KEDUDUKAN DAN PENERAPAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PEMERIKSAAN DAN P E N Y E L E S A I A N PERKARA P E R C E R A I A N DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

KEDUDUKAN DAN PENERAPAN K O M P I L A S I
H U K U M I S L A M DALAM P E M E R I K S A A N DAN P E N Y E L E S A I A N
PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
Untuk memperoieh Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Oleh:

Moh. Firmansvah
502012237

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS HUKUM
2016
i

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

F A K U L T A S HUKUM
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
Nama

Moh. Firmansyah

NIM

502012237

Program Studi

Ilmu Hukum

Prog. Kekhususan

Hukum Perdata

Judul Skripsi


K E D U D U K A N DAN PENERAPAN K O M P I L A S I
HUKUM I S L A M D A L A M P E M E R I K S A A N DAN
P E N Y E L E S A I A N P E R K A R A P E R C E R A I A N DI
PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

^

PEMBIMBING:

Mulyadi Tanzili, SH., MH. (
Palembang,

4

April

PERSETUJUAN O L E H T I M P E N G U J I :
KETUA

: A T I K A ISMAIL, SH, MH.


ANGGOTA

: 1. MONA WULANDARI. SH, MH.

2. Z U L F I K R I NAWAWI, SH., MH.

(

(

r^DISAHKAN OLEH
D E i ^ N F A K U L T A S HUKUM
I ^ R l ^ ; y A ^ MUHAMMADIYAIW*ALEMBANG

ii

2016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

FAKULTAS HUKUM

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama
NIM

Moh. Firmansyah
:

502012237

Program Stndi

Ilmu Hukum

Prog. Kekhususan

Hukum Perdata


Judul Skripsi

:

KEDUDUKAN DAN PENERAPAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM DALAM PEMERIKSAAN DAN
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

Disetujui Untuk Disampaikan Kepada
Panitia Ujian

Palembang,

^^Marct2016

Dosen Pembimbing

Mulyadi Tanzili, SH., MH.


Ml

PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI

Pendaftaran Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Miihaminadiyah
Palembang Strata 1 bagi:
Nama

Moh. Firmansyah

NIM

502012237

Program Studi

Ilmu Hukum

Prog. Kekhususan


Hukum Perdata

Judul Skripsi

KEDUDUKAN DAN PENERAPAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM DALAM PEMERIKSAAN DAN
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

Dengan diterimanya skripsi ini, sesudah lulus dari Ujian Komprehensif, penulis
berhak memakai gelar

SARJANA HUKUM—

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah i n i :
Nama

: Moh. Firmansyah


NIM

: 502012237

Program Studi

: Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Perdata
Menyatakan bahwa karya ilmiah / skripsi saya yang berjudul :
KEDUDUKAN DAN PENERAPAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM
PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIAN

PERKARA PERCERAIAN DI

PENGADILAN AGAMA PALEMBANG.
Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun
keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah kami sebutkan sumbemya.
Demikian surat pernyataan ini saya boat dengan sebenar-benamya dan apabila

pernyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapatkan sanksi akademis.

Palembang,

V

Maret 20! 6

MOTTO
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buahbuahan. Dan berikanlab berita gembira kepada orang-orang yang
sabar".
(QS, Al-Baqarah ( 2 ) : 155)

Ku Persembabkan u n t u k :
> Kedua orang tuaku tersayang yang selalu
memberikan do'a dan dukungan serta doa
yang tulus demi masa depanku.
> Seluruh keluarga besarku yang tidak bisa
kusebutkan satu persatu, terima kasib atas

dukungannya.
> Almamaterku.

vi

ABSTRAK
KEDUDUKAN DAN PENERAPAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
DALAM PEMERIKSAAN DAN P E N Y E L E S A I A N P E R K A R A
P E R C E R A I A N DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG
Oleh
Moh. Firmansyah

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak lain adalah bertujuan
untuk menciptakan suatu hukum sebagai pedoman bagi para Hakim Pengadilan
Agama dalam memutus perkara bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan
adanya suatu pedoman yang merupakan suatu kesatuan tersebut, maka akan dapat
dihindari suatu keputusan Pengadilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam
dalam suatu kasus yang sama.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mengenai ; Kedudukan
Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian

di Pengadilan Agama Palembang , maka permasalahan dalam penelitian adalah
Bagaimana kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan
penyelesaian pcrkara perceraian di Pengadilan Agama Palembang dan Bagaimana
Penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara
perceraian di Pengadilan Agama Palembang.
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif yang didukung
dengan data hasil wawancara dan bersifat deskriptij analitis yang tidak bermaksud
untuk menguji hipotesa. Dapat disimpulkan bahwasanya Kedudukan dari
Kompilasi Hukum Islam mengenai perceraian dalam Tata Hukum Indonesia
adalah memberikan keseragaman pedoman bagi para Hakim dalam lingkungan
Peradilan Agama dalam memeriksa. memutus dan menyelesaikan perkara
warisan, karena Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif yang harus
dipatuhi oleh orang-orang yang beragama Islam. Dan Pengadilan Agama
Palembang menerapkan Kompilasi Hukum Islam secara konsekuen sebagai
hukum positif dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perceraian,
baik daiam menentukan cerai gugat maupun cerai thalak.
Kata Kunci : Kompilasi hukum Islam, Perceraian, Pengadilan Agama.

vii

KATA PENGANTAR

( ^ l l

^

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT, serta
sholawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw., karena atas rahmat dan nikmat
Nya jualah skripsi dengan judul
KOMPILASI

HUKUM

: KEDUDUKAN

ISLAM

DALAM

DAN PENERAPAN

PEMERIKSAAN

DAN

P E N Y E L E S A I A N P E R K A R A P E R C E R A I A N DI PENGADILAN AGAMA
PALEMBANG.
Dengan segaia kerendahan hati diakui bahwa skripsi ini masih banyak
mengandung kelemahan dan kekurangan. Semua itu adalah disebabkan masih
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis, karenanya mohon dimaklumi.
Kesempatan yang baik ini penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan, khususnya terhadap:

