ben anderson negara kolonial dalam baju orde baru
Negara Kolonial Dalam
Baju Orde Baru*
B. R. O. G.
Ander s on
Dewasa ini, pada zaman yang mengenal lembaga-lembaga sepert i
Perserikat an Bangsa-Bangsa (Unit ed Nat ions), barangkali t erlalu
bersahaj a unt uk mengart ikan kat a “ bangsa“ sebagai ist ilah mudah
unt uk mengungkapkan konsepsi „ negara-modern, “ dan dengan
demikian, mel upakan sel aput t ipis yang menghubungkan dua
konsep yang sebenarnya sangat berlainan, yait u, “ bangsa“ ( nat ion)
dan “ lembaga negar a-moder n berdasarkan asas kesat uan bangsa“
( nat i on- st at e ) . Padahal , kedua konsep i ni m asi ng- m asi ng
mempunyai ci r i -ci r i kesej ar ahan, i si , ser t a „ kepent i ngankepent ingan“ yang berbeda. Dan, dengan meninj au sepint as pun
dapat kit a lihat bahwa perkawinan kedua konsep t ersebut baru
t erj adi pada masa mut akhir, dan wuj ud perpaduannya seringkali
t idak serasi. Sampai 1914, misalnya, bent uk “ negara“ berupa
keraj aan-dinast ik masih “ galib“ di mana-mana: “ negara“ yang
demikian bukan dit ent ukan oleh persamaan bahasa, adat -ist iadat ,
kenangan umum, t apal-bat as permanen, melainkan dibent uk oleh
pusat -pusat monarki; karena it u, kaisar-kaisar yang berkuasa di
Rusia, Tiongkok, dan Inggris, misalnya, menyebut diri sebagai
“ Tsar dari Rakyat Rusia, “ “ Put ra Langit , “ “ Gerbang yang Sahdu“
dan “ Rat u Seluruh Inggris dan Hindia.“ Kebanyakan negara-modern
yang ada dewasa ini (nat ion st at e), “ lahir“ dalam kurun-wakt u
sej ak 1800 hingga, kat akanlah, 1975, dari t engah kemelut sengket a
besar-besaran ant ar a berbagai “ bangsa, “ yait u, ket ika “ bangsabangsa“ it u bermunculan dalam bent uk gerakan-gerakan solidarit as
masyarakat yang bergerak di luar aparat negara, at au, dalam
*
Diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative
Historical Perspective,” dalam Journal of Asian Studies, Vol. XLIII, no. 3, May 1983,
hal. 477-496.
bent uk “ negar a-negar a“ di nast i k at au kol oni al . Jadi , bol eh
dikat akan, kebanyakan bangsa pada masa muda belianya, t idak
mengalami kehidupan-bernegara-modern.
Sebaliknya, kebanyakan (aparat ) negara modern menurut riwayat
asal-usulnya, berumur lebih t ua daripada bangsa-bangsa yang kini
mer eka hi mpun menj adi t empat l embaga negar a ber pi j ak.
Kebenaran pendapat ini dapat dit erangkan dengan cont oh-cont oh
keganj ilan (anomali) menarik yang ada dewasa ini. Misalnya,
pemerint ahan “ revolusioner“ dan “ sosialis“ di Uni Soviet dan di
Rep u b l i k Rak yat Ti on gk ok , t i d ak m er asa j an ggal u n t u k
menyelesaikan sengket a perbat asan dengan menghimbau pet apet a dan perj anj ian-perj anj ian kuno yang dulukala dicipt akan oleh
dinast i absolut Romanov dan dinast i “ f eodal“ Chi’ ing dari zaman
Manchu. Begit u pula, ada selusin kasus negara bekas j aj ahan yang
menj alankan haluan polit ik luar-negeri yang t ernyat a serupa dengan
yang d i j al ank an ol eh p em er i nt ahan k ol oni al , sek al i p un
“ kepent ingan-kepent ingan nasional“ (dari dalam masyarakat selaku
sat u bangsa) yang bert olak-belakang, secara f ormal diwakili dalam
bent uk negara-modern. (Lihat misalnya st udinya Maxwell yang
cermat dan j eli mengenai polit ik luar negeri India set elah merdeka
t erhadap soal perbat asan Ut ara, 1970). Selain it u, kit a ket ahui
pula bahwa di kebanyakan negara modern di Dunia Ket iga (dan
j uga di benua lain, walau kurang begit u j elas), t erdapat j ej akj ej ak
dan gubahan dari warisan bent uk negara lama (negara kolonial)
yang masih t ampak j el as sekal i: yait u, dal am ihwal st rukt ur
organisasi pembagian f ungsi dan personalia penyelenggara negara
sert a pelembagaan kenangan umum dalam bent uk berkas-berkas
administ rasi dan arsip, dan lain sebagainya.
Tak pelak lagi, pencampurbauran ( conf l at i on) ant ara bangsa dan
negara yang t erj adi masa kini, t imbul karena dua perkembangan
berikut yang menj urus ke arah yang sama. Yait u, di sat u pihak,
berkembang suat u komunit i nasional, suat u kehidupan (ber)bangsa
yang merupakan komunit i yang “ imagined , “ at au cit ra kehidupan
yang dibayangkan (namun samasekali bukan “ i magi nar y“ at au
khayalan). Dalam gagasan ini, set iap bangsa (set iap cit ra nasional),
| 2|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
dengan legit imasi (keabsahan) sert a hak menent ukan-nasib-sendiri
yang t elah menj adi kaidah-kaidah yang dit erima dalam kehidupan
modern, kemudian mengukur dan mewuj udkan hak ot onomi
modern it u dengan “ mencipt akan“ sebuah lembaga negara “ -nya
sendiri. “ Di lain pihak, oleh karena harus hidup dengan bert umpu
pada t unt ut an-t unt ut annya t erhadap t enaga-kerj a, wakt u dan
kemakmuran masyarakat , maka negara-modern ini t idak dapat
mengabsahkan eksist ensinya hanya berdasarkan t unt ut an-t unt ut an
t er sebut . Akan t et api , l embaga negar a dapat ber anj ak dar i
kenyat aan bangsa (adanya aspirasi bangsa dalam masyarakat luas)
sebagai landasan keabsahan modernnya.
Dengan demi ki an, negar a-moder n ( nat i on-st at e) mer upakan
sebuah ramuan at au perpaduan ‚ aneh’ dari f iksi-f iksi yang absah,
di sat u pihak, dan bent uk-bent uk ket idakabsahan yang konkrit ,
di lain pihak (Anderson, 1983). Pencampurbauran ini semakin
mudah t erj adi, karena „ negar a“ adalah konsep licin yang mudah
membingungkan t eori polit ik dan sosiologi polit ik. Mudah sekali
unt uk merusak konsep ini dengan membakukannya menj adi sebuah
f iksi-l egal , at au sebuah badan kumpul an orang (“ birokrasi“ ).
Padahal, negara harus diart ikan sebagai sebuah l embaga, sepert i
halnya, misalnya, gerej a, universit as dan perusahaan modern.
Sepert i organisasi-organisasi ini, negara dalam proses hidupnya
j uga menyerap, membina dan menendang personalia seringkali
unt uk kurun wakt u panj ang. Ciri-ciri lembaga yang demikian ialah
adanya kai dah-kai dah yang per si s, bai k unt uk per syar at an
penerimaan personalia—dalam hal umur, pendidikan dan sering
j uga seks—maupun unt uk akhir masa j abat an, yait u, saat melepas
wewenang. Yang j uga menarik sekali dalam cara bekerj a lembagalembaga ini ialah perput aran t erus-menerus dar i dal am pucuk
pimpinan (presiden direkt ur, pemuka gerej a, t okoh akademi,
pej abat yang lain, dll. ). Dan, sepert i lembaga yang lain, negara,
selain menyimpan kenangan umum, j uga mengandung hasrat -daridalam unt uk melest arikan-diri dan menegakkan kebesaran-diri;
hasrat ini pada suat u saat dapat “ t erungkap“ mel al ui peran
personalianya, namun t idak dapat dianggap sekedar perwuj udan
|3|
ambisi-ambisi pribadi personalia yang kebet ulan berperan.
Dengan kondisi l embaga-modern yang demikian, maka dapat
diduga, dalam kenyat aannya, negara-negara-kebangsaan akan
menj alankan kebij aksanaan yang merupakan sebuah paduan yang
berubah-ubah dari dua j enis kepent ingan umum, yang dapat kit a
sebut “ kepent ingan negara“ dan “ kepent ingan bangsa“ ; keduanya
p ant as d i p and ang m asi ng- m asi ng seb agai “ k ep ent i ngan
represent at if “ dan “ kepent ingan part isipat oris. “ Jadi, dapat kit a
gambarkan semacam spekt rum yang menghubungkan dua kut ub,
at au dua sit uasi yang berbeda. Ini adalah variasi dari pembedaan
menarik yang dikembangkan dengan daya-imaj inasi oleh Alers
(1956). Salah sat u sit uasi yang demikian ialah kondisi pendudukan
at au penj aj ahan, misal nya ket ika Perancis diduduki Jerman,
Jepang diduduki Amerika, at au “ Indonesia“ dij aj ah Belanda dan
“ Viet nam“ dij aj ah Perancis. Dal am kasus-kasus ini, l embaga
“ negara“ t et ap menj alankan f ungsi-f ungsi modernnya sepert i:
memungut paj ak, menyaj ikan j asa-j asa administ rat if , mencet ak
uang, mengat ur proses peradil an, dsb. , sedangkan sebagian
t erbesar pegawai at au penyelenggara „ negara“ ialah orang-orang
“ pribumi. “ Pat ut dicat at , bahwa kondisi-kondisi ini sama sekali
t idak dengan sendirinya menj amin t ingkat kesej aht eraan yang
bagaimanapun dari penduduk yang dikuasai. Di bawah pendudukan
Amerika Serikat , masyarakat Jepang mengalami suat u kebangkit an
yang mengagumkan dar i pui ng-pui ng per ang, dan t ak dapat
di bant ah, bahw a dal am i hw al -i hw al t er t ent u, r ezi m-r ezi m
kolonial di Indonesia dan Viet nam t urut menyumbang kemaj uan
b agi p end ud uk yang d i j aj ah. Nam un j el as p ul a, b ahw a
kepent ingan-kepent ingan “ nasional “ yang part isipat oris (dari
penduduk set empat ) hampir sepenuhnya diabaikan at au dit indas.
