KONSENTRASI MEDIA MASSA DAN MELEMAHNYA D

KONSENTRASI MEDIA MASSA
DAN MELEMAHNYA DEMOKRASI
Oleh: Henry Subiakto
(Dosen Jurusan Komunikasi FISIP dan Program Pascasarjana Studi Media dan
Komunikasi Universitas Airlangga)
This article tells about globalization and the tend of concentration media ownership on the world.
It’s impact to reduce democracy in many countries. Like in United States, United Kingdom, also
Indonesia. Ownerships is very important aspect of journalism. Many studies indicates, ownership
interferes the independency of editors . The content of the media always reflect the interest those
who finance them.
Key word of this article are globalization, media concentration, and the decline of democracy

Globalisasi Budaya
Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah m engubah
dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi
desa

global

(global


village).

Tahun

1964

ketika

Marshall

Mc

Luhan

mengemukakan teori determinisme teknologi dalam buku Understanding Media,
banyak orang yang sulit mengert i, dan tidak bisa membayangkan konsepsi global
village. Pemikiran Mc Luhan saat itu dinilai kontroversi, dan membingungkan.
Tapi sekarang, globalisasi memang benar -benar menjadi kenyataan. Penduduk
dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua as pek kehidupan. Dari
bertukar informasi, budaya, perdagangan, i nvestasi, pariwisata, hingga persoalan

pribadi, ataupun aspek kehidupan lain.
Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan
memang berimbas ke berbagai sektor. Media massa g lobal seperti CNN, MTV,
CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembus
yuridiksi berbagai negara. Informasi mengalir deras melalui jaringan media global
dan kantor-kantor berita internasional, seperti Reuters, UPI, AP, AFP dan lain lain.

Informasi-informasi itu sering dimaknai di dalamnya mengandung

kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya global. Media massa berperan
sebagai kekuatan trend setter untuk isu-isu global, baik persoalan politik seperti

hak asasi manusia, lingkunga n hidup, maupun terorrisme internasional, hingga ke
persoalan budaya dan gaya hidup.
Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi baru dalam
bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi

dengan

mediasi komputer melalui jaringa n on line internet yang memungkinkan adanya

komunitas virtual yang berkomunikasi secara intensif di dunia maya, antara orang
banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan
dunia tanpa batas (McQuail, 2002 hal: 113). Menurut catat an Nua.com,
pertumbuhan pengguna internet ( growth of internet users ) sampai tahun 2001,
jumlahnya sudah mencapai 500 juta orang (Lister et all, 2003:204). Padahal
tahun 1998 baru sekitar 120 jutaan. Artinya ada peningkatan yang sangat
signifikan. Melalui CMC ini para pengakses mengakses internet menjadi akrab
dengan situs-situs global seperti Yahoo, Hotmail, Google, HTML (Hypertext
Markup Language), Friendster, ataupun juga perusahaan Microsoft milik Bill Gate
yang sangat terkenal. Nama -nama itu merupakan simbol-simbol global di dunia
maya sekarang ini.
Dengan demikian informasi jadi begitu mudah menyebar, sekaligus
mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Tapi problemnya tidak
semua

warga

dunia

mampu


mengikuti

perkembangan

globalisasi

dan

memanfatkannya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia
malah sering menjadi obyek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi
mengalirnya begitu banyak informasi dari negara -negara maju khususnya Barat
ke negara-negara berkembang. Atau terjadi unevent globalization, globalisasi
yang timpang (Lister et all, 2003:200).
Konsep free flow of information antarnegara di dunia yang pernah
diperjuangkan pada massa 1980 -an hanya menjadi wacana pada tataran
konseptual (Mc Bride, 1982). Prakteknya arus inf ormasi di media-media
internasional masih didominasi negara -negara maju, terutama Amerika Serikat.
Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa mampu mengirimkan


