kepastian hukum pembiayaan dengan jamina

KEPASTIAN HUKUM PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN HAK
TANGGUNGAN UNTUK TANAH YANG BELUM TERDAFTAR

Ketua
Desy Artha Pertiwi, S.H.,M.Kn
NIDN. 0222128503
Anggota
Betha Rahmasari, SH, MH.
NIDN. 0216068502

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
DESEMBER 2017

1

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
RINGKASAN..................................................................................................
PRAKATA.......................................................................................................

BAB I.
PENDAHULUAN........................................................................
A. Latar Belakang Masalah.........................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................
C. Tujuan Penelitian....................................................................
D. Manfaat Penelitian..................................................................
E. RuangLingkup Penelitian.......................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
A. Tinjauan Umum Tentang Bank...............................................
1. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Umum.....................
2. Pengertian dan Dasar Hukum Bank Syariah...................
3. TinjauanUmumPerjanjian/Akad......................................
B. Tinjauan Umum Tentang HakTanggungan.............................
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan..............
2. Hubungan Hak Tanggungan dan hypotek........................
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT…………………………………….
A. Tujuan Penelitian...................................................................
B. Manfaat Penelitian................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN............................................................
A. Jenis Penelitian.......................................................................

B. Sumber data............................................................................
C. Alat Penelitian dan cara Pengumpulan data...........................
D. Jalannya Penelitian.................................................................
E. Analisis data............................................................................
F. Hambatan penelitian...............................................................
G. Cara mengatasi Hambatan penelitian.....................................
BAB V.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..........................
A. Kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak
tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar.......................
B. Hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan
Hak Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar...................
BAB VI. RENCANA PENELITIAN TAHAP BERIKUTNYA................
BAB VII PENUTUP.....................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................
B. Saran.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAMPIRAN....................................................................................................

i

ii
iii
iv
v
1
1
4
4
5
5
6
6
6
6
7
8
8
9
25
25

25
27
27
27
30
31
32
32
32
33
33
43
45
46
46
46
47
49

2


Ringkasan
Penelitian dengan judul aspek kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan Hak
Tangungan untuk tanah yang belum terdaftar mengkaji menganai (1) Aspek kepastian hukum
pembiayaan dengan jaminan hak tanggung untuk tanah yang belum terdaftar (2) hambatan pada
akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar di bank
syariah dan Lembaga Pembiayaan.
Penelitian ini bersifat yuridis empiris. Penelitian ini dilaksanakan di Bank Syariah atau
Lembaga Keuangan Syariah di Kota Metro, dengan responden Legal Staf Bank Syariah, Notaris
& PPAT yang menjadi rekanan Bank, Kepala Seksi Pendaftaran Tanah ATR/BPN yang diambil
dengan cara purposive sampling. Data hasil penelitian diklasifikasikan menjadi data kualitatif
untuk menghasilkan data deskriftif-analisis, hasil penelitian dianalisis kemudian dideskripsikan.
Bank Syariah dalam pelaksanaan pembiayaan mengunakan pola kemitraan akan tetapi
sama seperti bank-bank konvensional dihadapkan pada resiko. Salah satu resiko yang tidak
mudah untuk diperhitungkan adalah aspek hukum dalam pemberian pembiayaan. Tanah
merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan
yang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan. Salah satu bentuk pengikatan barang jaminan
yang diatur dalam ketentuan yang berlaku adalah Hak Tanggungan.
Berdasarkan pembahasan diatas disimpulkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dalam pelaksanaan akad pembiayaan untuk

tanah yang belum terdaptar yang dijadikan jaminan pada perjanjian/akad pembiayaan, harus
terlebih dahulu didafarkan/dibuat sertifikat tanda bukti haknya yang dapat diproses sekaligus
bersamaan dengan pelaksanaan akad pembiayaan. Untuk memberikan kepastian hukum tersebut
Notaris/PPAT membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dengan jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak ditandatangani Akad. Sebaiknya sebelum dilakukan/dilaksanakan
perjanjian/akad pembiayaan masyarakat/nasabah mendaftarkan tanahnya/ membuat sertifikat.
Hal ini berguna untuk mempermudah proses akad pembiayaan sekaligus menghemat biaya.
Untuk tanah yang belum terdaftar dapat dibuat sertifikat dengan mengikuti program pendaftaran
tanah yang di laksanakan atas prakasa pemerintah melalui kementrian ATR/BPN.
KeyWord : Kapastian Hukum, Pembiayan, Hak Tanggungan, Tanah

3

PRAKATA

Assalamualaikum wr. Wb
Segala Puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah nya sehingga
peneliti dapat merampungkan laporan kemajuan Penelitian Dosen Pemula ini. Shalawat dan
Salam kami curahkan kepada bimbingan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa
ummatnya dari zaman jahiliyyah kezaman yang terang benerang seperti saat ini.

Dengan ini penulis pun mengucapkan terimasih kepada Kementerian Ristek dan
Teknologi yang telah memberikan kesempatan kepada kami tim peneliti untuk dapat
berpartisipasi dalam SKIM Penelitian Dosen Pemula agar banyak belajar dan mengembangkan
disiplin ilmu yang ada. Teriring dengan ini pula kami sembahkan terimasih kepada Rektor
Universitas Muhammadiyah Metro Bapak H.Prof. Karwono, M.Pd, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Metro H. Hadri Abunawar S.H.,M.H., dan Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Shofwan Taufiq SHI, MSI yang telah membantu penelitin dalam proses penelitian
ini di Universitas Muhammadiyah Metro. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimana
kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar.
Dan untuk mengetahui hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan untuk
tanah yang belum terdaftar.

