Jalan Panjang Pendidikan Politik Indones

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/312230254

Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia
(Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan
Politik Indonesia)
Working Paper · November 2015
DOI: 10.13140/RG.2.2.23015.04001

CITATIONS

READS

0

1,277

3 authors, including:
Manik Sukoco

Universitas Negeri Yogyakarta
23 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education
Teacher at SMP Negeri 1 Grujugan View project

International Perspective of Civics and Citizenship Education View project

All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 12 January 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

JALAN PANJANG PENDIDIKAN POLITIK INDONESIA
(Sebuah Kajian Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Oleh:
Manik Sukoco

15730251008


Panji Purnomo

15730251009

Siti Khanifah

15730251029

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

JALAN PANJANG PENDIDIKAN POLITIK INDONESIA
(Sebuah Kajian Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

A. Pendahuluan
Indonesia telah mengalami masa reformasi pada tahun 1998 lalu. Reformasi tersebut

bukan hanya tentang euphoria menurunkan sang diktator dan menggantikannya dengan
diktator yang baru. Namun, ada sebuah upaya untuk menggantikan “kebobrokan” suatu
rezim dengan pola kepemimpinan baru yang adil, jujur, pro-rakyat dan tidak hanya
mampu menggunakan bahasa indoktrinasi, namun melupakan makna dan hakikat dari
politik dan kepemimpinan itu sendiri.
Pendidikan politik adalah hal yang fundamental dalam menjalankan pemerintahan
negeri ini. Kecerdasan seorang pemimpin jika tidak diimbangi kecerdasan dan
pengetahuan masyarakat, akan dapat menimbulkan kekacauan. Minimnya literasi politik
masyarakat bahkan bisa melahirkan pemimpin yang diktator.
Tulisan ini akan mengkaji tentang pendidikan politik secara teoritis dan praktis.
Penulis mencoba untuk menguraikan secara singkat dan sederhana tentang teori
pendidikan politik termasuk pengertian dan tujuan pendidikan politik, instrumen
pendidikan politik, serta praktik pendidikan politik di Indonesia sejak orde lama hingga
berlangsungnya era reformasi.
B. Pembahasan
1. Pendidikan Politik Ranah Teoritis
a. Pengertian Pendidikan Politik
Pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari pendidikan orang
dewasa sebagai upaya edukatif yang intensional, disengaja, dan sistematis untuk
membentuk individu yang sadar politik dan mampu menjadi pelaku politik yang

bertanggung jawab secara etis/moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik (Kartini K,
2009: 64).
Pendidikan politik merupakan aktivitas pendidikan diri (mendidik dengan sengaja
diri sendiri) yang terus menerus berlangsung dalam diri seseorang, sehingga orang yang
bersangkutan lebih mampu memahami dirinya sendiri dan situasi-kondisi lingkungan
sekitarnya (Kartini, 2009: 65). Pada dasarnya pendidikan politik memiliki tujuan
mendidik dan mengatur diri sendiri untuk dapat berproses menjadi manusia dewasa
dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan
politik dan telah memikirkan resiko yang akan didapat dari apa yang telah dilakukan.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

1

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Affandi (1996) menyatakan bahwa pendidikan politik dianggap penting oleh hampir
semua lapisan masyarakat dan menentukan perilaku politik seseorang. Pendidikan politik

digunakan sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik, serta
meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi
informal maupun melalui pendidikan yang direncanakan untuk menunjang stabilitas
sistem politik.
Brownhill dan Smart (1989) menarik sebuah proposisi bahwa pendidikan politik
adalah proses pendidikan untuk membina siswa agar mampu memahami, menilai, dan
mengambil keputusan tentang berbagai permasalahan dengan cara-cara yang tepat dan
rasional, termasuk dalam menghadapi masalah yang bias maupun isu-isu yang bersifat
kontroversial. Pengetahuan politik seseorang akan membawa orang tersebut untuk
berada pada tingkat partisipasi politik tertentu.
Pendekatan konsep pendidikan politik pada semua jenjang pendidikan, baik di dalam
maupun luar sekolah dibuat untuk meningkatkan pemahaman akan bahasa dan
meningkatkan kemampuan kita untuk menyelesaikan masalah, mengatur hubunganhubungan eksternal atau kejadian-kejadian untuk memperpanjang berbagai skala pilihan
di dalam diri mereka, dan mempengaruhinya (Crick, 1974: 13-24).
Sedangkan Alfian dalam Sumantri (2003: 3) menyatakan bahwa pendidikan politik
diartikan sebagai usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu sistem politik ideal yang hendak mereka bangun.
b. Beberapa Teori Pendidikan Politik
Sunarso dalam tulisannya berjudul Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan,