Sedang kut ub at au sit uasi lain dari spect rum di at as ialah sit uasi
pada awal mula revolusi, yait u ket ika lembaga negara t engah
ber ant akan dan pusat -kuasa dengan t egas ber al i h ke pi hak
or gani sasi -or gani sasi di l uar negar a yang di bent uk mel al ui
penggalangan massa secara sukarela.
Ap ab i l a m e m an g d e m i k i an d u a k u t u b n y a, m ak a, h asi l
| 4|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
kebij aksanaan dari negara-negara-kebangsaan modern lazimnya
(dengan kekecualian sit uasi yang ist imewa) akan mencerminkan
sebuah pergeseran lembaga ant ara dua j enis “ kepent ingan yang
digambarkan di at as. Menurut pendapat saya, kerangka ini berguna
unt uk mengembangkan sebuah pemandangan dalam menaf sirkan
kehi dupan pol i t i k m oder n di Indonesi a. Khususnya, saya
berpendapat bahwa hasil-hasil kebij aksanaan negara “ Orde Baru”
(sej ak seki t ar 1866 sampai ki ni ) dapat di pandang sebagai
perwuj udan maksimal dari j enis kepent ingan negara; dan daya
l aku ar gument asi i ni dapat di uj i dengan meni nj au sej ar ah
kehidupan (ber)negara di Indonesia. Tuj uan t ulisan ini bukanl ah
pert ama-t ama unt uk menimbang unt ung-rugi dari berbagai rezim
y an g si l i h - b e r gan t i b agi p e n d u d u k , m e l ai n k an u n t u k
mengembangkan sebuah kerangka pemikiran yang cocok bagi st udi
perbandingan yang hist oris.
I. NEGARA KOLONIAL SEBAGAI NENEK- MOYANG APARAT
NEGARA-MODERN
Tanggal lahir negara “ Indonesia” konon masih diperdebat kan oleh
para sarj ana, namun t empat kelahirannya sudah j elas: yait u, kot a
pelabuhan Bat avia (Bet awi) yang menj adi markas-besar Keraj aan
Dagan g Kom p en i at au V. O. C. ( Ver eeni gd e Oost i nd i sch e
Compagni e) di Nusant ara pada awal abad ke-17. Dari sudut
pandang pusat nya di Amst erdam, V.O.C. kelihat annya sepert i suat u
usaha bisnis, (dengan laba variabel), namun dari segi kegiat annya
di Nusant ara, boleh dikat akan sej ak awal mulanya ia t ampil selaku
sebuah l embaga negar a: yai t u, menyel enggar akan t ent ar a,
perj anj ian, paj ak, menghukum para pelanggar hukum, dll. Bahkan
dikala masih berbent uk benih, negara ini j uga t elah mencurahkan
perhat ian besar unt uk menggalakkan kej ayaan polit ik dengan
memperluas wilayahnya, hal mana sangat j auh dari kepent ingan
meraih keunt ungan dagang (lihat misalnya Boxer, 1965: 84-97).
Ket ika V. O. C. secara resmi digant ikan oleh pemerint ahan Keraj aan
Belanda pada wal abad ke-19, hasrat -hasrat polit ik t ersebut t et ap
nampak j elas. Dan, memang, Indonesia sebagaimana kit a kenal
|5|
dewasa ini merupakan hasil cet akan dari perluasan kekuat an polit ikmilit er yang luar biasa dari ibukot a Bat avia pada masa 1850-1910
(Vlekke, 1959: bab 14, “ The Unif icat ion of Indonesia” ). Dipandang
dari segi keunt ungan ekonomis, malahan j uga dari segi sekurit i
milit er, t indakan perebut an dan penaklukkan wilayah it u banyak
y an g k u r an g m asu k ak al . 1 Beber apa di ant ar anya m al ah
mengakibat kan negara bangkrut . Seringkali, keput usan-keput usan
yang menent ukan diambil di Bat avia, bukan di Den Haag, dan
dengan alasan-alasan ( r aison d’ est at ) yang sif at nya lokal. Sebuah
cont oh bagus ialah Perang Aceh, 1873-1903 (Vlekke, 1959, hal.
320-1).
Pada 1910, dengan mengandalkan kekuat an milit ernya sendiri,
yai t u ‘ Koni nkl i j k Neder l andsch-Indi sch Leger ’ (sel anj ut nya
disingkat K. N. I. L. ), negara kolonial berhasil mencanangkan “ r ust
en orde” (ket ent raman dan ket ert iban, at au dalam ist ilah sekarang:
kamt i b: keamanan dan ket er t i ban) di sel ur uh wi l ayah yang
dikuasainya; sebuah sist em pengendalian-kuasa yang t idak pernah
t ergoyahkan, dan baru hancur dalam beberapa pecan pada 1942
ket ika diserbu t ent ara Jepang. Bila ekspansi horizont al pada awal
abad ini berakhir, dalam hal ekspansi vert ikal yang t erj adi adalah
kebalikannya. Dengan dilaksanakannya “ kebij aksanaan Et ika, ”
aparat negara mengal ami perl uasan besar-besaran yang j auh
merasuki kehidupan masyarakat set empat , dan f ungsi kepej abat an
berkembang-biak. 2 (Mengenai proses ini, st udi yang klasik adalah
karya Furnival l , 1944). Pendidikan, kegiat an rel igius, irigasi,
perbaikan pert anian, peningkat an kebersihan (hygini), eksploit asi
pert ambangan dan pengawasan polit ik, ini semua semakin menj adi
kegiat an pemerint ahan negara yang semakin luas. Dan perluasan
1
Dalam artian ini, usaha pencaplokan Timor Timur setelah serbuan pada 7 Desember
1975 merupakan garis kelanjutan dari pelebaran wilayah rezim kolonial.
2
Hasilnya dilukiskan dengan tepat dalam Rumah Kaca, karya dengan judul bergaya
Foucault (saya belum terbit), jilid ke 4 dari empat karya besar Pramoedya Ananta Toer
mengenai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sebuah pandangan tajam akan suasana
ketika birokrasi “rumah kaca” kolonial ini tengah dibangun, dapat ditemukan dalam
Onghokham, 1978.
|6|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
ini berlangsung bukan pert ama-t ama karena menanggapi t unt ut ant unt ut an organisasi masyarakat di luar negara, melainkan karena
desakan hasrat dari dalam lembaga negara.
Apakah lat ar belakang penggalakan aparat ini? Jawabnya akan
j elas bila kit a t engok kebij aksanaan perpaj akan dan personalia
pemerint ahan ket ika negara colonial semakin mapan. Pada 1928
t ahun t erbaik sebelum Depresi t iba, pendapat an negara berkisar
sekit ar 10%dari masing-masing monopoli negara dalam pembuat an
garam, pegadaian dan penj ualan opium (yang harga j ualnya 10
laki lipat harga di pasar t erbuka di Singapura, lihat misalnya Rush,
1977: hal 278); 20%dari keunt ungan perusahaan-perusahaan milik
negar a dalam bidang pert ambangan, perkebunan dan indust ri;
16% dari bea cukai; 19% dari paj ak usaha; 6% dari penyewaan
t anah; dan 9% dari paj ak pendapat an. Sisanya t erdiri dari hasil
berbagai pungut an dan paj ak-paj ak t idak langsung yang regresif
(Dat a di at as berdasarkan dat a dalam Van den Bosch, 1944: hal.
290- 305) . Ji ka ki t a i ngat bahw a per ekonom i an m asa i t u
menghasilkan produk-produk dunia yait u: 90% unt uk kina, 80%
unt uk merica, 37%unt uk karet , dan 18%unt uk t imah—belum lagi
hasil produksi minyak—, maka j elas bahwa sumber kekuat an negara
kol oni al pada masa mat angnya—seper t i negar a V. O. C. yang
mendahuluinya—sebagian t erbesar bert umpu pada kegiat an sendiri
yang bersif at monopolist is sert a pada eksploit asi secara t epat guna dari berbagai sumberdaya alam dan manusia set empat .
Unt uk sisi lain dari gambaran ini, kit a harus melihat pola anggaran
belanj a negara. Pada 1931, t i dak kur ang dar i 50% pengeluaran
negara dihabiskan unt uk membiayai aparat negara (Van den Bosch,
1944: hal. 172). Salah sat u sebabnya ialah, karena negara Hindia
Belanda mendat angkan banyak sekali pej abat dari Eropa, yait u
sebesar 9 kali lipat proporsi pej abat kolonial Inggris di India (di
luar daerah-daerah ist imewa yang diperint ah oleh “ orang-orang
pribumi“ ) dibanding dengan j umlah penduduk set empat masingmasing (Van den Bosch, 1944: hal . 173). (Namun ini adal ah
perkembangan belakangan, sebab pada 1865, hanya t erdapat
sebanyak 165 pej abat ket urunan “ Eropa“ bagi 12 sampai 13 j ut a
| 7|
penduduk di Jawa, (lihat Fasseur, 1975: hal. 9). Namun demikian,
ket ika it u pun j umlah pej abat Eropa hanya sekit ar 10%dari seluruh
aparat negara. Pada 1928, j umlah pej abat ket urunan pribumi yang
digaj i negara hampir mencapai seper empat j ut a orang (Van den
Bosch, 1944: hal. 171), dengan kat a lain, 90%dari birokrasi negarakolonial t erdiri dari “ orang-orang Indonesia, “ dan negara ini t ak
mungkin berf ungsi t anpa peransert a mereka. Sit uasi ini, sepert i
dit ulis oleh Benda, merupakan t ahap t erakhir dari proses panj ang
sej ak pert engahan abad ke-19, yang menyerap dan mencengkeram
berbagai lapisan penguasa pribumi (kebanyakan orang Jawa) ke
dalam mekanisme beamt enst aat , yait u, sebuah aparat negar apej abat yang semakin digariskan dan dikendalikan dari pusat
pemerint ahan kolonial set empat . (Mengenai birokrasi t erit orial
pej abat Jawa lihat st udi bagus oleh Sut herland, 1979).