Hormat Kami

Peneliti

4

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Perbankan dalam kehidupan suatu negara adalah salah satu Agent Pembangunan (agent
of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan itu sendiri yaitu
sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayan. Fungsi ini lazim
disebut sebagai intermediasi perbankan. (Anshori,Abdul Ghofur ; 2008 : 3)
Perjanjian kredit atau akad pembiayaan merupakan salah satu sumber dana bagi usaha
mengerakan sektor-sektor riil dalam pembangunan. Untuk mendapatkan pembiayaan,
seseorang (calon debitur) dapat mengajukan permohonanan kepada bank dan Lembaga
Pembiayaan.
Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undangundang yang baru ini secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari
dua macam, yaitu Bank Konvensional dan Bank berdasarkan Prinsip Syariah baik pada bank
umum maupun Bank Perkreditan Rakyat.
Landasan pokok bagi pemberian kredit perbankan diatur dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuanan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
1

debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia (Pasal 8). Ketentuan tersebut lebih menekankan kepada bank untuk perlu adanya
jaminan bagi kredit yang disalurkan kepada nasabah (debitur).
Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang menginginkan
pelayanan jasa perbankan syariah di Indonesia, maka pada tahun 2008 pemerintah
membentuk Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UndangUndang No. 21 Tahun 2008 sangat diperlukan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional
Indonesia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi
ekonomi yang berlandasakan pada nilai keadilan, kebersamaman, pemerataan dan
kemanfaatan.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Bank Syariah dan

Unit Usaha Syariah wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian adalah
salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam
menjalankan kegiatan usahanya guna menghindari sengketa dikemudian hari.
Perbankan syariah sebagai sub sistem dari perbankan nasional, dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian dan asas-asas pembiayaan yang sehat diwujudkan dalam hal antara lain
dengan adanya jaminan atau agunan (collateral) dari nasabah debitur. Jaminan atau agunan
ini berfungsi untuk mendukung keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi pembiayaan yang diterimanya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan segala kebendaan orang
yang berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan,
namun sering orang merasa puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh
karena itu, bank perlu meminta supaya benda tersebut dapat dijadikan jaminan yang dapat
diikat secara yuridis. Dengan demikian apabila debitur tidak menepati janjinya, bank dapat
melaksanakan haknya dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi dari kreditor lainya untuk
mendapat pelunasan piutangnya. 4 Dalam perbankan, perjanjian penjaminan merupakan
perjanjian accessorium, yang mana adanya dan berakhirnya tergantung pada perjanjian
2

pokoknya, perjanjian penjaminan ini dapat berupa penjaminan yang bersifat materiil ataupun

kebendaan maupun imateriil atau perorangan. Salah satu bentuk pengikatan barang jaminan
yang diatur dalam ketentuan yang berlaku adalah Hak Tanggungan, sebagaimana diatur
dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Konsekuensi Yuridis dari Perjanjian accesoir adalah keberadaan perjanjian jaminan
mempunyai akibat hukum sebagai berikut, pertama, adanya (timbulnya) bergantung pada
perjanjian pokok. Kedua, hapusnya juga tergantung dari perjanjian pokok. Ketiga, jika
perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian ikutannya juga batal. Keempat, perjanjian
tambahan ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok. (Khoidin, M. ; 2017 : 37).
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh
lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan. Sebab tanah pada
umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit
digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada
kreditor. Hak Tanggungan merupakan bentuk jaminan baru yang tertuju atas benda tidak
bergerak terdiri atas dua macam, yaitu berupa tanah bukan tanah.
Hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang telah ada atau
yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang telah diperjanjikan dengan
jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan dapat
ditentukan berdasarkan perjanjian hutang-piutang lain yang menimbulkan peringkatan.
Didalam praktik, sebelum dibuat akta pemberian hak tanggungan seringkali didahului
pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan. Surat kuasa membebankan hak
Tanggungan ini dimaksudkan untuk memudahkan krediturnya selaku pemegang hak
tanggungan dalam melakukan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. untuk tanah
yang belum terdaftar atau belum bersertifikat tidak dapat langung dibebani Hak Tangungan,
sementara pendaftaran atau pensertifikatan memakan waktu yang lama. tidak semua bank
atau lembaga pembiayaan mau menerima jaminan tanah
Yang belum bersertifikat. Pemberian pembiayaan untuk tanah yang belum befikat juga
perlu adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum dan
dengan tema Hukum Jaminan Khususnya Jaminan Hak Tanggungan pada