Urgensinya Bagi Sebuah Bangsa, menuliskan tentang beberapa teori pendidikan politik
yaitu:
1. Teori sistem
Sosialisasi politik dianggap memainkan peran utama dalam menjaga kestabilan
politik, sehingga memungkinkan sistem politik yang sama berlaku terus menerus
sehingga mencapai kondisi mapan dan mantap. Menurut teori ini pendidikan politik
diarahkan untuk memelihara sistem politik yang dianggap ideal. Di Indonesia sistem
politik ideal adalah sistem politik demokrasi Pancasila.
2. Teori hegemoni
Teori memandang

bahwa pendidikan politik diarahkan untuk mendukung

kepentingan penguasa (kelompok yang dominan), meskipun terkadang kepentingan
tersebut jauh dari sistem ideal.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta


2

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

3. Teori psikodinamik
Teori ini menganggap pengalaman pribadi yang dialami manusia pada awal anakanak akan sangat menentukan orientasi politik seseorang. Dengan demikian faktor
internal sangat mempengaruhi sikap politik seseorang.
4. Teori belajar sosial
Menurut teori ini faktor eksternal yaitu lingkungan dimana seseorang hidup, bergaul,
bermasyarakat, sangat menentukan sikap politik dari seseorang. Stimulus dari
keluarga, sekolah, dan komunitas tempat ia tumbuh dan berkembang turut
menentukan sikap politik seseorang.
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Politik
Jika melihat maksud pendidikan politik di atas, tidaklah salah apabila pendidikan
politik perlu disosialisasikan kepada generasi muda sebagai bagian dari pengembangan
sumber daya manusia untuk menciptakan kehidupan yang politik yang demokratis di
masa yang akan datang. Selain itu, diharapkan supaya generasi muda mampu berperan
aktif dalam kehidupan bansa dan bernegara secara penuh tanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945. Instruksi Presiden No.
12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda telah menyebutkan tujuan

dari pendidikan politik yaitu untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar
akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai
salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang
perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:
a. Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggung jawab sebagai warga negara
terhadap kepentingan bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku.
c. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan
yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.
d. Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.
e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan
Pancasila.
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara
khususnya dalam usaha pembangunan nasional.
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan
keanekaragaman bangsa.
h. Sadar akan perlunya pemeliharan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras,
serasi, dan seimbang.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah

Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

3

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang bersumber
dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir dan penalaran
logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal ini, pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa
dan bernegara, diharapkan mampu meningkatkan partisipasi secara aktif untuk
membangun bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas, sejalan
dengan pendapat Sumantri dan Affandi (1996) yang menyatakan bahwa maksud
diselenggarakannya pendidikan politik, pada dasarnya adalah untuk memberikan
pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia.
Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan pengertian kepada generasi muda

supaya mereka mampu memahami nilai-nilai serta dinamika perpolitikan yang sedang
berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha
penghayatan nilai-nilai yang etis normatif, dengan menanamkan norma-norma yang
merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonsesia serta dasar untuk membina dan
mengembangkan diri supaya masyarakat bisa ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan
perpolitikan tanah air. Melalui kegiatan pendidikan politik, diharapkan terbentuk warga
negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang
tinggi dan memahami apa itu warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajibannya,
serta memiliki rasa tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara (Sumantri, 2003: 3).
Brownhill dalam Crick (2005) menyatakan bahwa proses pencapaian tujuan
pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung, namun memerlukan
waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan
dengan aspek sikap dan perilaku seseorang. Dalam meninjau kerangka kerja dan
eksistensi pelaku politik, kita tidak harus mengikuti perkembangan negara idaman yang
tak dapat dicapai, melainkan kita harus merumuskan suatu versi ideal yang
sesuangguhnya hanya bisa dicapai melalui cara yang lebih abstrak. Pendidikan politik
dalam lingkup formal terbatas untuk memberikan tinjauan yang berkelanjutan mengenai
institusi dan kehidupan sehari-hari. Pembahasan dalam ranah formal melalui berbagai
institusi pendidikan itu sendiri, mengingatkan masyarakat akan apa yang mereka

