
harus berobat. Hubungan – hubungan tersebut baru bisa di ketahui setelah mengerti adanya esensi
sesuatu yakni susunan dan ciri – ciri yang khas .jika ia telah mengetahui esensi penyakit dan esensi obat,
ia bisa mengetahui rahasia dan cara kerja obat tersebut terhadap badan yang sakit, dan mengetahui pula
bahwa kedua permasalahan tersebut memiliki hubungan dan keseimbangan yang memungkinkan obat
tesebut bisa menghilangkan rasa sakit dan dapat menyembuhkan si sakit tersebut atas perantara obat.
Pengetahuan inilah yang menjadi empiris manusia.
Akan tetapi, siapakah yang menyembuhkan orang yang sakit? Apakah benar benar obat yang
membuatnya sembuh? Lalu darimana asalnya obat, dan siapa yang mula menciptakannya serta mengapa
bisa menyembuhkan?. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul, tetapi jawabannya belum di temukan.
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan – pertanyaan itu, kemudian lahirlah filsafat yang mencoba
memikirkan secara kontemplatif tentang kebenaran hakiki dari segala sesuatu dan segala sesuatu yang
benar – benar hakiki.[1]
Pertanyaan tidak terhenti di situ, bermula dari mana asal mula penyakit dan obat. Manusia pun
mempertanyakan penggerak semua yang ada di ala mini? Yang tentu dialah yang menyembuhkan
seluruh penyakit dan yang menjadikan sehat juga dari-Nya, demikian pula dengan obat, tentu dialah
yang memilikinya. Dari semua ini kemudian banyaklah orang yunani, Persia, Romawi dan sebaginya
mencari tahu. Dari kesemua itu kemudian muncullah seorang filosof dari agama islam pada abad
pertengahan kemudian mencari jawaban tersebut dari filosofis terkenal “Aristoteles”, ia menerjemahkan
15

dan menghayati apa yang ada pada makna dari isi buku Aristoteles. Yang kemudian hari menimbulkan
perkembangan yang pesat di dunia filsafat.[2]
Filsafat Islam adalah pengetahuan tentang segala yang ada dan harus di buktikan melalui metode atau
cara yang digunakan untuk menyelidiki asas dan sebab suatu benda tersebut[3] berdasarkan pemikiran
agama islam yang sesuai dengan al-quran dan al-hadits. Filsafat islam masuk dan di jumpai kaum
muslimin pada abad ke-8 M/ 2 H melalui filsafat Yunani. Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah
– daerah islam (Siriah, Persia, Mesopotamia dan Mesir) melalui ekspansi Alexander Agung. Alexsander
datang dengan tidak menghancurkan perdaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya ia berusaha
menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini memunculkan pusat – pusat kebudayaan Yunani di
daerah tersebut di antaranya filsafat kemudian pada masa Dinasti Bani Umayyah filsafat mulai
berpengaruh kepada kebudayaan arab. Seiring dengan zaman dan waktu, barulah pada masa Bani
Abbasiyah kebudayaan Yunani berkembang semakin cepat terutama filsafat karena orang – orang Persia
pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahannya. Dan pada zaman Al-Makmun
melakukan penerjemahan naskah – naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam
bahasa arab. Ketersediaan buku – buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim untuk
berkenalan denga ilmu pengetahuan dan filsafat. Dari wilayah – wilayah dari belahan timur tersebut
terutama Baghdad, ilmu filsafat dalam islam mulai berkembang luas.[4]
Pada abad ke-4 H dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa
pemerintahan khalifah Hakam II (350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia Spanyol, filsafat islam belahan
timur baru masuk secara besar – besaran ke dunia islam belahan barat tersebut (Spanyol).
Berkembangnya ilmu filsafat di dunia islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsof terkenal
dari kalangan muslim. Meraka antara lain Al-Kindi, Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu maskawaih,Ibnu Sina, Ibnu
Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd. Mereka memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti
Plato, Aritoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Al-quran dan
Al-hadits Rosulullah SAW.[5]
Al-Kindi
Nama aslinya abu Yusuf bi Ishak al-kindi, ia berasal dari Kindah di Yaman tetapi lahir di kufah di tahun
796 M. orang tuanya adalah Gubernur dari Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke Baghdad dan mendapat
lindungan dari kahlifah Al –Makmun , di sana kemudian ia belajar ilmu pengetahuan dan pemikir islam.
Tidak lama kemudian, Al-Kindi mengalami kemajuan pemikiran islam dan penerjemahan buku asing ke
dalam bahasa arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam – macam ilmu telah dikajinya terutama
filsafat. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan – persoalan filsafat yang rumit dan yang telah
dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik dengan definisi – definisi dan penjelasan kata – kata serta
lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata – kata dari pada menyalami problem – problem filsafat.
[6] Bagi Al-Kindi filsafat merupakan pengetahuan tentang yang benar, di sinilah terlihat persamaan
filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yiang benar dan apa yang baik, filsafat itulah
pula tujuannya.[7]
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah (juz`i) atau mahiah (universal).
Tidak aniah karena tuhan tidak termasuk dalam benda – benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah
pencipta alam. Selain itu, tuhan juga tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah, karena tuhan
tidak merupaka genus atau spesies. Tuhan adalah yang benar pertama dan tunggal, hanya ialah yang
satu, selain dari tuhan mengandung arti banyak. Sesuai dalam paham yang ada dalam islam, tuhan bagi
16

Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Alkindi bukan kekal di zaman lampau tetapi mempunyai permualaan.[8]
Al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Al-Farabi, ia lahir di Wasij suatu desa di Farab tahun 870 M. sejak
kecil, ia suka belajar dna ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah dewasa ia
mulai belajar filsafat dan ilmu logika ke Baghdad, dan ia pula belajar ilmu pengetahuan yang lain.
Al-Farabi adalah seorang filofsof islam yang pertama dengan sepenuh arti kata. Ia telah dapat
menciptakan suatu system filsafat yang lengkap dan memainkan peranan yang penting dalam dunia
islam sehingga ia mendapat gelar “guru kedua” (al-mu`allim ats-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles
yang mendapat gelar “guru pertama” (al-muallim al-awwal). Al-Farabi memiliki gelar tersebut karena
banyak yang berguru kepadanya di antaranya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof – filosof lain yang datang
sesudahnya.

Pada abad pertengahan, Al-Farabi menjadi sangat terkenal, sehingga orang – orang Yahudi banyak yang
mempelajari karangan – karangannya dan di salin ke dalam bahasa ibrani. Sampai sekarang salinnan
tersebut masih tersimpan di perpustakaan – perpustakaan Eropa.[9]
Ibnu Sina
Nama aslinya adalah Abu Ali Husein Ibnu Abdillah Ibnu Sina, ia lahir di Afsyana suatu tempat yang
terletak di dekat Bukhara tahun 980 M. orang tuanya berkedudukan sebagai pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Samani. Semenjak kecil ia telah banyak mempelajari ilmu – ilmu kedokteran,
hokum, filsafat dan lain – lain.
Seiring dengan perkembangannya, Ibnu Sina dalam pemikiran filsafatnya, pemikiran terpenting yang di
hasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya, ada tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang tuhan timbul
akal – akal dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa – jiwa dan dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudna timbul langit – langit.[10]
Ibnu Rusyd
Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, lahir di Codova pada tahun 520 H. ia berasal
dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di
Andalusia. Ayahnya adalahl seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd aljadd” adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas terhadap filsafat Aristoteles. Ia memandang
Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli piker terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak
mungkin bercampur kesalahan, ia juga berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles apabila dipahami sebaik –
baiknya tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa di capai oleh manusia bahkan
perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak
ada orang yang melebihinya. Dari itulah sehingga Ibnu Rusyd berusaha keras untuk menjelaskan
pemikiran – pemikiran Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Oleh
17