Bank atau

Lembaga Pembiayaan Syariah yang ada di Kota Metrro, atau kredit pada Bank Syariah
3

dengan jaminan tanah yang belum terdaftar memiliki karakteristik yang berbeda. Sesuai
dengan tema tersebut maka dirumuskan judul :Kepastian Hukum Pembiayaan Dengan
Jaminan Hak Tanggungan Untuk Tanah Yang Belum Terdaftar Pada Lembaga
Keuangan Syariah di Kota Metro.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak tanggung untuk
tanah yang belum terdaftar?
2. Apa hambatan pada pelaksanaanakad pembiayaan dengan jaminan Hak Tanggungan
untuk tanah yang belum terdaftar di bank/Lembaga Pembiayaan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum pembiayaan dengan jaminan hak
tanggungan untuk tanah yang belum terdaftar.
2. Untuk mengetahui hambatan pada akad pembiayaan dengan jaminan Hak Tangungan
untuk tanah yang belum terdaftar.
Dengan demikian peneliti berharap dapat memberikan solusi atas permasalahan yang
ada terkait penelitian tersebut diatas, menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
pembiayaan (prudential principle). Mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan
khususnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undnag Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, serta peraturan lain yang terkait. Menganalisis apakah peraturan yang
terkait tersebut telah diimplementasikan di dalam praktek, apabila sudah kemudian ditarik
kesimpulan apakah peraturan tersebut masih relevan dan sesuai dengan perkembangan
zaman, ataukah diperlukan revisi, penambahan Pasal-Pasal atau peraturan pelaksana, agar
dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak didalam
praktek perbankan/Lembaga Pembiayaan.

4

D. Manfaat Penelitian
Kegunaan / manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara

teoritis

hasil

penelitian

yang

dilaksanakan

dapat

memberikan

sumbanganpemikiranbagi pengembangan ilmu hukum padaumumnyadan pengembangan
ilmu hukum Agraria serta praktek perbankan pada khususnya. Karena hasil penelitian ini
nantinya dapat dijadikan referensi/bahan ajar dalam bidang Hukum agraria, khususnya
bab-bab mengenai Hak Tanggungan. Sehingga mahasiswa ataupun para pihak yang
berkepentingan dapat memiliki gambaran umum tentang akad pembiayaan, pemberian
hak tanggungan, mengkaji akta yang berkaitan dengan pembiayaan di perbankan. Dan
bagi praktisi perbankan, Notaris dapat dijadikan acuan didalam praktek.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, menambah wawasan
pengetahuan dan pemahaman mengenai aspek kepastian hukum Apa saja yang harus
diperhatikan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak sekaligus
menerapkan prinsip kehati-hatian (Prudential Principle).
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup Pada Penelitian ini dikhususkan pada Lembaga Keuangan Syariah atau
BMT yang ada di Kota Metro. Dikarenakan penulis berdomisili di Kota Metro, selain itu
dikarenakan di Kota Metro banyak terdapat BMT dan Lembaga Keuangan Syariah.

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Bank dan Lembaga Pembiayaan
1. Pengertian Bank Umum
Pengertian Bank Umum berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Sifat dan jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan
seluruh jasa perbankan yang ada. Begitupula dengan wilayah operasionalnya dapat
dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (Cabang). Bank Umum
sering disebut juga Bank Komersil.
2. Pengertian Bank Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah secara teknis operasional
berkaitan dengan produk-produknya mendasarkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan dan Penyaluran Dana serta Layanan Jasa Bank Syariah, serta
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2009 Perihal
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana
Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional,
yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary instution) yang mengerahkan dana dari
masyarakat yang menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkan dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam
jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila
bank konvensional mendasarkan keuntungan dari pengambilan bunga, maka bank syariah
dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun markup atau profit margin, serta bagi hasil (loss and frofit sharing).
6

Disamping melibatkan hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme
bunga (interes free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan Bank
Konvensional adalah diperbolehkan Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha
yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat
dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat
beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan bank syariah, seperti
pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah waiqtina
(sewa beli) dan lain-lain.
3. Tinjauan Umum tentang Lembaga Pembiayaan

B. TinjauanUmumTentangPerjanjian/Akad Pembiyaan
1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. Perjanjian Menurut Hukum Islam
a.
Pengertian Perjanjian
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah
Itiffa atau akad. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kontrak, perjanjian atau
persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Di dalam Al-Qur’an setidaknya ada
2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu akad (al-aqadu) dan kata ‘ahd, AlQur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang
kedua dalam Al-Qur’an berati masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.
(Anshori, Abdul Ghofur ; 19 : 2006).
Akad adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atas perikatan, tujuan dibuatnya akad adalah agar dapat dijadikan
sebagai alat bukti atas lahirnya suatu akibat hukum. Menurut Pasal 262 MursyidalHairan, akad merupakan”pertemuan ijab yang diajukan salah satu pihak dan kabul dari
pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.”

7

Sedangkan pengertian akad menurut Samsul Anwar adalah “pertemuan ijab dan
qabul sebagai persyaratan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat
hukum pada objeknya.”
Menurut Abdul Ghofur Anshori istilah akad dapat disamakan dengan istilah
perikatan atau verbintenis, sedangkan kata Al-ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah
perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari
seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kemauan pihak lain. Dengan demikian dari rumusan akad diatas
diindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang
bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam
suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan.
b. Keabsahan Perjanjian Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad yang sah dan mengikat
haruslah dipenuhi rukun akad yaitu unsur-unsur untuk membentuk sesuatu, sehingga akad
itu terwujud dan syarat akad yang merupakan syarat-syarat agar unsur akad dapat
terwujud, karena tanpa adanya syarat-syarat akad unsur akad tidak akan dapat
membentuk akad. (Anwar, Syamsul ; 95 : 2007)
Rukun dan Syarat akad adalah sebagai berikut :
1.