harapkan untuk tercapai, dan pendekatan moral mengenai bagaimana cara yang tepat
untuk mewujudkannya.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

4

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

d. Instrumen Pendidikan Politik
1) Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku perilaku politik
sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political
efficacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik
secara rasional.
Di sekolah, anak banyak belajar pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku politik
secara eksplisit,

terutama melalui

mata pelajaran Pendidikan

Pancasila dan

Kewarganegaraan. Melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, anak diajarkan mengenai
hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara. Berdasarkan Lampiran
Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006, maka tujuan pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah:
a) Berpikir

secara

kritis,

rasional,

dan

kreatif

dalam

menanggapi

isu

kewarganegaraan.
b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya.
d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
2) Partai Politik
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik pada saat ini yang
demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk
mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan
jalan kompromi bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana pendukung
untuk mewujudkan kepemimpinan politik secara absah dan damai. Karena itu partai
politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang
diberi kewenangan untuk dapat mengajukan calon-calon untuk menduduki berbagai
jabatan publik, yang nantinya dapat dipilih oleh rakyat dan dapat mengontrol atau
mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah (Poerwantana, 1994: 25).
Sejalan dengan Pandangan Poerwantana, Carl J. Friedrich dalam Miriam
Budiarjo (2008) menuliskan:

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

5

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Partai politik adalah sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta marteriil.
3) Media atau Pers
Menurut Arif Nurpratomo (2013), pers berasal dari bahasa Belanda pers yang
artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press
dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan. Jadi secara harfiah kata pers atau
press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan
barang cetakan. Tetapi, sekarang kata pers digunakan untuk merujuk pada semua
kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita,
baik oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
menyebutkan bahwa media massa adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
Politik sangat erat hubungannya dengan media, karena salah satu tujuan media
yakni untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai hal, terutama politik.
Media massa dengan fungsi persuasif, mampu membentuk pendapat umum dan
mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu politik yang sedang berkembang.
Pendapat suatu media terhadap permasalahan politik atau tokoh politik dapat
mempengaruhi opini publik dan merubah sikap masyarakat dalam memandang suatu
masalah politik. Media juga mampu mempengaruhi masyarakat untuk memberikan
dukungan atau melalukan penolakan terhadap kebijakan pelaku politik partai tertentu.
4) Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government Organization)
Walzer dalam Bahnmueller (1999) mengatakan bahwa interaksi sosial yang
sinergis dalam masyarakat sipil berperan dalam pengembangan potensi sosial di
antara anggota organisasi masyarakat tersebut. Salah satu bentuk dari organisasi
masyarakat yaitu non government organization atau LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).
Keterlibatan warga negara dengan institusi pemerintahan maupun lembaga
swadaya masyarakat dalam komunitas mereka adalah karakteristik utama dari