Apar at kepej abat an yang konon bagai kan kandang besi i ni ,
kemudian mendekat i kehancuran akibat pemerint ahan pendudukan
milit er Jepang selama 3½ t ahun (Maret 1942 s/ d Agust us 1945).
Pert ama, keut uhan wilayah kolonial kini berant akan. Pulau Jawa,
Sumat era dan Indonesia Bagian Timur diperint ah t ersendiri, masingmasing oleh t ent ara Jepang divisi ke-16 dan ke-25 dan oleh sebuah
cabang dari marine Jepang. Kebij asanaan yang dij alankan di set iap
zona berl ain-l ainan, sedikit sekal i hubungan administ rat if di
ant aranya, apalagi perput aran personalia ant ar zona nyaris t ak
ada. Kedua, sebagai akibat pembagian zona pemerint ahan dan
runt uhnya perekonomian kolonial yang berorient asi ekspor di masa
perang, maka sumber-sumber daya negara t erkuras, dan, dengan
demikian, disiplin keuangan pun merosot . Di Jawa, penguasa
mi l i t er menghadapi kr i si s i ni dengan mencanangkan si st em
pungut an barang, kerj apaksa, dan mencet ak uang t erus-menerus
secara gegabah. Inf lasi yang menggila ( hyper i nf l at i on) membuat
gaj i pegawai t idak berart i, sedang gej ala korupsi sebagai ef ek
demoralisasi dengan cepat menj alarke seluruh bagian aparat
negara. Ket iga, daya-kerj a mekanisme negara secara drast is
dirongrong oleh berbagai f akt or, yait u, digant ikannya para pej abat
kolonial Belanda yang t elah makan garam oleh orang-orang Jepang
|8|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
yang relat if kurang pengalaman, dan oleh orang-orang Indonesia
yang t i ba-t i ba di pr omosi kan, t i mbul kekacauan kehi dupan
masyarakat dan berkurangnya sumber kebut uhan hidup akibat
sit uasi perang. Akhirnya, kebij aksanaan pemerint ah-pendudukan
yang sangat ganas dan menindas di belakang hari menimbulkan
kebencian rakyat , dan perasaan benci ini t erut ama diarahkan
kepada para pej abat pribumi (pamongpraj a) yang makin dianggap
sebagai kaum pengkhianat ibu pert iwi. Jadi, dengan t akluknya
Jepang pada bulan Agust us 1945, maka di berbagai t empat di
Jaw a d an Sum at er a, l em b aga negar a nyar i s m engi l ang,
kekuasaannya pudar dihadapan berbagai gerakan rakyat yang
bermunculan. (Anderson, 1972: bab 6, 7 dan 15). Sedang di bagian
lain dari “ Indonesia, “ f ragmen-f ragmen dari aparat beamt enst aat
yang lama (Hindia Belanda), berlangsung t erus sesuka sendiri.
II. NEGARA DAN KEKUATAN MASYARAKAT, 1945-1965
Pada 17 Agust us 1945, dua t okoh polit ik nasionalis yang t ermasyhur,
yait u Sukarno dan Hat t a, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dalam suat u upacara singkat di pekarangan di depan
rumah pribadi Sukarno di Jakart a. Apabila boleh disebut punya
“ kedudukan resmi, “ kedudukan mereka saat it u hanyalah selaku
Ket ua dan Wakil Ket ua Panit ia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
sebuah badan yang dibent uk t ergesa-gesa oleh Jepang beberapa
hari sebelumnya. Pada hari berikut nya, dua puluh orang anggot a
panit ia it u “ memilih“ Sukarno unt uk menempat i suat u kedudukan
yang sama sekali baru, yait u kepresidenan. Dengan demikian,
Sukarno secara f ormal menyat ukan kepemimpinan bangsa yang
baru ini dengan kepemimpinan dari suat u lembaga negar a yang
l ama (Ander son, 1972: bab 4). Maka, unt uk per t amakal i nya
kepem i m pi nan negar aki ni di r um uskan dal am m akna yang
r epr esent at i f ; bahwasanya set el ah it u Sukarno t idak pernah
menyelenggarakan pemilihan presiden, hal ini t idak merubah art i
bahwa pucuk negara yang dipimpinnya ini mengandung makna
represent at if .
Per i st i wa pr okl amasi i t u sendi r i secar a f i si k maupun pol i t i s
|9|
berlangsung di l uar l i ngkup negar a, dan hal ini secara simbolis
m engi ngat k an k i t a ak an k ar i r t er d ahul u Suk ar no, yang
keseluruhannya dibangun melalui penggalangan kekuat an rakyat
(gerakan nasional), dan melalui oposisi berkurun panj ang melawan
negara kolonial. Sukarno t idak pernah menj adi pej abat di dalam
pemerint ahan negara kol onial , ia diint ai, dit angkap, diadil i,
dipenj ara dan diasingkan (selama hampir 11 t ahun) oleh mat amat a, polisi, hakim dan pej abat penguasa negara it u (Legge,
1972, khusus bab 5 dan 6). Dan di kalangan mereka yang mengint ai,
menangkap sert a mengucilkannya—belum lagi yang dengan gigih
merusak pekerj aan polit iknya semasa ia masih bebas—adalah
orang-orang „ Indonesia“ yang t urut dalam aparat negara it u.
Selama empat t ahun gej olak Revolusi (1945-49) yang kemudian
menyusul, sebenarnya ada dua lembaga negara yang berf ungsi di
Nusant ara: Republik yang masih j abang bayi dan Hindia Belanda
yang hendak kembali. Walau diperlemah oleh kedudukan NAZI
Jerman semasa perang dan oleh kehancuran ekonomi, Negeri
Belanda saat it u mempunyai kekuat an milit er maupun sumber dana
yang t oh masih j auh lebih besar daripada kekuat an nasionalis
Indonesia. Pada akhir 1946, Belanda berhasil menguasi seluruh
kawasan Nusant ara bagian t imur, dan pada t ahun berikut nya prakt is
menduduki semua daerah ut ama penghasil komodit i ekspor di
Jawa dan Sumat era. Dengan kekuat an aparat ‚ beamt enst aat ’ -nya.
Menyusul “ Aksi Pol i si oni l “ kedua yang di l ancar kan pada 19
Desember 1948 negara kolonial berhasil merebut kot a-kot a pent ing
dan menawan Sukarno, Hat t a dan pucuk pimpinan Republik yang
lain (Kahin, 1952; Alers, 1956; Reid, 1974).
Negara Republik yang menandingi aparat negara kolonial, sej ak
mulanya memang lemah dan semakin lemah t ahun demi t ahun.
Sebagian personalia yang diwarisi Republik dari negara lama secara
pol i t i s t i dak dapat di andal kan dan ser i ng di cur i gai , sedang
per sonal i a bar u memasuki j enj ang di dal am negar a secar a
kebet ulan; mereka ini t ampil selaku “ pej uang revolusi“ t anpa
pandangan, pengal aman dan keahl ian yang bergaya pej abat
( beamt en ) negar a. Ti dak sedi ki t dar i m er eka m enem pat i
| 10 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
kedudukan di dalam negara t anpa pernah membayangkan akan
menempuh karir kepej abat an di masa depan. Maka kohesi at au
ket erikat an di dalam t ubuh negara Republik sebenarnya t idaklah
t angguh dan kemiskinan masyarakat makin memperlemahnya.
Sej auh negara (lama) mempunyai cit ra berwibawa, ot orit as ini
sebagian besar diperolehnya berkat peran bekas musuhnya, yait u,
pemimpinpemimpin nasionalis. 3 Para pemimpin ini pada gilirannya
kini berkepent ingan unt uk mengamankan aparat negara karena
t i ga al asan t akt i s: per t ama, mer eka i ngi n sej auh mungki n
menj auhkan negara “ Beamt enst aat “ dari pengaruh Belanda, karena
aparat ini dianggap lebih berguna bagi musuh daripada bagi mereka
sendiri, kedua, aparat negara it u kadangkala berguna dalam rangka
pert arungan-kuasa di dalam kalangan mereka sendiri, dan ket iga,
mereka bert ekad memperoleh pengakuan int ernasional sebagai
suat u bangsa yang berdaulat , sedang pengkuan demikian hanya
diberikan kepada bangsa-bangsa yang mempunyai aparat negara.
Jadi, ket ika Bel anda akhirnya t erpaksa mengakui kekal ahan,
penyebabnya yang ut ama bukan t erlet ak pada peran lembaga
Republik. Fakt or ut ama ialah adanya perlawanan rakyat yang
sifat nya sangat lokal, t erut ama di Jawa dan Sumat era, sebagaimana
t erungkap dalam gerak aneka ragam organisasi polit ik dan milit er
di luar negara, yang dihimpun, dibiayai dan dipimpin oleh kekuat an
masyarakat di pelbagai t empat (ini semua dilukiskan dengan indah
dalam karya A. Kahin, 1979). Yang mengkait kan berbagai gerakan
perlawanan ini bukanlah suat u lembaga negara, melainkan sebuah
pandangan bersama unt uk mewuj udkan suat u bangsa yang bebas
dan merdeka. 4 Selanj ut nya, pihak Belanda makin let ih perang
3
Lihat Anderson, 1972: 113-4, untuk sebuah penjelasan mengenai perundingan yang
berat sebelah antara para pemimpin nasionalis dengan wakil-wakil pucuk negara pada
30 Agustus 1945, dan lihat bab 15 untuk sebuah analisa mengapa pamor Sukarno dan
para pembantu sekitarnya turut membantu menghidupkan kembali wibawa bekas
aparat resmi kolonial.