Rukun akad sendiri ada 4 (empat) yaitu :
a) Para pihak yang membuat akad (al -‘aqidan).
b) Pernyataan kehendak para pihak (shiqatul -‘aqd).
c) Objek akad (mahallul -‘aqd).
d) Tujuan akad (maudhu’ al -‘aqd).

2.

Syarat akad terdiri dari :
a)

Pihak yang berakad :
(1)Cakap Hukum.
(2)Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa/dibawah tekanan.
b) Objek yang diperjual belikan :
(1) Tidak termasuk yang diharamkan/dilarang.
(2) Bermanfaat.
(3) Penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan.
(4) Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad.
(5) Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima
c)

pembeli.
Akad/Sigot :
8

(1) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad,
(2) Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang
maupun harga barang yang disepakati.
(3) Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan
transaksi pada hal/kejadian yang akan datang.
(4) Tidak membatasi waktu, misal : saya jual ini kepada anda untuk jangka waktu
12 bulan setelah itu milik saya kembali.
Untuk dapat membuat perjanjian yang sah maka untuk rukun pertama harus
dipenuhi 2 (dua) syarat akad yaitu tamyiz dan berbilang, untuk rukun ke 2
(dua) juga harus dipenuhi dua syarat yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan
qabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan kesatuan majelis akad.
Untuk rukun ketiga harus dipenuhi tiga syarat, yang pertama objek itu dapat
diserahkan, tertentu dan dapat ditentukan dan objek dapat ditransaksikan,
rukun ke empat memerlukan satu syarat yaitu tidak bertentangan dengan
syarak.(Anwar, Syamsul ; 96 ; 2007).
c. Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam
Ada delapan Asas yang dikenal dalam melakukan perjanjian dengan hukum Islam
yang antara lain : (Syamsul, Anwar ; 82 : 2007)
1) Asas Ibahah ; adalah asas Hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum
dimana pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya.
2) Asas Kebebasan ber-Aqad ; adalah suatu asas dimana setiap orang dapat membuat
akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang syariah dan memasukkan klausul apa saja kedalam akad yang
dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta
sesama dengan cara batil.
3) Asas Konsensualisme ; adalah asas yang menyatakan bahwa untuk terciptanya
suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.
4) Asas Janji itu Mengikat ; adalah suatu asas yang menyatakan bahwa janji itu
mengikat dan harus dipenuhi.
5) Asas Keseimbangan ; adalah asas yang menyatakan bahwa ada keseimbangan
antara para pihak dalam pembagian keuntungan dan kerugian, artinya ada

9

keseimbangan antara apa yang diterima dengan apa yang harus dipenuhi diantara
para pihak.
6) Asas Kemaslahatan ; adalah akad yang dibuat dengan tujuan kemaslahatan bagi
para pihak dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang
memberatkan.
7) Asas Amanah ; adalah asas dimana para pihak harus beritikat baik dalam
8)

bertransaksi dan juga tidak mengeksploitasi mitranya.
Asas Keadilan ; adalah asas yang hendak diwujudkan oleh semua
hukum.Dalam hukum Islam keadilan merupakan perintah Al-Qur’an dan
merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat.

3. Berakhirnya Perjanjian
Dalam Hukum Islam berakhirnya perjanjian dapat terjadi karena berakhirnya akad
atau karena diputus oleh salah satu pihak (fasak), secara umum fasak dalam Hukum
Islam meliputi : ( Anwar, Syamsul ; 340 : 2007).
a.

Terminasi akad berdasarkan kesepakatan (al-aqalah)
Suatu akad (perjanjian), Apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya
sesuai dengan ketentuan hukum, maka akad tersebut menjadi mengikat. Daya ikat
tersebut menunjukan arti bahwa akad bersangkutan tidak dapat diubah atau bahkan
diputuskan oleh para pihak yang telah menyetujuinya secara sepihak berdasarkan
kehedak sepihak. Namun dapat pula dilakukan pemutusan akad berdasarkan
kesepakatan para pihak (al-iqalah).

b.

Terminasi akad terkait pembayaran urbun dimuka
Adalah suatu akad disertai semacam tindakan hukum para pihak yang
memberikan kemungkinan kepada masing-masing untuk memutus akad bersangkutan
secara sepihak dengan memikul suatu kerugian tertentu.

c.

Terminasi akad karena salah satu pihak menolak melaksanakannya.
Adalah permintaan terminasi akad (fasakh) dari salah satu pihak karena pihak
lain tidak melaksanakan prestasinya.

d.

Terminasi akad karena mustahil.

10

Apabila tidak dilaksanakannya perikatan oleh salah satu pihak disebabkan oleh
alasan eksternal, maka akad batal dengan sendirinya tanpa putusan hakim karena akad
mustahil untuk dilaksanakan.
Sedangkan menurut pendapat Abdul Ghofur Anshori, dalam kontek hukum Islam,
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai
berikut :
1) Berakhirnya masa berlaku perjanjian/akad
Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan erat kapan suatu perjanjian
akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu maka secara otomatis perjanjanjian
akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan oleh para pihak.
2) Dibatalkan oleh pihak yang berakad
Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan
perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian
terdapat unsur kekhilafan atau penipuan.
Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian (error in objecto), maupun
mengenai orangnya (error in persona).
3) Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan
adanya kompentensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan
sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku bagi
ahli warisnya. Sebagai contohnya ketika orang yang membuat perjanjian pinjam
uang, kemudian meninggal maka kewajiban untuk mengembalikan hutang kewajiban
ahli waris.
C. TinjauanUmum Tanah danPendaftaran Tanah
1.

