Go`et (ungkapan tradisional) Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi - USD Repository

  ( UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI DITINJAU DARI SEGI MAKNA DAN FUNGSI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Maria Sulastri

  NIM: 064114015 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Agustus 2010

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  ♥ ♥ ♥

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

atas segala rahmat serta berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul “Go’ét” (Ungkapan Tradisional) dalam

Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi” disusun untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra Indonesia di Universitas Sanata

Dharma.

  Dalam proses penyusunan skrispi, ada banyak pihak yang turut membantu

penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

  2. Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

  3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. Hery Antono, M.Hum. Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum. Drs. F.X. Santosa, M.S. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum; atas pengetahuan yang telah dibagikan kepada penulis

  4. Bapak Gaudensius Bombang atas segala kritikan dan sarannya kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.

  5. Buat naca momang (yayang) yang selalu memberikan dukungan, semangat serta kritikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

  6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi.

  Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca

demi penyempurnaan karangan ini.

  Yogyakarta, September 2010 Penulis Maria Sulastri

  

ABSTRAK

Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa

Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1).

Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia,

Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa

Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada

peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap

mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua,

go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan

dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para

penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena

tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

  Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét

Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan

dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau

makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya

berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari

referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan

makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat)

yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya

maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami

maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian

bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan

pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna

yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk

menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra

bicara.

  Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak atau

observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak diterapkan dengan

menggunakan teknik sadap. Metode cakap atau wawancara adalah metode yang

berupa percakapan antara peneliti dengan penutur selaku nara sumber. Metode

cakap dijabarkan ke dalam teknik dasar yaitu teknik pancing dan teknik lanjutan,

yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik cakap bertemu muka selanjutnya

dijabarkan melalui teknik rekam dan teknik catat. Selanjutnya data dianalisis

  

Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa

Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan

pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau

akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan

dituturkan oleh penutur.

  Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi

adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa

ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan

berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh

dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang

Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya,

go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam

lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam

lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk

memahaminya.

  Go’e t adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang

mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan

tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

  

Go’ét dianggap sebagai bahasa halus, tetapi sarat dengan berbagai makna.

  

Orang Manggarai menggunakan go’ét sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk

berbagai tujuan tertentu (menasehati, untuk menyindir, dan lain-lain). Dalam

situasi tertentu, orang Manggarai tidak mengungkapkan maksud atau

keinginannya secara terang-terangan, tetapi menggunakan kiasan. Setiap kata atau

kalimat mengandung falsafah yang mencerminkan alam pikiran orang

Manggarai. Go’ét merupakan bahasa tutur yang dirasa paling tepat dan paling

mengena, sesuai dengan norma adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat

Manggarai.

  

ABSTRACT

Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian

Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree.

Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian

Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

  This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian

language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no

observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to

the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian

go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old

people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in

future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of

inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture

inheritance to Manggaraian people.

  The objective of the research is to explain the meaning and function of

Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and

figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate

with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the

purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is

unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be

“traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical

sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be

identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.

  The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics

approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian

go’et

  . The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.

  Data are acquired by using two methods, those are gathering method or

observation and speaking method or interview. Gathering method is applied by means

of a technique of bugging. Speaking method or interview is a method in form of

conversation between observer and narrator as informant. Speaking method is derived

into the basic technique that is technique of angling and the advanced technique, that

is technique of face-to-face speaking. The last one can be further derived into

recording technique and writing technique. Then, data are analyzed by using the

method of equality. The method used here is the translational equality and the

  

pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of

Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The

pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner

of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.

  The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in

form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and

develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians

people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be

understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas

in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to

understand.

  Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that

contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life

of Manggaraian people.

  Go’et is considered as polite language, but very meaningful. Manggaraian

people use go’et as means to communicate, for various interests (advice, for tease us).

  

In certain situation, Manggaraian people do not express their purpose or wish

directly, but use metaphor. Every word and sentence contains philosophy that reflects

the realm of mind of Manggaraian people. Go’et is a spoken language considered as

the precisest and the most effective, in the respect of traditional norms obtain in

Manggaraian society.

  Mengutuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Objek penelitian ini adalah go’e

  t (ungkapan tradisonal) dalam bahasa

  Manggarai: tinjauan makna dan fungsi. Go’e

  t merupakan milik masyarakat

  Manggarai, namun hanya segelintir orang dalam masyarakat Manggarai yang benar- benar memahami go’e

  t dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari.

  Berdasarkan hasil observasi, go’e

  t umumnya hanya dikuasai dengan baik dan

  sempurna oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai (tetua adat, tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda sangat jarang yang menguasainya apalagi menghafalnya. Go’e

  t sudah lama dikenal masyarakat

  Manggarai. Umumnya orang sudah sering mendengarnya ketika diucapkan oleh para orang tua, baik dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam kehidupan sehari- hari.

  Ungkapan tradisional umumnya berisi pendidikan etik dan moral, norma- norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi setiap anggota masyarakat (Athaillah dkk.1984:1). Selain itu, ungkapan tradisional pada hakikatnya adalah ide, pandangan, keinginan, sikap, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan ataupun yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai ungkapan tradisional, go’e

  t mengandung nilai pendidikan, etik, moral, norma-norma

  sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi selanjutnya. Norma-norma itu harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap anggota, terutama yang sedang berfungsi atau yang akan menerima fungsi sebagai pemimpin masyarakat. Generasi muda perlu memahami dan menghayati ungkapan tradisional dengan baik agar dapat memilah unsur-unsur yang dapat digunakan dalam pembinaan generasi berikutnya. Dalam masyarakat tradisional, pewarisan nilai-nilai ini dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal yang ada dalam masyarakat.

  Berikut ini adalah contoh go’e

  

t Manggarai:

  (1) Mori agu Ngara’n ata Jari De

  dek tana’n wa awang eta

  ‘ Tuan dan Pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’ (2) Kantis nai rai ati

  ‘ Mengasah hati dan paru-paru’ Kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari De

  dek tana’n wa awang eta pada contoh (1)

  merupakan ungkapan untuk menghormati Tuhan Allah sebagai pencipta alam semesta, yang diucapkan pada saat upacara keagamaan atau upacara adat. Ungkapan tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui Tuhan sebagai pencipta, sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati pada contoh (2) merupakan idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja dan berusaha. Ungkapan tersebut merupakan nasihat dari orang tua kepada generasi muda untuk senantiasa bekerja keras, memanfaatkan waktu dengan baik agar apa yang dicita-citakan atau yang diharapkan dapat tercapai.

  Kedua contoh di atas mengandung ajaran tentang nilai pendidikan dan nilai Selain berisi nilai pendidikan dan nilai moral, kedua contoh di atas juga merupakan ide, pandangan, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Manggarai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Nilai pendidikan yang terdapat dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari De

  dek tana’n wa awang e ta yaitu berisi ajaran agar umat manusia mengakui dan menghormati Tuhan

  sebagai Sang Pencipta, asal mula dari segala sesuatu yang ada di bumi, dan sebagai kekuasaan yang tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati mengandung nilai pendidikan serta nilai moral mengenai apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mencapai sebuah kesuksesan yaitu dengan cara bekerja keras dan tekun dalam berusaha. Kedua ungkapan tersebut merupakan pandangan, keinginan serta sikap masyarakat Manggarai dalam keseharian di lingkungan masyarakat.

  Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’e

  t Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai

  makna serta fungsi yang terkandung dalam go’e

  t Manggarai. Kedua, go’et

  Manggarai sebagai salah satu bagian dari budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’e

  t Manggarai akan hilang

  karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan yang dibahas adalah:

  1.2.1 Apakah makna go’e

  t Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat

  Manggarai?

  1.2.2 Apakah fungsi go’e

  t Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat

  Manggarai?