4
Keadaan ini dapat dilambangkan dengan peranan Aceh. Aceh, daerah yang setelah
merdeka pertama kali memberontak karena memprotes campur-tangan Jakarta (1953)
ini, pada masa Revolusi menjadi pusat perjuangan yang paling rela berkorban, pernah
dengan sukarela menyumbang uang dalam jumlah besar kepada penguasa Republik di
| 11 |
dan mengalami t ekanan berat di bidang diplomat ik dan keuangan
dar i Am er i ka Ser i kat . Hal i ni t ur ut m endor ong t i m bul nya
perubahan dramat is, hingga pada akhir 1949, Belanda secara resmi
menyerahkan kedaulat an ke t angan Republik Indonesia Serikat
(R. I. S. ) yang menghimpun berbagai negar a di Nusant ara.
R. I. S. , l embaga baru ini, di dunia l uar mendapat pengakuan
int ernasional, t api di dalamnya, sebenarnya merupakan sebuah
campuran yang rawan ant ara dua lembaga negara yang selama
empat t ahun sebelumnya bermusuhan—rawan, baik dalam kekuat an
milit ernya maupun dalam birokrasi, perundang-undangan yang
muda, dalam kemampuan sumber keuangannya yang ant ara lain
dibebani warisan hut ang H. B. sebesar 1. 130 j ut a dollar Amerika
(G. Kahin, 1952: 433-53), dan rawan karena warisan berbagai
kenangan yang t elah melembaga. R.I.S. t erbelah dalam dua aparat
negara, sisa Hindia Belanda (H. B. ) dan Republik. Di dalam R. I. S. ,
kedua belahan ini mempunyai kelemahan masing-masing. Belahan
“ H. B. ” secara polit ik cemar oleh noda persekongkolan dengan
Belanda, dan sekaligus kehilangan int i kekuat an pemerint ahan
H. B. Sedang belahan “ Republik“ belum pulih dari kehancurannya
selama 1948-49. Dan pada 1950, ket ika negara f ederal R. I. S.
dirubah menj adi negara kesat uan Republ ik Indonesia, akibat
desakan dan agi t asi kekuat an di dal am masyar akat , maka
kerawanan it u pun t et ap melanda lembaga-negara campuran ini.
Maka cukup beralasan unt uk mengat akan dengan mudah, bahwa
sist em demokrasi parlement er bisa hidup sampai sekit ar 1957,
karena memang t ak mungki n ada bent uk r ezi m l ai n sebagai
al t er nat i f . Karena t ak ada birokrasi sipil yang t angguh, t ak ada
part ai sipil yang t angguh, t ak ada part ai polit ik yang dominant
pada t ingkat nasional, dan t ak ada angkat an bersenj at a professional
dan t erorganisasi-sent ral (t ak ada j uga “ indust ri” yang menopang
mariner dan angkat an udara unt uk mengendalikan seluruh Nusant ara)
yang berpot ensi mengambil alih kuasa negara. Dengan demikian,
Jawa yang ketika itu sangat membutuhkan uang (tapi tak punya aparat negara untuk
memungut pajak).
| 12 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
sist em demokrasi parlement er yang menandaskan perwakilan
rakyat dan menyaj ikan ruang bagi kegiat an organisasi polit ik di
luar negara, boleh dikat a “ cocok” dengan sit uasi yang menggej ala,
yait u, kehidupan masyarakat dan bangsa l ebih berbobot dan
mendesak kehidupan aparat negara.
Dengan él an (semangat ) perj uangan kemerdekaan yang makin
pudar dan t enggelam ke dalam kenangan, maka kelemahan negara
makin menyolok dan t ampak dalam t iga demensi: milit er, ekonomi,
dan administ rasi pemerint ahan.
Kelemahan sisi milit er t ampak pada 1950, ket ika permusuhan ant ara
dua komponen milit er dari lembaga campuran t adi, pecah menj adi
pert empuran ant ara bekas t ent ara Republik lawan bekas t ent ara
K. N. I. L. Ini t er j adi di Jawa dan di Sul awesi , dan kemudi an
menimbulkan usaha separat is “ Republik Maluku Selat an” (lihat
penj elasan Feit h t ent ang “ Kasus West erling” di Jawa Barat dan
“ Kasus Andi Aziz” di Sulawesi Selat an, dalam bukunya, 1962: 62,
66-68). Tidak l ama kemudian, berkecamuk apa yang disebut
“ pemberont akan daerah,” t erut ama di kawasan-kawasan yang dulu
menj adi basis kekuat an t ent ara Republik. Akhirnya, pada 1958,
berkobar perang saudara besar-besaran ant ara Republik Indonesia
dan P. R. R. I. / Permest a, yang dipimpin oleh beberapa t okoh milit er
dan polit ik yang t erkenal di masa revolusi. Kesemua sengket a ini
dimungkinkan, oleh karena Revolusi di t ahun-t ahun sebelumnya
diperj uangkan oleh kekuat an-kekuat an gerilya yang sif at nya local
dengan st af pimpinan yang kecil, t idak berpengalaman kemilit eran
dan hanya mengandalkan wibawa moral t ert ent u. Alhasil, uj ungekornya sepert i yang t erj adi di Birma sej ak usai perang: negara
Indonesia yang t elah merdeka selama bert ahun-t ahun t ak mampu
mencanangkan kendal i mil it ernya di sebagian besar wil ayah
negara.
Pada si si ekonom i , negar a t i dak saj a har us m enghadapi
perekonomian yang guncang akibat perang dan revolusi, t api j uga
d i b e b an i w ar i san h u t an g y an g b e sar, d an t ak m am p u
menyelenggarakan pemungut an paj ak yang efekt if. Tambahan pula,
| 13 |
sampai 1957, perusahaan-perusahaan raksasa Belanda, yait u “ Lima
Besar, ” t et ap mendominasi sebagian besar sect or pendapat an
negara dan perhubungan laut . Indust ri perminyakan berada di
t angan Belanda, Amerika dan Inggris. Maka t idak mengherankan,
perkembangan perekonomian negara pascakolonial ibarat sinar
pelit a yang redup.
Pada sisi administ rasi negara, ket angguhan dan disiplin aparat
birokrasi sipil yang t elah runt uh, melanj ut kan proses ini selama
t ahun 1950-an. Unt uk sebagian, hal ini merupakan akibat dari
permusuhan ant ara dua belahan dalam aparat negara campuran
pasca-1950. Unt uk sebagian lagi, karena kenangan akan gej olak
nasib pamongpraj a selama Revolusi (main pecat , culik, dan bunuh)
melemahkan semangat kerj a dan mendorong sikap pasif demi
perlindungan diri sendiri. Namun, yang paling pent ing adalah gej ala
penet rasi (perasukan pengaruh) masyarakat ke dalam lembaga
negara. Konon, kalangan orang yang pada masa kolonial dij auhkan
dari f ungsi dan j abat an di dalam beamt enst aat , sudah semenj ak
masa Revolusi mengambil-alih posisi t ersebut : kiyai-kiyai t ua
menj adi pegawai kecamat an, muda-mudi menyelenggarakan j asaj asa umum berupa pelayanan kesehat an dan kenyediaan pangan,
orang-orang but a-huruf menj adi komandan milit er di desa-desa,
dsb. Unsur-unsur masyarakat ini “ memasuki” lembaga negar a,
namun kait an dasar dan loyalit as mereka t et ap bert umpu pada
bangsa, kelompok ideologis, organisasi paramilit er, komunit as
desa-desa, dan lain sebagainya. Proses penet rasi ini berkelanj ut an
set el ah 1950, per t ama-t ama mel al ui par t ai -par t ai pol i t i k.
Membangun suat u part ai yang berlingkup nasional di t engah bangsa
yang j umlahnya sekit ar 100 j ut a orang, t ent u saj a akan menelan
bi aya besar. Akan t et api , par a pem i m pi n pol i t i k saat i t u
menganggap cara yang murah adalah mengikut sert akan para
pendukungnya ke dalam berbagai f ungsi di dalam aparat negara.
Dengan demikian, birokrasi sipil membengkak, dari sekit ar 250
ribu pada 1940, menj adi sekit ar 2½ j ut a pegawai negeri pada
1968—kenaikan sepuluh kali lipat dalam kurun sat u generasi saj a
(Emmerson, 1978: 87). Suat u negara yang perekonomiannya lemah
| 14 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
t ent u t idak berdaya menggaj i secara memadai para pegawai
birokrasi yang menggelembung ini, apalagi unt uk menj aga t araf
disiplin t ert ent u. Akibat -akibat nya t ak t erelakkan lagi korupsi
(unt uk kant ong pribadi maupun kas part ai) mearj alela dan dayakerj a merosot . Dan j ika pemerint ahan selama periode 1950-57
t erbent uk oleh koalisi part ai, maka pembagian f ungsi dan j abat an
depar t emen menur ut pat r onase pol i t ki k (hubungan bapak—
anakbuah) membuat sit uasi makin gawat . Sebuah pet unj uk bagus
bet apa “ rapuh” aparat negara adalah kalimat dalam U. U. No. 1/
1957 yang mewaj ibkan kepala-daerah dipilih melalui pencalonan
(oleh pendukung part ai), bukan diangkat oleh pusat (Legge, 1961:
bab 9).
Tet api bukan hanya part ai polit ik yang merasuki t ubuh apar at
negara. Baik pada masa Revolusi maupun set elahnya, banyak
kalangan elit e t radisional yang semula bersekongkol dengan Belanda
di daerah-daerah yang t erbelakang di luar Jawa, kehilangan (at au
t akut kehilangan) kedudukan dan hart a-benda mereka. Merasa
lemah dalam kancah pemilihan umum, maka mengirim anak-anak
mereka ke sekolah-sekolah kepegawaian. Kelompok bangsawan
muda dar i suku-suku mi nor i t as i ni kemudi an memper kaya
per put ar an negar a dengan di mensi “ et ni k“ yang ber gai r ah
konservat if dan cenderung kesukuan (lihat Magenda, akan t erbit ).