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

6

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

demokrasi yang sehat. Kekuatan tradisional demokrasi di Amerika Serikat misalnya
dibentuk oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari asosiasi sukarela,
yang diberi kebebasan untuk melakukan aktifitas-aktifitas politik sesuai dengan
kapasistas mereka sebagai warga negara. Melalui partisipasi sukarela dalam
masyarakat sipil yang bebas (terkadang disebut dengan organisasi non pemerintahan
atau NGO) terbentuklah demokrasi politik (John J. Patrick, 1999: 49). NGO atau LSM
memiliki peran yang sangat besar dalam melakukan pendidikan politik maupun upaya
perlindungan hukum dalam masyarakat.
Negara dan lembaga swadaya masyarakat berada dalam entitas yang berbeda,
namun saling melengkapi satu sama lain. Dalam konteks demokratisasi Indonesia,
lembaga swadaya masyarakat memiliki peran penting dalam proses penguatan
pendidikan politik pada masyarakat sipil (Suharko, 2003: 208).
2. Pendidikan Politik Ranah Praktis di Indonesia
Ditinjau dari nilai praktis, Rusadi Kantaprawira (2006: 54) memandang pendidikan
politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan politik rakyat supaya mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam
suatu sistem politik. Pendidikan politik disini, merupakan metode untuk melibatkan
rakyat melalui partisipasi aktif mereka dalam menyalurkan tuntutan dan dukungannya
terhadap aktifitas, tindakan, kebijakan, maupun institusi politik.
Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan
pembelajaran politik yang bersifat monolog, serta lebih mengutamakan pembangkitan
emosi. Indoktrinasi politik semacam ini, lebih merupakan pengarahan untuk
mendapatkan dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) daripada meningkatkan
partisipasi politik masyarakat. Indoktrinasi politik ini pada umumnya dilakukan oleh
rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status-quo mereka. Sayangnya,
walau Indonesia memiliki banyak partai politik, namun partai-partai tersebut pada
umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik untuk meraih tujuannya, dan
bukan mengedukasi masyarakat secara sehat melalui pendidikan politik yang baik dan
bermartabat (Cholisin, 2000: 6).
Dalam

politik,

seseorang

tidak

hanya

dituntut

untuk

mengembangkan

pengetahuan, tapi juga harus mengembangkan aspek sikap dan keterampilan. Perpaduan
ketiga aspek tersebut menurut Crick (2005) disebut dengan melek politik “political
literacy”.
Keberhasilan pendidikan politik tentunya akan melahirkan masyarakat yang melek
politik yang nantinya akan mampu berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

7

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

politik dalam komunitasnya. Pendidikan politik disini tidak dilaksanakan melalui
pembelajaran di persekolahan saja, melainkan juga dapat dilakukan melalui proses
sosialisasi politik. Adapun proses sosialisasi politik ini haruslah dilakukan secara luas,
melibatkan

banyak

orang,

dan

dilaksanakan

secara

dialogis-interaktif,

bukan

indoktrinatif.
Crick dalam bukunya, Essay on Citizenship (2005) mengungkapkan bahwa literasi
politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ia juga
menegaskan bahwa literasi politik memiliki makna yang lebih luas dari sekedar
pengetahuan politik. Literasi politik merupakan suatu cara untuk membuat seseorang
menjadi “efektif” dalam kehidupan publik dan mendorong mereka untuk menjadi warga
negara aktif serta partisipasif dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, baik dalam
kegiatan politik yang bersifat wajib maupun sukarela. Literasi politik selalu menyatakan
secara tidak langsung akan perlunya penerapan konsep secara jelas dan pantas. Konsep
disini tidak berarti memecahkan masalah dan menggunakannya secara benar, namun
lebih pada pemahaman dan mencoba memberikan pengaruh dalam masyarakat. Jadi
pendekatan konsep pada pendidikan politik bukan berarti mengetahui atau menerapkan
filsafat politik namun lebih pada kemampuan berkomunikasi, sebagai permulaan (Crick,
2005: 77-78).
Tiga jenis keterampilan partisipatif yakni keterampilan interaksi, observasi, dan
mempengaruhi, diajukan Popper terkait dengan kecakapan politik. Keterampilan
interaksi berkaitan dengan kelihaian warga untuk berkomunikasi dan bekerjasama dalam
lingkup politik. Pemantauan merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengetahui rekam jejak (track record) suatu tokoh politik maupun menilai kredibilitas
dari lembaga pemerintahan tertentu. Serta mempengaruhi mengacu pada keterampilan
yang digunakan untuk mempengaruhi hasil kebijakan pemerintah dalam bidang politik,
seperti resolusi mengenai isu-isu publik.
Selanjutnya penulis akan membagi kajian pengembangan pendidikan politik dalam
ranah praktis di Indonesia yang berlangsung pada masa orde lama, orde baru, dan
refromasi.
a. Orde Lama
Pendidikan politik pada orde lama, jika dikaji dari perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan, memiliki keunikan tersendiri. Selain karena Indonesia pada masa ini
masih baru saja merdeka, juga ada faktor eksternal lain yang turut mempengaruhi
keunikan pendidikan politik pada masa ini. Menurut Numan Sumantri dalam Iyep
Candra Hermawan (2013:11-12) menyebutkan bahwa pendidikan politik pada awal
kemerdekaan bisa dikategorikan sebagai patriotic political education, sehingga lebih

