KEBIJAKAN PEMERINTAH daerah TENTANG KONSOLIDASI

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KONSOLIDASI TANAH
SEBAGAI SOLUSI KONFLIK AGRARIA DI SURAKARTA DAN
SUMATERA UTARA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria yang dibimbing oleh :

Muhammad Ridho Wikanarpati
Disusun oleh :

Zakie Muhammad

2302160004

PRODI D III PBB / PENILAI
JURUSAN PERPAJAKAN
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu dan nikmat sehat

kepada saya sehingga saya dapat meyelesaikan penulisan makalah ini tepat waktu. Makalah saya yang
berjudul “Kebijakan Pemerintah tentang Konsolidasi Tanah sebagai Solusi Konflik Agraria di
Surakarta dan Sumatera Utara” membahas tentang Pelaksanaan Konsolidasi Tanah sebagai Penerapan
Reforma Agraria dalam menjadi Solusi Konflik Pertanahan di Surakarta dan Sumatera Utara, serta
efektivitas dan manfaat dari Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di kedua lokasi tersebut.
Dalam penulisan ini saya mendapat banyak bantuan. Oleh karna itu sudah selayaknya saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penulisan makalah
saya, khususnya kepada Bapak Muhammad Ridho Wikanarpati, S.H. M.Kn. selaku dosen mata kuliah
hukum agraria yang telah membimbing saya dalam penulisan makalah ini.
Saya sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan oleh karna itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga kedepannya saya dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi.

Tangerang Selatan, 13 Maret 2017

Penyusun

2

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan ............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5
A. Pengertian Reforma Agraria...........................................................................5
B. Reforma Agraria dalam Perundang-undangan...............................................8
C. Tinjauan Umum mengenai Konsolidasi Tanah sebagai Solusi Konflik
Pertanahan......................................................................................................11
1. Pengertian Konsolidasi Tanah, Redistribusi Tanah, dan Konflik
Pertanahan.................................................................................................11
2. Sejarah Singkat Reformasi Agraria di Indonesia.......................................13
3. Reformasi Agraria dalam Mengurangi Kemiskinan..................................16
4. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah sebagai Penerapan Reformasi Agraria
dan Solusi atas Konflik Pertanahan...........................................................19
1. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Kampung Kragilan, Kelurahan

Kadipiro, Kota Surakarta ....................................................................19
2. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah sebagai Solusi Sengketa Pertanahan
antara PT PUSKOPAD DAM I Bukit Barisan di Kabupaten Asahan
dengan Masyarakat di Desa Perkebunan Sei Balai, Kecamatan Sei

3

Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara..........................................21
5. Manfaat yang dapat dipetik dari Kedua Pelaksanaan Konsolidasi Tanah. 23
BAB III PENUTUP....................................................................................................26
A. Kesimpulan.....................................................................................................26
B. Saran ............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................29

4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konsolidasi tanah merupakan salah satu jenis kebijakan Pemerintah dalam upaya

penataulangan dan pendayagunaan lahan dan tata ruang. Jumlah penduduk yang terus
meningkat, berkurangnya ketersediaan lahan, serta kurangnya antisipasi pemerintah dalam
mengatur tata ruang pasca ledakan penduduk juga menyebabkan munculnya pemukiman
kumuh. Realitanya, banyak dari pemukiman-pemukiman kumuh tersebut berdiri di atas lahan
yang bukan milik mereka, baik lahan milik negara seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta
api, atau bahkan di lahan milik swasta atau perseorangan yang tak ayal menciptakan konflik
sosial dan pertanahan.
Pasal 1 Ayat 1, Peraturan Kepala BPN Nomor 4, Tahun 1991 menjelaskan bahwa
“Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan
penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan
partisipasi aktif masyarakat.”
Konsolidasi tanah merupakan manifestasi prinsip gotong-royong dan penerapan dari
fungsi sosial hak atas tanah . Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 6 UndangUndang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsolidasi tanah telah
sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah dan pelaksanaannya haus mengacu pada Pasal 6
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Dalam Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor : 77/KEP-7.1/III/2012
dijelaskan bahwa Pelaksanaan Redistribusi Tanah dan Konsolidasi Tanah merupakan
perwujudan Praksis Reforma Agraria yang maka dari itu disusun beberapa kegiatan yang

perlu dilaksanakan oleh Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan dan dalam pelaksanaannya
harus mempedomani 6 (enam) prinsip Praksis Reforma Agraria sebagai berikut :
1) Prinsip Keadilan, dengan indikator :
a) Transparansi

1

1. Sosialisasi program kegiatan terkait dengan prosedur, persyaratan, pembiayaan,
dan jangka waktu, hak dan kewajiban peserta;
2. Pengumuman mengenai :
a) Obyek : letak, luas dan batas-batas tanah;
b) Subyek : nama, tempat dan tanggal lahir/umur, alamat, pekerjaan.
b) Tepat Sasaran
1. Subyek/Peserta : petani penggarap, berpenghasilan rendah, berdomisili di
kecamatan lokasi kegiatan;
2. Obyek : Tanah Obyek Landreform dan tanah negara yang akan ditegaskan
sebagai Tanah Obyek Landreform.
c) Skala Prioritas
1. Obyek : tanah pertanian yang sudah ditetapkan sebagai Tanah Obyek
Landreform;

2. Subyek : petani penggarap yang telah berkeluarga.
d) Akuntabel
1. Hasil kegiatan Redistribusi Tanah harus dipastikan benar prosesnya dan benar

2)

substansinya;
2. Menjamin kepastian hukum.
Prinsip Akses Kepada Masyarakat, dengan indikator :
a. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk berinteraksi secara langsung dengan
petugas/pelaksana;
b. Masyarakat memperoleh kemudahan dalam pelayanan pertanahan;
c. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk membentuk kelompok tani;
d. Masyarakat memperoleh kemudahan dalam pelayanan dan informasi baik mengenai
tanahnya dan pemanfaatannya;
e. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk mengajukan pengaduan, dengan

3)

disiapkannya sarana pengaduan di desa lokasi kegiatan.

