Go`et (ungkapan tradisional) Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi.

(1)

ix   

ABSTRAK

Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap. Metode cakap atau wawancara adalah metode yang berupa percakapan antara peneliti dengan penutur selaku nara sumber. Metode cakap dijabarkan ke dalam teknik dasar yaitu teknik pancing dan teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik cakap bertemu muka selanjutnya dijabarkan melalui teknik rekam dan teknik catat. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.


(2)

x   

Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.

Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.

Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

Go’ét dianggap sebagai bahasa halus, tetapi sarat dengan berbagai makna. Orang Manggarai menggunakan go’ét sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk berbagai tujuan tertentu (menasehati, untuk menyindir, dan lain-lain). Dalam situasi tertentu, orang Manggarai tidak mengungkapkan maksud atau keinginannya secara terang-terangan, tetapi menggunakan kiasan. Setiap kata atau kalimat mengandung falsafah yang mencerminkan alam pikiran orang Manggarai. Go’ét merupakan bahasa tutur yang dirasa paling tepat dan paling mengena, sesuai dengan norma adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Manggarai.


(3)

xi ABSTRACT

Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.

The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.

The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.

Data are acquired by using two methods, those are gathering method or observation and speaking method or interview. Gathering method is applied by means of a technique of bugging. Speaking method or interview is a method in form of conversation between observer and narrator as informant. Speaking method is derived into the basic technique that is technique of angling and the advanced technique, that is technique of face-to-face speaking. The last one can be further derived into recording technique and writing technique. Then, data are analyzed by using the method of equality. The method used here is the translational equality and the


(4)

xii

pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.

The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.

Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.

Go’et is considered as polite language, but very meaningful. Manggaraian people use go’et as means to communicate, for various interests (advice, for tease us). In certain situation, Manggaraian people do not express their purpose or wish directly, but use metaphor. Every word and sentence contains philosophy that reflects the realm of mind of Manggaraian people. Go’et is a spoken language considered as the precisest and the most effective, in the respect of traditional norms obtain in Manggaraian society.


(5)

i

( UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI DITINJAU DARI SEGI MAKNA DAN FUNGSI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Maria Sulastri NIM: 064114015

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(6)

(7)

(8)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

♥ ♥


(9)

v   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat serta berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul “Go’ét” (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.

Dalam proses penyusunan skrispi, ada banyak pihak yang turut membantu penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

2. Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. Hery Antono, M.Hum. Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum. Drs. F.X. Santosa, M.S. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum; atas pengetahuan yang telah dibagikan kepada penulis selama menempuh kuliah di Universitas Sanata Dharma.


(10)

vi   

4. Bapak Gaudensius Bombang atas segala kritikan dan sarannya kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.

5. Buat naca momang (yayang) yang selalu memberikan dukungan, semangat serta kritikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi penyempurnaan karangan ini.

Yogyakarta, September 2010

Penulis


(11)

(12)

(13)

ix   

ABSTRAK

Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua,

go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan

dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap. Metode cakap atau wawancara adalah metode yang berupa percakapan antara peneliti dengan penutur selaku nara sumber. Metode cakap dijabarkan ke dalam teknik dasar yaitu teknik pancing dan teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik cakap bertemu muka selanjutnya dijabarkan melalui teknik rekam dan teknik catat. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.


(14)

x   

Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur.

Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya,

go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam

lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya.

Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

Go’ét dianggap sebagai bahasa halus, tetapi sarat dengan berbagai makna.

Orang Manggarai menggunakan go’ét sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk berbagai tujuan tertentu (menasehati, untuk menyindir, dan lain-lain). Dalam situasi tertentu, orang Manggarai tidak mengungkapkan maksud atau keinginannya secara terang-terangan, tetapi menggunakan kiasan. Setiap kata atau kalimat mengandung falsafah yang mencerminkan alam pikiran orang Manggarai. Go’ét merupakan bahasa tutur yang dirasa paling tepat dan paling mengena, sesuai dengan norma adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Manggarai.


(15)

xi ABSTRACT

Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people.

The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken.

The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking.

Data are acquired by using two methods, those are gathering method or observation and speaking method or interview. Gathering method is applied by means of a technique of bugging. Speaking method or interview is a method in form of conversation between observer and narrator as informant. Speaking method is derived into the basic technique that is technique of angling and the advanced technique, that is technique of face-to-face speaking. The last one can be further derived into recording technique and writing technique. Then, data are analyzed by using the method of equality. The method used here is the translational equality and the


(16)

xii

pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator.

The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand.

Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people.

Go’et is considered as polite language, but very meaningful. Manggaraian people use go’et as means to communicate, for various interests (advice, for tease us). In certain situation, Manggaraian people do not express their purpose or wish directly, but use metaphor. Every word and sentence contains philosophy that reflects the realm of mind of Manggaraian people. Go’et is a spoken language considered as the precisest and the most effective, in the respect of traditional norms obtain in Manggaraian society.


(17)

(18)

(19)

xv


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisonal) dalam bahasa

Manggarai: tinjauan makna dan fungsi. Go’et merupakan milik masyarakat

Manggarai, namun hanya segelintir orang dalam masyarakat Manggarai yang

benar-benar memahami go’et dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi, go’et umumnya hanya dikuasai dengan baik dan

sempurna oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai (tetua adat, tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda sangat jarang

yang menguasainya apalagi menghafalnya. Go’et sudah lama dikenal masyarakat

Manggarai. Umumnya orang sudah sering mendengarnya ketika diucapkan oleh para orang tua, baik dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Ungkapan tradisional umumnya berisi pendidikan etik dan moral, norma-norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma-norma tingkah laku bagi setiap anggota masyarakat (Athaillah dkk.1984:1). Selain itu, ungkapan tradisional pada hakikatnya adalah ide, pandangan, keinginan, sikap, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan ataupun yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai ungkapan tradisional, go’et mengandung nilai pendidikan, etik, moral, norma-norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi setiap anggota masyarakat untuk memelihara kelangsungan hidup bermasyarakat


(21)

selanjutnya. Norma-norma itu harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap anggota, terutama yang sedang berfungsi atau yang akan menerima fungsi sebagai pemimpin masyarakat. Generasi muda perlu memahami dan menghayati ungkapan tradisional dengan baik agar dapat memilah unsur-unsur yang dapat digunakan dalam pembinaan generasi berikutnya. Dalam masyarakat tradisional, pewarisan nilai-nilai ini dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal yang ada dalam masyarakat.