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

8

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

menekankan pada nation dan character building. Pendidikan politik yang idealnya
dimaksudkan untuk

memberikan pengarahan dan pemahaman politik kepada

masyarakat, berubah menjadi indoktrinatif. Iyep (2013) menambahkan bahwa
pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup merupakan bentuk
penodaan terhadap pendidikan politik itu sendiri.
Media massa atau pers merupakan pilar keempat demokrasi selain lembaga
eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Oleh karena itu, pers memiliki peran yang sangat
penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan ketiga lembaga tersebut dalam
sistem pemerintahan nasional.
Pada masa orde lama (yang dimulai sekitar tahun 60-an), pers belum menjalankan
fungsi dan perannya sebagai instrumen pendidikan politik kepada masyarakat luas
karena pers pada saat itu dijadikan alat politik pemerintah untuk mendukung dan
membela Manifesto Politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Demokrasi Terpimpin, serta
kebijakan-kebijkana lain yang ditetapkan pemerintah. Terbitnya UU Pokok Pers pada
tahun 1966 merupakan sebuah kemajuan dalam hal kebebasan pers karena seharusnya
setelah berlakunya UU tersebut, tiada lagi sensor dan pembredelan media. UU ini
terkesan setengah hati karena adanya pasal dalam undang-undang yang sama, yang
menyatakan masih diperlukannya Surat Izin Terbit (SIT) bagi media untuk bisa meliput
kegiatan politik tanah air. Pada 26 Maret 1965, pemerintah mewajibkan lembaga pers
untuk berafiliasi pada partai politik, sehingga seiring berjalannya waktu, lembaga pers
yang berafiliasi pada partai politik yang kuat, akan menjadi kuat pula dari segi pendanaan
dan lebih memiliki pengaruh dalam masyarakat. Pada saat yang sama, partai politik
kemudian menggunakan media untuk menyebarkan ide (gagasan) tentang kehidupan
politik berbangsa dan bernegara. Orde lama merupakan masa dimana terjadi
“pertarungan” gagasan komunis, sosialis, dan juga Islam. Adapun pendidikan politik yang
dilakukan oleh partai politik pada masa ini, difokuskan bukan untuk membentuk literasi
polik masyarakat, melainkan lebih pada indoktrinasi gagasan partai politik kepada kader
partai serta kepada simpatisan. Sedangkan lembaga swadaya masyarakat di masa ini
masih baru saja terbentuk. LSM pertama yang lahir pada masa orde lama adalah PKBI
(Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Lembaga ini merupakan lembaga masyarakat
yang menjadi mitra pemerintah dalam upaya melakukan pembinaan keluarga yang sehat
(Miriam Budiarjo, 2008: 388). Pada tahun 1960-an, barulah bermunculan LSM- LSM
baru dengan visi dan misi yang lebih bervariasi. Miriam Budiarjo (2008) menjelaskan
bahwa pada masa ini muncul kesadaran akan kemiskinan dan keyakinan jika masalah
yang berkaitan dengan itu tak hanya dapat diatasi dengan menyediakan obat-obatan,
bahan pangan, dan sejenisnya. Sebaliknya, perbaikan masyarakat miskin dapat dilakukan