secara seimbang informasi mengenai negaranya. Bahkan kalaupun ada informasi
dari negara berkembang, informasi tersebut berada dalam bingkai persepsi
negara-negara maju. Akhirnya yang tampil di media internasional lebih banyak
sisi negatif. Inilah yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya.
Dimana negara Barat, khususnya Amer ika, melalui penyebaran informasi tadi
telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain
di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu -lagu, hingga gaya hidup orang
Amerika, atau Barat menjadi trend di berbagai negara termasuk In donesia.
Dalam globalisasi bahasa tidak lagi menjadi penghalang. MTV misalnnya
bisa masuk mulus ke berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Lagu-lagu
Britney Spears, Michael Jackson , hingga musik hip hop Black Eye Peas dengan
lagu Where is the Love-nya. Ataupun juga demam fenomena American Idols yang
gaungnya sampai di pelosok dunia, termasuk Indonesia. Pop Culture yang
diproduksi secara massal di Amerika Serikat untuk kepentingan hiburan,
merambah secara global, merasuk ke mana -mana dengan menawarkan mitos
dan gaya hidup. Media -media global merambah dunia bukan hanya dengan
jaringannya yang luas,

content yang menarik, tetapi di dalamnya juga


menawarkan mitos dan gaya hidup. Seakan dengan mengkonsumsi lagu -lagu
MTV, menjadi simbol semangat muda modern yang bebas. Sama halnya ketika
seseorang memakai sepatu Nike, mitosnya lebih sehat dan sportif. Atau
kesegaran dan jiwa muda dengan minum

Coca Cola atau Pepsi’s Nex

Generations dan sebagainya.
Mc Donald adalah sebuah contoh lain dari simbol yang sangat te pat dari
internasionalisasi aspek budaya Amerika dalam praktek bisnis yang merambah
seluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga

Moskow dan kota -kota Eropa

Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran
dari ekonomi sosialisme menj adi ekonomi pasar di sana (Ritzer, 2000).
Keberhasilan McDonald membawa recipe standard dari pusatnya di AS melalui
strategi penyesuaian dengan selera lokal, telah mampu menancapkan kuku
‘invasinya’, baik di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, Hindu, Budha


maupun Kristen. “They know local tastes --- a beefburger is unwelcome in Hindu
India, a baconburger can not be sold in muslim countries --- demands alterations
to the recipes. Mc Donalds must operate as much on local basis as it does on an
international one if people are to consume the burgers and relish (Lister, et al,
2003, 202).
Kondisi semacam ini tentu saja memunculkan kekhawatiran, bahkan krisis
kebudayaan di berbagai negara. Budaya lokal, baik yang berupa seni maupun
budaya pop lokal banyak yang terancam tersisihkan. Atau terkontaminasi dari
budaya global dari Amerika. Walhasil ada ketegangan -ketegangan karena
terjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budaya
lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahk an kedaerahan, tapi juga
yang berkesan tradisional.
Kekhawatiran atau penolakan globalisasi yang juga sering disebut dengan
Amerikanisasi ini muncul tidak hanya di negara berkembang ataupun negara
dunia ketiga. Di negara maju Eropa seperti di Perancis, Je rman, Itali bahkan
Inggrispun tak henti-hentinya muncul kritikan dan ketidaksukaan pada globalisasi
yang mereka nilai sebagai Amerikanisasi itu.

Sebagaimana dikemukakan oleh


Simon Frith (2000), profesor dari University of Stirling, Scotlandia Inggris, yan g
mengatakan “At the end of nineteenth century, there has been a recurrent fear of
‘Americanization’, whether articulated in defence of existing European culture or
as and attack from the third world againt ‘cultural imperialism’, and it is easy
enough to envisage to media future in which

MTV is on every screen,

a

Hollywood film in every movie theatre. Disneyland in every continent. Meriah
Carey on every radio station, and

Penthouse and Cosmopolitan in every

newsagent. How seriously should we take this pictures?
Kekhawatiran yang paling tampak justru muncul di negara tetangga dekat
Amerika Serikat, yaitu Kanada. Negara ini karena saking khawatirnya dengan apa
yang disebut “the invasion from the South ”, pemerintahnya sampai memiliki
kementerian warisan budaya (Ministre of Cultural Heritage ). Yang tugas

utamanya adalah menjaga budaya Kanada dari serbuan budaya dari Selatan

(Amerika Serikat). Kementrian ini memberikan kemudahan terhadap berbagai
produk budaya lokal di media massa. Disamping juga memberik an insentif
terhadap tumbuhnya film -film kanada maupun bentuk budaya yang lain.
Kanada layak khawatir, karena negara ini memang dibanjiri oleh media
dan produk budaya Amerika. Sementara pada tahun 1997 Kanada pernah
ditekan oleh World Trade Organisation (WTO), ketika melakukan pelarangan
terhadap peredaran majalah Sports Illustrated milik kelompok

Time Warner

(Chesney, 2000:81).
Kanada tidak sendirian, Australia juga pernah mengalami tekanan dari
WTO pada bulan April 1998, berkait dengan ketentuan kuota i si media domestik.
Di negara-negara lain juga muncul isu sensitif adanya tekanan, untuk membuka
pasar medianya. Norwegia, Denmark, Spanyol, Mexico, Afrika Selatan, dan
Korea Selatan merupakan contoh yang memiliki tradisi memproteksi media
domestik dan industri budaya nasional mereka.