Namun dalam proses ini muncul dua kekuat an pokok yang pada
akhir periode parlement er mencoba menyelamat kan negara. Yang
paling pent ing ialah TNI/ Angkat an Darat , dan yang lain ialah,
presiden Sukarno sert a kekuat an-kekuat an pendukungnya. Selama
sat u dasawarsa (1950-an), t ent ara dilanda sengket a int ern, t api
lambat laun pucuk pimpinan TNI/ AD berhasil memperkuat wibawa
pimpinan di pusat . (Mc Vey, 1971-72). Pimpinan ini menj alankan
polit ik mengembangkan ket angguhan korps dan prof esi melalui
pendidikan st af dan komando kemilit eran di luar negeri (t erut ama
di Amer i ka Ser i kat ) dan mengembangkan l embaga-l embaga
pendidikan sendiri di dalam negeri yang kesemuanya t erkendali
dari pusat . Selain it u, dengan bant uan besar dari luar negeri,
pucuk TNI/ AD membangun komando milit ernya sendiri sebagai
| 15 |
suat u kekuat an operasional yang mampu bergerak cepat ; komando
khusus ini pada t ahun 1960-an t elah mat ang dan dikenal sebagai
Komando Cadangan St rat egis Angkat an Darat , KOSTRAD. Terut ama
berkat bant uan Uni Sovyet , ABRI membangun marinir dan angkat an
udara yang kuat (angkat an-angkat an ini membut uhkan modal besar,
j adi—lain dengan TNI/ AD—t ak mungkin t umbuh dari kekuat an
geril ya yang menyebar di masa Revol usi). Maka, pada 1962,
pimpinan TNI/ AD cukup berhasil memberant as pembangkangan
perwira daerah, dan unt uk pert ama kali sej ak 1942 sebuah aparat
milit er dari lembaga negara menyat ukan seluruh bekas wilayah
Hindia Belanda di bawah sat u kendali sent ral. Dalam proses ini,
set i ap keber hasi l an suat u oper asi mi l i t er menyi si hkan par a
pet anding-kuasa di dalam perebut an-kuasa ant ar-milit er. Dengan
basis kekuat an di Jawa, para perwira t inggi memberkuat kendali
komando, sement ara pasukan-pasukan dari Jawa secara de f act o
menduduki dan menguasai berbagai kawasan di luar Jawa.
Akhirnya, pucuk TNI/ AD menemukan j alan unt uk menghadang
kekuat an-kekuat an dari t engah masyarakat yang memecah-belah
aparat sipil negara. Tit ik-balik ini t erj adi pada 1957. Pada 14
Maret , presiden Sukarno mengumumkan Undang-Undang Keadaan
Darurat (S. O. B. ) di seant ero negeri unt uk menanggulangi krisis
daerah, dan, dengan demikian, melimpahkan sumber-sumber
kekuat an i st i m ew a kepada apar at m i l i t er. Pada m ul anya
wewenang ini digunakan unt uk mengekang kegiat an part a-part ai
polit ik—t erut ama Part ai Komunis Indonesia (P.K.I.)—, dan menekan
organisasi-organisasi vet eran yang dikendalikan parpol, dalam
rangka memat ahkan kait an milit er dan parpol. Kemudian, ket ika
serikat -serikat buruh yang milit an pada bulan Desember merebut
sebagian besar keraj aan-dagang Belanda unt uk mengganj ar sikap
Belanda yang kepala-bat u dalam isu Irian Barat , ket ika it ulah,
pucuk TNI/ AD melangkah maj u dan menggant ikan serikat -serikat
i t u. (Lev, 1966: 34, 69-70). Mendadak par a per wi r a TNI/ AD
merebut kendali dari sebagian t erbesar perusahaan dalam sekt or
ekonomi modern t ersebut . Maka, unt uk pert ama kali korps perwira
TNI/ AD meraih sumber-sumber keuangan pent ing bagi dirinya
| 16 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
sendiri, dan dengan demikian, unt uk pert ama kali pula, melekat kan
suat u kepent i ngan ekonomi kor por at ( usaha dagang yang
t er or ganisasikan) pada lembaga ABRI secara keseluruhan, sebagai
suat u sekt or ekonomi t ersendiri di dalam masyarakat Indonesia.
Jadi, pada 1957, unt uk pert ama kali sej ak 1942, sumbersumberdaya
ekonomi yang ut ama (bagi seluruh bangsa) j at uh ke t angan suat u
kendali-t unggal (dari sat u aparat di dalam negara).
Dalam proses t adi, t okoh Sukarno yang kharismat is menj alin sekut u
dengan pimpinan TNI/ AD. Menghadapi ket egangan regional yang
kemudian memuncak dengan pecahnya perang saudara pada
Pebruari 1958, Sukarno melihat bahaya perpecahan bangsa semakin
besar. Ancaman ini dianggapnya semakin gawat , karena Amerika
Serikat (at au, paling t idak, Dinas Rahasia C. I. A. ) menyokong para
pembangkang daerah dengan persenj at aan dan uang. Mengingat
pengalaman masa lampau, Sukarno makin yakin, bahwa kabinet
koal isiant ar part ai—bahkan j uga pamornya pribadi—t ak akan
berdaya memadai unt uk mencegah bahaya nasional t ersebut .
Hanya TNI/ AD yang mampu menghadapinya. Oleh karena it u, bagi
Sukarno, pent ing unt uk memberi pimpinan TNI/ AD hal-hal yang
menurut mereka sangat dibut uhkan yait u, U. U. Darurat , kekangan
t erhadap parpol, kendali at as perusahaan-perusahaan Belanda,
dan pencabut an U. U. No. 1/ 1957. Besar kemungkinan, Sukarno
belakangan pun yakin bahwa cit a-cit a mengembalikan Irian Barat
ke pangkuan Republik hanya dapat diwuj udkan dengan membangun
suat u kekuat an milit er yang t angguh, yang oleh Belanda (dan
Amerika Serikat ) dianggap serius.
Kendat i demikian, Sukarno j uga menyadari sepenuhnya, bahwa
konsolidasi TNI/ AD unt uk pert ama kali dalam sej arah membuka
peluang suksesnya suat u kudet a dan t egaknya suat u rezim yang
didominasi kaum milit er. Karena it u, dengan cepat ia menggunakan
wibawa polit ik dan wewenang legal-nya berdasarkan U. U. D. 1945
(yang diberlakukan kembali melalui suat u dekrit pribadi presiden
pada 1959) unt uk mencegah t ent ara menindas parpol dan ormas. 5
5
Dengan ini tidak disangkal bahwa Sukarno sudah lama jengkel atas pembatasan-
| 17 |
Koalisi ant ara pimpinan TNI/ AD dan Sukarno selanj ut nya relat if
m eud ahk an p er al i han d ar i “ Dem ok r asi Par l em ent er “ k e
“ Demokrasi Terpimpin. “ Koalisi ini memang bermanf aat t ert ent u,
t api mulai berant akan ket ika kepent ingan-kepent ingan langsung
kedua pihak t idak lagi sej alan. Sengket a-sengket a ant ara kedua
part ner dan ant ara kekuat an-kekuat an yang menj agokan masingmasing pihak, semula menimbulkan gej olak polit ik hingga akhirnya,
pada t ahun 1965-66, pecah bencana besar.
Pada hakekat nya, t uj uan pokok koalisi ini ialah, unt uk menyerap
seluruh bekas wilayah Hindia Belanda ke dalam Republik, dan
menegakkan kembali wibawa pusat negara di seant ero Nusant ara.
Bagi Sukarno, sasaran ini t elah t ercapai pada awal 1963, ket ika
kombinasi siasat diplomasi dan gebrakan milit er Indonesia akhirnya
ber hasi l m engger akkan Am er i ka Ser i kat , unt uk m engat ur
kembalinya Irian Barat ke pangkuan R. I. (melalui pemerint ahan
ad int erim P. B. B. ). Akan t et api, ini semua harus dibayar mahal.
Pert ama-t ama, Angkat an Darat semakin kuat , t angguh dan kuasa.
Selain it u, hubungan TNI/ AD dan Amerika Serikat semakin akrab
dan menghasil kan buahnya: kekuat an mil it er asing (Amerika
Serikat ) yang dominan di kawasan (Asia Tenggara) ini sekarang
punya bat u penunj ang (TNI/ AD) yang berakar di dalam t ubuh
negara Indonesia, yang berart i suat u sumber pengaruh yang
berbahaya. 6 Dalam pandangan Sukarno, perasukan pengaruh ini
sangat membat asi kedaulat an bangsa Indonesia dan daya-mampu
pembatasan yang dikenakan padanya oleh UUD sistem parlementer 1950, juga tidak
disangkal bahwa Sukarno menikmati keleluasaan kekuasaan kepresidenan sebagaimana
ditetapkan oleh UUD 1945. Selain itu, dalam memberikan perlindungan kepada partaipartai dan organisasi-organisasi masa (kecuali bagi PSI dan Masyumi yang ia bubarkan
karena terlibat dalam PRRI), ia jelas didorong oleh kebutuhan akan dukungan politik
yang terorganisasi, sebagai imbangan bagi TNI/AD. Memang sedemikian kuatirnya
Sukarno terhadap pamrih TNI/AD sehingga ia bertindak sebegitu jauh dengan
memamerkan pilih-kasihnya pada AL, AU dan Polri.