1. Bapak Dr. Abid Djazuli, SE., M M . , Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang beserta jajarannya;
2. Ibu Dr. Hj. Sri Suatmiati, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang beserta stafnya;
3. Bapak/Ibu Wakil Dekan I , I I , III dan IV, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang;

viii

4. Bapak Mulyadi Tanzili, SH., M H selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum

Universitas

Muhammadiyah

Palembang,

sekaligus

selaku

Pembimbing dalam penulisan skripsi ini;
5. Bapak H. Samsulhadi, SH., M H . , Pembimbing Akademik penulis selama
menempuh pendidikan di Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang;
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang;
7. Kedua orang tuaku tercinta dan saudara-saudaraku terkasih.
Semoga segala bantuan materil dan moril yang telah menjadikan skripsi
ini dapat selesai dengan baik sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh
ujian skripsi, semoga kiranya Allah Swt., melimpahkan pahala dan rahmat kepada
mereka.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Palembang,

Maret 2016

Penulis,

Moh. Firmansyah

ix

DAFTAR ISI

Hal am an

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

iii

PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI

iv

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

vi

ABSTRAK

vii

KATA PENGANTAR

viii

DAFTAR ISI

X

BAB I : PENDAHULUAN

A. Tatar Belakang

1

B. Permasalahan

5

C. Ruang Lingkup dan Tujuan

5

D. Defenisi Operasional

5

E. Metode Penelitian

6

F. Sistematika Penulisan

8

X

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A.

Kewenangan Pengadilan Agama

9

B.

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

13

C.

Pengertian perkara Perceraian

19

D. Para Pihak Dalam Perkara Perceraian

29

E.

34

Pengertian Kompilasi Hukum Islam

BAB III : PEMBAHASAN
A. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam
pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di
Pengadilan Agama Palembang
B.

37

Penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan
dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan
Agama Palembang

44

BAB I V : PENUTUP
A. Kesimpulan

49

B. Saran-saran

49

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 24 UUD 1945 meinyatakan sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman diiakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Iainlain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakimamn diatur dengan undangundang.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan pasal 24 UUD 1945 tersebut salah
satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 48 l ahun 2009
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009.
Dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa
kekuasaan kehakiman diiakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara ;
Tugas pembinaan di bidang teknis yudisial diiakukan oleh Mahkamah
Agung berdasarkan (1) UU No 48 Tahun 2009 Pasal 21 ayat (1) Organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Agungdan badan peradilan yang berada
di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan

1

2

mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur
dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masingmasing.
Meskipun Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman pertamakali
ditetapkan tahun 1970, namun pelaksanaannya

di lingkungan pengadilan

Agama baru pada tahun 1983 sctelah penandatanganan Surat Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 01,02,03 dan 04/SK/ i -1983.
Keempat Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan suatu upaya
sementara untuk menunggu undang-undang tentang susunan kekuasaan dan
acara peradilan agama sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 yang sekarang telah diperbaharui menjadi Undang-Undang No. 48 tahun
2009.
Selama Pembinaan tekhnis yudisial Peradilan Agama oleh Mahkamah
Agung, terasa sekali adanya kelemahan oleh karena belum ada hukum material
Islam dituangkan dalam peraturan perundang-undangan bagi Peradilan Agama.
Oleh karena itu putusan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan

dan

memeriksa perkara perdata atas pertimbangan kepada kitab Fiqh yang telah
ditentukan.
Hal ini menyebabkan sering terjadinya perbedaan putusan Pengadilan
Agama terhadap kasus yang sama, sebagai akibat perbedaan-perbedaan
pendapat oleh para ahli Fuqoha dalam Kitab-kitab Fiqh itu. Praktek

3

penegakkan hukum seperti itu harus segera dihentikan karena merugikan dan
membingungkan pencari keadilan.'
Sekalipun di Indonesia telah ribuan tahun Hukum Islam dilaksanakan
oleh umat Islam, namun hukum Islam belum memperlihatkan bentuknya yang
utuh sesuai dengan konsep dasamya menurut AI-Quran dan Sunnah. Kenyataan
ini adalah merupakan sebuah refleksi berlangsungnya proses Islamisasi yang
berlanjut terus dalam kehidupan umat Islam.
Sejak dulu sudah disadari bahwa masih banyak dari kalangan umat
Islam yang menunjukkan komitmen terhadap Agama Islam, tapi mereka masih
menunjukkan sikap yang mendua, pada satu pihak mereka menyatakan sebagai
seorang penganut

Agama Islam sedang dipihak lain ia masih belum

melaksanakan Hukum Islam secara menyeluruh.
Pemerintah menetapkan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 atas
perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Yang
mengatur tentang hukum formil yang

dipakai dalam lingkungan Peradilan

Agama. Hukum formil secara teoritis adalah untuk mengabdi kepada hukum
materiel, akan tetapi hukum materiel mana yang dipergunakan Pengadilan
Agama masih belum jelas dan untuk keperluan itulah Kompilasi Hukum Islam
disusun.
Dengan demikian, maka berlakunya UU No 50 Tahun 2009 menjadi
dorongan yang lebih kuat untuk memacu lahimya hukum materielnya yaitu
Kompilasi Hukum Islam.

' Abdurrahman, 2002,
Jakarta, hlm.l

Kompilasi Hukum di Indonesia, Akademika Pressindo,

4

"Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
pertama kali di umumkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia
Munawir Sadzaii, M.A, pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di
depan mahasiswa Sunan Ampel Surabaya ; semenjak itu ide ini
mengelinding dan mendapat sambutan hangat dari pihak-pihak".^
"Dalam beberapa hari sebelum Presiden menunaikan Ibadah Haji,
tepatnya pada tanggal 10 Juni 1991, beliau menanda tangani instruksi
Presiden nomor 1 Tahun 1991. sejak saat itu secar formil belakukah
Kompilasi Hukum Islam diseluh Indonesia sebagi hukum materiel yang
dipergunakan di lingkungan Pengadilan Agama".
Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama
telah mengeluarkan Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 tentang pelaksaan
intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
Selanjutnya keputusan itu disebarkan kepada semua Ketua pengadilan
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Direktur
Badan

Peradilan

Islam

tanggal

25

Juli

1991

Nomor

3694/EV/HK.003/AZ/1991.
Dengan adanya berbagai landasan hukum dimaksud, Kompilasi Hukum
Islam telah mempunyai tempat yang kokoh dalam sistem hukum di Indonesia.
Untuk mengkaji lebih lanjut masalah tersebut maka penulis ingin menyajikan
dan mengungkapkannya dalam sebuah tulisan berbentuk skripsi dengan judul
KEDUDUKAN
DALAM

DAN PENERAPAN KOMPILASI

PEMERIKSAAN

DAN

HUKUM

PENYELESAIAN

ISLAM

PERKARA

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG.
^ Ibid., him 3
^ Chalim Muhammad Abd, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Ulasan Hukum Dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVI No 128 Mei,
Jakarta, 2001

5

B. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan adalah :
1.