Pengertian Pendaftaran Tanah.
Tujuan pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria: antara lain, menjamin kepastian
hak bagi seluruh rakyat Indonesia oleh karena itu, ada perintah pendaftaran tanah (Pasal 19,
23, 32,38 UUPA) Ketentuan Pokok Pendaftaran Tanah dalam UUPA.
a. Umum:
Pasal 19 (1) mengenai:
11

1) Tujuan: untuk menjamin kepastian hak;
2) Penyelenggara: pemerintah;
3) Daerah : di seluruh wilayah Indonesia;
4) Juklak: menurut ketentuan Peraturan Pemerintah (dulu: PP 10 Tahun1961; sekarang:
PP 24 Tahun1997). Pasal 19 (2) mengenai kegiatan Pendaftaran Tanah, yang
meliputi:
a) pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
b) pendaftaran: hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c) pemberian surat tanda bukti hak.
Pasal 19 ayat (3), penyelenggaraan-pelaksanaannya, dengan mengingat:
(1) keadaan negara dan masyarakat;
(2) keperluan lalu-lintas sosial ekonomi;
(3)kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri;
Pasal 19 (4), pembiayaan:
biaya pendaftaran tanah akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah, dengan ketentuan bahwa
rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.
Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 9 UUPA, dan mengatur secara terperinci hal-hal yang
berkaitan dengan pendaftaran tanah di Indonesia. Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 ini,
kemudian diatur secara lebih rinci lagi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan
Pertanahan

Nasional

Nomor

3

Tahun

1997

tentang

Ketentuan

Pelaksanaan

PeraturanPemerintahNomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.Pokok-Pokok
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997. Pengertian Pendaftaran
Tanah: (Pasal 1) adalah rangkaian kegiatanyang dilakukan Pemerintah secara terus menerus,
berkesinarnbungan dan teratur;
a. meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajlan serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalarn bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan rumah susun;
b. termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan HMSRS serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

12

Catatan:
1) data fisik tanah: keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan
rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau
bagian bangunan di atasnya;
2) data yuridis tanah: keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan rumah susun
yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.
Objek pendaftaran tanah: Pasal meliputi:
a) bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan HM, HGU, HGB dan HP;
b) tanah hak pengelolaan;
c) tanah wakaf;
d) HMSRS;
e) hak tanggungan;
f)

tanah negara

catatan:
1) tanah negara yang didaftar adalah tanah negara dalam arti sempit atau tanah negara bebas
atau tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Pendaftaran tanah negara dilakukan
dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertifikat.
2) tanah ulayat, menurut Peraturan Menteri AgrariaTahunKepala BPN No. 5 Tahun 1999,
setelah meialui proses identifikasi bisa didaftar dalam register tanah di Kantor
Pertanahan, dan tidak/tanpa diterbitkan atau tanpa disertai sertifikat.
Asas-asas Pendaftaran Tanah ( Pasal 2 UUPA) :
a.

Sederhana: ketentuan pokok maupun prosedur Pendaftaran Tanah mudah dipahami.

b.

Aman: penyelenggaraan Pendaftaran Tanahharus teliti dan cermat sehingga hasilnya
memberi jaminan kepastian hak;

c.

terjangkau: pelayanan dalam rangka penyelenggaraanPendaftaran Tanahharus bisa
terjangkauoleh pihak yang memerlukan, dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah;

13

d.

mutakhir: data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir; untuk itu maka
ada kewajiban mendaftar dan mencatat perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian
hari;

e.

terbuka: data PendaftaranTanahsecara berkesinambungan dan dipelihara dan disimpan di
kantor BPN dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengertai data yang benar
setiap saat.

2. Tujuan Pendaftaran Tanah :
Pasal 3 UUPA :
a. memberikan kepastian hak dan perlidungan hak kepada pemegang Hak Atas Tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; untuk itu maka
diberikan sertifikat kepada pemegang hak.
b. menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah,
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan ketika mengadakan
perbuatan hak mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah
terdaftar; untuk itu maka berlaku asas terbuka untuk umum untuk kepentingan penyajian
data, maka dibuat daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat
ukur, buku tanah dan daftar nama.
Kegiatan Pendaftaran Tanah (Pasal 11 UUPA) meliputi :
1) Pendaftaran Tanah untuk pertama kali (initial registration):
pengertian: kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek Pendaftaran Tanahyang
belum didaftar berdasar PP 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai suatu atau beberapa objek
Pendaftaran Tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa Tahun kelurahan secara
individual atau masal atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Pendaftaran untuk pemeliharaan data Pendaftaran Tanah (maintenance) untuk
menyesuaikan data fisik dan data yuridis didalam peta pendaftaran, daftartanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian, seperti yang terjadi karena beralihnya dibebaninya, atau berubahnya nama
14

pemegang hak yang telah didaftar.Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat
dilakukan dengan cara: sistematik dan sporadik
(a)sistematik : Pendaftaran Tanah yang dilakukan pertama kali secara serentak meliputi
semua bidang tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan;diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan suatu rencana
kerja jangka panjang dan Tahunan;dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan
oleh Kepala BPN.
(b)

sporadik:kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai suatu atau
beberapa objek Pendaftaran Tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa
Tahun kelurahan secara individual atau masal atas permintaan pihak yang
berkepentingan.