Berikut ini adalah contoh go’et Manggarai:

(1) Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta

‘ Tuan dan Pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’

(2) Kantis nai rai ati

‘ Mengasah hati dan paru-paru’

Kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta pada contoh (1) merupakan ungkapan untuk menghormati Tuhan Allah sebagai pencipta alam semesta, yang diucapkan pada saat upacara keagamaan atau upacara adat. Ungkapan tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui Tuhan sebagai pencipta, sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati pada contoh (2) merupakan idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja dan berusaha. Ungkapan tersebut merupakan nasihat dari orang tua kepada generasi muda untuk senantiasa bekerja keras, memanfaatkan waktu dengan baik agar apa yang dicita-citakan atau yang diharapkan dapat tercapai.

Kedua contoh di atas mengandung ajaran tentang nilai pendidikan dan nilai moral yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat Manggarai.


(22)

Selain berisi nilai pendidikan dan nilai moral, kedua contoh di atas juga merupakan ide, pandangan, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Manggarai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Nilai pendidikan yang terdapat dalam kalimat Mori agu Ngara’nata Jari Dedek tana’n wa

awang eta yaitu berisi ajaran agar umat manusia mengakui dan menghormati Tuhan

sebagai Sang Pencipta, asal mula dari segala sesuatu yang ada di bumi, dan sebagai kekuasaan yang tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati mengandung nilai pendidikan serta nilai moral mengenai apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mencapai sebuah kesuksesan yaitu dengan cara bekerja keras dan tekun dalam berusaha. Kedua ungkapan tersebut merupakan pandangan, keinginan serta sikap masyarakat Manggarai dalam keseharian di lingkungan masyarakat.

Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti

yang mengumpulkan go’et Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai

makna serta fungsi yang terkandung dalam go’et Manggarai. Kedua, go’et

Manggarai sebagai salah satu bagian dari budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’et Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.

1.2 Rumusan Masalah


(23)

1.2.1 Apakah makna go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai?

1.2.2 Apakah fungsi go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat

Manggarai?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1 Menjelaskan makna go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai; 1.3.2 Menjelaskan fungsi go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik dan bidang pragmatik. Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’et Manggarai. Dalam bidang pragmatik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memahami tuturan yang diucapkan penutur agar dapat dipahami oleh mitra bicara. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka, khususnya kebudayaan daerah. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pewarisan budaya, menjadi tolak ukur dalam melakukan penelitian baru dalam bidang kebudayaan dan memperkenalkan go’et sebagai salah satu kebudayaan Manggarai.


(24)

1.5 Tinjauan Pustaka

Nggoro (2004) dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai: Selayang

Pandang membahas go’et Manggarai secara sepintas dalam kaitannya dengan

budaya Manggarai mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dapat dipahami sebagai hubungan yang terjalin karena pertalian darah atau perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan, go’et digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga, yaitu percakapan antara orang tua dan anaknya. Percakapan tersebut berisi nasihat orang tua kepada anak, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Got (2007) dalam tesisnya yang berjudul Makna Adat Istiadat, Leluhur Putri

Nggerang,Budaya dan Pariwisata Manggarai bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

membahas go’et secara sepintas dari segi makna adat-istiadat dalam tradisi budaya dan peristilahan. Tradisi budaya dan seni peristilahan yang dimaksud adalah mengenai tradisi pesta yang berkaitan dengan adat-istiadat budaya dan agama, yaitu suatu kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap tahun, dilakukan setelah musim panen. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menghormati Sang Pencipta yang sering diungkapkan dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta (Tuhan Pencipta langit dan bumi) yang dipersonifikasikan dengan melakukan apa yang disebut taking seki (memberikan sesajian kepada roh-roh nenek moyang) dan

naga golo (makhluk halus) yang diberikan oleh setiap panga (klan) yang menjaga


(25)

dipakai saat upacara adat dalam bentuk doa sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur atau rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, penelitian mengenai go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dari segi makna dan fungsi belum pernah dilakukan.

1.6 Landasan Teori

Lima hal yang digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan masalah yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah (1) pengertian go’et,

(2) pengertian ungkapan tradisional, (3) pengertian makna, (4) fungsi bahasa dan

kaitannya dengan budaya, (5) tindak tutur.

1.6.1 Pengertian Go’et

Menurut Verheijen ( Kamus Manggarai-Indonesia, 1967: 143) go’et adalah sajak, pantun, seloka, (ii) tutur bahasa.

Go’et adalah tutur bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, dalam upacara adat, dan upacara keagamaan dalam lingkungan masyarakat Manggarai, berupa bahasa kiasan. Go’et berisi pesan yang mengandung ajaran moral, disampaikan oleh para orang tua kepada para generasi muda, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Go’et tidak dapat ditafsirkan secara harafiah tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks pemakaian bahasa ketika go’et diucapkan.


(26)

Menurut Bruno Agut (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah, perumpamaan (dalam bahasa Indonesia) berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama. Contoh : kantis nai-rai ati. Pada kalimat kantis nai-rai ati terdapat persamaan bunyi yang sama, yaitu pengulangan vokal [i].