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

9

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

dengan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masalah. Walaupun peran
LSM dalam pendidikan politik praktis pada masa orde lama sudah mulai terlihat, namun
LSM belum menjalankan perannya secara optimal.
b. Orde Baru
Orde Baru adalah pemerintahan terlama yang berkuasa di Indonesia. Pada masa
orde baru, instrumen pendidikan politik tidak banyak melakukan “manuver”, bahkan
cenderung “membeku”. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai instrumen pendidikan
politik pada lingkungan sekolah, yang seharusnya bertujuan untuk mencerdaskan
masyarakat muda Indonesia, pada masa ini bisa dikatakan pincang karena materi
pendidikan kewarganegaraan masa orde baru lebih bersifat indoktrinasi daripada
pendidikan politik. Hal ini dapat dilihat dari konten mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang lebih menekankan pada pengamalan P-4 sebagai interpretasi
pemerintah terhadap nilai-nilai Pancasila.
Kritik terhadap konten pendidikan kewarganegaraan pada orde baru yaitu
mengenai proses pembelajarannya yang tidak mendorong perlunya berpikir kritis
terhadap sistem dan isu-isu politik kontemporer. Hal ini disebabkan karena materimateri yang diajarkan cenderung bersifat verbalistis. Nilai-nilai moral Pancasila sebagai
civic virtues, dijabarkan dalam P-4 dengan model pembelajaran yang cenderung
berbentuk hafalan kognitif (Samsuri, 2011: 38).
Pemerintah lalu melebur partai politik yang ada di Indonesia sehingga tersisa 3
partai politik yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Ketidakstabilan politik yang pernah dialami oleh
orde lama coba dihalau pada masa Soeharto, salah satunya melalui penguatan eksekutif
dengan Golkar sebagai pemerintah yang mendapat dukungan dari mayoritas anggota
TNI. Pada titik ini, partai politik mengalami “kemandegan” dan kehilangan esensinya
sebagai instrumen pendidikan politik. Komunikasi politik, sosialisasi politik, dan
pendidikan politik diperbolehkan dalam batas-batas tertentu yang diatur secara ketat dan
otoriter oleh pemerintah orde baru.
Media dalam masa Orde Baru dipakai sebagai sarana propaganda pemerintah
untuk menggerakkan pembangunan nasional. Media jika dilihat dari perspektif sejarah
sangat dipengaruhi oleh pengawasan penguasa sehingga media yang seharusnya
menyajikan informasi sesuai dengan realita politik, pada masa ini menjadi terkungkung
dan sangat dibatasi oleh badan sensor. Media lalu hanya berfungsi simbolik sebagai ruang
pergelaran kekuasaan, pencitraan penguasa, dan alat politik pemerintah. Orde baru telah
menggunakan bahasa dalam dunia media massa sebagai wahana kooptasi, subordinasi,
dominasi, dan imperialisme kesadaran medan semantik masyarakat (Subiakto, 1997: 96)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

10

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Namun pada masa orde baru, peran NGO dalam fungsinya sebagai instrumen
pendidikan politik di Indonesia, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Lembaga
swadaya masyarakat berhasil melakukan pendekatan yang berbeda-beda dalam
masyarakat, dan pada area tertentu mereka mencapai titik temu dalam hal orientasi
penguatan kelompok masyarakat sebagai basis untuk mewujudkan masyarakat yang
sehat. LSM bahkan menjadi kekuatan tandingan bagi kekuasaan pemerintah di bidang
sosial budaya. LSM memperoleh dukungan, terutama pada kalangan masyarakat
ekonomi lemah dan sebagai timbal baliknya, mereka memberikan kontribusi positif bagi
para pendukungnya untuk menghadapi pemerintah atau kekuatan lain yang lebih kuat.
Pada masa orde baru, LSM memiliki peran yang besar untuk memperkuat masyarakat
sipil vis a vis negara.
c. Era Reformasi
Pada era reformasi, Pendidikan Kewarganegaraan tidak lagi merupakan mata
pelajaran budi pekerti yang diajarkan secara verbal. Pengalaman jatuhnya Soeharto
merupakan landasan dari revitalisasi konten pendidikan kewarganegaraan. Setelah era
reformasi, pendidikan kewarganegaraan lalu disusun dan diterapkan untuk membentuk
warga negara yang kritis sehingga mampu untuk berpartisipasi aktif terhadap isu-isu
politik dan perkembangan jaman. Pada saat ini Pendidikan Kewarganegaraan memiliki
peran penting sebagai instrumen pendidikan politik di lingkungan sekolah pada
khususnya, dan lingkungan masyarakat pada umumnya, untuk memberikan pengetahuan
dan pemahaman terhadap masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai “homo
politicus”.
Adapun partai politik pada era reformasi berkembang sangatlah pesat, terutama
dari segi jumlah. Puluhan partai-partai baru bermunculan dalam Pemilu 1999. Mereka
beradu mendapatkan kepercayaan rakyat di tengah euphoria demokrasi. Seiring
berjalannya waktu, partai politik kini telah diberikan kebebasan oleh Undang-Undang
untuk menjalankan fungsinya sebagai instrumen pendidikan politik. Partai politik
diperbolehkan untuk memberikan kursus kader, ceramah, penataran, workshop supaya
anggota partai politik menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai
warga negara dan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan sendiri maupun
partai. Meskipun pada saat ini, tidak disangkal bahwa adakalanya partai mengutamakan
kepentingan partai di atas kepentingan nasional namun tindakan tersebut merupan
tindakan inkonstitusional yang dilakukan oleh aktor-aktor “nakal” dalam Parpol. Ajaran
untuk menjunjung loyalitas partai melebihi loyalitas kepada negara, serta pandangan