Pemerintah negara -negara

tersebut mensubsidi film -film lokal dan berusaha melestarikan industri -industri
kecil produksi film mereka. Di musim panas 1998, menteri kebudayaan dari 20
negara, termasuk Brasil, Mexico, Swedia, It aly dan Pantai Gading, bertemu di
Ottawa membicarakan bagaimana mereka dapat membuat aturan dasar untuk
melindungi ongkos budaya dari “ Hollywood juggernaut” (serbuan luar biasa dari
Hollywood). Rekomendasi pertemuan itu meminta agar perlindungan terhadap
kebudayaan lokal dikeluarkan dari kontrol WTO (Chesney, 2000: 82).
Kondisi globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti ‘dunia
runtuh’, dan tidak pula semua orang menjadii pesimis. Ada suatu pemikiran yang
menarik tentang efek globalisasi buday a. Sebagaimana dikemukakan oleh
Richard Dawkins, ahli Biologi dari Oxford University, yang menunjukkan konsep
ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins ilmuwan selebritis dari
Inggris yang dikenal sebagai juru bicara teori Darwin dan penulis buk u Selfish
Gen (1978), mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Menurut
Dawkins setiap kelompok sosial memiliki meme, sebagaimana individu memiliki
gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok
sosial akan mempertaha n karakteristik nilai-nillai sosial dan budayanya kendati


kelompok itu diterpa serbuan gencar budaya lain. Meme menyebar melalui
komunikasi dan sosialisasi, ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di
benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian
rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998).
Bisa jadi karena meme, bangsa Jepang kendati maju seperti Barat, tetapi
budaya tradisional mereka tetap terpelihara dengan baik. Kesenian Tradisional
Jepang seperti Kabuki, Sumo,

Karate , ataupun Tarian Yosakoi justru malah

berkembang dan dikenal di manca negara. Begitu pula orang Tionghoa, kendati
sudah ratusan tahun berada di negara lain, budaya mereka tetap bertahan,
dengan enclave China town di berbagai kota dunia. Tak heran kalau kalangan
Tionghoa di berbagai perantauan masih akrab dengan kesenian China daratan
seperti Barongsai, Liang Liong dan lain-lain. Ini juga berlaku untuk Orang Jawa
yang sudah tinggal ratusan tahun di Suriname.
Gerakan postmodernisme juga memberikan angin segar bagi budaya lokal
dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan
berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali
kepada hal-hal bersifat etnik, tradisionil, atau dikenal dengan r etradisionalisasi.
Namun

terlepas

dari

itu

semua,

meningkatnya

globalisasi

dan

komersialisasi dalam sistem media memang layak untuk dicermati dan
diantisipasi. Fenomena komersialisasi media global dirasakan secara signifikan
semakin menyatu dengan konsep neoliberal, ekonomi kapitalisme global. Hal
demikian tidak aneh mengingat meningkatnya pasar media global disamping
dikarenakan perkembangan teknologi digital yang baru dan teknologi satelit yang
membuat pasar global menjadi semakin efektif dan lukratif (menguntungkan),
sebenarnya juga dipelopori oleh institusi kapitalisme dunia, seperti World Trade
Organisation (WTO), World Bank, International Monetery Fund (IMF), Pemerintah
Amerika Serikat dan Perusahaan -perusahaan Transnasional.
Dalam perkembangannya , sistem media global juga terbukti menurut
Robert W Chesney dalam pemberitaannya memiliki kebijakan mendukung misi misi WTO, IMF, NAFTA, GATT yang tak lain untuk mewujudkan sistem ekonomi
dunia yang

bebas (neo liberal), yang jelas-jelas menguntungkan mer eka

(Chesney, 2000, hal xxxxiii). Kritikan dan kekhawatiran terhadap media dan
jurnalis

yang mendukung kepentingan

holdings

dan kapitalisme, juga

dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen
Jurnalisme (2003).