1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah:

  1.3.1 Menjelaskan makna go’e

  t dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai;

1.3.2 Menjelaskan fungsi go’e t dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

1.4 Manfaat Penelitian

  Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik dan bidang pragmatik. Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’e

  t Manggarai. Dalam bidang

  pragmatik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memahami tuturan yang diucapkan penutur agar dapat dipahami oleh mitra bicara. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka, khususnya kebudayaan daerah. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pewarisan budaya, menjadi tolak ukur dalam melakukan penelitian baru dalam bidang kebudayaan dan memperkenalkan

  go’e t sebagai salah satu kebudayaan Manggarai.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Nggoro (2004) dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai: Selayang

  Pandang membahas go’e t Manggarai secara sepintas dalam kaitannya dengan

  budaya Manggarai mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dapat dipahami sebagai hubungan yang terjalin karena pertalian darah atau perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan, go’e

  t

  digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga, yaitu percakapan antara orang tua dan anaknya. Percakapan tersebut berisi nasihat orang tua kepada anak, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

  Got (2007) dalam tesisnya yang berjudul Makna Adat Istiadat, Leluhur Putri

  

Nggerang, Budaya dan Pariwisata Manggarai bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

  membahas go’e

  t secara sepintas dari segi makna adat-istiadat dalam tradisi budaya

  dan peristilahan. Tradisi budaya dan seni peristilahan yang dimaksud adalah mengenai tradisi pesta yang berkaitan dengan adat-istiadat budaya dan agama, yaitu suatu kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap tahun, dilakukan setelah musim panen. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menghormati Sang Pencipta yang sering diungkapkan dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari De

  dek tana’n wa awang eta

  (Tuhan Pencipta langit dan bumi) yang dipersonifikasikan dengan melakukan apa yang disebut taking seki (memberikan sesajian kepada roh-roh nenek moyang) dan

  

naga golo (makhluk halus) yang diberikan oleh setiap panga (klan) yang menjaga dipakai saat upacara adat dalam bentuk doa sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur atau rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, penelitian mengenai

  go’e t (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dari segi makna dan fungsi

  belum pernah dilakukan.

1.6 Landasan Teori

  Lima hal yang digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan masalah yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah (1) pengertian go’e

  t,

  (2) pengertian ungkapan tradisional, (3) pengertian makna, (4) fungsi bahasa dan kaitannya dengan budaya, (5) tindak tutur.

1.6.1 Pengertian Go’e

  t

  Menurut Verheijen ( Kamus Manggarai-Indonesia, 1967: 143) go’e

  t adalah sajak, pantun, seloka, (ii) tutur bahasa.

  Go’e t adalah tutur bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari

  berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, dalam upacara adat, dan upacara keagamaan dalam lingkungan masyarakat Manggarai, berupa bahasa kiasan. Go’e

  t

  berisi pesan yang mengandung ajaran moral, disampaikan oleh para orang tua kepada para generasi muda, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Go’e

  t tidak dapat ditafsirkan

  secara harafiah tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks pemakaian bahasa ketika go’e

  t diucapkan. Menurut Bruno Agut (nara sumber), go’e

  t adalah ungkapan, pepatah, perumpamaan (dalam bahasa Indonesia) berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama.

  Contoh : kantis nai-rai ati. Pada kalimat kantis nai-rai ati terdapat persamaan bunyi yang sama, yaitu pengulangan vokal [i].

  Menurut Petrus Janggur (nara sumber), go’e

  t adalah ungkapan, pepatah,

  petuah yang mengandung nasihat, teguran untuk memberi motivasi dari orang tua kepada generasi muda. Selain sebagai petuah, go’e

  t merupakan ungkapan yang penuh dengan makna simbolis.

  Go’e t dalam penelitian ini adalah ungkapan, perumpamaan, berupa kalimat

  atau bunyi-bunyi yang sama, yang mengandung pesan tertentu dan digunakan untuk berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.6.2 Pengertian Ungkapan Tradisional

  Hutomo via Suarjana dkk (1994:15) menyebutkan bahwa ungkapan tradisional adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan yang sehalus mungkin, tetapi mudah dimengerti. Ungkapan tradisional itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu:

  (1) Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup; (2) Ungkapan yang berkaitan dengan pertandingan atau permainan; (3) Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan; (4) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan; (5) Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang;

  (7) Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan; (8) Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.