Bagaimana kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Palembang ?

2.

Bagaimana Penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Palembang ?

C.

Ruang Lingkup dan Tujuan penelitian
Pembahasan dalam skripsi ini adalah mengenai masalah Kompilasi
Hukum Islam. Agar tidak terlalu luasnya pembahasan, maka dalam tulisan ini
perlu diberikan pembatasan-pembatasan. Dalam tulisan ini penulis membatasi
pembahasan hanya dengan membahas kedudukan Kompilasi Hukum Islam
dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mengenai :
1. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian
perkara perceraian di Pengadilan Agama Palembang
2. Penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian
perkara perceraian di Pengadilan Agama Palembang

D. Defenisi Operasional
1. Kompilasi adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat
uraian atau bahan hukum, pendapat-pendapat hukum atau aturan-aturan
hukum.'*

•* Abdurrahman, Op.Cit., him 24.

6

2. Perceraian Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian.
3. Pengadilan Agama Palembang, adalah badan peradilan yang di bawah
Mahkamah Agung dan ruang lingkup kerjanya adalah kota Palembang.

£ . Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian
hukum empiris, yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum
dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
2. Jenis dan Sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdapat dalam kepustakaan,
perundang-undangan

yang berupa

peraturan

yang terkait, jumal, hasil penelitian, artikel dan

buku-buku lainnya
Data yang berasal dari bahan-bahan hukum sebagai data utama yang
diperoleh dari pustaka, antara lain :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas (authoritatij) yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan, antara lain, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

7

b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum

primer,

seperti

rancangan

imdang-undang,

hasil-hasil

penelitian, hasilnya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelesan
terhadap

bahan

hukum primer dan

sekunder,

seperti

kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian untuk
mendapatkan

data sekunder

yang diperoleh dengan

mengkaji dan

menelusuri sumber-sumber kepustakaan, seperti literatur, hasil penelitian
serta mempelajari bahan-bahan tertulis yang ada kaitannya
permasalahannya

dengan

yang akan dibahas, buku-buku ilmiah, surat kabar,

perundang-undangan,

serta

dokumen-dokumen

yang

terkait

dalam

penulisan skripsi ini.
4. Teknik Analisa Data
Data

yang

diperoleh

diklasifikasikan,

dari

sumber

hukum

yang

dikumpulkan

baru kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya

menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
sistematis, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Selanjutnya hasil dari

8

sumber hukum tersebut dikonstruksikan berupa kesimpulan dengan
menggunakan logika berpikir induktif, yakni penalaran yang berlaku
khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang dihadapi. Oleh karena itu
hal-hal yang dinimuskan secara khusus diterapkan pada keadaan umum,
sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian.

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab dengan sistematika sebagai berikut;
Bab I , merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
Permasalahan, Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian, Defenisi Operasional,
Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Bab II, merupakan tinjauan pustaka yang berisikan landasan teori yang
erat kaitannya dengan obyek penelitian, yaitu : Kewenangan Pengadilan
Agama, Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama, Pengertian perkara
Perceraian,Para

Pihak Dalam Perkara Perceraian, Pengertian Kompilasi

Hukum Islam
Bab I I I , merupakan pembahasan yang berkaitan dengan Kedudukan
Kompilasi Hukum Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara
perceraian di Pengadilan Agama Palembang dan Penerapan Kompilasi Hukum
Islam dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan
Agama Palembang
Bab IV berisikan Kesimpulan dan saran

BABII
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kewenangan Pengadilan Agama
Sejarah Pengadilan agama dipenuhi dengan gelombang pasang surut,
dibandingkan dengan tiga lingkungan Peradilan lainnya, yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Perjalanan panjang
Peradilan Agama dimulai dari tahun 1882 hingga saat ini benar-benar penuh
wama, kadang-kadang

mendaki, kadang-kadang

pula menurun, bahkan

kadang-kadang set back, namun satu hal yang pasti, Peradilan agama tidak
pemah hilang dari dari peredaran, betapapun beratnya tekanan yang justeru
menghendaki ia lenyap dari bumi nusantara ini.
Tetapi demikian lab Peraadilan Agama yang merupakan bagian dari
pelaksanaan ajaran agama ( Islam ), tetap survive ditengah hiruk pikuk upaya
pengganyangan yang diiakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dalam
kaitan ini jasa-jasa para penghulu, tokoh-tokoh ulama yang didukung oleh
pergerakan organisasi Partai Islam pada masa yang lalu sangat naif sekali
untuk dilupakan, karena mereka telah berhasil mempertahankan Peradilan
agama hingga akhimya mencapai bentuk seperti yang kita saksikan sekarang
ini. Peradilan Agama, setidaknya telah hadir dan eksis sejak Islam mula-mula
menginjak bumi Indonesia, hal ini dapat dipahami mengingat jabatan dan fiinsi
hakim atau qadhi merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan hukum
Islam.

9

10

Ketika kelompok-kelompok masyarakat muslim muiai berkembang,
fungsi hakim datau qadhi demakin dibutuhkan, bahkan dalam keadaan tidak
ada qadhi, peroses penyelesaian suatu sengketa yang terjadi dikalangan ummat
Islam, diiakukan secara lahkim, yakni penyerahan kedua belah pihak yang
bersengketa kepada pihak ketiga ( muhakkam ) untuk memutuskan
perkaranya.^
Penyelesaian sengketa secara sederhana melalui tahkim yang diiakukan
oleh muhakkam, berlangsung selama beberapa waktu hingga mengambil
bentuk yang lebih teratur dan sistematis pada masa kesultanan Islam, seperti
kesultanan Malaka, Aceh, Banten dan Mataram. Taradisi hukum Isiam
termasuk tradisi tahkim mengalami institusionalisasi dalm bentuk pranatapranata sosial, salah satu pranata itu adalah Pengadilan Agama.
Kedatangan belanda di bumi Indonesia tidak dapat dipungkiri turut
menentukan arah bagi perkembangan peradilan Agama selanjutnya, bahkan
campur tangan mereka pada masa lalu itu, akibatnya masih terasa hingga saat
ini, walaupun intensitasnya tidak lagi terlalu besar, apalagi posisi dan eksistensi
Peradilan agama saat ini telah sejajar dan bahkan satu atap dengan tiga
lingkungan peradilan lainnya sebagai pelaksana tugas kekuasaan kehakiman.
Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda tidak memperhatikan urusan
Peradilan agama, akan tetapi karena kekuasaan mereka semakin kuat, mereka
muiai mencampuri urusan Peradilan Agama, dengan mengeluarkan sejumlah
peraturan yang lebih dikenal dengan stadblaad ( stb ) . Selanjutnya dengan dalil
imtuk menertibkan peradilan agama, pada tahun

1882, Raja Belanda

mengelimrkan sebuah keputusan tentang pembentukan Peradilan Agama di

^ Abdul Manan, 2007, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Prenada Media, Jakarta, him. 72.