Konsentrasi Pemilikan
Sementara itu, pusat industri media dunia sebagai penyebar budaya
global, benar-benar semakin menjadi alat

kapitalisme. Media massa sebagai

produsen budaya, dewasa ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari
keuntungan. Bentuknya menjadi semakin m enggurita, menjangkau ke mana mana, melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin
terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja.

Peter Gollding dan Graham

Murdoch (2000: 71) pernah mengatakan “ media as a political and economic
vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are
becoming fewer in number but through acquisition, controlled the larger part of
the world’s mass media and mass communication”.
Tahun 1983 diperkirakan ada 50 orang konglomerat yang mendomin asi
pemilikan televisi, radio, film, surat kabar, majalah, hingga penerbitan, di Amerika
dan Eropa. Tapi tahun 1997 setelah melalui proses merger dan akuisisi, para
baron atau mogul yang menguasai media dunia hanya tinggal 10 saja.
Sedangkan catatan tahun 2002 penguasa media dunia malah tinggal 3 holdings
besar.

Mereka sering disebut sebagai The Holy Trinity of the Global Media

System.
Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot peran media
dalam proses demokrasi, maupun representasi ker agaman publik dunia,
sebagaimana secara panjang lebar dibahas oleh Robert W Mc Chesney dalam
buku

”Rich Media Poor Democracy” , yang ditulis tahun 2000. Juga yang

dilakukan David Croteau dan William Hones dalam buku The Business of Media
(2001). Juga yang dilakukan Al Lieberman dengan Patricia Esgate dalam buku,
The Entertainment Marketing Revolution, Bringing The Moguls, The Media and
The Magic to the World, tahun 2002 lalu.

Mereka melihat semakin kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan
kapitalis, dan kecenderungan itu berlaku di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pada dasarnya karateristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering
dikenal dengan istilah the mogul, dimanapun mempunyai kecenderungan yang
sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbe sar jaringan usahanya, kemudian
mengakumulasikan keuntungan dan modal itu untuk kepentingan mereka, yang
pada akhirnya sering bertentangan dengan tuntutan keadilan dan demokrasi.
They are constantly trying to increase profits, companies must develop new wa ys
to deliver goods and services at the lowest cost. This encourages efficiency on
the part of producers and ensures low prices for consumers (Croteau & Hoynes,
2001:22).

Repotnya, sebagaimana dikhawatirkan banyak negara, globalisasi ini

lebih didominasi oleh Amerika Serikat, yang memiliki indusri budaya yang terkuat
di dunia sehingga menjadi pemegang simbol proses globalisasi.
Menurut data Gross Entertainment Revenues tahun 1990 dan tahun 1999
berikut ini nampak bagaimana Amerika Serikat itu amat domina n, sekaligus juga
mengalami perkembangan yang pesat dalam industri budayanya.
Gross Entertainment Revenues, 1990/1999 (in billions of $)
Jenis atau Sektor
Media
Movies

Tahun 1990

Tahun 1999

Pendapatan AS

Pendapatan AS

Tahun

Pendapatan Dunia

$ 5.4

$ 7.2

$ 15.6

Home Video, DVD

13.6

16.4

32.6

Broadcast/

30.0

55.0

101.3

Cable

10.0

40.0

70.0

Music

7.6

14.2

40.1

Publishing

40.0

50.0

90.1

Sports

30.0

60.3

130.4

2.1

6.8

16.4

$ 138.7

$ 249.9

$ 496.5

Network TV

Electronic Games
Totals

1999

Data tahun 1990 dan 1999 menujukkan betapa AS di hampir semua sektor
media dan hiburan mengalami perkembangan yang hebat. Hanya dalam waktu 9
tahun pendapatannya melebihi dua kali lipat. Tapi yang lebih dikhawatirkan orang
adalah pendapatan AS yang melebihi 50% dari penda patan dunia. Artinya dalam
dunia media massa dan hiburan negara paman sam ini benar -benar dominan.
Padahal itu data tahun 1999, sedang data tahun 2004 diperkirakan kekuatan
Amerika Serikat sudah mendekati dua kali lipat dari data tahun 1999.
Kecenderungan