Prinsip Pencegahan Sengketa, dengan indikator :
a. Tersediannya infrastruktur pelayanan pertanahan (Peta Dasar, CORS, Geo KKP);
b. Keakuratan data subyek dan obyek kegiatan;
c. Semua bidang tanah yang telah memenuhi syarat dapat terdaftar hak atas tanahnya;
d. Terpeliharanya warkah secara tertib dan aman;
e. Terpelihara tanda batas bidang tanah;
f. Dimanfaatkannya tanah secara aktif oleh penerima manfaat.

4)

Prinsip Kesejahteraan dan Kemakmuran, dengan indikator :
2

a. Terbukanya akses kepada sumber-sumber ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan
dan kemakmuran;
b. Menciptakan sumber-sumber ekonomi yang baru untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran;
c. Dapat menjadi sumber-sumber ekonomi baru bagi masyarakat lainnya (menimbulkan
pusat pertumbuhan ekonomi lokal baru);
d. Optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanahnya;

e. Tersambungnya program pemerintah dengan masyarakat yang membutuhkan, sehingga
5)

kegiatan perekonomian desa terbangun dan berkembang.
Prinsip Kemandirian, dengan indikator :
a. Terciptanya kelompok-kelompok tani, koperasi, dan unit usaha yang mandiri;
b. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terutama yang berkaitan
dengan pertanahan;
c. Terbuka dan berkembangnya wawasan masyarakat untuk pemanfaatan potensi
ekonomi dan nilai tanahnya;
d. Terbuka dan berkembangnya wawasan masyarakat untuk meningkatkan potensi

6)

ekonomi kegiatan unggulannya;
e. Terciptanya kemampuan dan ketrampilan individu dan kelompok.
Prinsip Keberlanjutan, dengan indikator :
a. Terciptanya produksi pertanian yang menjamin keberlanjutan ketahanan pangan;
b. Tumbuhnya rasa kebersamaan, harmoni sosial di masyarakat;
c. Terpeliharanya kesuburan tanah sehingga mempertahankan keseimbangan ekosistem;

d. Terbukanya pilihan hidup yang lebih luas bagi generasi berikutnya;
e. Tertatanya lingkungan dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik dan
berkelanjutan, dengan mengintegrasikan penataan ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dalam pelaksanaan programprogram strategis pertanahan, dalam hal ini Redistribusi Tanah dan Konsolidasi Tanah.
Redistribusi Tanah dan Konsolidasi Tanah sebagai pencegahan sengketa seperti yang

dijelaskan pada prinsip ketiga sesuai dengan semangat Reforma Agraria dengan
dimanfaatkannya tanah oleh penerima manfaat atas tanah dalam hal ini okupan yang
menduduki suatu tanah yang hampir pada umumya adalah kalangan kurang mampu dan pada
akhirnya dapat menjadi solusi atas konflik pertanahan. Lalu sejauh manakah Pemerintah
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam menjalankan Peran
Redistribusi Tanah dan Konsolidasi Tanah dalam pencegahan sengketa?

B. Rumusan Masalah
3

1. Bagaimana efektivitas konsolidasi tanah sebagai solusi konflik pertanahan?
2. Apa saja manfaat yang bisa dipetik dalam pelaksanaan konsolidasi tanah sebagai solusi
konflik pertanahan?


C. Tujuan
1. Untuk mengetahui efektivitas konsolidasi tanah sebagai solusi konflik pertanahan.
2. Untuk mengetahui manfaat yang dapat dipetik dalam pelaksanaan konsolidasi tanah
sebagai solusi konflik pertanahan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Reforma Agraria
Reforma Agraria di Indonesia secara etimologi, kata agraria berasal dari kata bahasa
Latin ager yang artinya sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius
meliputi arti : yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanahtanah umum; bersifat rural. Sedangkan kata reform sudah jelas menunjuk pada perombakan,
mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan. Beberapa
definisi reforma agraria yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisakan konsep landreform diartikan
sebagai : ”Pengambil alihan tanah secara paksa, yang biasanya dilakukan oleh
negara, dari pemilik-pemilik tanah yang luas, dengan ganti rugi sebagian. Dan
pengusahaan tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan anatara
manusia dengan tanah dapat tersebar lebih merata dari pada sebelum
pengambilalihan.”
2. Gunawan Wiradi menyatakan bahwa landreform mengacu kepada ”penataan

kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan petani kecil, penyakap
(tenants), buruh tani tak bertanah”, inilah yang dimaksud dengan redistribusi,
yaitu yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani dan
perubahan skala pemilikan. Konsep ini kemudian berkembang, landreform diberi
arti yang mencakup dua macam sasaran yaitu, ”Tenure Reform” yang berarti
sama seperti tersebut diatas, dan ”Tenancy Reform” yaitu perbaikan atau
pembaharuan dalam hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai, dan seterusnya tanpa
harus mengubah distribusi kepemilikan. Dalam pengertian landreform dimasukan
4