Menurut Petrus Janggur (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah, petuah yang mengandung nasihat, teguran untuk memberi motivasi dari orang tua

kepada generasi muda. Selain sebagai petuah, go’et merupakan ungkapan yang

penuh dengan makna simbolis.

Go’et dalam penelitian ini adalah ungkapan, perumpamaan, berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama, yang mengandung pesan tertentu dan digunakan untuk berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.6.2 Pengertian Ungkapan Tradisional

Hutomo via Suarjana dkk (1994:15) menyebutkan bahwa ungkapan tradisional adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan yang sehalus mungkin, tetapi mudah dimengerti. Ungkapan tradisional itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu:

(1) Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup; (2) Ungkapan yang berkaitan dengan pertandingan atau permainan; (3) Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan; (4) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan;

(5) Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang; (6) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia;


(27)

(7) Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan;

(8) Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.

Gaffar (1990:20) menyatakan bahwa ungkapan tradisional atau peribahasa adalah bahasa kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi buah bibir banyak orang.

Ungkapan tradisional dalam penelitian ini adalah ungkapan atau ekspresi seorang individu dalam usahanya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta emosinya dalam bentuk satuan kebahasaan tertentu yang dianggap paling tepat, dengan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan masyarakat setempat, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.

1.6.3 Pengertian Makna

Makna dibagi atas dua jenis, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer terdiri dari makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, sedangkan makna sekunder terdiri dari makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal (Wijana, 1998:9). Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna denotatif sering juga disebut makna denotasial, makna konseptual, atau makna kognitif yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu makna denotasi sering juga disebut sebagai “makna sebenarnya”.


(28)

Makna literal atau makna lugas adalah makna yanga harafiah yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan (Chaer, 1989 : 62-68).

Makna konotatif merupakan makna tambahan dari makna denotatif yang berasal dari masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu, dapat juga peristiwa sejarah atau adanya pembedaan fungsi sosial dalam masyarakat. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk berbagai tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer,1989 : 62-71).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna denotatif, makna leksikal, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa bantuan konteks. Makna satuan bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks disebut makna primer. Makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal hanya dapat diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks, yaitu melalui konteks pemakaian bahasa yang dipakai penutur bahasa. Makna kesatuan bahasa yang hanya dapat diidentifikasi lewat konteks pemakaian bahasa disebut makna sekunder.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa go’et Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata,frasa, maupun


(29)

kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut (Chaer, 1989:76-77).

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Menyimpangnya makna idiomatikal didukung oleh usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan-satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan mengena (Chaer, 1989:78). Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur, berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan digunakan.

Jadi, makna adalah maksud ujaran penutur dalam menyampaikan pesan atau informasi berdasarkan kenyataan dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga langsung dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar), ataupun menggunakan bahasa yang menyimpang dari arti sebenarnya untuk tujuan etis dan estetis. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.


(30)

1.6.4 Fungsi Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya

Bahasa merupakan salah satu bagian dari segi kebudayaan. Sebagai salah satu segi kebudayaan, bahasa merupakan dasar dari kebudayaan. Kebudayaan sama tuanya dengan manusia, begitu juga bahasa, hanya corak dan bentuknya yang berbeda. Seperti halnya dengan manusia, bahasa dan kebudayaan juga berkembang. Hal ini dapat dilihat dari riwayatnya dan bila kita bandingkan bahasa sekarang dengan dahulu, jauh bedanya. Khazanah kata-kata pada setiap bahasa zaman sekarang, lebih-lebih bahasa yang luas pemakaiannya, bukan main banyaknya dan luas pula pengertiannya (Mahjunir, 1967:84).

Bahasa bukanlah warisan biologis, tetapi diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman sejak kecil. Dengan demikian, bahasa merupakan ciptaan manusia yang berfungsi sebagai alat penghubung. Sebagai alat penghubung, bahasa memungkinkan manusia untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Selain itu, bahasa juga digunakan dalam proses pewarisan budaya, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya yang diperoleh dengan cara belajar, yang dimulai dari lingkungan keluarga. Tanpa bahasa, kebudayaan tidak dapat berkembang. Bahasa dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan dan meneruskan kebudayaan, di samping alat-alat lain. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa timbul sesuai dengan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bahasa seperti halnya dengan segi-segi kebudayaan lain merupakan ciri yang membedakan manusia dengan hewan (Mahjunir, 1967:84).


(31)

Keraf (1987: 3) mengatakan bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya dapat berupa:

(1) Untuk menyatakan ekspresi diri; (2) Sebagai alat komunikasi;

(3) Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; (4) Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial.

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan serta emosi kita ketika berhadapan langsung dengan orang lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bahasa mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan, dan mengarahkan masa depan kita. Bahasa juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, bahasa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda kebudayaan dengan kita. Bahasa merupakan sarana untuk belajar dan memahami situasi di lingkungan sekitar kita dan memampukan kita untuk menjalin suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial, bahasa mengatur cara berpikir dan bertindak dalam berinteraksi di lingkungan sosial masyarakat (Keraf, 1987:3 - 6).


(32)

Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual itu sendiri. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia, maka bahasa yang digunakan pun akan semakin meningkat dan berkembang. Oleh karena itu, bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu masyarakat.

Uraian mengenai fungsi bahasa serta kaitannya dengan budaya berfungsi untuk menjelaskan posisi serta fungsi go’et di lingkungan masyarakat Manggarai, yaitu sebagai media bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam berbagai situasi lain dalam kehidupan sehari-hari.

1.6.5 Tindak Tutur

Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan

tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk

menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing

something.

Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh


(33)

penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting

someone (Wijana, 1996: 19-20).

Tindak tutur digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur go’et sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar). Dari hasil analisis yang

dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam go’et

Manggarai terdapat tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni : (i) pengumpulan data atau penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap penelitian.