6
Hal ini dengan halus digambarkan oleh Dubes kawasan Amerika di Indonesia (195865), Howard Jones, dalam memoarnya: “Dalam pengertian kekuasaan politik ini berarti
menempatkan taruhan terbaik kita pada TNI/AD … memelihara kesetiaan kelompok
perwira tinggi TNI/AD yang pro Amerika dan anti komunis” (1971: 126-27).
| 18 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
negara unt uk membenahi masalah dalam negeri dengan ot onomi
yang maksimal . Lebih l anj ut , dengan penguasaan at as bekas
perusahaan-perusahaan Belanda, maka pucuk pimpinan TNI/ AD
kini berada dalam kedudukan yang langsung bert olak belakang
(ant agonist is) dengan kekuat an rakyat —t erut ama para buruh dan
pet ani yang bekerj a di t ambang, perkebunan dan perusahaanper usahaan dagang pent i ng l ai nnya. Jadi , sel ai n menyadar i
kedudukan pribadinya makin t erancam, Sukarbo j uga melihat
bahaya mengancam t uj uan-t uj uan gerakan nasionalis yang semula
(Legge, 1972: bab 12-13; Hauswedell, 1973).
Jalan ke luar yang dit empuh Sukarno dalam menghadapi masalah
ini, pada hakekat nya t erdiri dari dua macam komponen yang
berlainan. Komponen per t ama adalah usaha menggalang kembali
(remobilisasi) organisasi-organisasi masyarakat di luar badan negara
(dalam ungkapan Sukarno: “ Kembali ke Rel-Rel Revolusi Kit a“ ) di
bawah kepemimpinan ideologisnya pribadi. (Pada 1 Mei 1963
segera set elah Irian Barat kembali ke R. I. , Sukarno mencabut
U. U. Keadaan Darurat dan menghidupkan kembali kebebasan
parpol). Walaupun selama Demokrasi Terpimpin pemilihan umum
t idak diselenggarakan, t et api—demikian paradoksnya—hal ini j ust ru
sangat memudahkan remobilisasi massa. Sebab, irama kerj a sist em
parlement er-konst it usional yang rut in, cermat dan memusat pada
kegiat an legislat ive, kini digant ikan oleh akselerasi kemelut polit ik
massa yang semakin mengakar dan meluas ke seluruh masyarakat
Indonesia. Part ai-part ai polit ik yang pent ing pada masa it u—yait u
P. K. I. (Komunis), P. N. I. (Nasionalis) dan Part ai Islam konservat if
Nahdat ul Ul am a, t i dak saj a m engar ahkan kegi at an unt uk
memperluas j umlah anggot a part ai, t api j uga mengembangkan
j umlah anggot a ormas-ormas yang berafiliasi dengan masing-masing
part ai (organisasi pemuda, mahasiswa, perempuan, pet ani, buruh,
cendeki aw an, dl l . ). Aki bat nya, pada akhi r masa Demokr asi
Terpimpin, set iap part ai besar mengklaim diri sebagai induk dari
suat u “ keluarga” ideologis yang membesar dan t erorganisasikan,
masi ng-masi ng dengan anggot a seki t ar 20 j ut a, dan semua
“ keluarga besar” ini saling bersaing sengit t anpa hent i di segala
| 19 |
bidang kehidupan. Dengan demikian, arus pengaruh masyarakat
ke dalam lembaga negara yang dulu pernah dibendung, bahkan
dibalikkan sej ak diberlakukannya U.U. Keadaan Darurat pada 1957,
kini (sej ak 1963), berulang kembali. Bahkan ABRI j uga didesak
pengaruh masyarakat , ket ika Sukarno melancarkan kampanya
“ Nasakomisasi” (mengikut sert akan unsure nasionalis, komunis dan
agama ke dalam) semua aparat negara, dan pada 1965, kampanye
pembent ukan sebuah Angkat an Kelima (selain keempat angkat an
bersenj at a yang t elah ada: darat , laut , udara dan polisi) yang
dihimpun dari t enaga sukarela rakyat .
Komponen kedua i al ah usaha Sukar no menggar i skan hal uan
ekonomi yang aut arki (“ berdikari” ) dan polit ik luar negeri yang
ant i imperialisme. Lat ar belakang arus yang sangat nasionalis ini
perlu dit inj au secara lengkap dalam kesempat an lain. Dalam t ulisan
ini, cukup kit a cat at bahwa haluan it u dimaksud unt uk, pert ama,
menggalakkan penggalangan massa rakyat di bawah bimbingan
langsung Sukarno pribadi, dan, kedua, menekan set iap pot ensi
per pecahan bangsa. 7 Hal uan Negara t ersebut j uga bert uj uan
mengekang kedudukan t akt i s Amer i ka Ser i kat yang sangat
mengunt ungkan (melalui TNI/ AD) di dalam imbangan kuasa polit ik
dalam negeri Indonesia. Baik presiden maupun para pendukung
polit iknya sangat menyadari bet apa pent ing pengaruh “ American
Connect i on” ( per sekongkol an m el al ui pendi di kan m i l i t er,
penyediaan dana dan persenj at aan sert a melalui dinas int elej en)
bagi pimpinan TNI/ AD. Kampanye mengalakkan ot onomi polit ik
dan ekonomi dipandang sebagai suat u cara yang halus dan t epat
sasaran unt uk memat ahkan persekongkolan ini. 8
Tet api, perkembangan selanj ut nya membukt ikan bahwa polit ik
7
Lihat Hindley (1962). Meminjam kata-kata Hindley, orang bisa mengatakan bahwa
Sukarno sesungguhnya bermaksud menjinakkan semua kekuatan politik di Indonesia.
Bandingkan Anderson (1965).
8
Tak mengherankan, tak dilancarkan kampanye serupa terhadap “Sovyet Connection”—
bukan karena PKI punya hubungan baik dengan PKUS, justru hubungan baik itu tak
ada—tetapi karena perlengkapan militer Sovyet mengalir kepada saingan TNI/AD, AL
dan AU.
| 20 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
yang dij alankan Sukarno it u, paling t idak mengingat kondisi-kondisi
saat it u, t idak dapat bert ahan lama. Penyebab dasarnya t erlet ak
pada perkembangan ekonomi: Indonesia t erlampau miskin dan
lemah unt uk dapat membangun angkat an bersenj at a yang besar
dan kuat dan sekaligus menj alankan polit ik luar negeri yang milit ant
dan mant ap; 9 unt uk dapat mewuj udkan perekonomian aut arki
yang hendak mengusir sebagian besar modal asing, t api melepas
sekt or produksi modern di bawah kelola para perwira milit er
yang t idak berpengal aman dan mudah disuap; dan sekal igus
menggerakkan mobil isasi gerakan-gerakan rakyat yang sal ing
bert anding sengit . Maka, sat u-sat unya cara unt uk menanggulangi
t ekanan keuangan ialah mencet ak uang dalam j umlah yang main
besar. Seolah sepert i zaman pendudukan Jepang berulang (dengan
penyebab-penyebab st ruct ural yang serupa), nilai rupiah merosot
dahsyat : dalam pasar gelap, nilai t ukar dollar Amerika ant ara awal
1962 s/ d akhir 1965, naik dari Rp. 470, - menj adi Rp. 50. 000, sebuah kurva yang makin menj ulang t inggi sej ak pert engahan 1964
(lihat Mackie 1967, t able 3). Inf lasi yang menggila ini menyent uh
segal a segi kehi dupan masyar akat , bangsa dan negar a, dan
akhirnya, menj adi maut yang mencekik Demokrasi Terpimpin.
Yang perlu dicat at dari hyperinf lasi it u adalah dua dampaknya
yang berikut . Per t ama, sepert i halnya pada zaman Jepang di
masa belakangan, daya-kerj a aparat sipil negara makin berant akan,
kar ena kor upsi dan pemi l i kan t anah mangki r (absent ei sme)
meraj al el a, sedang prasarana komunikasi, pengangkut an dan
perpaj akan parah. (Namun hal ini t idak menghal angi aparat
birokrasi t et ap t umbuh—bahkan, boleh dikat a, membengkak j auh
di luar proporsi). Sat u-sat unya aparat negara yang swa sembada,
mampu bert ahan ialah TNI/ AD: unt uk sebagian (pada sisi polit ik)
karena TNI/ AD secara “ legal“ t idak bisa disusupi pengaruh part ai,
dan sebagian lagi (pada sisi ekonomi) karena TNI/ AD menguasai
aset (kekayaan) nyat a negara, bukan sekedar aset f ormal. Jadi,
t ahun-t ahun t erakhir Demokrasi Terpimpin di sat u pihak dit andai
9
Khususnya politik “konfrontasi” yang dilancarkan terhadap negara federasi yang baru
saja dibentuk, Malaysia, September 1963.
| 21 |
oleh aparat TNI/ AD yang semakin j aya dan menguasai aparat aparat pemerint ahan lain.
Kedua , di l ai n pi hak i nf l asi yang dahsyat m em bakar api
permusuhan dalam kancah polit ik dalam negeri, seolah t inggal
menunggu saat meledak. Dengan semakin merosot nya t ingkat
hidup kaum miskin, maka dari dalam t ubuh P. K. I. t imbul desakan
kuat unt uk memperj uangkan kepent ingan-kepent ingan hidup
mel al ui cara-cara yang l ebih mil it an. Perusahaan-perusahaan
negara yang dianggap “ vit al “ (kunci) mengel uarkan l arangan
mogok, dan hal ini sangat mempersulit serikat -serikat kerj a unt uk
bergerak gigih.
Sedang, di kancah pedesaan, pel uang unt uk gerakan mil it an
t ampaknya lebih baik: maka pada 1964, P. K. I. mulai melancarkan
“ Aksi Sepi hak “ unt uk memaksakan pelaksanaan Undang-Undang
Land Ref orm dan Bagi Hasil 1959/ 1960, perombakan hak milik,
dan sewa t anah yang agak lunak. (Mengenai kont eksnya lihat
Mort imer, 1972). Tapi, saat yang dipilih unt uk gerakan ini sangat
buruk, sebab hyperinf lasi j ust ru mengakibat kan orang ramai-ramai
melepas uang kont an, j adi, kalangan yang cukup berada haus akan
t anah dan kalangan pemilik t anah bersikeras mempert ahankan
miliknya. Dalam kelompok t ersebut pert ama t erdapat banyak
pej abat sipil dan milit er, sedang di ant ara kelompok t uan t anah
banyak sekali t okoh-t okoh elit daerah dari part ai N. U. dan P. N. I.