juga ”Konsolidasi Tanah” (Land consolidation) yang berarti menyatukan
kepemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar menjadi satu hamparan,
dengan cara tukar menukar, karena terpencarnya tanah itu dianggap tidak efisien
oleh karena perlu dikonsolidasikan.
3. Arie Sukanti Hutagalung mengartikan bahwa landreform adalah : suatu
perubahan yang disengaja dalam suatu sistem land tenure, penguasaan hak-hak
atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah. Selain beberapa
pandangan tersebut diatas dalam kepustakaan agraria sering sekali dijumpai
istilah ”Agrarian Reform” selain istilah landreform. Bahkan kadang- kadang
penggunaan istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menunjuk pada
konsep yang sama. Kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian dalam
diskusi-diskusi yang menyangkut perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan
dalam kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian.
4. A.P.Parlindungan menyatakan kalaulah mau konsekuen dengan ketentuan bunyi
Pasal 1 dan pasal 2 UUPA seharusnya digunakan istilah agrarian reform, dimana
didalamnya terdapat landreform, water reform dan air reform. Dengan demikian
yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia dengan tanahnya saja
tetapi juga dengan air dan ruang angkasa, karena itu dalam konteks UUPA, A.P.
Parlindungan lebih suka menggunakan istilah agrarian reform. Dari uraian
tersebut

A.P.

Parlindungan

secara

tersirat

membedakan

antara land-

reform dengan agrarian reform, dan menyatakan bahwa landreform merupakan
salah satu bagian dari program agrarian reform.
5. Menurut Wiradi (1984), reforma agraria adalah modifikasi berbagai persyaratan
yang dapat mempengaruhi sektor pertanian misalnya berupa kredit, kebijakan
harga, penelitian dan penyuluhan, pengadaan input, koperasi dan lain-lain.
Seluruh komponen tersebut sudah menjadi perhatian kebijakan pemerintah
selama ini, namun karena tidak didahului dengan landreform, maka selain hasil

5

yang dicapai tidak optimal, juga dibarengi oleh ketimpangan penguasaan yang
berimplikasi kepada ketimpangan kesejahteraan, marjinalisasi petani kecil,
urbanisasi yang tidak terkendali dari para buruh tani dan petani sempit, dan lainlain.
6. Menurut Harsono (2003), landreform secara luas meliputi lima program,
yaitu: pelaksanaan pembaruan hukum agraria, penghapusan hak-hak asing dan
konsesi kolonial atas tanah, diakhirinya kekuasaan tuan tanah dan para feodal,
perombakan pemilikan dan penguasaan tanah, serta perencanaan dan penggunaan
sumber daya alam sesuai kemampuannya. Program landreform secara lebih
spesifik

adalah

larangan

larangan tanah absentee,

penguasaan tanah

redistribusi

tanah

melebihi

batas

maksimum,

objek landreform,

pengaturan

pengembalian dan penebusan tanah yang digadaikan, pengaturan tentang bagi
hasil, serta penetapan luas minimum dan pelarangan fragmentasi lahan pada batas
tertentu.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Lipton, landreform mengandung dua makna
yaitu pada suatu sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan
kemudian membagi-bagikan tanah tersebut (kepada perorangan tentunya) dalam unit yang
kecil, dalam hal ini tentunya sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dalam konteks
ini landreform diartikan sebagai distributivist reform. Pada sisi yang lain tanah-tanah yang
telah diambil alih tersebut diusahakan bersama secara kolektif dalam bentuk usaha bersama
seperti

koperasi

atau

usaha

tani

lainnya.

Dalam

pengertian

terakhir

ini landreform mengandung makna colektivist reform.
Pengertian yang lain landreform berarti mengubah dan menyusun kembali tatanan
dan prosedur-prosedur dalam usaha untuk membuat sistem penguasaan tanah itu konsisten
dengan persyaratan-persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi. Pandangan
ini didasari oleh sutu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku (dalam sistem penguasaan tanah)
pada suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak

6

memungkinkan lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan perombakan atau reformasi. Pandangan
ini tentu saja melihat landreform lebih berorientasi pada aspek ekonomi.
Dalam pembaruan agraria tercakup permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi
dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan
regulasi baru sistem pengupahan buruh tani, dan konsolidasi tanah. Dengan kata lain, ada dua
pembaruan yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria, yaitu land tenure reform (hubungan
pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasaan, pola budidaya,
hukum penguasaan, dan lain-lain).

Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agrarian
mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan
dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Terlihat disini, bahwa ada dua bagian pokok yang menjadi
perhatian pembaruan agraria, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan aspek
“penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Penataan penguasaan dan pemilikan tersebut
merupakan kegiatan utama landreform dengan intinya berupa redistribusi tanah.
Pelaksanaan konsep landreform merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap Negara
untuk melakukan perubahan dalam proses pemilikan atas tanah. Oleh karena itu,
pelaksanaan landreform ini berkaitan erat dengan kemauan politik dari suatu Negara. Hal itu
membuat PBB memberikan perhatian yang serius terhadap pelaksanaan landreform di dunia.
World Bank dalam sebuah publikasinya mengenai landreform, juga memberikan pengertian
mengenai berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai masyarakat. Menurutnya,
pola ini ada karena pengaruh berbagai factor, yaitu (1) Sistem dan situasi politik; (2) Struktur
ekonomi; (3) sistem social; (4) sistem hukum; (5) situasi geografi; (6) sistem pertanian; (7) basis
sumber daya nasional masing-masing.