11

Jawa dan Madura dengan keputusan Nomor 24 bertanggal 19 Januari 1882,
dimuat dalam stdblaad 1882 Nomor 152, dan keputusan ini dinyatakan berlaku
muiai tanggal 1 Agustus 1882.
Stadblaad 1882 Nomor 152 tersebut berisi 7 (tujuh ) pasal, yaitu ;
1. Disamping tiap-tiap Landraad ( Pengadilan Negeri ) diadakan Pengadilan
Agama yang mempunyai daerah hukum yang sama ;
2. Pengadilan Agama terdiri atas Penghulu yang diperbantukan pada
Landraad sebagai Ketua dan sedikit-dikitnya 3 orang serta sebanyakbanyaknya 8 orang ulama Islam sebagai anggota ;
3. Pengadilan Agama tidak boleh mengambil keputusan jika tidak ada
sedikit-dikitnya 3 orang anggota termasuk ketuanya hadir, dalam keadaan
perimbangan suara, maka ketua yang menentukan ;
4. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama haruis dinyatakan dalam surat
yang memuat pertimbangan-pertimbangan dan alasan singkat serta ditanda
tangani oleh anggota-anggota yang hadir, begitu pula biaya perkara yang
dibebankan kepada yang berperkara ;
5. Kepada kedua belah pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat
keputusan yang ditanda tangani oleh ketua ;
6. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam surat register
yang setiap 3 (tiga ) bulan sekali harus disampaikan kepada kepala Daerah
setempat ( Bupati atau lainnya ) untuk memperoieh penyaksian ( visum )
dari padanya; dan

12

7. Keputusan-keputusan

Pengadilan

agama

yang

melampaui

batas

kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat 2,3, dan 4 diatas tidak
dapat dinyatakan berlaku.
Ketujuh pasal tersebut tampaknya sama dengan ketentuan stadblaad
1835 No.58, yang berisi penegasan tentang penanganan perkara perkara
perkawinan dan pembagian harta warisan yang harus diputus menurut hukum
syara'

oleh

perkembangan

ulama.sesuai

dengan

selanjutnya,

pelaksaan

stadblaad
stadblaad

No. 152.

Dalam

1882 No. 152

tersebut

1882

mengalami perubahan dengan dikeluarkannya stadblaad 1900 No. 128 dan
stadblaad

1926 No.232. dimana kedua stadblaad tersebut menimbulkan

kekecewaan, baik dikalangan ahli hukum maupun umat Islam, dengan alasan :^
a. Anggota-anggota pengadilan agama tidak mendapatkan gaji tetap dan oleh
sebab itu seringkali terjadi diangkatnya pegawai masjid yang kurang
pengetahuannya

dalam hukum agama, karena yang sungguh-sungguh

cakap dan alim tidak mau diangkat.
b. Diantara pengadilan Agama ada yang memungut ongkos perkara sebesar
10 % yang dikenal dengan istilah 'usyur, yang diambil dari harta warisan
yang diperkirakan dan acapkali taksiran itu terlampau tinggi;
c. Tidak ada instansi yang lebih tinggi untuk mengadakan banding (appel )
atas keputusan yang dirasa kurang memuaskan, jalan yang boleh dilalui
pada masa itu hanya dengan cara memohon kepada Gubemur jenderal
dengan perantaraan Adviseur voor Inlandsche Zaken, agar keputusan yang

Undang

* M.Yahya Harahap, 2005, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama
Vndang No. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini, Jakarta, him 38.

13

kurang memuaskan itu dibatalkan, akan tetapi permohonan semacam itu
jarang sekali dikabulkan ;
d. Karena

keputusan

Pengadilan

Agama

harus dimintakan executoir

verklaring dari Landraad, maka timbul peroses peradilan kembar, yang
mengakibatkan ongkos perkara menjadi mahal, terutama dalam perkara
waris.
Dari uraian tersebut tampak bahwa campur tangan pemerintah Hindia
Belanda dalam masalah Peradilan agama tidak terlepas dari upaya sistematis
untuk menghambat

pertumbuhan

dan perkembangan

Hukum Isiam di

Nusantara, sebab dengan upaya seperti itu mereka mampu menundukkan
masyarakat pribumi yang nota bene mayoritas beragama Islam.^
Upaya pemerintah kolonial Belanda tampaknya berhasil, lembaga
peradilan agama dipandang sebagai peradilan klas dua atau sekedar pelengkap
peradilan umum. Ironisnya kenyataan itu berlangsung terus hingga Indonesia
Merdeka, bahkan hingga tahun 1989 atau sebelum Undang-undang Nomor 7
tahun 1989 disahkan.
Eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia secara tegas dinyatakan dalam pasal 24 ayat ( 2 )
Undang-undang Dasar 1945, disitu dinyatakan bahwa kekauasaan kehakiman
diiakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan Peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,lingkungan Peradilan

'ibid., him 46

14

Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan tala Usaha Negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam tataran yuridis konstitusional, posisi Peradilan Agama sejajar
dan setara dengan tiga lingkungan peradilan lainnya. Peradilan Agama bukan
under bow ( bawahan ) dari satu lingkungan peradilan, bukan pula merupakan
sub ordinat dari suatu badan peradilan tertentu.*
Untuk menjalankan fungsinya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,
masing-masing lingkungan peradilan harus diatur dalam satu Undang-undang
tersendiri. Undang-undang tersebut mengatur mengenai susunan, kekuasaan
serta acara badan peradilan dimaksud. Ha! ini ditegaskan dalam Undangundang kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi ; susunan, kekuasaan serta acara
dari badan-badan Peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat ( 1 ) diatur
dengan Undang-undang tersendiri.

B.