struktur industri media di dunia, khususnya di Amerika

Serikat dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan Wiliam
Hoynes (2001: 73) mengalami empat macam perkembangan, yaitu:
1. Growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers
antar perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah
ke mana-mana.
2. Integration (integrasi), raksasa media baru terintergrasi secara horisontal
dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio
dan sebagainya. Integrasi perusahaan media baru juga terbentuk secara
vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan
distribusi,

misalnya

memiliki

perusahaan

produksi

film,

sekaligus

perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media
telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus
yuridiksi negara dan menjadi mendunia.
4. Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi
meanstream dunia semakin terkonsentrasi kepemilikannya.
Menurut catatan hingga tahun 2003, hanya tinggal tiga atau empat
kekuatan korporasi besar yang menguasai industri media di Amerika sekaligus
dunia. Pertama, adalah kelompok Time Warner Holding. Yaitu perusahaan yang
dikomandani oleh CEO,

Gerald Lewin, seorang Yahudi sukses

menguasahi jaringan TV antara lain:

yang

CNN,, HBO, Networks, US satelite TV

services Primestars, France’s Canal Satelite, Citereseau dan Rhone Cable Vision
di Perancis,

Midi Tele vision

di Afrika Selatan, Japan’s Nippon Television

termasuk perusahaan pembuat programnya, dan Germany’s N-TV.
Time Warner juga memiliki sebagian saham dan kerja sama dengan TV TV Di Inggris, Spanyol, Italia, Kanada, juga di negara -negara Asia. Selain itu
holding ini juga menguasai perusahaan Warner Bros (WB) film studio, and
Warner Bros TV Productions studios, New Lines film studios, Columbia Pictures,
Cinemax,

Hanna Barbara Animation

studios di samping memiliki kelompok

media seperti majalah Time, People, Sport iIustrated dan majalah Fortune.
Time Warner juga menguasai

European music Channel VIVA, Asian Music

Channel Classic V, Japanese Cable Company Titus and Chofu, Columbia House
Record Club, dan masih banyak perusahaan lain. Termasuk M ereka juga
memiliki perusahaan penerbitan buku -buku internasional, dan toko -toko buku
jaringan

dunia. Dan jangan lupa perusahaan ini juga memiliki jaringan

perusahaan ritel, bergerak di bidang supermarket, levaransi yang merambah ke
seluruh pasar dunia. Bahkan kalau kita senang dengan film Harry Potter, Spider
Man, The Lord of The Rings, Batman , Hercules, Xena, dan lain -lain, termasuk film
kartun seperti Looney Toon berarti kita potensial ikut menyumbang kekayaan
pada kelompok Time Warner.
Bulan Januari 2001 Federal Communication Commission (FCC) telah
menyetujui perusahaan raksasa Time Warner bergabung dengan American On
Line (AOL)

menjadi Time Warner and AOL (TWOL). Konvergensi dua

konglomerasi media ini menjadikan mereka sebagai perusahaan yang ni lai
asetnya mencapai lebih 200 milyar dolar Amerika (Lister, Dovey, Giddings, Grant,
Kelly, 2003 hal 213). Berarti holdings ini merupakan raksasa media terbesar
dunia. American On Line (AOL) memang perusahaan yang baru didirikan tahun
1985, tetapi keuntungan perusahaan ini pada tahun 1998 saja sudah mencapai
762 juta dolar AS, sementara

Time Warner pada tahun yang sama hanya

memperoleh untung 168 juta dolar AS. Maka AOL yang dipimpin oleh CEO Steve
Case mampu membeli Time Warner Inc, dan perusahaan ini sering disebut

sebagai A New Kid on The Block. Karena walaupun perusahaan masih baru
tetapi mengalami perkembangan yang amat pesat dan memiliki masa depan
cerah. AOL amat disukai para investor di pasar Wall Street, karena dianggap
sebagai a leader in the rapidly emerging world of internet based media . Dan para
investor tahu kalau AOL telah menempati posisi yang tepat sebagai pemain
industri media pada masa mendatang.
Menurut catatan tahun 2000, AOL telah memiliki pasar lebih dari 20 juta
pelanggan tetap. Melalui usaha-usaha internet provider mereka

seperti

CompuServe, Netscape dan lain-lain, AOL setelah merger aktiv mempromosikan
CNN di situs-situs internet mereka. Sebaliknya CNN dan HBO pun gantian
mempromosikan AOL. Itulah yang namanya sinergi dan ko nvergensi.
Kedua, adalah kelompok Disney’s Holdings. Perusahaan ini meningkat
begitu pesat setelah CEO dipegang oleh Michael Eissener, seorang mogul media,
yang lagi-lagi juga seorang Yahudi yang brilian. Perusahaan ini menguasai
jaringan TV dan radio terbesar Amerika, ABC television and radio network, juga
jaringan TV NBC, US and Global Cable TV Channels, Disney Channels, ESPN,
Entertainment and Hystory Channels, Euro Sport TV Network, Spanish Tesauro
SA, German Terrestrial Channel RTL, German Cable TV, Brazilian TVA, dan
Argentina Film studio. Perusahaan ini juga memiliki Walt Disney Pictures,