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

11

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

secara sempit dalam melihat permasalahan negara akan mengakibatkan pengkotakkotakan masyarakat dan tidak membantu proses integrasi (Miriam Budiarjo, 2008: 408).
Pada era reformasi, perbaikan di segala bidang dilakukan termasuk dalam bidang
pers atau media massa. UU Pokok Pers baru, yang menggantikan regulasi setingkat UU
diberlakukan. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pokok
Pers Tahun 1999) lalu disahkan untuk menggantikan UU Nomor 21 tahun 1982 tentang
Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1967. Pada saat inilah, media
massa atau pers menduduki perannya yang ideal sebagai instrumen pendidikan politik
masyarakat. Jatuhnya rezim orde baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya,
juga tidak lain karena peran media dalam melakukan transformasi informasi dan
pendidikan politik kepada masyarakat. Media menjadikan krisis moneter sebagai alasan
untuk melakukan reformasi dan mobilisasi politik saat itu. Penayangan demonstrasi
setiap hari di media televisi, kritik terhadap kebijakan pemerintah, pemecatan buruh, dan
ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga lalu menguat menjadi opini publik dan
akhirnya mempengaruhi massa dalam gerakan sosial untuk menurunkan Soeharto.
LSM pada era reformasi bekerja secara lebih kondusif sebagai institusi
pemberdayaan masyarakat dan intrumen pendidikan politik. Bentuk kegiatan yang
dilakukan LSM meliputi workshop, diskusi politik, pencetakan kader gerakan, mobilisasi
aksi, ataupun kampanye opini publik. Beberapa lembaga swadaya masyarakat
beranggapan bahwa sumber keterbelakangan dan kemiskinan adalah ketidakadailan
tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, beberapa lembaga swadaya
masyarakat pada era reformasi, berfokus pada penyadaran politik, pengorganisasian
rakyat, mobilisasi aksi, dan membangun jaringan advokasi (Miriam Budiarjo, 2008: 391).
C. Kesimpulan
Sejak proklamasi hingga saat ini, Indonesia tidak pernah berhenti berbenah.
Sebagai negara yang menganut demokrasi Pancasila, pendidikan politik seyogyanya
selalu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia supaya mereka memiliki
literasi politik dan memahami hak, peran, serta kewajibannya sebagai warga negara
Indonesia.
Belum optimalnya peran dari instrumen-instrumen pendidikan politik di Indonesia,
menjadi “pekerjaan rumah” yang harus segera dituntaskan. Pendidikan politik yang
diintegrasikan dalam Pendidikan Kewarganegaraan di masa depan harus mampu
memenuhi fungsinya untuk mencerdaskan warga negara Indonesia dan menyiapkan
generasi muda untuk berperan secara aktif dalam dinamika perpolitikan nasional. Partai