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
Pada dasamya ada tiga hal yang mendasar yang diubah dalam UU No.7
Tahun

1989

tentang

Peradilan

Agama,

yaitu

mengenai

kewenangan,

pembinaan dan hak opsi. Jika pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989,
Pengadilan Agama hanya berwenan memeriksa perkara perdata tertentu
dibidang prkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf dan sodaqah vide
pasal 2 dan Pasal 49 ayat ( 1 ) UU No.7 Tahun 1989, kini kewenangan tersebut
dperluas, kata " Perdata " pada pasal 2 dihilangkan sehingga berbunyi "
A. Basiq Djalil, 2010, Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
him 74.

15

Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini ." Sedangkan pada pasal 49
ayat ( 1 ) U U No.7 Tahun 1989 diubah sehingga berbunyi ; " Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara diingkat pertama antaa orang-orang yang beragama Isiam dibidang ;
a.perkawinan , b. Waris, c.wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g infaq, h.
Shodaqah dan i. Ekonomi syari'ah.
Ketentuan pasal 2 dan pasal 49 ayat ( 1 ) UU No.3 Tahun 2006 tersebut
mengandung tiga makna sekaligus ;
Pertama : Peradilan Agama tidak lagi semata-mata hanya mengadiU
perkara-perkara perdata saja tetapi memungkinkan untuk memeriksa perkara
pidana sejauh diatur dalam peraturan perundang-undangan ;
Kedua : Kewenangan sebagaimana tersebut daiam pasal 49 ayat ( 1 )
lebih luas dengan dimasukkannya ekonomi syari'ah sebagai salah satu
kewenangannya dan;
Ketiga : Pasal 49 ayat ( 1 ) ini juga sekaligus menghapus hak opsi (
pilihan hukum) dalam sengketa waris, artinya sengketa waris yang terjadi
diantara orang-orang yang beragama Islam, harusdiselesaikan di Pengadilan
Agama, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang menyalakan "para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian waisan

dinyatakan dihapus.

16

Untuk menjadi catatan bagi lingkungan Peradilan Agama mengenai
ekonomi syari'ah team

PPHIM menyatakan bahwa itu sebetulnya sudah

meiebihi dari pada yang dipcrjuangkan, karena didalam draf RUU kita hanya
memasukkan perbankan syari'ah, tetapi ketika dibahas di Departemen Hukum
dan Perundang-undangan, Oka Mahendra, memberi sara agar sekalian saja
ekonomi syari'ah, karena kalau ekonomi syari'ah saja, bagaimana dengan
asuransi, reksa dana dan bisnis syari'ah lainnya, saran itupun oleh PPHIM
disambut dan DPR pun mengakomodimya.
Dengan perluasan kewenangan tersebut, kini Pengadilan Agama tidak
hanya menyelesaikan sengketa dibidang perkawinan, waris, waqsiat, hibah,
wakaf,

dan

shodaqah,

Pengadilan

Agama jga

berwenang

menangani

permohonan pengangkatan anak, sengketa zakat, infaq, serta sengketa hak
milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta ekonomi syari'ah.'^
Pembinaan Peradilan Agama pasca lahimya UU Nomor 3 Tahun 2006
sepenuhnya berada ditangan Mahkamah Agung, Pembinaan tersebut meliputu
teknis Peradilan, organisasi, administrasi dan finansial. Ketentuan tersebut
terdapat dalam pasal 5 ayat ( 1 ), sedangkan pembinaan dan pengawasan umum
terhadap Hakim diiakukan Mahkamah Agung vide pasal 12 ayat ( 1 ).
Dari uraian-uraian diaas tampak dengan jelas betapa dinamsnya
perkembangan Peradilan Agama, perkembangan terakhir ini menyiratkan suatu
harapan bahwa Peradilan Agama segera akan meninggalkan masa-masa
suramnya, yang berlangsung selama lebih dari satu abad, menuju masa

'Ubid., him. 37.

17

kecemerlangan dan kejayaan. Politik hukum Pemerintah yang semakin
akomodatif terhadap kebutuhan hukum umat Islam dan suasana kehidupan
masyarakat yang semakin kondusif, merupakan faktor-faktor pendukung yang
sangat menggembirakan.
Seiring dengan perjalanan dan perkembangan Peradilan Agama dari
masa kemasa, muiai dari tahun 1882 sampai dengan sekarang ini, kewenangan
Peradilan Agama selalu bertambah dan luas sesuai dengan kondisi pada saat
itu. Untuk itulah walaupun pada uraian sejarah peradilan terdahulu sudah ada
bayangan kewenangan dari Peradilan Agama, namun untuk jelasnya Penulis
akan mengelompokkan kewenangan Peradilan Agama sebagai berikut
1. Kewenangan berdasarkan stadblaad 1882 No. 152 sebagai berikut;
a. Hukum perkawinan ;
b. Hukum kewarisan;
c. Hibah;
d. Wasiat;
e. Infaq ;
f. Shodaqah
g. Dan Iain-lain.
2. Kewenangan berdasarkan Stadblaad 1937 Nomor 611 sebagai berikut;
a. Nikah Talak dan Rujuk. ( N T R ) saja ;
b. Selainnya dimasukkan kedalam Landraad.
3. Kewenangan berdasarkan UU No.l Tahun 1974 sebagai berikut:

" Abdul Manan, Op.Cit., him. 61.

18

a. Izin beristeri lebih dari seorang ;
b. Izi melangsungkan perkawinan bagi seorang yang belum berusia 21 tahun
dan dalam hal orang tua/wali/keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
c. Dispensasi kawin;
d. Penolakan pekawinan oleh PPN ;
e. Pembatalan perkawinan;
f.

Gugatan kelalaian atas kewajiban suami/ isteri ;

g. Percerian karena talak ;
h. Gugatan perceaian;
i.

Penyelesaian harta bersama ;

j.

Mengenai penguasaan anak ;

k. Ibu dapat memikui biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya ;
i.

Penentuan kewajiban memberi biya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;

m. Putusan tentang atau tidaknya seoang anak ;
n. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
o. Pencabutan kekuasaan wali;
p. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
orang tua dicabut:

19

q. Menunuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orang tuanya;
r.

Pembebanan

kewajiban

ganti kerugian terhadap wali

yang

telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
s. Penetapan asal usul seorang anak ;
t.

Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan

campuran;

u. Pernyataan tentang sahnya perkawinn yang terjadi sebelum U-U No.l
Tahun 1974 dan dijalankan menurut oeraturan yang lain .
4. Kewenangan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai berikut
a. Hukum Perkawinan sebagaimana tersebut dalam UU No.l Tahun 1974;
b. Kewarisan sebagaimana tersebut dalam K H l ;
c. Hibah dan wasiat:
d. Infaq dan shadaqah ;
5. Kewenangan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 sebagai
berikut:
a. Perkawinan sebagaimana tersebut dalam UU No.l Tahun 1974 ditambah
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
b. Kewarisan sebagaimana tersebut dalam UU No.7 Tahun 1989 ditambah
kewenangan Penetapan ahli waris tanpa sengketa ;

20

c. Waqaf sebagaiama tersebut dalam UU No.41 Tahun 2004 ttg.waqaf dan PP
No.27 Tahun 1977 dan K H I ;
a) Hibah;
b) Wasiat;
c) Zakat;
d) Infaq dan sodaqah dan ;
e) Ekonomi syari'ah meliputi a. Perbankan

syari'ah , b.Lembaga

keuangan Mikro syari'ah, c. Asuransi Syari'ah, d. Reasuransi Syari'ah,
e. Reksadana Syari'ah, f. Obligasi dan surat berharga berjangka
menengah syari'ah, g. Sekuritas syari'ah, h. Pembiayaan syari'ah, i .
Pegadaian syari'ah, j . Dana Pensiun Lemabaga Keuangan syari'ah dan
k. Bisnis syari'ah.

C.

Pengertian perkara Perceraian
1. Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pada pasal 38 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Ad.a Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah salah satu pihak dari
suami atau istri meninggal dunia. Putusnya perkawinan karena kematian tidak

21

banyak menimbulkan persoalan sebab putusnya perkawinan ini bukan atas
kehendak bersama ataupun kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak
Tuhan, sehingga akibat putusnya perkawinan seperti ini tidak banyak
menimbulkan masalah.
Ad.b. Perceraian
Pada pasal 39 ayat 1 memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat
diiakukan di depan sidang pengadilan dan pada pasal 39 ayat 2 menegaskan
bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut
penjelasan pasal 39 ayat2 undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut;
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.'"^
Ad.c. Atas Keputusan Pengadilan
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi karena
pembatalan suatu perkawinan atau karena perceraian.
" Hilman Hadikusuma, 2003,
Bandung, him. 77.

Hukun Perkawinan Indonesia, Mandar Maju,

22

Menurut pasal 22, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang telah dicantumkan dalam
pasal 6 dan 7 sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing agar
yang

bersangkutan

tidak

menentukan

lain

kepercayaannya,

larangan

perkawinan (pasal 8), masih terikat perkawinan dengan orang lain (pasal 9),
berapa kali carai tidak boleh kawin lagi (pasal 10) dan jangka waktu iddah
(pasal 11) yang semuanya sepanjang hukum masing-masing agama dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain kepercayaannya.
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Pasal 199 KUHPerdata menyebutkan bahwa perkawinan bubar :
1. Karena kematian
2. Karena keadaan pihak tidak hadir si suami atau si istri, selama sepuluh
tahun, diikuti dengan perkawinan baru istrinya/suaminya
3. Karena putusan hakim
4. Karena perceraian
Apabila seseorang berpergian cukup lama dengan pihak yang mengatur
pengurusan

kepenlingan-kepentingannya

yang ditinggal

maka

dianggap

diadakan tindakan-tindakan berturut-turut sebagai berikut;
a.
Tindakan sementara dari pengadilan negeri untuk menyelamatkan
kepentingan-kepentingan oleh karena bepergian seseorang itu akan
terlantar terutama mengenai barang-barang kekayaan orang yang
bepergian itu, dan yang tidak diurus sama sekali.
b.
Pemutusan oleh pengadilan negeri bahwa orang yang bepergian itu
dianggap sekiranya sudah meninggal dunia.
Orang yang bepergian itu sekiranya dianggap sudah meninggal dunia,
maka mempunyai akibat seperti wafatnya seorang terutama mengenai budel
warisan dan juga perkawinan yang dapat dianggap putus.

23

Pasal 493 KUHPerdata menentukan bahwa apabila seorang sudah
bepergian selama sepuluh tahun maka suami atau istri yang ditinggalkan itu,
dapat minta izin dari pengadilan negeri supaya yang bepergian itu dipanggil
tiga kali berturut-turut.
Pasal 494 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila penggilan-panggilan
itu tidak berhasil maka pengadilan negeri dapat mengizinkan suami atau istri
yang ditinggalkan itu, untuk kawin dengan orang lain. Dengan dilakukannya
perkawinan yang baru inilah maka perkawinan yang lama dianggap sekali
putus.
Menurut pasal 495 KUHPerdata menyatakan bahwa apabila seorang
yang bepergian itu pulang kembali sebelum pihak yang ditinggalkan itu kawin
lagi, maka izin pengadilan negeri untuk kawin lagi dengan sendirinya batal dan
tidak berlaku lagi. Kalau pada waktu pulang kembali sudah terlanjur diiakukan
perkawinan yang baru maka menurut ayat 2 bahwa orang yang bepergian itu
dapat kawin juga dengan orang Iain. Dalam hal suami istri tidak dapat hidup
bersama lagi, pasal 233 KUHPerdata, memberikan kemungkinan kepada suami
istri untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur.
Pasal 236 KUHPerdata menyatakan bahwa penuntutan perpisahan meja
dan tempat tidur ini dapat juga diiakukan atas kata sepakat suami istri dengan
syarat bahwa perkawinannya sudah berlangsung selama dua tahun.
Sedangkan pada pasal 208 KUHPerdata menyatakan bahwa kata
sepakat suami istri untuk bercerai dilarang. Cara ini adalah baik karena

24

kesepakatan untuk berdamai kembali selalu masih terbuka dan keduanya masih
terikat oleh perkawinan.
Menurut pasal 242 KUHPerdata, perpisahan meja dan tempat tidur
mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari kewajiban untuk
bertempat tinggal bersama sedangkan perkawinan antara suami istri tidak
dibubarkan. Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara
suami istri (pasal 243 KUHPerdata), karenanya pengusahaan suami alas harta
kekayaan istri dipertanggungkan dan istri berkuasa mengurus sendiri harta
kekayaannya karena ia telah memperoieh kembali kebebasannya terhadap harta
kekayaannya (pasal 244 KUHPerdata).
Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian menurut
pasal 209 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
1. Zinah
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau
dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan
4. Melukai berat atau menganiaya, diiakukan oleh suami atau si istri
terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan
jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya atau sehingga mengakibatkan
luka-luka yang membahayakan.'"'
Terhadap

anak-anak

yang

belum

dewasa, menurut

pasal

299

KUHPerdata, oleh pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas
suami dan bekas istri anak-anak itu harus turut. Apabila pihak yang diserahi
anak itu tidak mampu memikui biaya pemeliharaan dan pendidikan anak maka
menurut pasal 230 KUHPerdata hakim dapat menentukan sejumlah uang yang

Ibid, him. 43

25

harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak tadi.
3. Menurut Hukum Islam
Meskipun agama Islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti
agama islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan
perceraian

pun tidak boleh dilaksanakan

setiap saat yang dikehendaki.

