Dinamika Ekonomi Politik di Daerah Kaya

Dinamika Ekonomi Politik Daerah Kaya Sumber Daya Alam1

Cornelis Lay
Departemen Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

I.

Pengantar
Riset PolGov mengenai pengelolaan sumber daya di beberapa daerah -- Banyuwangi

(emas dan mineral di Tumpang Pitu), Belu (mangan oleh PT. Nusa Lontar Resources),
Manggarai (mangan di Torong Besi), dan Bojonegoro (migas), menemukan bahwa:


Akuntabilitas dan transparansi yang dipromosikan sebagai resep guna
menghindari kutukan sumber daya alam merupakan faktor krusial, namun belum




cukup untuk memastikan hadirnya tata kelola pertambangan yang baik.
Ketiadaan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan mengenai
pemberian izin maupun pengelolaan pendapatan daerah dari industri ekstraktif
menyebabkan pengelolaan sektor ini didominasi elit lokal, yang dalam beberapa



kasus, berkongsi dengan elit nasional.
Pengetahuan lokal yang dipraktikkan masyarakat belum diakomodasi pemerintah



daerah dalam mengelola industri ekstraktif.
Pemerintah daerah membutuhkan keahlian khusus untuk mengelola konflik yang
mungkin timbul dari aktivitas ekstraksi.

Studi PolGov di atas berangkat, salah satunya, dari premis mengenai kutukan sumber
daya (resources curse atau disebut juga sebagai paradox of plenty). Dan sudah barang tentu,
temuan-temuannya sangat penting dalam kerangka penataan kembali secara teknokratik
pengelolaan sektor ini di masa-masa datang. Hanya saja penekanan pada aspek ekonomi dan

sosial dengan memberikan bobot sangat besar pada sentralitas rent seeking effect atas tingkat
1 Paper disampaikan pada Diskusi Mengelola Kutukan, Menimbang Masa Depan yang diselenggarakan pada Rabu,
24 Mei 2017 di Yogyakarta, atas kerjasama Article 33 Indonesia dengan PolGov, Departemen Politik dan
Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.

kesejahteraan, meluasnya penyalahgunaan kekuasaan, dan terabaikannya pelibatan masyarakat
dan pengetahuan lokal dalam proses kebijakan, belum mampu secara utuh memotret
kompleksitas persoalan yang terkait dengan isu ini. Dan dengannya, buku ini baru menyajikan
separoh – dan berada pada aras teknokratik -- dari kemungkinan penyelesaian masalah yang bisa
ditawarkan.
Dengan demikian, kajian ini masih bisa diperluas untuk menjangkau efek-efek yang lain,
terutama yang terkait dengan dimensi politik sebagaimana didiskusikan Michael L. Ross –
profesor ilmu politik University California of Los Angeles yang menekuni tema-tema yang
terkait dengan persoalan-persoalan negara-negara kaya sumber daya alam, politik energi, dan
demokrasi -- dalam studinya mengenai resource curse yang berjudul “Does Oil Hinder
Democracy?” (2001). Hal ini terutama penting guna dapat membangun kesadaran yang lebih
luas mengenai akibat dramatis yang bisa ditimbulkan oleh kesalahan tata-kelola sumber daya
bagi keseluruhan bangunan peradaban politik. Atau sebaliknya, betapa sentralnya pengembangan
tata-kelola yang baik di sektor ini sebagai fondasi pembangunan peradaban demokrasi ke depan.
Dengan cara ini, saya meyakini bahwa PolGov akan mampu membawa level penyelesaian

masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi, yakni politik; tidak berhenti sebagai persoalan
teknokrasi.
II.