1.7.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semantik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.

1.7.2 Tahap Penyediaan Data

Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa

Manggarai. Objek penelitian dalam data berupa ujaran atau tuturan masyarakat pemakai go’et. Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak


(34)

atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak atau penyimakan dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2005:90). Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap, yaitu penggunaan bahasa dari sumber tertulis yaitu dari buku referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Manggarai, dan data lisan diperoleh dari hasil wawancara

berupa ujaran masyarakat pemakai go’et. Metode cakap atau percakapan yaitu

metode berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap diwujudkan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik pancing karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun, 2005:94). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan dalam teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45).

Dalam penelitian ini, teknik cakap bertemu muka digunakan ketika peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber. Teknik rekam digunakan untuk merekam penggunaan bahasa / tuturan nara sumber. Teknik catat digunakan untuk mencatat hasil rekaman tuturan nara sumber pada kartu data ketika hendak menyusun laporan penelitian.


(35)

1.7.3 Tahap Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:13). Metode padan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis. Metode padan translasional adalah adalah metode padan yang alat penentunya berupa bahasa lain. Bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Sebagai

contoh, kata Mori dalam bahasa Manggarai tidak teridentifikasi dalam bahasa

Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, Mori berarti Tuhan atau Sang Pencipta.

Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.

1.7.4 Tahap Penyajian Hasil analisis Data

Setelah data dianalisis, maka dilakukan tahap penyajian hasil analisis data. Data yang sudah dianalisis disusun secara sistematis. Penyajian hasil analisis data terhadap objek penelitian go’et Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi dilakukan secara informal.


(36)

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian dijabarkan menjadi empat bab, yaitu: (i) Pendahuluan, (ii) Gambaran Umum Lokasi Penelitian, (iii) Pembahasan, (iv) Penutup. Bab I berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik penelitian serta aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian, atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Landasan teori adalah kerangka berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penelitian. Metode dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian, hasil dari penelitian yang dilakukan.

Bab II menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yaitu mengenai topografi dan demografi lokasi penelitian. Topografi adalah pemetaan yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada daerah tertentu, yang meliputi luas wilayah, keadaan geografis, letak astronomi berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk.


(37)

Bab III berisi pembahasan topik penelitian yang meliputi makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Pada bab ini, penulis akan melakukan transkrip bahasa, yaitu dari bahasa Manggarai ke bahasa Indonesia.

Bab IV berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti selanjutnya.


(38)

19  BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Pengantar

Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.

2.2 Topografi

Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga

berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima (Hemo, 1988: 45).

Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai. Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan masing-masing berdaulat atas wilayahnya. Menjelang abad XVII, secara tidak


(39)

terang-terangan kerajaan Gowa melepaskan daerah Manggarai dari pengaruh kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok

(nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang

berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai. Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak

oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu

disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa (Hemo, 1988: 41).

Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC. Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya. Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42).

Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai, Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk

menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal

bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan pasukan Bima dinilai penguasa Cibal sebagai perbuatan menghina. Penguasa dan


(40)

para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran. Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal, pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak: “ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988: 45).

Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu. Dari segi astronomis, daerah Manggarai terletak


(41)

antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo, 1988: 1).

Secara pemerintahan wilayah Manggarai terdiri dari tiga kabupaten, yaitu kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur. Pada tahun 2003, Kabupaten Manggarai Barat terbentuk. Wilayahnya meliputi daratan Pulau Flores bagian barat dan beberapa pulau kecil sekitarnya, diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya Kecil, Pulau Bidadari, dan Pulau Longgos. Pada tanggal 17 Juli 2007, Kabupaten Mangarai Timur terbentuk dengan ibu kota Borong. Luas wilayahnya 2.643,41 km2. Walaupun Manggarai terbagi menjadi tiga kabupaten, namun tetaplah menjadi “satu kesatuan” dengan kabupaten Manggarai sebagai kabupaten induk (http: // www. Pos-Kupang.com).

2.3 Demografi

Dalam tradisi lisan, nenek moyang orang Manggarai dikisahkan sebagai makhluk berbulu, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Mereka belum mengenal api (metaforik) sehingga mereka makan makanan mentah (Dami N. Toda via Nggoro, 2004:26).

Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa sub-klan yang nenek moyangnya berasal dari luar daerah Manggarai, antara lain dari Bima, Bugis, Goa, Serang, Makasar, Sumba, Boneng Kabo. Itu artinya bahwa nenek moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Oleh karena kurangnya data tertulis, sulit dipastikan pengelompokan klan-klan di Manggarai


(42)

berdasarkan suku asalnya. Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa / Makasar / Bugis). Hal tersebut dapat dlihat dari segi bahasa yang mempunyai beberapa kesamaan. Misalnya istilah yang merujuk pada sebutan untuk bangsawan. Di Manggarai dikenal dengan kata keraeng dan di Makasar dikenal dengan istilah karaeng. Berikut ini contoh beberapa unsur bahasa yang memiliki kesamaan dengan suku-suku yang disebutkan di atas (Nggoro, 2004: 27) :

Bugis Goa / makasar Manggarai Indonesia

Manuk Lipa Kasiasi _ _ _ _ Bembe _ Lipa _ Somba opu Lampa

Karaeng

Nyarang Bembe

Manuk Lipa / towe Kasiasi Somba opu

Lampa

Keraeng

Jarang Bembe, mbe Ayam Sarung Miskin Menghormati leluhur

Jalan / melangkah Bangsawan Kuda Kambing

Dari uraian di atas, asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai tidak diketahui secara pasti akibat tidak adanya sumber tertulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa penghuni pertama daerah Manggarai datang dari barat sesuai dengan teori penyebaran penduduk di Indonesia pada umumnya di masa lampau.