B. Reforma Agraria dalam Perundang-undangan

7

Secara konstitusional pengaturan masalah prekonomian didalamnya termasuk
ekonomi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal tersebut
dapat kita lihat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselengarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip

kebersamaaan,

efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 nampak jelas bahwa dalam rangka meningkatkan
kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan. Ikut campurnya negara dalam urusan
kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan dimaksud mengindikasikan bahwa dalam
konstitusi kita dianut sistem negara welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa
masalah ekonomi, bukan hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar
semata-mata tetapi juga diperlukan peranan negara, terutama yang berkaitan dengan bidangbidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Khusus mengenai pembangunan hukum
agraria dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan : ”Bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai ole negara dan dipergunakan sebesarbesar kemakmuran rakyat.” Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya
termasuk dalam pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. dengan
demikian secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan pertanahan
8

(yang didalamnya terdapat program landreform) di Indonesia telah dimulai sejak indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.
Landreform Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Sebagaimana yang disinggung dimuka, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu
telah dijabarkan lebih lanjut didalam Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 (UUPA), terutama tentang pengertian ”dikuasai negara” yaitu member wewenang
kepada negara untuk :
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

(b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa.

(c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sementara wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Payung bagi pelaksanaan landreform di Indonesia
adalah UUPA (Undang- undang Pokok Agraria, UU No. 5/1960) dan UUPBH (Undangundang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 2/1960). Diperlukan waktu 12 tahun, sejak tahun 1948
ketika panitia persiapan dibentuk, untuk menghasilkan kedua undang-undang tersebut.
Dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria atau yang kita kenal dengan sebutan UUPA
maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena
UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan
kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan
oleh :
(1) Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besar
kemakmuran rakyat
9

(2) Pemilikan/penguasaan tanah yang berkelebihan tidak dibenarkan

(3)Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh
diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan

(4) Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri
tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup
dan prosuktivitas sumber daya alam

(5) Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persayaratan yang ditetapkan.

Wewenang yanng bersumber dari hak menguasai negara meliputi tanah yang sudah dilekati
oleh sesuat hak atau bekas hak perorangan, tanah yang masih ada hak ulayat dan tanah negara.
Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai negara yang meliputi tanah dengan hak perorangan
adalah

bersifat

pasif,

danmenjadi

aktif

apabila

tanah

tersbeut

dibiarkan

tidak

diurus/diterlantarkan. Terhadap tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang/badan hukum
dengan hak apapun dan belum dibuka maka hak menguasai negara bersifat aktif.

Dalam

lingkupnya

dengan

masalah landreform ketentuan

tersebut

diatas

mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah kepemilikan tanah secara
perseorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak tersebut harus memperhatikan kepentingan
masyarakat, dan ini merupakan kewajiban bagi pemegang hak tersebut. Hal ini tentunya
sesuai dengan prinsip-prinsip landreform seagaimana yang tercantum antara lain dalam Pasal
7, 10 dan 17 UUPA.

C. Tinjauan Umum mengenai Konsolidasi Tanah sebagai Solusi Konflik Pertanahan
1. Pengertian Konsolidasi Tanah, Redistribusi Tanah, dan Konflik Pertanahan
1. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 4, Tahun 1991 menjelaskan bahwa
“Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali

10

penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan,

untuk

meningkatkan

kualitas

lingkungan

dan

pemeliharaan

sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.”
2. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah
ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap
yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan
sosial ekonomi rakyat khususnya para petani dengan cara mengadakan pembagian
tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah.
Sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan
merata.
3. Konflik pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya
hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala
kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah
sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata yang
dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah itu
memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan,
Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun
perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus
pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan,
penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan
nasional.
a.

Sengketa Pertanahan.
Sengketa

pertanahan

adalah

perselisihan

pertanahan

antara

orang

perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-

11

politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi
sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat
berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan
pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan
sengketa hak ulayat.
b. Konflik Pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis.
c.

Perkara Pertanahan.
Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya
dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

2. Sejarah Singkat Reformasi Agraria di Indonesia
Usaha-usaha untuk menata ketimpangan penguasaan atas tanah sudah dimulai sejak
awal kemerdekaan dan mendapat perhatian khusus pada masa Demokrasi Terpimpin.
Salah satunya kebijakan pembatasan penguasaan tanah pertanian tertuang dalam UndangUndang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya
disebut UU Landreform) dengan peraturan pelaksanaannya PP nomor 224 tahun 1961
tentang Pelaksanan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi atau yang lebih dikenal
dengan Program Redistribusi Tanah.
Tetapi seiring waktu berjalan situasi politik Indonesia mengalami pergolakan dan
pergatian rezim kepemimpinan langkah-langkah penataan ketimpangan ini terbengkalai.
Apalagi pada awal kekuasaan Orde Baru praktek-praktek mengenai Landreform
diselewengkan maknanya sebagai praktek ideologi komunis sehingga tidak ada lagi yang
mau meneruskannya bahkan untuk membicarakannya.
“Pada masa Orde Baru, UUPA selama kurang lebih 13 tahun di- ‘peti - es” -kan.
Artinya, secara resmi belum dicabut, akan tetapi isinya tidak dilaksanakan sebagaimana
12