karena itu, ia hanya bermaksud mengabidkan hidupnya untuk menjelaskan filsafat Aristoteles dan
pemikiran – pemikirannya yang sukar di pahami.[11]
Ibnu Rusyd menjelaskan filsafat Aristoteles neo-platonisme yang sukar dipahami tersebut. sehingga ibnu
Rusyd terpengaruh dan ia mempunyai aliran filsafat sendiri. Dari alirannya filsafatnya, ibnu Rusyd
mengatakan bahwa tiap muslimmesti percaya pada tiga dasar keagamaan yaitu: adanya tuhan, adanya
rosul dan adanya pembangkitan. Hanya orang yang tidak pada salah satu dari ketiga dasar inilah yang
boleh dicap kafir.[12]
Dengan demikian, filsafat islam berkembang melalui bangsa Yunani pada abad ke-8 M/ 2 H. Kebudayaan
dan filsafat Yunani masuk ke daerah – daerah islam (Siriah, Persia, Mesopotamia dan Mesir) melalui
ekspansi Alexander Agung. Seiring dengan zaman dan waktu, pada masa Bani Abbasiyah kebudayaan
Yunani berkembang semakin cepat terutama filsafat kerana orang – orang Persia pada masa itu memiliki
peranan penting dalam struktur pemerintahannya. Dan pada zaman Al-Makmun melakukan
penerjemahan naskah – naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa
arab. Ketersediaan buku – buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim untuk
berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dari wilayah – wilayah dari belahan timur tersebut
terutama Baghdad, ilmu filsafat dalam islam mulai berkembang luas.
Kemudian pada abad ke-4 H dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa
pemerintahan khalifah Hakam II (350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia Spanyol, filsafat islam belahan
timur baru masuk secara besar – besaran ke dunia islam belahan barat tersebut (Spanyol).
Berkembangnya ilmu filsafat di dunia islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsof terkenal
dari kalangan muslim. Meraka antara lain Al-Kindi, Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu maskawaih,Ibnu Sina, Ibnu
Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd. Mereka memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti
Plato, Aritoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Al-quran dan
Al-hadits Rosulullah SAW.
Dari semua pemikir islam, kebanyakan belajar dari filsafat Aristoteles, oleh karenanya banyak pemikir
islam yang sepaham dengan ajaran Aristoteles dan kemudian di sandarkan pada agama islam.

5. Pandangan Para Ulama Tentang Filsafat
Berikut ini pandangan ulama Ahlusunnah mazhab salaf lainnya tentang disiplin Ilmu Kalam;
a.

Pendapat dari Imam Mazhab yang empat;

1)
Imam Abu Hanifah. Beliau terkenal sebagai imam fiqih yang banyak menggunakan ra’yu dalam
ijtihadnya. Namun demikian, beliau ternyata juga mengkritik istilah-istilah filsafat yang biasa digunakan
dalam Ilmu Kalam seperti; al-‘aradh dan al-ajsam. Beliau pernah ditanya oleh Nuh al-Jami’;
“Apa yang anda katakan tentang istilah-istilah yang dibuat-buat oleh manusia dalam al-‘aradh dan
al-jism ?.” Maka Imam Abu Hanifah menjawab; “Itu adalah istilah-istilah ahli filsafat. Engkau wajib
mengikuti atsar (hadits) dan jalan para salaf al-shâlih, dan engkau wajib menjauhi perkara-perkara yang
diada-adakan dalam agama karena ia adalah bid’ah.”