Info

Seeek (internet portal service), Mirammax and Touchstone studio, Buana Vista
Magezine publishing, Book publishing holding . Termasuk Hyperion Press, juga
Mamoth dan Walt Disney studio di Hollywood, resort Disney World di Florida,
Disney Land di California, juga di Tokyo dan Eropa. Disamping itu mereka juga
memiliki toko franchise Waltt Disney

lebih dari 6600 outlet yang tersebar di

seluruh dunia, belum lagi pemilikan pada perusahaan Disney Cruise Line dan
anak perusahaan yang lain. Di Indonesia, ketika anak -anak membaca Donald
Bebek, atau membeli boneka Mickey Mouse, Lion King dan Hercules di toko-toko
berarti mereka ikut menyumbang pundi -pundi kekayaan pada holdings Michael
Aisener.

Ketiga, adalah korporasi New Corp.’s Holding millik Ruperth Murdoch.
Perusahaan inilah yang menguasahi jaringan US Fox Television Network, Fox
News Channel, Fox Sports, Fox Kids, Family Channel TV, Film Studio Twentieth
Century Fox,

Twentieth Television , dan US International TV Production and

Distribution. Murdock juga menguasahi 130 koran besar dunia termasuk The
Times (London), New York Post, dan 70% surat kabar di Australia. Mereka juga
memiliki United Video Satelite Group, TV Guide, Harper Collin Publishing Co.,
British Sky TV, Latin Sky Broadcasting Satelite, Brazilian Pay TV Service,
Netherlands Fox TV Channel, Sky radio di Eropa (Swedia), Asian Star TV
Satelite, Star Movies dengan sembilan saluran di Asia, Japan Sky Perfect TV,
Star Chinese Channel, Phonix Chinese Chanel, New Zealand Sky TV, India Sky
Broadcasting Satelite, dan lain-lain. Termasuk menguasahi 55% penerbitan
media cetak di New Zealand, dan memiliki banyak perusahaan yang bergerak di
bidang olah raga dan budaya, salah satunya tim sepak bola Manchester United.
Belakangan ini Murdock juga sudah masuk ke media -media daratan Eropa, baik
di Jerman, Italia, Perancis maupun Spanyol. Tahun 2000 Murdoch sudah ke
Indonesia, mau menjajaki kerjasama dan pembe lian media di Indonesia. Salah
satu yang dincar waktu itu adalah TVRI, dan belakangan menurut Ishadi SK,
Trans TV pun sempat mau dibeli oleh Murdoch.
Diluar tiga holdings

terbesar itu, masih ada satu yang sebenarnya

termasuk jaringan yang juga amat besar, yaitu CBS holdings. Perusahaan ini
menjadi makin besar setalah merger September 1999 dengan Viacom Holdings.
CBS merupakan perusahaan yang memiliki United Paramouth Network dan CBS
Television dengan 15 stasiun televisi dan 212 stasiun televisi lain yang tersebar di
dunia yang berafiliasi dengan mereka. Sementara Viacom adalah pemilik MTV
Network yang ada di hampir seluruh negara di dunia, baik di Amerika Serikat,
Eropa, Australia, Asia, bahkan di China, India, Turki, juga beberapa negara
Afrika. Mereka juga mempunyai Nickleodeon studios, MTV Film, Paramouth film
studios and television, World Visions Enterprise, Infinity Broadcasting stations
(yang memiliki 160 radio station), dan United Cinemas International Theater.