mestinya. Sementara itu, pada tahun 1967 lahir tiga undang-undang yang sama sekali
tidak merujuk pada UUPA yaitu UUNo. 1/1967 tentang Penanaman Modal, UU No.
5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, dan UU No. 11/1967 tentang ketentuanKetentuan Pokok Pertambangan.”
Tidak adanya political will dari pemerintahan pada masa itu untuk keberlanjutan
penataan ketimpangan-ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan tidak
adanya koordinasi antar lintas sektor dalam pemanfaatan sumber daya agraria. Hal ini
menyebabkan tumpang tindih kewenangan yang berimbas pada ego sektoral pada masingmasing pengemban amanat perundang-undangan tersebut Orientasi kebijakan masa orde
baru menekankan pada pembangunan sektor ekonomi kuat. Akibatnya tanah dipandang
hanya sebagai komoditas. Hal ini mengakibatkan penguasaan tanah dalam skala besar
oleh segelintir orang dan negara, disisi lain banyak petani kecil terutama di pedesaan
sedikit menguasai tanah (sering disebut petani gurem) dan bahkan tidak menguasai tanah
(tunakisma=landless).
Hal ini tidak sejalan dengan tujuan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi terutama
pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Maka timbul permasalahan agraria yang berimbas pada tingkat kemiskinan. Angka
kemiskinan yang semakin meningkat secara signifikan tidak sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi. “Perkembangan ekonomi yang diarahkan pada mekanisme pasar
akan berdampak semakin tajamnya persaingan dan konflik antara berbagai pihak yang
akan berpengaruh pada akses terhadap tanah. Campur tangan pemerintah berupa
penyediaan perangkat peraturan yang menjamin akses yang adil terhadap tanah sangat
diperlukan mengingat bahwa tanah tidak boleh semata-mata diperlakukan sebagai
komoditas, terlebih apabila hal tersebut berakibat semakin memperkecil peluang bagi
pihak lain untuk memperoleh hak atas tanah dan manfaatnya secara adil.”
Pada tahun 1978 UUPA kembali dilirik oleh pemerintah Orde Baru, tetapi menjadi
menyimpang dalam implementasinya, ketika permasalahan agraria hanya dipandang
sebagai masalah pangan saja. Sehingga melalui kebijakan yang dikenal dengan “Revolusi
Hijau”, target yang ingin dicapai hanya sebatas pada swasembada pangan. “Kesalahan
13

tafsir inilah yang menjelaskan mengapa meski soal pangan sudah bisa diatasi melalui
swasembada pangan, namun konflik agraria bukannya mereda, bahkan malah makin
marak .”
Tidak hanya itu, rezim Orde Baru juga menyisakan utang luar negeri yang berlimpah.
Hal ini menjadi residu dari proses percepatan pembangunan ekonomi yang menjurus ke
perumusan solusi terhadap kesulitan-kesulitan jangka pendek dengan jalan meminjam
modal asing (melalui IMF) yang malah menimbulkan kesulitan-kesulitan jangkap panjang
dimana Indonesia dihadapkan pada tekanan luar negri akibat utang masa lalu.
Memasuki era reformasi dilakukan pembenahan-pembenahan dan pemutahiran semua
perangkat peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi kita UUD 1945 yang telah
di amandemen dengan empat tahap. Sektor agraria juga mendapat perhatian dengan
dikeluarkannya TAP MPR nomor IX/MPR/2011 yang arah kebijakan pembaruan
agrariasecara rinci dapat disampaikan sebagai berikut :
1.

Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi
terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
pembaruan agraria.
2.

Melaksanakan

penataan

kembali

penguasaan,

pemilikan,

penggunaan,

dan

pemanfaatan tanah (Landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat.
3.

Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi pemanfaatan tanah

secara komperhensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
4.

Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang

timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
pembaruan agraria.

14

5.

Memperkuat

kelembagaan

dan

kewenangannya

dalam

rangka

mengemban

pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan
dengan sumber daya agraria yang terjadi.
Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) yang ditugaskan berdasarkan Perpres nomor 10
tahun 2006 dan diganti dengan Perpres nomor 63 tahun 2013 tentan Kelembagan dan
Struktur Badan Pertanahan Nasional mengemban amanah dibidang pertanahan. Dalam
tataran operasional Reforma Agraria di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua) langkah
yaitu:
1.

Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila,

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ).
2.

Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi

masyarakat dan Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik
yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam
penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu Aset Reform
dan Akses Reform.
3. Reforma Agraria dalam Mengurangi Kemiskinan
Sumber daya agraria sebagai kekayaan nasional memiliki keterterkaitan dan melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Maka dari itu permasalahan agraria memang harus
dipandang multi-dimensional, tidak hanya sebagai sarana beraktifitas dan komoditas,
karena berkaitan erat dengan sumber penghidupan bagi keberlanjutan hidup umat
manusia serta llingkungan. Reforma Agraria menjadi penting dilakukan dalam rangka
mewujudkan suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial-ekonomi
masyarakat pedesaan, yang mengacu kepada perubahan dari struktur masyarakat bersifat
agraris-tradisional (feodalistik atau non-kapitalis) menjadi suatu struktur masyarakat
dimana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif melainkan terintegrasi kedalam pilar-pilar
ekonomi lainnya secara nasional, lebih produktif, dan kesejahtraan rakyat meningkat. (J.
Harriss, 1982)
15

Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah
yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai
sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek
reforma agrarian. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi
keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agrarian
adalah tanah terlantar. Menurut Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah
negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria. Dan yang subyek Reforma Agraria
adalah penduduk miskin di perdesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan.
Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang
terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari
daerah lain (perdesaan dan perkotaan).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Reforma Agraria antara
lain dengan pelaksanaan program Pembaruan Agraria Nasional ( dikenal dengan PPAN)
yaitu melakukan pendaftaran dari tanah-tanah yang diredistribusi atau legalisasi aset
(Landreform) sekaligus merangkul stake holder seperti bank perkreditan dalam rangka
pendanaan (access reform) untuk membantu para petani dalam pemanfaatan tanah
miliknya. Keberlanjutan pelaksanaan redistribusi tanah juga masih dilaksanakan seperti
tujuan dari para founding fathers dan perumus-perumus kebijakan di bidang agraria di
awal kemerdekaan. Memberikan akses kepada masyarakat terutama petani tuna kisma
untuk dapat memiliki dan menggunakan tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah dilaksanakan juga konsolidasi tanah untuk menata ulang kawasankawasan yang terfragmentasi menjadi lebih teratur. Petani yang memiliki lahan pertanian
yang terpencar dan dalam luasan yang kurang dari kebutuhan minimal usaha pertanian.
Kelompok bidang tanah yang tidak teratur merupakan sebagian dari obyek konsolidasi
tanah untuk dilakukan penataan ulang. Dengan penataan diharapkan dapat diperoleh
16

bidang tanah yang lebih teratur baik bentuk, luas, letak ataupun aksesibilitasnya.Hal ini
juga melibatkan partisipasi aktif masyrakat dan kerjasama dengan stake holder seperti
dinas terkait dalam rangka pembangunan fasilitas umum, sarana dan prasarana penunjang,
baik di perkotaan dan di pedesaan. Program konsolidasi yang berhasil baik antara lain di
sebagian pulau Jawa dan seluruh pulau Bali.
Dari segi regulasi telah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umurm, sehingga penetapan dan pengadaan tanah
untuk pembangunan sarana dan prasarana umum pendukung kegiatan masyarakat lebih
memiliki kekuatan hukum tetapi tetap mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat. Juga
telah dibentuk kedeputian yaitu Deputi Bidang Pengadaan Tanah agar arah kebijakan dapat
lebih terfokus pada tujuan tanah yang berdayaguna bagi masyarakat.
Penanganan sengketa,konflik, dan perkara bidang pertanahan lebih dikedepankan
dalam hal mediasi agar lebih mengampu kepentingan para pihak-pihak yang bertikai
melalui jalur musyawarah mufakat. Penanganan sengketa, konflik dan perkara ini juga
dilakukan melalui penyelidikan riwayat tanah sebagai langkah preventif bagi munculnya
sengketa-sengketa lain.
Dari segi regulasi sedang dilaksanakan pembuatan Rancangan Undang-Undang
(RUU) terkait bidang Pertanahan. Diharapkan dengan nantinya disahkan menjadi UndangUndang menjadi awal penguatan sistem kelembagaan BPN sebagai pengemban tugas
dibidang pertanahan. Sehingga BPN akan lebih terkonsentrasi dan lebih terkoordinasi
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam kerjasama antar lintas sektor.
“Pemerintah mengatakan angka kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 11,37 persen
atau 28,07 juta orang, demikian disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
pidato pengantar keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN 2014 dan Nota
Keuangannya.”
Hal ini mungkin belum merupakan pencapaian yang memuaskan, tetapi setidaknya
keberlanjutan ke arah yang lebih baik sedang berproses untuk menciptakan tanah dan
17

pertanahan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pencapaian ini mungkin menjadi seberkas
cahaya yang menuntun kita ke arah yang sesuai dengan tujuan perjuangan dan yang lebih
penting memerlukan konsistensi dan keinginan yang kuat dari segenap unsur terutama
pemerintah sebagai pemangku kekuasaan.
4. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah sebagai Penerapan Reforma Agraria dan Solusi atas
Konflik Pertanahan
1. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro,
Kota Surakarta.
Konsolidasi Tanah (KT) yang dilakukan Kelurahan Kadipiro, Kampung
Kragilan, di Kota Surakarta, Jawa Tengah ditujukan untuk mengatasi konflik
pertanahan antara okupan sebanyak 54 Kepala Keluarga (KK) dengan pemegang
Hak Milik (HM) atas tanah sebanyak 16 orang. Okupasi itu berlangsung sejak 1997
dan luas tanah yang diokupasi adalah 2.300 M2. Okupasi dimungkinkan, oleh
karena pemegang HM secara fisik tidak menguasai dan/atau menggunakan
tanahnya, sehingga para okupan yang umumnya merupakan golongan ekonomi
lemah itu, bahkan telah memiliki bangunan tempat tinggal yang tidak teratur di atas
tanah yang didudukinya. Bangunan-bangunan yang tidak teratur dan miskin
prasarana itu akhirnya menjadi permukiman kumuh. Namun, dengan dukungan
Walikota, instansi terkait lainnya, dan pihak perbankan, masyarakat yang
menduduki tanah milik orang lain itu memungkinkan untuk diberdayakan.
Sesuai dengan semangat reforma agraria, konflik pertanahan antara para
okupan dengan para pemilik tanah di atas diselesaikan dengan cara mediasi. Kedua
belah pihak menyadari kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing, sehingga
memudahkan untuk mencapai titik temu. Kesepakatan yang dibangun adalah bahwa
tanah konflik tersebut diberikan kepada para okupan, dengan catatan para okupan
memberikan semacam ganti kerugian (yang sangat kecil) kepada para empunya
tanah. Para pemilik tanah pun menerima tawaran itu oleh karena telah lama
18