18

2)
Imam Malik. Imam Malik berargumentasi bahwa seandainya ilmu kalam itu memiliki kebaikan,
tentunya para sahabat dan tabi’in sebagai generasi terbaik (hadits; khairul qurûn) sudah
membicarakannya sebagaimana mereka membicarakan hukum dan syari’at.
Pendapat Imam Malik tersebut dinukil berdasarkan sebuah riwayat bahwa Abdurrahman ibn Mahdi
berkata bahwa ia menamui Imam Malik dan disisinya ada seorang lelaki bertanya, maka beliau
menjawab; “Barangkali engkau termasuk sahabatnya Amr ibn Ubaid (al-Mu’tazili). Semoga Allah
melaknat Amr, karena ia membuat-buat bid’ah kalam ini. Seandainya kalam itu sebuah ilmu tentu para
sahabat dan tabi’in telah membicarakannya sebagaimana mereka membicarakan hukum dan syari’at.”
Imam Malik juga pernah memberikan pernyataan; “Kalam dalam agama Allah aku benci. Dan senantiasa
penduduk negeri kami membenci kalam dan melarangnya.”
3). Imam al-Syafi’i. Beliau adalah ulama Ahlusunnah yang terkenal sangat keras fatwanya kepada para
penikmat filsafat termasuk di dalamnya mutakallimîn. Beliau pernah berkata; “Jika seseorang diuji oleh
Allah dengan semua dosa yang dilarang oleh Allah selain syirik, maka itu lebih baik baginya daripada diuji
denga kalam. Sungguh saya telah mengetahui dari ahli kalam, sesuatu yang saya kira tidak seorang
muslimpun mengatakan hal itu.” Pada kesempatan lain beliau juga berfatwa dengan fatwa yang terkenal
yaitu; “Hukumku untuk ahli kalam adalah mereka dipukuli dengan pelepah kurma dan sandal, diarak di
tengah-tengah masyarakat dan kabilah (keliling kota dan desa), sambil dikatakan; ini adalah balasan
orang yang meninggalkan al-Qur’an dan al-Sunnah dan mengambil Ilmu Kalam.”
4). Imam Ahmad Ibn Hanbal. Pada masa Khalifah Al-Mutawakkil, beliau mengirim surat kepadanya
dengan berkata; “Saya bukan ahli kalam (shâhib al-kalâm) dan saya tidak memandang kalam dalam hal
ini, selain dari kitab Allah dan sunnah rasulnya serta apa yang berasal dari para sahabat atau tabi’in.
Adapun selain itu maka kalam di dalamnya adalah tidak terpuji.”
Jika melihat sikap para ulama Ahlusunnah pada abad ke lima Hijriyah di Bagdad sebagai pusat peradaban
Islam Daulah Abbasiyah, kita akan menemukan banyak diantara mereka yang memberikan kritikan
terhadap pegiat ilmu kalam termasuk pula kepada kalangan Asy’ariyah sebagai faham terdekat dengan
Ahlusunnah itu sendiri. Di dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam menggambarkan keadaan tersebut dan
menyebutkan diantara sikap yang diambil sejumlah ulama seperti Al-Imam Isma’il al-Anshari al-Hawari
dimana ia mengkafirkan kelompok jahmiyah dan memberikan celaan berlebihan terhadap Asy’ariyah.
Demikian halnya dengan ungkapan Al-Imam Muwaffaquddin Ibn Qudamah al-Maqdisi. Beliau turut
memberikan pengingkaran secara tegas kepada kelompok-kelompok yang terlibat dalam ilmu kalam
termasuk Asy’ariyah. Di dalam kitab Al-Munâzharah fî al-Qur’ân beliau menyebutkan; “Kami tidak
mengetahui dalam ahli bid’ah suatu kelompok yang menyembunyikan maqalah dan tidak berani
menampakkannya selain Zanadiqah dan Asy’ariyah.”. Diungkapkan pula oleh tokoh fiqih legendaris dari
mazhab syafi’iyah Al-Imam Abu Hamid Al-Isfiraini al-Syafi’i yang bergelar Al-Syafi’i al-Tsalist (Syafi’i ke
tiga) dari jajaran ulama abad ke 4 Hijriyah. Abu Hasan Al-Karji al-Syafi’i mengungkapkan pendapat Imam
al-Isfiraini ini bahwa; “Sudah dimaklumi bahwa syaikh sangat benci kepada ahli kalam hingga beliau
membedakan ushul fiqih Asy Syafi’i dan Ushul Al-Asy’ari. Hal itu disukai (diambil) dari beliau oleh Abu
Bakar al-Zadzaqani dan ia (kitabnya) itu ada padaku.”
b.

Sejumlah Imam lainnya yang menyebutkan ijma’ (kesepakatan)

19

Setelah penulis menyebutkan pendapat imam yang empat tentang Ilmu Kalam, kini akan penulis
sajikan pula analisa para ulama Ahlusunnah yang menyebutkan adanya ijma’ (kesepakatan) diantara
mereka tentang larangan bergelut dan berkecimpung mempelajari disiplin ilmu ini. Diantaranya;
1)
Imam Ibn Abdil Barr yang dikenal dengan julukan Hâfiz al-Maghrîb Abu Yusuf ibn Abdillah alAndalusi (w. 463 H) berkata; “Ahli Fiqih dan Ahli Hadits dari semua penjuru negeri Islam berijma’ bahwa
ahli kalam adalah ahli ahwa’ (pengikut hawa nafsu) dan zaigh (penyimpangan).”

2)
Imam al-Baghawi al-Syafi’i pengarang kitab yang ma’ruf seperti Ma’âlim al-Tanzîl, Syarh alSunnah, Al-Tahdzîb fî Mazhâb (w. 516 H) berkata; “Para ulama Ahlusunnah telah bersepakat tentang
dilarangnya jidal (perdebatan) dan khusumat (pertengkaran) dalam sifat-sifat Allah, dan bersepakat atas
dilarangnya menyelami Ilmu Kalam dan mempelajarinya.”
Pendapat-pendapat di atas merupakan sebagian pendapat yang penulis sebutkan untuk
memberikan gambaran bahwa disiplin ilmu kalam merupakan disiplin ilmu tersendiri dalam Islam.
Sebagaimana diketahui keberadaan ilmu kalam sendiri mendapatkan banyak kritik dan tanggapan negatif
secara terang-terangan. Bahkan boleh disimpulkan bahwa para ulama Ahlusu