  Gaffar (1990:20) menyatakan bahwa ungkapan tradisional atau peribahasa adalah bahasa kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi buah bibir banyak orang.

  Ungkapan tradisional dalam penelitian ini adalah ungkapan atau ekspresi seorang individu dalam usahanya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta emosinya dalam bentuk satuan kebahasaan tertentu yang dianggap paling tepat, dengan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan masyarakat setempat, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.

1.6.3 Pengertian Makna

  Makna dibagi atas dua jenis, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer terdiri dari makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, sedangkan makna sekunder terdiri dari makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal (Wijana, 1998:9). Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna denotatif sering juga disebut makna denotasial, makna konseptual, atau makna kognitif yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu makna denotasi sering juga disebut sebagai “makna sebenarnya”. Makna literal atau makna lugas adalah makna yanga harafiah yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan (Chaer, 1989 : 62-68).

  Makna konotatif merupakan makna tambahan dari makna denotatif yang berasal dari masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu, dapat juga peristiwa sejarah atau adanya pembedaan fungsi sosial dalam masyarakat. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk berbagai tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer,1989 : 62-71).

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna denotatif, makna leksikal, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa bantuan konteks. Makna satuan bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks disebut makna primer. Makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal hanya dapat diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks, yaitu melalui konteks pemakaian bahasa yang dipakai penutur bahasa. Makna kesatuan bahasa yang hanya dapat diidentifikasi lewat konteks pemakaian bahasa disebut makna sekunder.

  Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa go’e

  t Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif.

  Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur- unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut (Chaer, 1989:76-77).

  Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Menyimpangnya makna idiomatikal didukung oleh usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan-satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan mengena (Chaer, 1989:78). Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur, berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan digunakan.

  Jadi, makna adalah maksud ujaran penutur dalam menyampaikan pesan atau informasi berdasarkan kenyataan dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga langsung dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar), ataupun menggunakan bahasa yang menyimpang dari arti sebenarnya untuk tujuan etis dan estetis. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

1.6.4 Fungsi Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya

  Bahasa merupakan salah satu bagian dari segi kebudayaan. Sebagai salah satu segi kebudayaan, bahasa merupakan dasar dari kebudayaan. Kebudayaan sama tuanya dengan manusia, begitu juga bahasa, hanya corak dan bentuknya yang berbeda. Seperti halnya dengan manusia, bahasa dan kebudayaan juga berkembang.

  Hal ini dapat dilihat dari riwayatnya dan bila kita bandingkan bahasa sekarang dengan dahulu, jauh bedanya. Khazanah kata-kata pada setiap bahasa zaman sekarang, lebih-lebih bahasa yang luas pemakaiannya, bukan main banyaknya dan luas pula pengertiannya (Mahjunir, 1967:84).

  Bahasa bukanlah warisan biologis, tetapi diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman sejak kecil. Dengan demikian, bahasa merupakan ciptaan manusia yang berfungsi sebagai alat penghubung. Sebagai alat penghubung, bahasa memungkinkan manusia untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Selain itu, bahasa juga digunakan dalam proses pewarisan budaya, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya yang diperoleh dengan cara belajar, yang dimulai dari lingkungan keluarga. Tanpa bahasa, kebudayaan tidak dapat berkembang. Bahasa dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan dan meneruskan kebudayaan, di samping alat-alat lain. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa timbul sesuai dengan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bahasa seperti halnya dengan segi-segi kebudayaan lain merupakan ciri yang membedakan manusia dengan hewan

  Keraf (1987: 3) mengatakan bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya dapat berupa:

  (1) Untuk menyatakan ekspresi diri; (2) Sebagai alat komunikasi; (3) Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; (4) Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.

  Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan serta emosi kita ketika berhadapan langsung dengan orang lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bahasa mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan, dan mengarahkan masa depan kita. Bahasa juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, bahasa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda kebudayaan dengan kita. Bahasa merupakan sarana untuk belajar dan memahami situasi di lingkungan sekitar kita dan memampukan kita untuk menjalin suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial, bahasa mengatur cara berpikir dan bertindak dalam berinteraksi di lingkungan sosial masyarakat (Keraf, 1987:3 - 6).

  Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual itu sendiri. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia, maka bahasa yang digunakan pun akan semakin meningkat dan berkembang. Oleh karena itu, bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu masyarakat.

  Uraian mengenai fungsi bahasa serta kaitannya dengan budaya berfungsi untuk menjelaskan posisi serta fungsi go’e

  t di lingkungan masyarakat Manggarai,

  yaitu sebagai media bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam berbagai situasi lain dalam kehidupan sehari-hari.

1.6.5 Tindak Tutur

  Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing something.

  Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting

  someone (Wijana, 1996: 19-20).

  Tindak tutur digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur go’e

  t

  sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar). Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam go’e

  t

  Manggarai terdapat tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

  Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni : (i) pengumpulan data atau penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap penelitian.

  1.7.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semantik.

  Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

  1.7.2 Tahap Penyediaan Data

  Objek penelitian ini adalah go’e

  t (ungkapan tradisional) dalam bahasa

  Manggarai. Objek penelitian dalam data berupa ujaran atau tuturan masyarakat atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak atau penyimakan dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2005:90). Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap, yaitu penggunaan bahasa dari sumber tertulis yaitu dari buku referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Manggarai, dan data lisan diperoleh dari hasil wawancara berupa ujaran masyarakat pemakai go’e

  t. Metode cakap atau percakapan yaitu

  metode berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap diwujudkan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik pancing karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun, 2005:94). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan dalam teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).

  Dalam penelitian ini, teknik cakap bertemu muka digunakan ketika peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber. Teknik rekam digunakan untuk merekam penggunaan bahasa / tuturan nara sumber. Teknik catat digunakan untuk mencatat hasil rekaman tuturan nara sumber pada kartu data ketika hendak menyusun laporan penelitian.

  1.7.3 Tahap Analisis Data

  Data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

  

(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:13). Metode padan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.

  Metode padan translasional adalah adalah metode padan yang alat penentunya berupa bahasa lain. Bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata Mori dalam bahasa Manggarai tidak teridentifikasi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, Mori berarti Tuhan atau Sang Pencipta.

  Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.

  1.7.4 Tahap Penyajian Hasil analisis Data Setelah data dianalisis, maka dilakukan tahap penyajian hasil analisis data.

  Data yang sudah dianalisis disusun secara sistematis. Penyajian hasil analisis data terhadap objek penelitian go’e

  t Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi dilakukan secara informal.

1.8 Sistematika Penyajian

  Sistematika penyajian dijabarkan menjadi empat bab, yaitu: (i) Pendahuluan, (ii) Gambaran Umum Lokasi Penelitian, (iii) Pembahasan, (iv) Penutup. Bab I berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik penelitian serta aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian, atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Landasan teori adalah kerangka berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penelitian. Metode dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian, hasil dari penelitian yang dilakukan.

  Bab II menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yaitu mengenai topografi dan demografi lokasi penelitian. Topografi adalah pemetaan yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada daerah tertentu, yang meliputi luas wilayah, keadaan geografis, letak astronomi berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk.

  Bab III berisi pembahasan topik penelitian yang meliputi makna dan fungsi go’e

  t

  (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Pada bab ini, penulis akan melakukan transkrip bahasa, yaitu dari bahasa Manggarai ke bahasa Indonesia.

  Bab IV berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang makna dan fungsi go’e

  t (ungkapan tradisional)

  dalam bahasa Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti selanjutnya.

  BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

  2.1 Pengantar

  Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.

  2.2 Topografi

  Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima (Hemo, 1988: 45).

  Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad

  XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai. Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan masing- terangan kerajaan Gowa melepaskan daerah Manggarai dari pengaruh kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok (nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai.

  Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa (Hemo, 1988: 41).

  Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC.

  Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya. Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42).

  Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai, Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran. Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal, pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak: “ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988: 45).

  Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo, 1988: 1).