(lihat Mort imer, 1972, Lyon, 1971, Rocamora, 1974). Maka kemelut
kekerasan ant i P. K. I. berkecamuk beberapa bul an menj el ang
pecahnya G30S yang di pi m pi n l et kol . Unt ung. Hal m ana
mempersiapkan medan bagi pimpinan TNI/ AD unt uk menggerakkan
pembant aian 1965-66, yang akhirnya menyeret seluruh t at anan
Demokrasi Terpimpin—dan kemudian j uga Sukarno—t enggelam ke
dalam sej arah.
III. SUHARTO, APARAT NEGARA DAN HALUAN ORDE BARU
Bagian t erakhir karangan ini mengaj ukan argumen bahwa t at anan
Orde Baru dipahami sebagai suat u kebangkit an kembali lembaga
| 22 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
negara dan kemenangan t erhadap kekuat an masyarakat dan bangsa.
Dasar-dasar kemenangan negara t erlet ak pada penghancuran f isik
P. K. I. dan sekut u-sekut unya, penindasan gerakan-gerakan dari
t engah masyarakat , pembersihan aparat negara (Orde Lama
Baju Orde Baru*
B. R. O. G.
Ander s on
Dewasa ini, pada zaman yang mengenal lembaga-lembaga sepert i
Perserikat an Bangsa-Bangsa (Unit ed Nat ions), barangkali t erlalu
bersahaj a unt uk mengart ikan kat a “ bangsa“ sebagai ist ilah mudah
unt uk mengungkapkan konsepsi „ negara-modern, “ dan dengan
demikian, mel upakan sel aput t ipis yang menghubungkan dua
konsep yang sebenarnya sangat berlainan, yait u, “ bangsa“ ( nat ion)
dan “ lembaga negar a-moder n berdasarkan asas kesat uan bangsa“
( nat i on- st at e ) . Padahal , kedua konsep i ni m asi ng- m asi ng
mempunyai ci r i -ci r i kesej ar ahan, i si , ser t a „ kepent i ngankepent ingan“ yang berbeda. Dan, dengan meninj au sepint as pun
dapat kit a lihat bahwa perkawinan kedua konsep t ersebut baru
t erj adi pada masa mut akhir, dan wuj ud perpaduannya seringkali
t idak serasi. Sampai 1914, misalnya, bent uk “ negara“ berupa
keraj aan-dinast ik masih “ galib“ di mana-mana: “ negara“ yang
demikian bukan dit ent ukan oleh persamaan bahasa, adat -ist iadat ,
kenangan umum, t apal-bat as permanen, melainkan dibent uk oleh
pusat -pusat monarki; karena it u, kaisar-kaisar yang berkuasa di
Rusia, Tiongkok, dan Inggris, misalnya, menyebut diri sebagai
“ Tsar dari Rakyat Rusia, “ “ Put ra Langit , “ “ Gerbang yang Sahdu“
dan “ Rat u Seluruh Inggris dan Hindia.“ Kebanyakan negara-modern
yang ada dewasa ini (nat ion st at e), “ lahir“ dalam kurun-wakt u
sej ak 1800 hingga, kat akanlah, 1975, dari t engah kemelut sengket a
besar-besaran ant ar a berbagai “ bangsa, “ yait u, ket ika “ bangsabangsa“ it u bermunculan dalam bent uk gerakan-gerakan solidarit as
masyarakat yang bergerak di luar aparat negara, at au, dalam
*
Diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative
Historical Perspective,” dalam Journal of Asian Studies, Vol. XLIII, no. 3, May 1983,
hal. 477-496.
bent uk “ negar a-negar a“ di nast i k at au kol oni al . Jadi , bol eh
dikat akan, kebanyakan bangsa pada masa muda belianya, t idak
mengalami kehidupan-bernegara-modern.
Sebaliknya, kebanyakan (aparat ) negara modern menurut riwayat
asal-usulnya, berumur lebih t ua daripada bangsa-bangsa yang kini
mer eka hi mpun menj adi t empat l embaga negar a ber pi j ak.
Kebenaran pendapat ini dapat dit erangkan dengan cont oh-cont oh
keganj ilan (anomali) menarik yang ada dewasa ini. Misalnya,
pemerint ahan “ revolusioner“ dan “ sosialis“ di Uni Soviet dan di
Rep u b l i k Rak yat Ti on gk ok , t i d ak m er asa j an ggal u n t u k
menyelesaikan sengket a perbat asan dengan menghimbau pet apet a dan perj anj ian-perj anj ian kuno yang dulukala dicipt akan oleh
dinast i absolut Romanov dan dinast i “ f eodal“ Chi’ ing dari zaman
Manchu. Begit u pula, ada selusin kasus negara bekas j aj ahan yang
menj alankan haluan polit ik luar-negeri yang t ernyat a serupa dengan
yang d i j al ank an ol eh p em er i nt ahan k ol oni al , sek al i p un
“ kepent ingan-kepent ingan nasional“ (dari dalam masyarakat selaku
sat u bangsa) yang bert olak-belakang, secara f ormal diwakili dalam
bent uk negara-modern. (Lihat misalnya st udinya Maxwell yang
cermat dan j eli mengenai polit ik luar negeri India set elah merdeka
t erhadap soal perbat asan Ut ara, 1970). Selain it u, kit a ket ahui
pula bahwa di kebanyakan negara modern di Dunia Ket iga (dan
j uga di benua lain, walau kurang begit u j elas), t erdapat j ej akj ej ak
dan gubahan dari warisan bent uk negara lama (negara kolonial)
yang masih t ampak j el as sekal i: yait u, dal am ihwal st rukt ur
organisasi pembagian f ungsi dan personalia penyelenggara negara
sert a pelembagaan kenangan umum dalam bent uk berkas-berkas
administ rasi dan arsip, dan lain sebagainya.
Tak pelak lagi, pencampurbauran ( conf l at i on) ant ara bangsa dan
negara yang t erj adi masa kini, t imbul karena dua perkembangan
berikut yang menj urus ke arah yang sama. Yait u, di sat u pihak,
berkembang suat u komunit i nasional, suat u kehidupan (ber)bangsa
yang merupakan komunit i yang “ imagined , “ at au cit ra kehidupan
yang dibayangkan (namun samasekali bukan “ i magi nar y“ at au
khayalan). Dalam gagasan ini, set iap bangsa (set iap cit ra nasional),
| 2|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
dengan legit imasi (keabsahan) sert a hak menent ukan-nasib-sendiri
yang t elah menj adi kaidah-kaidah yang dit erima dalam kehidupan
modern, kemudian mengukur dan mewuj udkan hak ot onomi
modern it u dengan “ mencipt akan“ sebuah lembaga negara “ -nya
sendiri. “ Di lain pihak, oleh karena harus hidup dengan bert umpu
pada t unt ut an-t unt ut annya t erhadap t enaga-kerj a, wakt u dan
kemakmuran masyarakat , maka negara-modern ini t idak dapat
mengabsahkan eksist ensinya hanya berdasarkan t unt ut an-t unt ut an
t er sebut . Akan t et api , l embaga negar a dapat ber anj ak dar i
kenyat aan bangsa (adanya aspirasi bangsa dalam masyarakat luas)
sebagai landasan keabsahan modernnya.
Dengan demi ki an, negar a-moder n ( nat i on-st at e) mer upakan
sebuah ramuan at au perpaduan ‚ aneh’ dari f iksi-f iksi yang absah,
di sat u pihak, dan bent uk-bent uk ket idakabsahan yang konkrit ,
di lain pihak (Anderson, 1983). Pencampurbauran ini semakin
mudah t erj adi, karena „ negar a“ adalah konsep licin yang mudah
membingungkan t eori polit ik dan sosiologi polit ik. Mudah sekali
unt uk merusak konsep ini dengan membakukannya menj adi sebuah
f iksi-l egal , at au sebuah badan kumpul an orang (“ birokrasi“ ).
Padahal, negara harus diart ikan sebagai sebuah l embaga, sepert i
halnya, misalnya, gerej a, universit as dan perusahaan modern.
Sepert i organisasi-organisasi ini, negara dalam proses hidupnya
j uga menyerap, membina dan menendang personalia seringkali
unt uk kurun wakt u panj ang. Ciri-ciri lembaga yang demikian ialah
adanya kai dah-kai dah yang per si s, bai k unt uk per syar at an
penerimaan personalia—dalam hal umur, pendidikan dan sering
j uga seks—maupun unt uk akhir masa j abat an, yait u, saat melepas
wewenang. Yang j uga menarik sekali dalam cara bekerj a lembagalembaga ini ialah perput aran t erus-menerus dar i dal am pucuk
pimpinan (presiden direkt ur, pemuka gerej a, t okoh akademi,
pej abat yang lain, dll. ). Dan, sepert i lembaga yang lain, negara,
selain menyimpan kenangan umum, j uga mengandung hasrat -daridalam unt uk melest arikan-diri dan menegakkan kebesaran-diri;
hasrat ini pada suat u saat dapat “ t erungkap“ mel al ui peran
personalianya, namun t idak dapat dianggap sekedar perwuj udan
|3|
ambisi-ambisi pribadi personalia yang kebet ulan berperan.