Pendaftaran untuk pemeliharaan data Pendaftaran Tanah (maintenance) : untuk
menyesuaikan data fisik dan data yuridis didalam peta pendaftaran, daftartanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian, seperti yang terjadi karena beralihnya dibebaninya, atau berubahnya nama
pemegang hak yang telah didaftar.
D. TinjauanUmumTentangHakTanggungan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan
Pada tanggal 9 April 1996 telah dundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai dan memang dalam kehidupan sehari-hari
terkenal dengan sebutan Hak Tanggungan, dan undang-undangnya kita singkat menjadi
Undang-Undang Hak Tanggungan.
2. Hubungan Hak Tanggungan Dengan Hipotik (Dan Credietverband)
Dari sebutannya saja kita sudah bisa menduga, bahwa lembaga jaminan tersebut
berkaitan dengan tanah, atas dasar mana adalah logis kalau orang kemudian
mempertanyakan, lalu bagaimana hubungannya dengan Hipotik dan Credietverband,
yang selama ini sebelum adanya Undang-Undang Hak Tanggungan mempunyai persil
tanah dan segala sesuatu yang bersatu atau dipersatukan dengan tanah sebagai jaminan.
Pasal 29 Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan ;
15

“Dengan

berlakunya

undang-undang

ini,

ketentuan

mengenaiCredietverband

sebagaimana tersebut dalam staatsblad 1908 - 542 Jo staatsblad 1909 - 586 dan
staatsblad 1909 - 584 sebagaimana yang telah diubah dengan staatsblad 1937 - 19010
staatsblad 1937- 191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana disebut dalam
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai
pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. “
Kalau dari nama/judul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 kita telah menyimpulkan
objek pengaturannya seperti tersebut di atas, maka kalau kita hubungkan itu dengan kata-kata
sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
berlaku lagi dalam Pasal 29 Undang-Undang Hak Tanggungan, kiranya bisa kita simpulkan,
bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan bermaksud untuk menggantikan hipotik, tetapi
hanya sepanjang objeknya adalah tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Jadi,
dengan keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan, lembaga hipotik tidak dinyatakan
dihapus.
Adalah berlainan sekali pengaruh ketentuan Pasal 29 tersebut di atas terhadap
credietverband, karena di sana dengan tegas dikatakan, bahwa ketentuan-ketentuan tentang
credietverband untuk selanjutnya sudah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, untuk
selanjutnya mengenai objek jaminan hak tanggungan sudah tidak ada kaitan apa-apa dengan
credietverband.

3. Objek Hipotik Sebelum Undang-Undang Hak Tanggungan
Di waktu yang lalu, hipotik objeknya adalah benda tetap sebagai jaminan dan benda tetap
menurut K.U.H.Perdata meliputi benda tetap karena sifatnya, karena peruntukannya dan
karena undang-undang (Pasal 506, Pasal 507 dan Pasal 508 K.U.H.Perdata).
Benda tetap karena sifatnya adalah tanah dan semua yang bersatu atau dipersatukan
dengan tanah. Yang bersatu dengan tanah adalah umpama saja pohon-pohon yang tumbuh
dengan akarnya menancap dalam tanah (Pasal 506 sub 3 K.U.H.Perdata), sedang yang
dimaksud dengan yang dipersatukan dengan tanah adalah umpamanya bangunan-bangunan
16

permanen di atas tanah yang bersangkutan. (Pasal 506 sub 1 K.U.H. Perdata). Orang biasa
memberikan ciri dengan akarnya menyatu dengan tanah (wortelvast) atau dipersatukan secara
pemanen (nagelvast, tidak dapat dilepas tanpa merusak, Pasal 50 sub 5 anak kalimat terakhir
K.U.H. Perdata).
Benda tetap karena peruntukannya adalah benda-benda, yang menurut sifatnya
sebenarnya merupakan benda bergerak, tetapi benda tersebut oleh pemiliknya dalam
pemakaiannya dihubungkan dengan tetap. Di sini tidak disyaratkan, bahwa benda tersebut
dipersatukan dengan tanah sedemikian sehingga tidak bisa dilepas tanpa merusak karena
kalau benda itu dipersatukan secara demikian, maka benda tersebut termasuk dalam benda
tetap karena sitatnya. Yang biasa dikemukakan sebagai contoh adalah mesin-mesin dalam
pabrik.
Benda tetap menurut undang-undang adalah hak-hak kebendaan atas benda tetap
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 508 K.U.H. Perdata.
Di luar benda tetap sebagaimana yang disebutkan di atas, yang juga menjadi objek hak
jaminan hipotik adalah kapal-kapal Indonesia yang mempunyai ukuran paling sedikit 20 m 3
(dua puluh meter kubik) (Pasal 314 K.U.H.D.).
4.