(43)

nenek moyang yang menurunkan warga wa’u. Namun dari cerita tersebut tidak dapat ditentukan bahwa nenek moyang tertentu sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Apalagi cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, berbeda-beda serta bervariasi. Terlebih ada kebiasaan melarang menyebutkan nenek moyang, jika bukan pada saat upacara tradisi yang sudah ditetapkan sejak nenek moyang pertama, seperti upacara penti, hang rani, dan cepa. Pada upacara tersebut para orang tua boleh menceritakan pengalaman nenek moyang mereka. Mereka menyebut nama nenek moyangnya, tempat-tempat yang disinggahi, bahkan tentang binatang yang mengantar nenek moyang ke suatu tempat atau cerita tentang binatang yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Binatang itu kelak menjadi binatang yang dianggap suci atau dikenal sebagai ceki/ mawa. Ceki adalah larangan untuk membunuh dan memakan daging binatang menurut cerita lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi merupakan binatang yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, apabila

larangan (ceki) dilanggar maka yang bersangkutan akan menderita sakit yang

berkepanjangan atau cacat mental. Tiap wa’u mempunyai ceki atau mawa

masing-masing. Ceki atau mawa sesungguhnya merupakan lambang setiap wa’u (Hemo,

1988: 8).

Seperti telah disebutkan bahwa asal-usul dan penghuni pertama daerah

Manggarai belum diketahui, maka sulit untuk menentukan wa’u (klan) manakah

sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Seorang pastor SVD, Dr. P.J. Glinka mengadakan penelitian tentang prasejarah perkembangan kehidupan masa lampau daerah Manggarai serta penduduk Nusa Tenggara Timur. Dalam melakukan


(44)

penelitian, P.J. Glinka menggunakan metode berdasarkan indeks kepala, wajah, hidung dan tinggi kepala. Hasil penelitian Dr. P.J. Glinka S.V.D berhasil mengungkapkan tipe penduduk Nusa Tenggara timur yang terdiri dari tiga tipe. Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tipe europoid yang mirip ras mediteran di sekitar Laut Tengah, India sampai Polinesia. Kedua, tipe pacifid yang termasuk golongan mongoloid yang menyebar di Jepang, Taiwan, Filipina dan Polynesia. Tipe ketiga adalah tipe negroid. Di daerah Manggarai, ketiga tipe penduduk tersebut ada, yakni Eouropoid 42,1 %, Pasifid 22,6 % dan Negroid 35,3% (Hemo, 1988: 9).

Seorang linguis yang pernah mengadakan penelitian di Manggarai adalah Jilis AJ Verheijen, S.V.D, seorang misionaris berkebangsaan Belanda. Berdasarkan penelitian Verheijen, bahasa yang digunakan di Manggarai adalah bahasa Manggarai dengan dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. Seluruh masyarakat Manggarai merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat (http : // kraengadhy.blogspot.com).

Penggunaan bahasa daerah Manggarai mempunyai sistem yang dapat dibedakan menurut maksud serta tujuan penggunaan bahasa, terdiri dari bahasa percakapan sehari-hari, bahasa upacara adat, doa-doa upacara yang mempunyai nilai religius, bahasa tanda atau bahasa sandi, bahasa lambang atau simbol, ungkapan dan syair. Bahasa tanda adalah suatu cara mengungkapkan suatu maksud tanpa diucapkan berupa kata-kata, melainkan dengan menggunakan benda atau tanda tertentu. Misalnya seseorang yang mengambil sayur, buah-buahan atau tanaman di kebun


(45)

orang lain tanpa izin pemilik kebun karena kebutuhan mendesak, maka orang tersebut akan memberikan tanda berupa ranting atau daun-daunan. Bahasa simbol atau bahasa lambang adalah suatu sistem menyampaikan maksud dengan menggunakan kata-kata simbol atau lambang. Misalnya istilah untuk meminang seorang gadis dikenal dengan istilah taeng kala rana (taeng= meminta, kala=sirih,

rana= buah, daun yang pertama kali digunakan). Ungkapan dalam bahasa daerah

Manggarai mempunyai makna dan arti bagi kehidupan manusia, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung pesan untuk diteladani manusia dalam bertindak, bersikap, dan bertingkah laku ( Hemo, 1988: 18).


(46)

27  BAB III

MAKNA DAN FUNGSI GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) DALAM

BAHASA MANGGARAI 3.1 Pengantar

Pada bab ini diuraikan makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai, dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Sesuai teori Hutomo via Suarjana (1995: 25), dalam budaya masyarakat Manggarai juga ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional yang terdapat dalam budaya masyarakat Manggarai, meliputi ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup, ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan larangan, berkaitan dengan status sosial seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia, berkaitan dengan ejekan, dan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan.

Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah dan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan ungkapan gambaran kepercayaan orang Manggarai akan Wujud Tertinggi, sedangkan ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berfungsi untuk menggambarkan keseharian kehidupan masyarakat Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta mengungkapkan relasi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan berjumlah tiga buah yang berfungsi untuk memperhalus kata / ucapan seseorang agar enak didengar. Ungkapan yang berkaitan dengan larangan berjumlah delapan buah yang berfungsi untuk mengatur tata kehidupan sosial dalam


(47)

masyarakat. Ungkapan tersebut berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, untuk mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia berjumlah enam puluh delapan buah yang berfungsi untuk tujuan etis agar tidak menyinggung perasaan orang yang sedang dibicarakan. Ungkapan berkaitan dengan ejekan berjumlah satu buah, yang berfungsi untuk menyindir orang. Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan berjumlah tiga belas buah, yang berfungsi untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan dalam keluarga. Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang berjumlah dua buah, berfungsi untuk menjelaskan kedudukan serta status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat. Berikut ini diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai.