Viacom Holdings juga memiliki kelom pok The Free Press, Anne Schwartz Book,
pocket Books, Publishers Simon & Shuster, Famous Music, Paramouth Theater ,
Star Trek Francise, juga bisnis retail seperti Viacom Consumer Produck, Viacom
Dan juga masih ba nyak

Entertainment Stores, hingga TDI World Wide.

perusahaan lain di bawah pemilikan Viacom dan

CBS Holdings seperti

Blockbusters Video yang memiliki 6000 lebih toko di seluruh dunia dan melayani
persewaan film untuk berbagai stasiun TV dunia. Di Indonesia kalau anak kita
suka bermain play station dengan memainkan tokoh Tomb Raider, berarti kitapun
ikut menyumbang kekayaan holdings ini, apalagi kalau suka dan getol dengan
acara MTV.
Rich Media Poor Democracy
Persoalannya, apa jadinya kalau sistem produksi budaya massa,
informasi, dan kekuatan ekonom i, bahkan politik terkonsentrasi secara vertikal
maupun

horisontal

hanya

ada

pada

segelintir

orang?

Maka

tidaklah

mengherankan jika, kecenderungan media global adalah menyokong konsep
“Free Market”, WTO, GATT dan lain-lain, yang pada akhirnya akan semakin
menguntungkan mereka pemilik kapital, untuk bisa masuk ke mana -mana, ke
seluruh pelosok dunia, untuk menguasahi apa saja. Karena itu pada akhir tahun
1999, ketika terjadi demonstrasi besar -besaran menentang WTO di Seatle,
Washington State Amerika Serikat , juga peristiwa yang sama April 2000 di
Washington D.C, kalangan aktivis dan wartawan yang idealis menggunakan
media alternativ untuk menyuarakan kritikan pada free market. Mereka merasa
media-media utama tidak memberikan tempat yang memadai terhadap gera kan
anti pasar bebas. Karena itu di Seatle mereka mendirikan Independence Media
Center (IMC) yang tujuan utamanya memberikan informasi alternatif, dari
pemberitaan mainstream media.
Pengaruh kekuasaan
sempat

dipertanyakan

pemiliki media terhadap pemberitaan, memang

korelasinya.

Namun

berdasar

berbagai

studi,

sebagaimana dilakukan oleh Altschull (1984) yang sering disebut dengan Second

Law of Journalism, dikatakan “the content of the media always reflect the interest
of those who finance them” (McQuail, 2002 : 198). Dan inilah yang dibenarkan
Robert W Mc Chesney dalam Rich Media Poor Democracy , Communication
Politics in Dubious Times (2000), yang menyoroti berita -berita media global.
Bill Kovack dan Tom Rosentiel secara spesifik menujukkan bagaimana
para wartawan media holdings telah kehilangan esensi jurnalismenya. Kovach
menunjukkan bahwa

holdings

media sekarang ini kenyataannya sering

menghadapi dilema, dimana satu perusahaan mempunyai misi jurnalistik, dan
yang lainya tidak. Dicontohkan untuk warta wan yang bekerja di Time, CNN, dan
Fortune, mungkin mengalami konflik loyalitas ketika mencoba meliput internet,
kabel, dan bidang-bidang lain yang terkait dengan holdings perusahaan medianya
(Kovach & Rosenstiel, 2003, hal 29). Sekarang yang terjadi bukan sekedar
Disney meliput Disney (karena mereka juga memiliki ABC), tetapi menjadi lebih
mengkhawatirkan ketika sistem bonus yang diterima wartawan dari perusahaan
mereka itu dikaitkan dengan kinerja holdings di pasar modal dan keuntungan lain.
Tentu saja berita merekapun menjadi lebih disesuaikan dengan kepentingan
holdings. Karena itu Croteau dan Hoynes (2001,21), mengkritik bahwa ketika
dunia media betul-betul mengikuti mekanisme pasar, maka jelas -jelas menjadi
semakin jauh dari prinsip -prinsip demokrasi. Bahkan, dikatakannya “ the more
money you have, the more influence you have in the market place .
James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam
Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), menunjukkan efek negatif
yang lain dari konsep free market. Menurutnya dengan liberalisme, justru telah
mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Peran media
sebagai watchdog terhadap kekuasaan, ternyata tidaklah memunculkan sikap
independensi yang semata -mata melayani kepenting an publik, melainkan lebih
untuk keuntungan perusahaan. Menurut Curran, liberalisme justru menghambat
freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai
membutuhkan modal amat tinggi,

big business yang

sehingga yang mampu mengelola hanya

kalangan elite. Pasar bebas juga telah mereduksi perputaran informasi publik,
dan meningkatkan jumlah masyarakat yang tidak well informed. Karena semakin

