Lapan CNES Perkuat Kerja Sama

Lapan-CNES Perkuat Kerja
Sama
4 Oktober 2016

0 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Peran teknologi dirgantara dan antariksa kian
penting di masa depan. Untuk menguasainya, butuh pengembangan
berkelanjutan kemampuan ilmuwan dan perekayasa. Karena itu,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menjalin kerja sama
dengan Pusat Studi Antariksa Nasional Perancis (Centre National
d'Etudes Spatiales/CNES).
Selama ini, Lapan dan Perancis bekerja sama memakai data satelit
penginderaan jauh (inderaja). Data itu untuk keperluan pembangunan,
seperti pemantauan terumbu karang, daerah tangkapan ikan, hingga
perencanaan wilayah dan tata ruang.
"Perancis punya banyak keunggulan bidang satelit," kata Duta Besar
Perancis bagi Indonesia Corinne Breuzé, pada Lokakarya Teknologi
Dirgantara Indonesia-Perancis, di Jakarta, Senin (3/10). Perancis sudah
bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk
pengembangan model prakiraan cuaca.

Perancis ingin memperluas kerja sama pengembangan teknologi dirgantara
dan antariksa. Salah satu hal yang bisa didapat Perancis ialah pemanfaatan
data sistem identifikasi otomatis (AIS) lalu lintas kapal laut di satelit Lapan
A2/Orari dan Lapan A3/IPB. Data dua satelit itu bisa memantau lalu lintas
kapal laut di seluruh perairan Bumi.
"Data lalu lintas kapal itu penting bagi Perancis yang tak punya kondisi
geografis seperti Indonesia," ujar Kepala Hubungan Internasional dan Eropa
CNES Donato Giorgi.
Masih parsial

Menurut Kepala Lapan Thomas Djamaluddin, kerja sama Lapan-Perancis
masih parsial. Meski dalam penjajakan, Lapan ingin mengembangkan kerja
sama seperti sains antariksa dan atmosfer, teknologi dirgantara meliputi
satelit, roket peluncur, dan pesawat, serta pengembangan sistem inderaja.
Khusus pengembangan bandar antariksa, Lapan bisa menimba ilmu
perancangan dan pengoperasian bandar antariksa dari CNES yang
mengelola Bandar Antariksa Guyana di Kourou, Guyana Perancis, Amerika
Selatan. Pengembangannya bisa dikerjasamakan dengan negara lain yang
belum punya lokasi peluncuran dekat khatulistiwa.
"Hasil kajian pemilihan lokasi bandar antariksa di Indonesia, apakah Morotai,

Maluku Utara atau Biak, Papua, akan ada tahun ini," kata Thomas.
Staf Ahli Bidang Infrastruktur Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Hari Purwanto menambahkan, kerja sama itu harus dimanfaatkan
dengan baik. Selain pertukaran data, kerja sama itu untuk pengembangan
sumber daya manusia demi keberlanjutan inovasi teknologi dirgantara dan
antariksa.
Namun, pengembangan SDM itu harus disertai penyiapan fasilitas riset atau
industri pendukung agar ilmu yang mereka peroleh bisa dimanfaatkan.
"Mengirim calon mahasiswa ke luar negeri itu mudah, menyiapkan
infrastruktur pendukung setelah mereka pulang itu sulit, tapi harus
disiapkan," ucapnya. (MZW)

Profesionalitas TNI Tidak
Dapat Ditawar
4 Oktober 2016

0 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Tentara Nasional Indonesia yang profesional saat ini


merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Negara harus mendukung penuh TNI
yang berusia 71 tahun pada Rabu (5/10) besok sebagai komponen utama
pertahanan.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa tugas
pokok TNI terdiri dari operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang
(OMSP). Namun, pengajar di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Edy
Prasetyono, Senin (3/10) di Jakarta, menggarisbawahi, persiapan perang merupakan
hakikat TNI sebagai institusi militer.
"Tugas tentara itu mempersiapkan perang walaupun saat ini tidak muncul ancaman
perang konvensional. Bahwa kemudian kemampuan tersebut bisa digunakan untuk
OMSP, itu tak apa- apa," kata Edy.
Menurut dia, peningkatan kemampuan perang TNI akan berdampak positif terhadap
kekuatan Indonesia. TNI yang kuat akan memberikan efek gentar, yang akhirnya akan
meningkatkan kemampuan daya tawar Indonesia secara umum di hadapan negara lain.
Ancaman

Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Yoedhi Swastanto
mengatakan, berdasarkan jenis ancaman, Kemhan mendefinisikan ada tiga jenis
ancaman yaitu ancaman militer, nirmiliter, dan hibrida (campuran militer dan nonmiliter).
Sementara berdasarkan wujudnya, ada ancaman yang nyata dan belum nyata.