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

12

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

politik idealnya bukan hanya bekerja pada masa Pemilu (pemilihan umum), akan tetapi,
harus berperan aktif, sepanjang tahun dalam melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat. Pers juga perlu kembali kepada jalur yang benar. UU Pokok Pers tahun 1999
telah melindungi pers Indonesia dari tekanan pemerintah, namun regulasi ini gagal
menangkal tekanan lain yang tidak kalah berbahayanya, yaitu tekanan pasar. Era
kebebasan pers terkadang disalahgunakan oleh beberapa pihak, yang menjadikan pers
sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebagai lembaga
independen, LSM saat ini juga banyak mendapatkan kritik karena fungsinya yang tidak
lagi membela kepentingan masyarakat kecil. Kini banyak bermunculan LSM bayaran yang
dibentuk untuk mendukung rezim tertentu dan tidak lagi menjadi instrumen dalam
pendidikan politik rakyat.
Sebagaimana sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh Roger Lovel: we live in a
world where the only certainty is change. Kita hidup dalam dunia yang selalu berubah.
Perubahan itu kadangkala memang membuat kita harus menerima konsekuensi yang
pahit. Namun perubahan itu sifatnya mutlak dan tidak bisa kita tolak. Justru dari
kesalahan-kesalahan di masa lalu, kita bisa belajar untuk menjadi individu yang lebih
baik. Demikian juga yang terjadi jika kita melihat dinamiika perpolitikan di Indonesia.
Kita pernah mengalami saat-saat kelabu dimana instrumen-instrumen politik mandeg
dan kehilangan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik. Kini kita telah jauh lebih
baik.
Memang benar adanya bahwa instrumen-instrumen dalam pendidikan politik
belum bekerja secara optimal dan masih terjadi ketimpangan antara das sein dan das
solen. Namun sebagai warga negara yang tidak pernah berhenti belajar dari kesalahan,
kita harus tetap memiliki tekad dan keyakinan bahwa jalan panjang pendidikan politik
Indonesia akan menuju ke arah yang lebih baik.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

13

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Daftar Pustaka
Bahmueller, Charles F.,Ed,; Patrick, John J.,Ed. 1999. Principles and Practices of
Educational for Democratic Citizenship: International Perspectives and Project.
Washington: Office of Education Research and Improvement
Brownhill, Robert & Smart, Patricia. 1989. Political Education. London: Routledge
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Crick, Bernard. 1974. Basic Political Concept and Curriculum Development, Teaching
Politics
Crick, Bernard. 2005. Essays on Citizenship, Continuum: London
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Kartini, Kartono. 2009. Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa.
Bandung: CV. Mandar Maju
Poerwantana, P.K, Drs. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta
Subiakto, Henry; Basis Susilo (ed).. 1997. Dominasi Negara dan Wacana Pemberitaan Pers
dalam Masyarakat dan Negara. Surabaya: Airlangga University Press
Sumantri, Endang. 2003. Diktat Pendidikan Generasi Muda. Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan. FPIPS. Tidak diterbitkan
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media

Jurnal
Hermawan, Iyep C. 2013. Revitalisasi Pendidikan Politik dalam
Kewarganegaraan di Indonesia. Atikan: Jurnal Kajian Pendidikan

Pendidikan

Samsuri. 2011. Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun
Kompetensi Warga Negara. Jurnal Civicus
Suharko. 2003. NGO, Civil Society dan Demokrasi: Kritik Atas Pandangan Liberal. Jurnal
Ilmu Sosial dan Politik
Sunarso. Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan Urgensinya Bagi Sebuah Bangsa (di
unduh 10 November 2015)

Tidak Diterbitkan
Affandi, Idrus 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan
Politik. Disertasi Pascasarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

14

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Nurpratomo, Arif. 2013. Peranan Harian Tribun Jogja dalam Pendidikan Politik Pemilih di
Kota Yogyakarta. Skripsi S1 FIS UNY. Tidak diterbitkan
Peraturan Perundangan
Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda
Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006 tentang Tujuan Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah
Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015
PPs Universitas Negeri Yogyakarta

View publication stats

15