Objek Hak Tanggungan
Objek

hak

tanggungan

sebagaimana

yang

kita

simpulkan

dan

judul

Undang-Undang Hak Tanggungan mendapat penegasannya dalam Pasal 4 Undang-Undang
Hak Tanggungan, yang mengatakan bahwa:
a.

Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:
1)

Hak Milik

2) Hak Guna Usaha
3) Hak Guna Bangunan
b.

Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah
negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak tanggungan.
Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak tanggungan
merupakan badan pengaturan Undang-Undang Pokok Agraria (vide Pasal 51 jo Pasal 57
Undang-Undang Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hak-hak atas
17

tanah yang menjadi objek hak tanggungan, sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah
hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria.
Di samping itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan:
“Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan akan ada yang merupakan satu kesatuan
dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan
yang bersangkutan.
Jadi, selain tanah. bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan
dengan tanahnya dapat jadi objek hak tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik,
bahwa penyebutannya adalah:
“juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah berikut” dan cara penyebutan mana kita
tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak
tanggungan, kalau tanah di atas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil
karya itu berada, juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah,
yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan tidak bisa
dijaminkan dengan hak tanggungan terlepas dan tanahnya.
Penyebutan “yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut” mengingatkan
kita kepada syarat “dipersatukan secara permanen (nagelvast)” dan “dengan akar
tertancap dalam tanah (wortelvast)” pada hipotik. Jadi, walaupun Undang-Undang Pokok
Agraria menganut asas hukum adat (Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria), dan
karenanya menganut asas pemisahan horizontal, namun di sini disyaratkan harus
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Kalau kita biasa membayangkan apa yang
menjadi satu kesatuan dengan tanah adalah apa yang berada di atas tanah, maka menurut
penjelasan atas Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan, ternyata meliputi juga
bangunan yang ada di bawah permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada di bawah
tanah hanya meliputi bangunan atau bagian dan bangunan yang ada di bawah tanah, dan
ada hubungannya dengan tanah yang ada di atasnya. Karenanya, tambang dan mineral
tidak termasuk di dalamnya.

18

Adapun yang dimaksud dengan hasil karya dalam Pasal 4 ayat(4) UndangUndang Hak Tanggungan, menurut penjelasannya, adalah misal candi, patung, gapura,
relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan.
Dari contoh “hasil karya’ yang diberikan dalam pasal tersebut di atas, kita tahu,
bahwa mesin-mesin yang ditempatkan dan dimaksudkan untuk digunakan secara
permanen dalam bangunan permanen yang dijaminkan dengan hak tanggungan berlainan
dengan dulu pada waktu masih digunakan lembaga hipotik sekarang tidak termasuk
dalam objek hak tanggungan.
5.

Tujuan Undang-Undang Hak Tanggungan
Sebagaimana disebutkan di atas, Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan
pelaksanaan lebih lanjut dan apa yang diamanatkan oleh Pasal 51Undang-Undang Pokok
Agraria dan hal itu mendapat penegasannya dalam sub b dan sub e, bagian menimbang,
pada pembukaan Undang-Undang HakTanggungan. Di dalam bagian menimbang pada
huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan dikatakan, bahwa masyarakat kita
membutuhkan suatu lembaga yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum.
Selanjutnya, pada bagian c dikatakan, bahwa lembaga jaminan hipotik dan
credietverband sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan.
Di samping itu, Undang-Undang Hak Tanggungan juga menampung atas tanah lain, yang
selama inibukan merupakan objek hak jaminan hipotik maupun credietverband yaitu hak
pakai atas tanah tertentu, yang wajib didaftar dan dapat dialihkan, Dengan demikian, kita
mestinya boleh berharap, bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan maupun pelaksanaannya di dalam praktek, akan memberikan kedudukan
yang lebih kuat kepada para pihak dalam perjanjian penjaminan dan suatu kepastian
hukum yang lebih besar mengenai hak-hak mereka daripada yang telah diberikan oleh
lembaga hipotik, Dengan tujuan seperti itu, maka Undang-Undang Hak Tanggungan
menyingkirkan ketentuan-ketentuan tentang hipotik dan mengaturnya sendiri. Mengingat,
bahwa baik hipotik maupun hak tanggungan adalah sama-sama lembaga jaminan dan
objek kedua-duanya dengan tanah sebagai pokok adalah mirip satu sama maka kita boleh
menduga bahwa isi ketentuan-ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan walaupun
sudah tentu tidak persis sama adalah juga mirip satu sama lain. Dan memang, kalau kita

19

simak lebih teliti, maka di luar perbedaan-perbedaan tertentu ada banyak sekali
persamaan antara keduanya. Janji-janji yang biasa atau selalu diperjanjikan dalam
hipotik, juga diberikan pengaturannya di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, hanya
saja di sini ditambah dengan janji-janji baru. Akan tetapi, janji-janji yang baru pun yang
ditambahkan tersebut sebagian merupakan janji-janji yang ditambahkan pada lembaga
hipotik di negeri belanda dan karenanya kalau kita boleh menduga, Undang-undang Hak
Tanggungan mengambil oper dan ketentuan hipotik di negeri Belanda. Sehubungan
dengan hal tersebut, mengingat bahwa kita belum banyak mempunyai pengalaman dalam
pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan dan belum mempunyai yurispudensi tetap
mengenai segi-segi hukum Undang-Undang Hak Tanggungan, maka untuk sementara
sepanjang tidak bertentangan dengan bunyi dan maksud serta tujuan Undang-Undang
Hak Tanggungan kita masih akan menafsirkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Hak
Tanggungan menurut pengalaman dan yurisprudensi hipotik. Dan karena di depan kita
telah membahas banyak segi hipotik, maka untuk pembahasan bagian-bagian tertentu dan
Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur hal yang sama dengan hipotik, kita
tidak perlu membahasnya lagi, tetapi cukup dengan merevisinya kebagian hipotik.
Lalu, mengingat bahwa untuk Undang-Undang Hak Tanggungan penulis telah
menyusun 2 (dua) buku, yaitu Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, bagian I dan
II, maka di sini kita akan membahas yang pokok-pokok saja, sedang untuk tinjauan yang
lebih rinci pembaca dipersilakan membaca buku-buku tersebut.