Perceraian walaupun dibolehkan dalam agama Islam tetapi ini merupakan
sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Hal ini bisa dilihat dalam Hadist Nabi:
RasulluUah s.a.w mengatakan :
"Yang hala yang paling dibenci Allah ialah Perceraian".
(HR. Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh Al-Hakim)
Dan bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, RasulluUah
s.a.w berkata:
"Apakah yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum
Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak (istriku) dan
sungguh aku telah merujuknya.(H.R. an-Nasaai dan Ibnu Hubban)".'''

Perceraian dalam istilah ahli flqih disebut talak atau furqah. Adapun arti
talak adalah membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan arti furqah
adalah bercerai yaitu lawan dari berkumpul, kemudian kedua kata itu dipakai
oleh para ahli fiqih sebagai satu berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai
oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suamiistri.

Achmad Ichsan,
Paramita, Jakarta, him 105.

2004, Hukum Islam Bagi Yang Beragama Islam, Pradnya

26

Pada garis besamya, perceraian menurut Islam terbagi dua golongan
besar yaitu Thalak dan Fasakh. Thalak adalah perceraian yang timbul karena
sebab-sebab dari pihak suami. Fasakh adalah perceraian yang timbul karena
sebab-sebab dari pihak istri.
Sebab-sebab putusnya katan perkawinan :
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.

Thalak
Syiqaq
Fasakh
Talik talak
Ila
Zhihar
Li'aan
Kematian
Riddah

Ad. 1. Thalak
Thalak berasal dari kata thallaqa, berarti melepaskan, umpama
melepaskan seekor burung dari sangkamya atau melepaskan seekor binatang
dari

rantainya.

Jadi

menthalak

istri

berarti

melepaskan

istri

atau

membebaskannya dari ikatan perkawinan.
Perkataan thalak mengandung dua arti yaitu :
a. Thalak dalam arti umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang
dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian
yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalkan salah
seorang dari suami atau istri.
b. Thalak dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

H.M. Djamil Latif, 2004, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, him. 35.

27

1) Syarat-syarat seorang suami sah menjatuhkan thalak ialah :
1. Berakal sehat
2. Telah baligh
3. Tidak karena paksaan
2) Syarat-syarat seorang istri supaya sah dithalak suaminya ialah :
1. Istri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya.
Apabila akad nikahnya diragukan kesalahannya, maka istri itu tidak
dapat dithalak oleh suaminya.
2. Istri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya
dalam waktu suci itu.
3. Istri yang sedang hamil
c. Syarat-syarat pada sighat (ucapan) thalak :
1. Sighat thalak yang diucapkan langsung dan jelas, misalnya suami
berkata pada istrinya : "Saya jatuhkan thalak saya satu kepadamu".
Maka jatuhnya thalak satu kepada istrinya saat itu juga dan sah
hukumnya.
2. Sighat thalak yang diucapkan secara sendiran misalnya: "Kembalilah
ke orang tuamu atau Engkau telah aku lepaskan dariku". Ini dinyatakan
sah apabila:
1) Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan thalak pada istrinya
2) Suami mengatakan pada hakim bahwa maksud ucapannya untuk
menyatakan thalak kepada istrinya. Apabila tidak bermaksud maka
tidak sah hukumnya.

28

Ma cam-Ma cam Thalak :
1. Thalak raj'i
Thalak raj'i ialah thalak dimana suami boleh merujuk istrinya pada waktu
setelah raj'i thalak satu atau thalak dua yang tidak disertai uang iwald dan
pihak istri.
2. Thalak ba'in
Thalak ba'in ialah thalak satu atau thalak dua yang disertai uang iwald dari
pihak istri, thalak ba'in seperti ini disebut thalak ba'in kecil. Pada thalak
ba'in kecil suami tidak boleh merujuk kembali istrinya dalam masa iddah.
Kalau suami hendak mengambil bekas istrinya kembali harus dengan
perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad nikah. Ada thalak ba'in
besar yaitu thalak yang ketiga dari thalak-thalak yang dijatuhkan oleh
suaminya. Thalak ba'in besar ini mengakibatkan

suami tidak boleh

merujuk atau mengawini kembali istrinya baik dalam masa iddah maupun
sesudah iddah habis. Suami boleh mengawini istrinya kembali kalau telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Istri telah kawin dengan laki-laki lain
2. Istri telah dicampuri oleh suaminya yang baru
3. Istri telah dicerai oleh suaminya yang baru
4. Telah habis masa iddahnya

3. Thalak sunni
Thalak sunni ialah thalak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran
dan Sunnah Rasul. Yang termasuk thalak sunni iaiah thalak yang

29

dijatuhkan pada waktu istri daiam keadaan suci dan belum dicampuri dan
thalak yang dijatuhkan pada saat istri sedang hamil. Sepakat para ahli
fiqih, hukumnya thalak sunni adalah halal.
4. Thalak bid'i
Thalak bid'i ialah thalak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti
ketentuan A l Quran dan Sunnah Rasul. Hukumnya thalak bidT adalah
haram. Yang termasuk thalak bid'i ialah :
1) Thalak yang dijatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang bulan
2) Thalak yang dijatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci tetapi telah
dicampurinya
3) Thalak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau menthalak
istrinya untuk selama-lamanya.'^
Hal tersebut berdasarkan pada suatu riwayat yang menyatakan sebagai
berikut:
Berkata Ibnu Abbas: Thalak itu empat macam. Dua macam halal dan
dua lagi haram. Dua yang halal itu pertama seorang suami (laki-laki)
menjatuhkan thalak kepada istri tengah suci yang tidak disetubuhi.
Kedua tengah hamil yang sudah pasti (positif). Adapun dua thalak
yang haram dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan haid dan belum
diketahui apakah rahim masih kosong atau sudah berisi.