3.2 Makna Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat

disimpulkan bahwa go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai

mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Berikut

ini akan diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa


(48)

3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah, sedangkan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi yang disebut MoriKraeng (Tuhan Allah) yang diyakini memiliki kekuasaan tertinggi dan tak terbatas, yang menciptakan manusia dan alam semesta. Selain mengakui Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa, masyarakat Manggarai juga menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup merupakan gambaran keseharian masyarakat Manggarai, dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan

Berikut ini diuraikan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi.

(1) Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n eta

‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’ Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”.

Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang

menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja

terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa

awang’n eta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi

referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin


(49)

menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya alam semesta (Verheijen, 1991: 34-35).

Agu (dan) dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara, adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi. Adapun kata ngara (dalam beberapa dialek : nggara) kira-kira sinonim dengan mori,

sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat

dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah

yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”, “berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. Dedek berarti “membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari

bahasa Makasar (jari dan dédé), tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan

Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada

umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini

mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta” atau “Pembuat” ( Verheijen, 1991: 36-38).

Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta

mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi beserta isinya.


(50)

(2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite-Mori Jari agu Dédék

‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta dan penjadi’

Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek

mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta.

(3) Mori ata pukul par agu kolep

‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’

Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang

Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas.

(4) Mori nipu riwu ongko do

‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’

Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang

Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya.

(5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng

de Dédék

‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak dapat dirintangi’

Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n


(51)

tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi kuasa-Nya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi.

(6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari ‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke hadapan Tuhan setiap hari’

Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping

Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan

berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari.

(7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék

‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta

Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung

makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka.

(8) Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau-

awang’n eta - tana’n wa'

‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’

Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le -

wa’in lau - awang’n eta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus

menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah yang berkuasa atas semuanya.


(52)

Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti

dalam mbaru gendang (rumah adat), dalam rumah pribadi, di compang (mesbah /

altar) yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan sebagainya ( Janggur, 2008: 5).

(9) Mori Keraéng

Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat

dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara

mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh

pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi (Verheijen, 1991: 37).

(10) Ronan éta mai - winan wa mai

‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’

Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing

berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan “bumi”. Suami adalah bentangan langit sedangkan isteri adalah bumi. Pria adalah


(53)

bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim “langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas” dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini

dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta

di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut bagi Wujud Tertinggi ( Verheijen, 1991 : 43-45).

(11) Amé rinding mané - iné rinding wié

‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’

Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang

sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk

Wujud Tertinggi.

(12) Pong dopo ngalor masa

‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’

Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat (pohon, batu, gunung, dan sebagainya). Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai jiwa serta memiliki kekuatan sakti. Menurut kepercayaan tersebut yang diyakini


(54)

sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana.

(13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e ‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’

Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk

menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu keluarganya yang masih hidup.

(14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung

‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian belakang’

Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan

idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang.

(15) Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong

Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong

merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan

berupa sesajen kepada arwah para leluhur (empo) pada saat upacara penti agar

mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil orang - orang yang masih hidup bila tidak dihormati.


(55)

3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup (16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni

‘ Berangkat kerja pagi hari - pulang sore hari- bekerja sampai kuku tumpul - punggung terluka terkena terik matahari yang menyengat’

Ungkapan duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni merupakan

idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja. Ungkapan tersebut menggambarkan keseharian orang Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan bekerja keras diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga.

(17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

‘ Hormatilah orang yang lebih tua - berbicaralah dengan sopan- tunjukkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan hati orang lain’

Ungkapan hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io

mengandung makna yang berisi ajakan agar orang Manggarai menghargai dan menghormati orang lain, terlebih kepada yang lebih tua. Hal tersebut dilakukan dengan berbicara secara sopan dan mengikuti tata krama yang ada dalam masyarakat. Jika kita menghargai orang lain, orang lain juga akan menghargai kita.

(18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil- padir wa’i rentu sai’i - manik deu main

‘ Setiap orang (kepala keluarga) berkumpul bersama - memberikan pendapat - kaki berselonjor - kepala ditegakkan ‘

Ungkapan reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil - padir


(56)

persoalan harus mengutamakan musyawarah dari seluruh warga masyarakat. Seluruh peserta bebas mengemukakan pendapat yang berguna untuk kepentingan bersama dalam kehidupan sosial masyarakat. Musyawarah harus mencapai kesepakatan dan segala keputusan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

(19) Bahi gici arit - cingke gici irat ‘ Biar sedikit tapi dibagi sama rata’

Ungkapan bahi gici arit - cingke gici irat mengandung makna bahwa

dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus bersikap adil dan jujur dalam membagi sesuatu yang merupakan hak semua orang.

(20) Duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru

sama rege ruek

‘ Berangkat kerja seperti kera yang berteriak - pulang ke rumah seperti kicauan burung ruek’

Secara leksikal, kata rangka lama dalam bahasa Manggarai berarti kera dewasa yang selalu berteriak-teriak dan melompat-lompat. Bila seekor kera selalu berteriak dan melompat-lompat, itu sebuah pertanda bahwa ia sedang merasa senang

atau gembira. Ruek adalah sejenis burung sebesar burung gagak, berwarna

kemerahan, dan mengeluarkan bunyi yang amat nyaring. Burung tersebut terdapat di tanah panas dan muncul pada bulan Oktober. Burung tersebut tidak terdapat di pulau Jawa. Rangka lama dan ruek adalah kiasan untuk mengungkapkan suasana hati yang senang atau gembira. Ungkapan duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e


(57)

segala sesuatu dikerjakan bersama-sama dalam suasana persatuan dan kesatuan, dengan hati yang gembira.

(21) Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati ‘ Hati dan paru-paru diasah’

Ungkapan Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati

merupakan idiom untuk menyatakan makna usaha untuk bekerja keras. (22) Na’a nggere wa rak - na’a nggere eta lemas

‘ Hati disimpan di paru-paru’

Ungkapan na’a nggere wa rak - na’a ngger eta lemas merupakan idiom

untuk menyatakan makna bahwa segala tutur kata orang yang kurang berkenan di hati, harus disikapi dengan kepala dingin.