besarnya porsi penempatan isi human interest yang meminggirkan liputan public
affairs, sebagaimana banyak terja di di televisi negara Eropa barat, dan AS. Tentu
saja hal demikian mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public
affair menjadi semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil,
padahal salah satu prasarat demokrasi adalah part isipasi publik.
Yang paling mengkhawatirkan dari liberalisme adalah terkonsentrasinya
pelayanan stasiun TV, hanya pada publik yang potensial secara pasar, sehingga
kelompok-kelompok

minoritas

yang

lemah

potensi

pasarnya

semakin

terpinggirkan.
Lebih lanjut hal yang sama menurut Bill Kovach, pada awal abad baru ini
kita menyaksikan tradisi perusahaan media, yang dulu memiliki produk berita, kini
produk itu jadi komponen yang kian mengecil dalam konglomerasi global.
Dicontohkan, ABC News kini hanya menyumbang kurang dari 2% keuntungan
perusahaan induknya Disney Holdings. Dulu berita pernah dianggap sebagai
penghasil terbesar Time Inc., tapi kini hanya jadi sekadar kepingan kecil dari
konglomerasi AOL Time Warner. Keuntungan NBC News kurang dari 2% dari
keuntungan total konglomerat General Electric (Kovach &Rosenstiel, 2003 : 32).
Di Amerika, para manajer organisasi berita kini jadi bawahan dalam
kelompok-kelompok perusahaan yang lebih besar, dan mereka harus berjuang
demi independensi mereka. Dan sejarah meng isyaratkan bahwa pergeseran ini
tampaknya akan mengubah sifat jurnalisme dan karakter isi media massa.
Menurut Croteau (2001), media massa sekarang menempatkan public atau
audience semata-mata dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens).
Tujuan utama media adalah genarate profits for owners and stockholders .
Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy
product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah
apapun yang populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk
promote avtive citizenship via information, education and social integration ,
tenggelam dengan gelombang komersialisasi dan liberalisasi. Jadinya ukuran
keberhasilan media semata -mata adalah profit, bukan serving the public interest.

Akibatnya keadaan sekarang ini publik mengalami apa yang disebut oleh Hebert
J Gans (2003;15) sebagai political disempowerment .
Apa yang terjadi di Amerika dan tataran global ini, tentu berpengaruh
terhadap

kondisi

di

Indonesia.

Gejala

global isasi

dengan

imperialisme

budayanya, serta kecenderungan konsentrasi pemilikan media, nampaknya juga
sudah mulai terasa di sini. Maka sungguh sangat Ironi kalau media massa
Indonesia yang awalnya dikuasai dan dikontrol oleh negara, setelah terjadi
liberalisasi di era reformasi, justru membawa mereka ke kekuasaan kalangan
mogul.

Ini ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Lagi -lagi

kemerdekaan dan independensi media menjadi korban. Dan kembali yang
dirugikan adalah masyarakat banyak.

DAFTAR PUSTAKA
Croteau, David & Hoynes, William, 2001 The Bussiness of The Media, Corporate
Media and the Public Interest , Pine Forege Press, Thousand Oak, California.
Curran, James, 2000, Rethinking Media and Democracy, in James Curran and
Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and
Oxford University Press, New York.
Gans, Herbert J., 2003, Democracy and The News , Oxford University Press.
Golding, Peter & Murdoch, Graham, 2000., Culture, Communications and Political
Economy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society,
Third Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom, 2003, Sembilan Elemen Jurnalisme , Apa Yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Dihara pkan Publik, Pantau.
Lieberman, Al & Esgate, Patricia, 2003, The Entertainment Marketing Revolution,
Bringing The Moguls, The Media and The Magic to the World , Financial Times,
Prentice Hall New York.

Lister, Martin., Dovey, Jon., Gidding, Seth., Gran t, Iain., Kelly, Kieran., 2003, New
Media A Critical Introduction , Routlege, London and New York.
Lull, James, 1998, Media Komunikasi Kebudayaan, suatu Pendekatan Global ,
Yayasan Obor Indonesia.
McBride, Sean., 1982, Many Voice One World , Unesco.
McChesney, Robert W., 2000, Rich Media Poor Democracy, Communication
Politics in Dubious Times , The New Press, New York
Mc Quail, Denis, 2002, McQuail’s Mass Communication Theory , 4th Edition, Sage
Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.