Kaitan antara Sumber Daya dan Demokrasi
Banyak ilmuwan ekonomi mempercayai bahwa minyak mempunyai sifat yang aneh/

ganjil. Hal ini disebabkan karena banyak studi, terutama yang berangkat dari cara pandang kaum
modernis mengargumentasi dan menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat yang bersifat
positif antara peningkatan kapasitas ekonomi dengan demokrasi: ketika pendapatan meningkat,
pemerintah cenderung menjadi demokratis. Namun, banyak ilmuwan yang menekankan bahwa
ada pengecualian terhadap kesimpulan tersebut ketika negara-negara penghasil minyak dijadikan
sebagai referensi: efek demokrasi dari peningkatan pendapatan negara justru akan menyusut,
bahkan menghilang. Pertanyaaannya kemudian, apakah minyak sesungguhnya memiliki sifat
antidemokrasi? Bagaimana dengan komoditas sumber daya lain? Apa yang bisa menjelaskan
efek tersebut?

Klaim bahwa minyak dan demokrasi tidak bisa berdampingan seringkali disebutkan oleh
ahli untuk menjelaskan kenapa negara dengan pendapatan tinggi seperti negara-negara di Timur
Tengah tidak demokratis. Jika letak kesalahan ada pada minyak, maka ini bisa sekaligus memberi

penjelasan persoalan-persoalan politis yang mendera negara eksportir minyak seperti Nigeria,
Indonesia, Venezuela, atau negara-negara di kawasan Asia Tengah. Jika mineral lain memiliki
sifat mirip minyak, efek ini mungkin membantu menjelaskan absennya atau lemahnya demokrasi
di negara-negara seperti sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara lainnya. Namun
begitu, klaim “minyak menghalangi demokrasi” sangat sedikit diperhatikan oleh ilmuwanlmuwan yang berada di luar lingkaran kajian Timur Tengah.
Ross, menggunakan data statistik maupun kualitatif dari 113 negara dalam rentang waktu
1971-1997 untuk mengeksplorasi tiga aspek dari klaim “minyak menghalangi demokrasi.”
Pertama, validitas klaim: apakah ini benar? Walaupun klaim ini banyak dikemukakan ahli kajian
Timur Tengah, klaim ini sangatlah sulit untuk diuji hanya dengan menganalisa kasus Timur
Tegah karena negara yang memiliki variasi dependent variable: secara virtual semua pemerintah
Timur Tengah adalah negara otoritarian sejak kemerdekaannya. Terlebih lagi ada penjelasan yang
masuk akal mengenai absennya demokrasi di Timur Tengah, termasuk didalamnya pengaruh
Islam, budaya, dan sejarah kolonial. Apakah minyak secara konsisten mempunyai efek negatif
atas demokrasi ketika satu atau beberapa variabel ini atau variabel lain diperhitungkan?
Pertama, menguji klaim yang secara umum menyertai dua dimensi, yaitu dimensi
geografis dan sektoral. Pertama, dimensi geografis, klaim minyak menghalangi demokrasi
banyak dieksplorasi ahli Timur Tengah: 10 dari 15 negara yang memiliki ketergantungan
terhadap minyak adalah negara-negara di Timur Tengah. Tapi, apakah minyak merupakan
penghambat demokrasi hanya berlaku di Timur Tengah atau apakah minyak membahayakan
negara-negara eksportir minyak dimanapun letak negara tersebut? Jika hipotesa tersebut berlaku

untuk semua negara kaya penghasil minyak, maka perlunya atau pentingnya studi mengenai hal
ini telah diremehkan oleh ilmuwan politik selama sekian lama. Jika, klaim tersebut hanya
berlaku di Timur Tengah, kenapa bisa begitu?
Kedua, dimensi sektoral, apakah tipe sumber daya mineral atau komoditas jenis non
minyak mempunyai efek yang sama terhadap pemerintah? Sementara eksportir minyak
cenderung terkonsentrasi di Timur Tengah, negara-negara eksportir sumber daya non mineral