6.

Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Ciri-ciri hak tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan, suatu pasal yang hendak memberikan perumusan tentang hak tanggungan,
yang antara lain menyebutkan ciri:
a. Hak jaminan di sini merupakan hak jaminan kebendaan, karena pada hak
tanggungan ada benda tertentu atau sekelompok benda tertentu yang secara khusus
diperikatkan sebagai jaminan. Seperti sudah disebutkan di depan, hak jaminan
20

memberikan

suatu

kedudukan

yang

lebih

baik

kepada

kreditur

yang

memperjanjikannya. Lebih baik di sini diukur dan kreditur-kreditur yang tidak
memperjanjikan hak jaminan khusus yaitu para kredit konkuren, yang pada asasnya
berkedudukan sama tinggi, sehingga mereka harus bersaing satu sama lain untuk
mendapatkan

pelunasan

atas

hasil

eksekusi

harta

debitur

(Pasal

1131

K.U.H.Perdata). Karena kita belum mempunyai ketentuan umum tentang hukum
jaminan, maka untuk sementara sebagai dasarnya kita pakai Pasal 1132
K.U.H.Perdata, Di samping itu, hak jaminan kebendaan juga memberikan
kemudahan kepada kreditur yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan, karena
kepada kreditur diberikan hak parate eksekusi (vide Pasal 6 Undang- Undang Hak
Tanggungan). Kita tahu parate eksekusi merupakan eksekusi yang disederhanakan,
karena tidak perlu mengikuti ketentuan hukum acara.
b.

Atas Tanah Berikut atau Tidak Berikut Benda-benda Lain yang Merupakan Satu
Kesatuan dengan Tanah yang Bersangkutan
Kita tahu, bahwa yang menjadimenjadi pokok objek hak tanggungan
adalah hak atas tanah. Di samping itu, kalau tanahnya dijaminkan, maka jaminan itu
bisa diperjanjikan meliputi pula benda-benda yang bersatu dengan tanah yang
bersangkutan.
Perlu diperhatikan, bahwa syarat penting yang disebutkan di sana adalah,
bahwa benda-benda itu harus merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan secara
khusus diperjanjikan masuk dalam penjaminan. Hal itu berarti, bahwa UndangUndang Hak Tanggungan tidak menganut asas asesi, karena sekalipun bersatu
dengan tanahnya, tetapi tidak dengan sendirinya terbawa oleh tanahnya ke dalam
penjaminan. Hal ini merupakan konsekuensi dan dianutnya prinsip hukum adat
dalam Udang-Undang Pokok Agraria (Pasal 5), walaupun yang namanya hukum adat
tidak harus sama dengan hukum adat pada zaman 50 (lima puluh) atau 100 (seratus)
tahun yang lalu. Apakah benar, kita sekarang sesudah rumah-rumah di desa berupa
bangunan permanen masih menganut prinsip pemisahan horizontal? Apakah selama
ini sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan tidak telah berkembang

21

suatu kebiasaan untuk selalu memperjanjikan pembebanan meliputi pula bendabenda yang bersatu dengan tanahnya?
Benda-benda yang turut dijaminkan itu bisa milik debitur sendiri maupun milik
pihak-ketiga (Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan). Kalau
pemberi-jaminan adalah debitur sendiri. maka yang bersangkutan disebut debitur
pemberi hak tanggungan, sedang kalau pemberi-jaminan adalah pihak-ketiga, maka
yang bersangkutan disebut pihak-ketiga pemberi hak tanggungan.
c. Untuk Pelunasan Hutang
Di sini tampak sifat accessoir dari suatu perikatan jaminan, karena ia mengabdi
pada suatu perikatan pokok tertentu yang dijamin, yang pada asasnya bisa berupa
kewajiban perikatan apa saja, tetapi pada umumnya berupa perjanjian hutang-piutang
atau kredit. Perikatanpokoknya merupakan perikatan berdiri sendiri, tidak bergantung
dari perikatan jaminannya.Perikatan pokoknya yang dijamin bisa 1 (satu) atau lebih
(Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan) dan bisa meliputi perikatan pokok yang
sudah ada pada saat pemberian-jaminan maupun yang akan timbul di kemudian hari
(Pasal3 Undang-Undang Hak Tanggungan). Misalnya perikatan pokoknya adalah
perjanjian kredit per rekening koran atau perikatan pokoknya adalah sekaligus 2
(dua), misalnya kredit per rekening koran dan kredit pemilikan rumah kedua-duanya
dijamin dengan benda jami