meninggalkan tanah tersebut. Kealpaan penguasaan fisik oleh pemiliknya itulah
sebagai faktor utama yang memungkinkan tanah hak itu diduduki oleh para okupan.
Akhirnya, sebelum tanah yang menjadi objek konflik tersebut diberikan kepada ke
54 KK okupan, maka tanah tersebut terlebih dahulu dikonsolidasi. Dengan
demikian, sebagian dari luas tanah itu dipotong untuk digunakan sebagai jalan.
Dengan fasilitas jalan tersebut, diharapkan kekumuhan lokasi permukiman dapat
diatasi, karena setiap persil tanah telah mempunyai jalan. Bahkan, kualitas jalan
tersebut sudah diperkeras dengan melakukan pengkonblokan.
Pelaksanaan KT di atas, menghasilkan beberapa capaian berikut ini.
Pertama, diperoleh 54 bidang tanah yang telah mempunyai fasilitas jalan di depan
setiap kavling. Artinya, luas tanah yang seluas 2.300 M2, yang dimiliki oleh 16
orang, dijadikan untuk dapat dimiliki 54 orang. Sebagian dari tanah tersebut sudah
dialokasikan bagi pembangunan jalan di depan setiap kavling tanah yang sudah
tertata tersebut. Kedua, tanah permukiman 54 orang tersebut, selain telah
mempunyai fasilitas jalan, juga mempunyai berbagai fasilitas lingkungan lainnya
seperti diperolehnya tanah bagi pembangunan gedung serba guna seluas 80 M2.
Bahkan, gedung serba guna itu juga sudah selesai dibangun dalam 1 tahun anggaran
pelaksanaan kegiatan reforma agraria dengan pola KT tersebut. Selain itu, ada juga
fasilitas saluran air yang sudah permanen (batu bata), dan tanah untuk pembangunan
10 toilet (di samping 11 toilet yang sudah ada sebelum KT). Ketiga, terbangunnya
kelompok sosial yang memiliki semangat kebersamaan untuk meningkatkan
pendapatan mereka, seperti 15 orang yang mampu menjahit (garment), 4 kelompok
yang berkreasi melalui kegiatan home industry (kue), dan 1 orang menjadi penjual
makanan (nasi liwet). Peningkatan ekonomi peserta KT ini semula Rp 600.000,-,
setelah KT meningkat menjadi Rp 900.000,- per bulan per KK. Kegiatan garment,
home industry, dan usaha penjuaan makanan di atas dalam birokrasi pertanahan saat
ini lebih dikenal masyarakat dengan istilah access reform. Dengan berbagai tindakan

19

dalam access reform dimungkinkan bagi masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
2. Pelaksanaan Konsolidasi Tanah sebagai Solusi Sengketa Pertanahan antara PT
PUSKOPAD DAM I Bukit Barisan di Kabupaten Asahan dengan Masyarakat
di Desa Perkebunan Sei Balai, Kecamatan Sei Balai, Kabuaten Asahan,
Sumatera Utara.
Kehandalan KT sebagai solusi terhadap konflik pertanahan juga dapat
dicermati pada rangkaian pelaksanaan reforma agraria di Desa Perkebunan Sei
Balai, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Dalam semangat
reforma agraria, KT dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan antara
PT. PUSKOPAD DAM I Bukit Barisan (di Kabupaten Asahan) dengan masyarakat.
Perusahaan tersebut adalah pemegang Hak Guna Usaha (HGU) No. 1/Desa Sungai
Balai yang akan berakhir tahun 2006. Luas areal perkebunan PT. PUSKOPAD itu
adalah seluas 1.797,4 Ha. Ketika ingin mengajukan perpanjangan, sebagian di
antara areal perkebunan itu, yakni seluas 568 Ha diklaim oleh masyarakat (355 KK),
dengan rincian: 296 Ha oleh Kelompok Tani Mandiri, dan 272 Ha oleh Kelompok
Tani Tenera. Sengketa itu telah berlangsung hampir 15 tahun. Berbagai upaya
penyelesaian yang melibatkan Pemerintah Daerah setempat, DPRD Tingkat I
Sumatera Utara dan DPR Pusat telah dilakukan, namun belum berhasil.
Untuk menyelesaikan konflik itulah, maka pihak Kanwil BPN Provinsi
Sumatera Utara mengambil inisiatif untuk melakukan mediasi antara perusahaan
dan masyarakat. Setelah dilakukan dialog, pihak perkebunan Pusat Koperasi
Angkatan Darat (PUSKOPAD) bersedia melepaskan areal yang dipermasalahkan itu
untuk selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Tani Tenera dan Mandiri. Setelah
dilepaskan timbul lagi masalah pembagian areal kepemilikan masing-masing tanah
tersebut. Untuk menyelesaikan masalah itu, pihak BPN menawarkan pembagian
tanah secara adil dengan cara melakukan penataan melalui KT Lebih lanjut, dengan

20

pola KT, bidang tanah akan semuanya ‘menghadap ke jalan’, sehingga semua
bidang tanah akan mempunyai prasarana jalan.
Sesungguhnya, pelaksanaan reforma agraria dengan pola KT di Kabupaten
Asahan ini merupakan kelanjutan dari upaya otoritas pertanahan untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan antara PUSKOPAD