cenderung beragam sebarannya (misalnya Norwegia, Maroko, Slovakia, Kirgistan, Togo, Papua
Nugini, Zambia, dll). Apakah negara-negara tersebut juga dianggap kurang demokratis karena
kesejahteraan dari sumber daya yang mereka miliki? Ataukah minyak memiliki sifat
antidemokrasi yang tidak ditemukan di komoditas lain?
Ketiga, Ross mengeksplorasi mengenai hubungan sebab-akibat: jika minyak memiliki
efek antidemokrasi, apa mekanisme sebab akibatnya (causal mechanism)? Ross menguji tiga
kemungkinan penjelasan. Pertama, “efek rente (rentier effect),” dengan dua komponennya yaitu,
pertama “efek perpajakan (taxation efect)” bahwa pemerintah yang kaya sumber daya
menggunakan mekanisme tarif pajak yang rendah untuk menurunkan tekanan atas tuntutan
akuntabilitas. Ketika pemerintah memperoleh pendapatan yang mencukupi dari penjualan
minyak, pemerintah cenderung menarik pajak lebih rendah atau malahan tidak sama sekali, dan
publik akan tidak begitu menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan tidak menuntut representasi
dalam pemerintahan. Komponen kedua yaitu “efek pengeluaran atau pembelanjaan (spending

effect),” bahwa kekayaan minyak dapat berujung pada besarnya pengeluaran atau pembelanjaan
untuk kebutuhan memelihara patronase.
Keempat, “efek represi (repression effect)” bahwa kekayaan sumber daya menghambat
demokrasi karena memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk meningkatkan pendanaan
keamanan dalam negeri. Dua indikator untuk menelisik efek represi yaitu anggaran untuk militer
dan military personnel termasuk didalamnya kekuatan paramiliter. Ketiga “efek modernisasi
(modernization effect),” bahwa pertumbuhan berdasar ekspor minyak dan mineral gagal untuk
membawa perubahan sosial dan budaya yang mana cenderung menghasilkan pemerintah yang
demokratis. Indikator yang digunakan untuk menguji efek modernisasi ini meliputi tingkat
pendidikan, pelayanan kesehatan, partisipasi media, dan tingkat urbanisasi.
Empat temuan pokok yang disimpulkan Ross. Pertama, klaim minyak menghambat
demokrasi merupakan klaim yang valid dan secara statistik kuat. Dengan kata lain, “minyak
melukai demokrasi.” Terlebih lagi, minyak mempunyai dampak buruk yang lebih luas terhadap
demokrasi di negara-negara miskin dibanding negara kaya. Kedua, pengaruh membahayakan
dari minyak tidak terbatas hanya di Timur Tengah. Sumber daya minyak membuat demokratisasi
lebih sulit di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Meksiko, dan Nigeria; dan bisa jadi
mempunyai efek yang sama di negara kaya minyak seperti negara di kawasan Asia Tengah.

Ketiga, Ross menemukan bahwa kekayaan sumberdaya mineral non minyak juga menghambat
demokratisasi. Sementara eksportir utama minyak terkonsentrasi di Timur Tengah, dan eksportir

mineral tersebar dari Afrika, Asia, hingga Amerika, termasuk di banyak negara di mana
kemajuan demokrasinya sulit dipahami seperti Peru, Cambodia, Angola, Chile. Keempat,
setidaknya ada empat tentative supports untuk ketiga mekanisme sebab akibat keterkaitan antara
minyak dan otoritarianisme: efek rente, efek represi, dan efek modernisasi. Kaitan antara
kekayaan sumber daya mineral dan otoritarianisme lebih sulit dipahami: negara eksportir mineral
lebih menderita karena paparan efek rente. Ketiga efek ini bisa jadi saling melengkapi, tidak
berdiri sendiri. Ketika ketiganya berinteraksi dalam cara yang membahayakan, maka muncullah
jebakan sumber daya (resource trap). Ross merekomendasikan satu komponen untuk menguji
kutukan sumber daya yaitu: autoritarian rule.
III.

Penutup
Temuan-temuan riset Polgov yang disajikan dalam buku ini, menurut saya akan semakin

kaya, bersifat lebih politis dan memiliki nilai yang lebih strategis jika beberapa poin krusial yang
digambarkan pada bagian B di atas bisa disertakan dalam kajian-kajian berikutnya.

Referensi
Ross, Michaell L. April, 2001. Does Oil Hinder Democracy. World Politics, 53, 325-61,
https://www.cambridge.org/core/journals/world-politics/article/div-classtitledoes-oil-hinderdemocracydiv/67665D8D240C8F43CD4A2DCB35894071