(23) Kole le mai selendang laing tarik

‘ Pulang memakai secarik kain penutup aurat pria’

Ungkapan kole le mai selendang laing tarik merupakan idiom untuk

menyatakan makna pulang membawa sebuah kemenangan atau keberhasilan. Ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang pergi merantau untuk merubah nasib lalu pulang membawa kesuksesan.

(24) Lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole

‘ Jago pondong waktu pergi- jago rombeng waktu pulang’ (25) Lalong bakok du lako - lalong rombeng du kole

Jago putihwaktu pergi - jago rombeng waktu pulang’

Secara leksikal, kata lalong pondong dalam bahasa Manggarai berarti ayam yang tidak memiliki ekor panjang. Lalong rombeng yaitu ayam yang memiliki ekor


(58)

panjang. Lalong pondong merupakan kiasan bagi orang yang tidak mempunyai apa-apa (keahlian, pangkat, atau gelar). Lalong rombeng merupakan kiasan bagi orang yang mempunyai gelar atau jabatan.

Ungkapan lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole ditujukan bagi mereka yang meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu. Ketika

meninggalkan kampung halaman, ia tidak mempunyai bekal apa-apa (lalong

pondong). Ketika ia pulang, ia telah menjadi orang yang sukses (lalong rombeng).

(26) Pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana

‘ Pulang rumah mengenakan destar - pulang kampung mengenakan panggal’

Ungkapan pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana merupakan

idiom untuk menyatakan makna membawa kemenangan atau keberhasilan ketika kembali ke kampung halaman. Ungkapan tersebut ditujukan bagi orang yang meninggalkan kampung halaman untuk merubah nasib. Bagi masyarakat Manggarai,

panggal adalah simbol kekuasaan dan simbol kejantanan seorang pria, yang biasa

dipakai kaum pria pada saat tarian caci, yang menyerupai tanduk kerbau. (27) Asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale

‘ Walaupun negeri asal ditumbuhi tumbuhan semak - biarpun tanah orang berkelimpahan harta’

Secara leksikal kata ndusuk dalam bahasa Manggarai berarti tumbuhan

semak yang mirip dengan senduduk tetapi lebih kecil, dalam bahasa latin disebut

melastoma polyanthum (Kamus Manggarai - Indonesia, 1967 : 408). Ndusuk tumbuh


(59)

kokoh (kayu hutan). Dalam ungkapan asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale,

ndusuk digunakan sebagai kiasan untuk kampung halaman dan lale adalah kiasan

untuk negeri rantauan yang berkelimpahan harta. Ungkapan asam ndusuk tana ru -

konem lalen tana sale merupakan idiom untuk menyatakan makna rasa cinta tanah

air. Sejauh-jauhnya orang merantau, suatu hari nanti akan kembali juga ke kampung halamannya.

(28) Gendang one - lingkon pe’ang ‘ Gendang di dalam - kebun di luar’

Mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah adat Manggarai yang

berbentuk kerucut (rumah niang). Mbaru: rumah, gendang / tembong: alat musik

tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing. Mbaru gendang

dihuni oleh tu’a golo. Tu’a golo adalah kepala kampung yang menjadi pemimpin

dalam masyarakat dan merupakan tokoh adat. Sebagai rumah adat, mbaru gendang

memegang peranan penting dalam masyarakat, yaitu sebagai tempat untuk mengadakan rapat-rapat penting yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat, sebagai tempat untuk menyelenggarakan pesta-pesta besar dalam kampung (pesta penti: syukuran atas hasil panen, tae kaba, wagal), tempat menerima dan menjamu tamu-tamu agung yang mengunjungi desa, tempat menyimpan barang-barang pusaka peninggalan para leluhur, dan sebagai tempat untuk menyimpan alat musik tradisional.

Dalam satu kampung, hanya ada satu mbaru gendang. Mbaru gendang

merupakan simbol hak ulayat atas lingko-lingko (wilayah) yang dikuasainya.


(60)

terdapat dalam rumah adat mempunyai hubungan yang erat dengan hadirnya lingko (kebun yang berbentuk jaring laba-laba) yang menjadi milik / hak masyarakat adat desa (Janggur, 2010: 27).

(29) Temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i

‘Rawa-rawa di bawah - lindungan di atas - jerangau di hulu - wiko di hilir’

Secara leksikal, kata temek dalam bahasa Manggarai berarti daerah berawa,

tanah lumpur pada dataran rendah, kadang-kadang digenangi air. Jengok adalah

jerangau, dalam bahasa latin disebut acorus calmus, yaitu tumbuhan tahunan yang umbinya dapat digunakan sebagai obat atau campuran beberapa jenis tanaman keras. Akarnya dapat digunakan sebagai bahan ramuan obat, bumbu dapur, dan insektisida (KBBI, 1989 : 360). Wiko adalah sejenis rumput seperti gelagah yang tumbuh dekat air, dalam bahasa latin disebut elatostema. Temek / rawa adalah daerah yang lembab dan subur. Lindungan di atas yang dimaksudkan dalam ungkapan ini adalah tanaman kopi yang tumbuh subur, dan berbuah banyak. Kopi yang subur dan berbuah banyak adalah lambang kemakmuran atau status sosial seseorang (seseorang dikatakan kaya bila ia memiliki kebun kopi yang luas). Ungkapan temek wa - mbau eta - jengok le

ulu - wiko lau wa’i merupakan idiom untuk menyatakan makna kehidupan yang

penuh dengan kemakmuran.