dengan masyarakat

penggarap, yang sudah berlangsung sebelum dijadikan sebagai lokasi reforma
agraria. Sebagai hasil mediasi pihak Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, akhirnya
dikeluarkan Keputusan Kepala BPN No. 11-V.B-2005 tanggal 28 Maret 2005
tentang Pemberian Ijin Pelepasan Sebagian Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak di
Kabupaten Asahan. Surat Keputusan itu berisi peringatan kepada pihak PUSKOPAD
agar membuat pernyataan pelepasan hak tanah yang tidak diperpanjang itu kepada
pihak Koperasi Karya Mandiri seluas 296 Ha dan Koperasi Tenera seluas 272 Ha.
Tindak lanjut dari Keputusan Kepala BPN di atas adalah dibuatnya Surat Pernyataan
Pelepasan Hak No. 550-1738/PH/12/2005 tanggal 28 Oktober 2005. Surat
pernyataan ini ditandatangani oleh pengurus PUSKOPAD di hadapan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Asahan. Secara sukarela Pihak PUSKOPAD melepaskan hak
dari tanah yang diklaim itu untuk selanjutnya diberikan kepada kedua koperasi di
atas tanpa diberikan ganti kerugian. Namun ternyata, permasalahan belum tuntas
dengan pelepasan hak itu, sebab kemudian timbul masalah berkaitan dengan
bagaimana cara pembagian tanah secara adil kepada para petani penggarap. Inti
persoalannya adalah bagaimana membagi 568 Ha tanah garapan kepada 355 KK
penggarap yang tergabung dalam 2 koperasi. Untuk itulah, maka pihak Kanwil BPN
Provinsi Sumatera Utara menawarkan pembagian tanah secara adil dengan cara
penataan kembali sekaligus melengkapi tanah itu dengan prasarana jalan di semua
bidang tanah yang diklaim masyarakat itu, dengan konsep KT dalam bingkai dan
semangat reforma agraria.
Sesuai tahapan pensertipikatan berdasarkan proses KT,

sebelum tanah

dijadikan objek KT, maka masyarakat harus melepaskan haknya terlebih dahulu
21

dengan berita acara pelepasan hak kepada Pemerintah dalam hal ini BPN. Setelah
itu, lokasi tersebut ditegaskan menjadi tanah negara sebagai obyek KT Pertanian
berdasarkan Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara No. 410.616
tanggal 5 April 2007 tentang Penegasan Tanah Negara Sebagai Objek Konsolidasi
Tanah Pertanian. Sesudah ditegaskan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Asahan
membuat Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada para peserta KT.
Selanjutnya, SK tersebut didaftarkan untuk memperoleh sertipikat sebagai bukti
kepemilikan tanah.
Upaya pemberian access reform pada pelaksanaan KT dalam bingkai dan
semangat reforma agraria di lokasi ini direncanakan dalam bentuk bantuan dari
pihak perbankan (BRI) untuk permodalan; sedangkan pemasaran produksi
dilakukan dengan harapan dukungan dari PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP)
yang berkedudukan di Kisaran. Kesediaan dukungan itu dikonkritkan dalam suatu
nota kesepahaman kerjasama (MoU). Dalam pelaksanaannya, BRI dapat
memberikan bantuan pinjaman Rp 5.000.000,- bagi tanah seluas 1 Ha dan Rp
10.000.000,- bagi tanah yang seluas 2 Ha. Sayangnya, kerjasama dengan BSP belum
berjalan sebagaimana mestinya.
5. Manfaat yang dapat dipetik dari Kedua Pelaksanaan Konsolidasi Tanah
Dengan pendekatan yang berbasis wilayah ini akan lebih memungkinkan penyusunan
program pertanahan yang dapat mewujudkan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Sebab dengan pengelolaan pertanahan yang berdasarkan kewilayahan (fisik dan
sosial) akan dapat ditangkap realitasi sosial dan akan dapat dibangun suatu konsep
pertanahan yang lebih komprehensif, sehingga mampu mengakomodasi berbagai
persoalan lebih variatif. Dengan demikian, bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam
rangka penyelesaian berbagai masalah di lokasi pelaksanaan KT terus berlangsung
berkelanjutan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagai konsep
pertanahan partisipatif mampu dikembangkan sebagai instrumen kebijakan untuk
menyelesaikan konflik pertanahan.
22

Dengan demikian, bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelesaian
berbagai masalah di lokasi pelaksanaan KT berlangsung berkelanjutan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Dengan pendekatan yang berbasis wilayah ini akan lebih memungkinkan penyusunan
program pertanahan yang dapat mewujudkan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Sebab dengan pengelolaan pertanahan yang berdasarkan kewilayahan (fisik dan
sosial) akan dapat ditangkap realitasi sosial dan akan dapat dibangun suatu konsep
pertanahan yang lebih komprehensif, sehingga mampu mengakomodasi berbagai
persoalan lebih variatif.
Pelaksanaaan KT di kedua lokasi di atas, kiranya sejalan dengan gagasan untuk mulai
mengintensifkan pengelolaan pertanahan yang berbasis wilayah (fisik dan sosial) untuk
pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pertanahan sesuai amanah konstitusi itu, memang bukanlah sekedar
melaksanakan administrasi pertanahan dalam arti sempit, yang merasa selesai setelah
melakukan legalisasi hubungan tenurial. Lebih daripada itu, kebijakan pertanahan harus
mengkondisikan keberadaan tanah yang dimiliki masyarakat dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Tindak lanjut berbagai kegiatan access reform, tentulah bukan domein
otoritas pertanahan. Namun, membangun atmosfir atau kondisi awal untuk melakukan
berbagai kegiatan ekonomi misalnya, di atas tanah yang ditata dengan kegiatan
pertanahan seperti KT, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dapat diperankan oleh otoritas pertanahan. Membangun atmosfir atau kondisi awal inilah
yang oleh sebagian aparatus pertanahan masih dipandang sebagai ”something beyond the
call of duty”.
Oleh karena itu upaya penyadaran bahwa legalisasi hubungan tenurial bukanlah tugas
akhir pertanahan, kiranya masih perlu terus dibangkitkan mengingat selama
pemerintahan Orde Baru, otoritas pertanahan secara sadar atau tidak sadar telah direduksi
untuk sekedar melakukan administrasi pert