Ancaman yang belum nyata adalah perang konvensional (antarnegara). Dalam 5-10
tahun mendatang kecil kemungkinan Indonesia menghadapi perang konvensional.
Sementara ancaman nyata adalah terorisme, bencana alam, pelanggaran perbatasan,
ruang siber, separatisme, pembajakan dan pencurian sumber daya alam, penyakit,
serta narkoba.
"Ancaman perang dihadapi TNI. Sementara ancaman nirmiliter seharusnya itu menjadi
tugas kementerian dan lembaga," kata Yoedhi. Oleh karena kemungkinan terjadinya
perang konvensional relatif kecil, penguatan TNI juga ditujukan dengan
mempertimbangkan ancaman nirmiliter.
OMSP, kata Yoedhi, umumnya untuk mengatasi ancaman nirmiliter. Menurut dia, TNI
dapat menjaga keseimbangan antara tugas mempersiapkan perang dan non-perang.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Iis Gindarsah,
mengatakan, penyiapan personel TNI adalah untuk tugas perang konvensional. Akan
tetapi, TNI bisa saja dipergunakan untuk tugas lain, seperti OMSP yang bersifat ad
hoc atau sementara.
Menurut Iis, masalah utama dalam profesionalisme TNI saat ini adalah bagaimana
mengelola jumlah personel militer di tengah jabatan struktural yang sedikit.
BERITA TERKAIT

Membangun TNI yang Profesional


Cetak | 4 Oktober 2016

Terbangunnya disiplin militer, kata Iis, menjadi salah satu syarat untuk terwujudnya
profesionalitas TNI. Terkait dengan hal ini, TNI telah mengalami kemajuan disiplin
secara struktural, misalnya Oditurat Militer sekarang berada di bawah Mahkamah
Agung, sementara Korps Polisi Militer juga berada dalam struktur yang baru di bawah
Markas Besar TNI.
Prioritas

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, salah satu prioritas pertahanan
TNI saat ini adalah pembangunan jaringan radar untuk menutup ruang udara yang
belum terpantau untuk menjaga wilayah Indonesia.
Seiring pertumbuhan Indonesia saat ini, Panglima TNI optimistis kekuatan militer
Indonesia juga akan tumbuh dalam 10 tahun mendatang.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (AU) Marsekal Agus Supriatna mengatakan,
perkembangan lingkungan global, regional, ataupun nasional menjadi pertimbangan
dalam meningkatkan kemampuan. "TNI AU meningkatkansmart power dengan
memadukan hard power, yaitu persenjataan yang andal dengan soft power yang
berupa kekuatan non-militer, seperti kemampuan ekonomi, sosial budaya, dan

diplomasi," katanya.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (AD) Jenderal Mulyono mengatakan, TNI AD juga
membuat sejumlah skenario ancaman jangka pendek, menengah, dan panjang.
Berdasarkan skenario ini, TNI AD lalu membuat perencanaan peningkatan
kekuatannya.
TNI Angkatan Laut (AL) juga merencanakan pembangunan kekuatan dengan
berdasarkan kemampuan. Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi mengatakan,
personel TNI AL dididik dan dilatih dalam konteks yang lebih spesialis. Latihan diadakan
berjenjang untuk meningkatkan naluri tempur. Personel TNI AL juga diberikan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan sipil, baik di dalam
maupun di luar negeri. Langkah ini terutama dimaksudkan untuk penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Edy Prasetyono mengatakan, perkembangan teknologi menjadi tantangan sekaligus
peluang untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Perang modern dengan teknologi
harus segera diadaptasi TNI. Adanya keterbatasan anggaran membuat TNI harus
membuat prioritas, seperti berapa persen dari persenjataan yang memiliki teknologi
sangat modern sehingga memiliki efek gentar. Penempatan persenjataan juga penting.
"Misalnya ada 10 skuadron, bisa ada 2 skuadron dengan teknologi maju. Kapal perang
yang paling modern juga bisa ditempatkan di tempat strategis, seperti Natuna, Sabang,
atau Morotai," kata Edy.

Sementara Gindarsah berpendapat, daya gentar TNI masih baik. (EDN/ONG)