(30) Uwa haeng wulang - langkas haeng ntala

‘ Bertumbuh sampai di bulan - tinggi sampai di bintang’

Dalam ungkapan uwa haéng wulang - langkas haéng ntala, kata wulang dan


(1)

  118

(74) Loma wina data (75) Pana mata leso (76) Kepu munak

(77) Jarang pentang majung (78) Lage loce toko de rona (79) Polis wisi loced ga

(80) Api toe caing - wae toe haeng (81) Hang toe tanda - inung toe nipu (82) Tepi tana - mbokang wae

(83) Neho anak wara ata toe di loda putes (84) Lada meka weru

(85) Cai ata le mai puar

(86) Mbelos du lewo – pa’u du ngaung (87) Wulang linga

(88) Rompe one (89) Mamur wulang

(90) Peci pase sapu - selek kope

(91) Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang (92) Reba - molas

(93) Nggoleng loce - dael tange (94) Pa’u pacu

(95) Bom salang tuak - maik salang wae

(96) Rekok reme lebon - ro’e reme ngoel’n - gencok neho gentok - loda neho wela (97) Dempok neho teu - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo

(98) Kole okan mokang - kole ramin laki (99) Wae de mendi

(100) Congka lobo boa

(101) Mejok deko - ngguning wuli - lelak medak - momang nggotak

(102) Mohasn na’a ronag - kali rona agu koka - jurak’n na’a tu’ag - kali tu’a agu kula


(2)

(104) Ca pujut kali nuk - dako kali anor (105) Tiwu lele - lewing lembak

(106) Nai nganggil - tuka ngengga (107) Purak mukang - wajo kampong (108) Ngampang tana - ngawe wae

(109) Sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa (110) Tu’ung le mu’u - toe le nai

(111) Tekur cai retuk - lawo cai bao (112) Anak koe loas weru

(113) Mempo neho elong - puta neho munak

(114) Ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku

(115) Neki weki manga ranga kudut bantang pa’ang olo ngaung musi (116) Alo dalo - pulu wungkut

(117) Neka hemong kuni agu kalo

G. Go’et yang Menunjukkan Pertalian Kekeluargaan

(118) Eme wakak betong - asa manga waken nipu rae (119) Bête wase biring wae - tungku kole ndawir wali (120) Nio loda don - waen oke sale

(121) Na’a waen pake - na’a uten kuse (122) Muku ca pu’u - neka woleng curup (123) Teu ca ambu - neka woleng wintuk (124) Ipung ca tiwu - neka woleng wintuk (125) Nakeng ca wae - neka woleng tae

(126) Neka bike ata ca lide - neka behas ata ca cewak (127) Weki toe pecing - ranga toe tanda

(128) Toe manga ata bengkar one mai belang (129) Toe manga ata bok one mai betong


(3)

  120

H. Go’et yang Berkaitan dengan Ejekan


(4)

121 

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

(1) Apa yang dimaksudkan dengan go’et Manggarai

(2) Bagaimana pola atau proses pewarisan budaya go’et dalam lingkungan masyarakat Manggarai.

(3) Ada berapa macam jenis go’et yang terdapat di lingkungan masyarakat Manggarai?

(4) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kepercayaan? (5) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup? (6) Apa kaitan antara makna tekun dalam bekerja dengan kata dempul wuku -tela

toni dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup?

(7) Mengapa lalong pandong dan lalong bakok dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup digunakan sebagai kiasan untuk seseorang yang berhasil atau mempunyai status sosial yang tinggi.

(8) Mengapa tumbuhan ndusuk dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup digunakan sebagai kiasan untuk kampung halaman?

(9) Mengapa tumbuhan jengok dan wiko digunakan dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup untuk menyatakan kehidupan yang penuh dengan kemakmuran.

(10) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan bahasa rahasia? (11) Apakah makna dan fungsi go’et yang digunakan untuk menyatakan status

sosial seseorang?

(12) Mengapa tumbuhan raci (sirih pinang) digunakan sebagai kiasan untuk menyatakan persahabatan?

(13) Pada saat meminang wanita tungku, juru bicara mengatakan baro ranggong api pesa kepada keluarga calon pengantin wanita. Mengapa kata api pesa digunakan?

(14) Mengapa sirih pinang digunakan sebagai kiasan untuk seorang wanita?

(15) Mengapa loce ( tikar) digunakan sebagai kiasan untuk seorang suami atau isteri?


(5)

  122

(16) Mengapa panci yang digunakan untuk menanak nasi digunakan sebagai kiasan untuk menyatakan makna garis keturunan ibu?

(17) Mengapa potang (sangkar ayam) digunakan sebagai kiasan untuk seorang anak yang lahir dari hasil perselingkuhan?

(18) Mengapa kebor (irus) dan tange (bantal) digunakan dalam kiasan untuk menyatakan makna seorang gadis yang datang ke rumah sang pacar untuk dijadikan isteri tanpa melalui prosedur adat?

(19) Mengapa buah ara dan buah conco digunakan sebagai kiasan untuk anak yang lahir dari hasil perselingkuhan?

(20) Apa hubungan antara perkawinan adat Manggarai yang belum lengkap dengan tanaman alang-alang dan pelepah bambu?

(21) Mengapa kata reba - molas digunakan untuk menyatakan makna pasangan selingkuh bukan untuk menyatakan makna laki-laki yang cakep atau perempuan yang cantik?

(22) Apa kaitan antara pipi yang turun (pa’u pacu) dengan usia seseorang? (23) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan ejekan?

(24) Apakah makna dan fungsi go’et yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan?

(25) Mengapa lombong lala dan lombong muku (pucuk pisang) digunakan dalam ungkapan yang berkaitan dengan ejekan untuk menyatakan makna orang yang suka mengejek orang lain.

(26) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kekeluargaan?

(27) Mengapa kuni dan kalo digunakan untuk menyatakan makna cinta tanah air dan jangan melupakan kebiasaan di tanah kelahiran.


(6)