D. Para Pihak Dalam Perkara Perceraian
Pada dasamya setiap orang boleh berpekara di depan pengadilan,
kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu mereka yang belum
dewasa dan/atau tidak sehat akal pikirannya. Orang yang belum dewasa

Soemiyati, Op.Cit, him. \09
" H.M. Djamil Latif Op.Cit., hlin,71.

30

diwakili oleh orang tuanya atau walinya dan orang-orang yang tidak sehat akal
1

Q

pikirannya diwakili oleh pengampunya.
Sebagai subyek hukum maka badan hukum baik yang bersifat publik
seperti Negara,

Propinsi,

Kabupaten, Instansi-instansi pemerintah dan

sebagainya, maupun yang bersifat privat seperti Perseroan Terbatas, Koperasi,
Perasuransian, yayasan dan sebagainya juga boleh berperkara di Pengadilan
yakni melalui pengurusnya atau wakilnya.'^
Dalam setiap perkara perdata yang berada dalam pemeriksaan
pengadilan, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang berhadapan satu
sama lain, yaitu pihak penggugat yang mengajukan gugatan dan pihak tergugat
yang digugat.
Penggugat adalah pihak yang memulai membikin perkara dengan
mengajukan gugatan karena merasa hak perdata dirugikan; sedangkan tergugat
adalah pihak yang ditarik ke depan pengadilan karena dirasa oleh penggugat
sebagai yang merugikan hak perdatanya. Perkataan merasa dan dirasa di sini
dimaksudkan sebagai keadaan yang belum pasti yang masih memerlukan
pembuktian.
Biasanya pihak penggugat maupun pihak tergugat adalah orang yang
berkepentigan langsung. Akan tetapi orang dapat bertindak sebagai penggugat
atau tergugat di muka pegadilan tanpa mempunyai
langsung

kepentingan secara

dalam perkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu

bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk

Sudikno
Yogyakarta, him 51.

Mertikusumo, 2007,

Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Ibid.,blm.n.
Riduan Syahrani, 2001, Hukum Acara Perdata, Pustaka Kartni, Jakarta, hlm.24

31

kepentingan orang lain yang diwakilinya, dan pihak yang diwakilinyalah yang
mempunyai kepentingan langsung (pasal 383,446,462,403 dan 405 BW, pasal
50 s/d 54 UU No. 1/1974). Mereka yang mewakili ini merupakan pihak formal
sedang yang diwakili adalah pihak material. Hal ini harus dibedakan dengan
seorang pengacara yang walaupun bertindak untuk dan atas nama kliennya,
namun ia bukan sebagai pihak formal maupun pihak material.
Selain pihak penggugat dan tergugat, dalam praktek sering ada pihak
yang disebut turut tergugat. Sebenamya istilah turut tergugat tidak dikenal
dalam hukum acara perdata, akan tetapi ada dalam praktek. Perkataan turut
tergugat lazimnya dipergunakan terhadap pihak yang tidak menguasai barang
sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Diikutsertakannya
mereka dalam gugatan hanya untuk lengkapnya pihak dalam perkara. Dalam
petitum mereka hanya sekedar dimohon agar tunduk dan taat terhadap putusan
pengadilan . Namun, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam praktek,
tidak dikenal turut penggugat, sehingga kalau dicantumkan dalam gugatan,
maka mereka oleh pengadilan dianggap sebagai penggugat.
Bilamana

dalam

gugatan

pihak-pihak

yang

berperkara

tidak

dicantumkan secara lengkap, maka gugatan tersebut akan dinyatakan tidak
dapat diterima. Misalnya A dan B bersama-sama berutang pada X. Kalau untuk
menuntut pembayaran piutangnya ini, X hanya

Dokumen yang terkait

E N I N G K A T A N H A S I L B E L A J A R M E N U L I S K A L I M A T E F E K T I F D A L A M P A R A G R A F A R G U M E N T A S I M E L A L U I K E G I A T A N P E E R C O R R E C T I O N P A D A S I S W A K E L A S X 1 S M A N E G E R I R A M B I P U

0 2 17

E V A L U A S I P E L A K S A N A A N P E N D I S T R I B U S I A N P R O G R A M B E R A S M I S K I N ( R A S K I N ) T A H U N 2 0 1 1 D I D E S A G E N T E N G K U L O N K E C A M A T A N G E N T E N G K A B U P A T E N B A N Y U W A N G I

0 9 21

E V A L U A S I T E R H A D A P P E L A K S A N A A N R U JU K A N B E R JE N JA N G K A S U S K E G A WA T D A R U T A N M A T E R N A L D A N N E O N A T A L P A D A P R O G R A M JA M P E R S A L D I P U S K E S M A S K E N C O N G T A H U N 2012

0 2 19

R E S P O N TA N A M A N C A B E M E R A H T E R H A D A P P U P U K N K M A J E M U K YA N G D I A P L I K A S I K A N S E C A R A L A N G S U N G M E L A L U I TA N A M A N

0 0 10

G A M B A R A N K L I N I S DAN P O L A E K G PADA P A S I E N P E N Y A K I T JANTUNG K O R O N E R DI R U M A H S A K I T PT.PUSRI P A L E M B A N G P E R I O D E J A N U A R I 2011 - D E S E M B E R 2011

0 0 76

P E N G A R U H P E M B E R I A N UANG L E M B U R DAN K O M P E N S A S I I N S E N T I F T E R H A D A P K I N E R J A K A R Y A W A N PADA HOTEL CLASSIE PALEMBANG SKRIPSI

0 3 143

P E N G A R U H K E P E M I M P I N A N DAN DISIPLIN K E R J A T E R H A D A P K I N E R J A K A R Y A W A N PADA P T M U L I A J A Y A P A L E M B A N G SKRIPSI

0 2 101

G A M B A R A N P E N G E T A H U A N DAN S I K A P IBU T E R H A D A P PAP S M E A R DI P U S K E S M A S K E N T E N P A L E M B A N G TAHUN 2013

0 0 83

P E N E G A K A N H U K U M T E R H A D A P T I N D A K PIDANA P E R J U D I A N DAN K E N D A L A N Y A DI P O L S E K B E L I T A N G I I

0 0 79

U J I K A N D U N G A N UNSUR H A R A M A K R O (FfPK) D E N G A N P E N A M B A H A N R A G I T A P E T E R H A D A P U R I N E MANUSIA DAN P E N G A J A R A N N Y A DI SMA N E G E R I 4 P A L E M B A N G

0 1 119