Dengan kondisi l embaga-modern yang demikian, maka dapat
diduga, dalam kenyat aannya, negara-negara-kebangsaan akan
menj alankan kebij aksanaan yang merupakan sebuah paduan yang
berubah-ubah dari dua j enis kepent ingan umum, yang dapat kit a
sebut “ kepent ingan negara“ dan “ kepent ingan bangsa“ ; keduanya
p ant as d i p and ang m asi ng- m asi ng seb agai “ k ep ent i ngan
represent at if “ dan “ kepent ingan part isipat oris. “ Jadi, dapat kit a
gambarkan semacam spekt rum yang menghubungkan dua kut ub,
at au dua sit uasi yang berbeda. Ini adalah variasi dari pembedaan
menarik yang dikembangkan dengan daya-imaj inasi oleh Alers
(1956). Salah sat u sit uasi yang demikian ialah kondisi pendudukan
at au penj aj ahan, misal nya ket ika Perancis diduduki Jerman,
Jepang diduduki Amerika, at au “ Indonesia“ dij aj ah Belanda dan
“ Viet nam“ dij aj ah Perancis. Dal am kasus-kasus ini, l embaga
“ negara“ t et ap menj alankan f ungsi-f ungsi modernnya sepert i:
memungut paj ak, menyaj ikan j asa-j asa administ rat if , mencet ak
uang, mengat ur proses peradil an, dsb. , sedangkan sebagian
t erbesar pegawai at au penyelenggara „ negara“ ialah orang-orang
“ pribumi. “ Pat ut dicat at , bahwa kondisi-kondisi ini sama sekali
t idak dengan sendirinya menj amin t ingkat kesej aht eraan yang
bagaimanapun dari penduduk yang dikuasai. Di bawah pendudukan
Amerika Serikat , masyarakat Jepang mengalami suat u kebangkit an
yang mengagumkan dar i pui ng-pui ng per ang, dan t ak dapat
di bant ah, bahw a dal am i hw al -i hw al t er t ent u, r ezi m-r ezi m
kolonial di Indonesia dan Viet nam t urut menyumbang kemaj uan
b agi p end ud uk yang d i j aj ah. Nam un j el as p ul a, b ahw a
kepent ingan-kepent ingan “ nasional “ yang part isipat oris (dari
penduduk set empat ) hampir sepenuhnya diabaikan at au dit indas.
Sedang kut ub at au sit uasi lain dari spect rum di at as ialah sit uasi
pada awal mula revolusi, yait u ket ika lembaga negara t engah
ber ant akan dan pusat -kuasa dengan t egas ber al i h ke pi hak
or gani sasi -or gani sasi di l uar negar a yang di bent uk mel al ui
penggalangan massa secara sukarela.
Ap ab i l a m e m an g d e m i k i an d u a k u t u b n y a, m ak a, h asi l
| 4|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
kebij aksanaan dari negara-negara-kebangsaan modern lazimnya
(dengan kekecualian sit uasi yang ist imewa) akan mencerminkan
sebuah pergeseran lembaga ant ara dua j enis “ kepent ingan yang
digambarkan di at as. Menurut pendapat saya, kerangka ini berguna
unt uk mengembangkan sebuah pemandangan dalam menaf sirkan
kehi dupan pol i t i k m oder n di Indonesi a. Khususnya, saya
berpendapat bahwa hasil-hasil kebij aksanaan negara “ Orde Baru”
(sej ak seki t ar 1866 sampai ki ni ) dapat di pandang sebagai
perwuj udan maksimal dari j enis kepent ingan negara; dan daya
l aku ar gument asi i ni dapat di uj i dengan meni nj au sej ar ah
kehidupan (ber)negara di Indonesia. Tuj uan t ulisan ini bukanl ah
pert ama-t ama unt uk menimbang unt ung-rugi dari berbagai rezim
y an g si l i h - b e r gan t i b agi p e n d u d u k , m e l ai n k an u n t u k
mengembangkan sebuah kerangka pemikiran yang cocok bagi st udi
perbandingan yang hist oris.
I. NEGARA KOLONIAL SEBAGAI NENEK- MOYANG APARAT
NEGARA-MODERN
Tanggal lahir negara “ Indonesia” konon masih diperdebat kan oleh
para sarj ana, namun t empat kelahirannya sudah j elas: yait u, kot a
pelabuhan Bat avia (Bet awi) yang menj adi markas-besar Keraj aan
Dagan g Kom p en i at au V. O. C. ( Ver eeni gd e Oost i nd i sch e
Compagni e) di Nusant ara pada awal abad ke-17. Dari sudut
pandang pusat nya di Amst erdam, V.O.C. kelihat annya sepert i suat u
usaha bisnis, (dengan laba variabel), namun dari segi kegiat annya
di Nusant ara, boleh dikat akan sej ak awal mulanya ia t ampil selaku
sebuah l embaga negar a: yai t u, menyel enggar akan t ent ar a,
perj anj ian, paj ak, menghukum para pelanggar hukum, dll. Bahkan
dikala masih berbent uk benih, negara ini j uga t elah mencurahkan
perhat ian besar unt uk menggalakkan kej ayaan polit ik dengan
memperluas wilayahnya, hal mana sangat j auh dari kepent ingan
meraih keunt ungan dagang (lihat misalnya Boxer, 1965: 84-97).
Ket ika V. O. C. secara resmi digant ikan oleh pemerint ahan Keraj aan
Belanda pada wal abad ke-19, hasrat -hasrat polit ik t ersebut t et ap
nampak j elas. Dan, memang, Indonesia sebagaimana kit a kenal
|5|
dewasa ini merupakan hasil cet akan dari perluasan kekuat an polit ikmilit er yang luar biasa dari ibukot a Bat avia pada masa 1850-1910
(Vlekke, 1959: bab 14, “ The Unif icat ion of Indonesia” ). Dipandang
dari segi keunt ungan ekonomis, malahan j uga dari segi sekurit i
milit er, t indakan perebut an dan penaklukkan wilayah it u banyak
y an g k u r an g m asu k ak al . 1 Beber apa di ant ar anya m al ah
mengakibat kan negara bangkrut . Seringkali, keput usan-keput usan
yang menent ukan diambil di Bat avia, bukan di Den Haag, dan
dengan alasan-alasan ( r aison d’ est at ) yang sif at nya lokal. Sebuah
cont oh bagus ialah Perang Aceh, 1873-1903 (Vlekke, 1959, hal.
320-1).
Pada 1910, dengan mengandalkan kekuat an milit ernya sendiri,
yai t u ‘ Koni nkl i j k Neder l andsch-Indi sch Leger ’ (sel anj ut nya
disingkat K. N. I. L. ), negara kolonial berhasil mencanangkan “ r ust
en orde” (ket ent raman dan ket ert iban, at au dalam ist ilah sekarang:
kamt i b: keamanan dan ket er t i ban) di sel ur uh wi l ayah yang
dikuasainya; sebuah sist em pengendalian-kuasa yang t idak pernah
t ergoyahkan, dan baru hancur dalam beberapa pecan pada 1942
ket ika diserbu t ent ara Jepang. Bila ekspansi horizont al pada awal
abad ini berakhir, dalam hal ekspansi vert ikal yang t erj adi adalah
kebalikannya. Dengan dilaksanakannya “ kebij aksanaan Et ika, ”
aparat negara mengal ami perl uasan besar-besaran yang j auh
merasuki kehidupan masyarakat set empat , dan f ungsi kepej abat an
berkembang-biak. 2 (Mengenai proses ini, st udi yang klasik adalah
karya Furnival l , 1944). Pendidikan, kegiat an rel igius, irigasi,
perbaikan pert anian, peningkat an kebersihan (hygini), eksploit asi
pert ambangan dan pengawasan polit ik, ini semua semakin menj adi
kegiat an pemerint ahan negara yang semakin luas. Dan perluasan
1
Dalam artian ini, usaha pencaplokan Timor Timur setelah serbuan pada 7 Desember
1975 merupakan garis kelanjutan dari pelebaran wilayah rezim kolonial.
2
Hasilnya dilukiskan dengan tepat dalam Rumah Kaca, karya dengan judul bergaya
Foucault (saya belum terbit), jilid ke 4 dari empat karya besar Pramoedya Ananta Toer
mengenai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sebuah pandangan tajam akan suasana
ketika birokrasi “rumah kaca” kolonial ini tengah dibangun, dapat ditemukan dalam
Onghokham, 1978.
|6|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
ini berlangsung bukan pert ama-t ama karena menanggapi t unt ut ant unt ut an organisasi masyarakat di luar negara, melainkan karena
desakan hasrat dari dalam lembaga negara.
Apakah lat ar belakang penggalakan aparat ini? Jawabnya akan
j elas bila kit a t engok kebij aksanaan perpaj akan dan personalia
pemerint ahan ket ika negara colonial semakin mapan. Pada 1928
t ahun t erbaik sebelum Depresi t iba, pendapat an negara berkisar
sekit ar 10%dari masing-masing monopoli negara dalam pembuat an
garam, pegadaian dan penj ualan opium (yang harga j ualnya 10
laki lipat harga di pasar t erbuka di Singapura, lihat misalnya Rush,
1977: hal 278); 20%dari keunt ungan perusahaan-perusahaan milik
negar a dalam bidang pert ambangan, perkebunan dan indust ri;
16% dari bea cukai; 19% dari paj ak usaha; 6% dari penyewaan
t anah; dan 9% dari paj ak pendapat an. Sisanya t erdiri dari hasil
berbagai pungut an dan paj ak-paj ak t idak langsung yang regresif
(Dat a di at as berdasarkan dat a dalam Van den Bosch, 1944: hal.
290- 305) . Ji ka ki t a i ngat bahw a per ekonom i an m asa i t u
menghasilkan produk-produk dunia yait u: 90% unt uk kina, 80%
unt uk merica, 37%unt uk karet , dan 18%unt uk t imah—belum lagi
hasil produksi minyak—, maka j elas bahwa sumber kekuat an negara
kol oni al pada masa mat angnya—seper t i negar a V. O. C. yang
mendahuluinya—sebagian t erbesar bert umpu pada kegiat an sendiri
yang bersif at monopolist is sert a pada eksploit asi secara t epat guna dari berbagai sumberdaya alam dan manusia set empat .
Unt uk sisi lain dari gambaran ini, kit a harus melihat pola anggaran
belanj a negara. Pada 1931, t i dak kur ang dar i 50% pengeluaran
negara dihabiskan unt uk membiayai aparat negara (Van den Bosch,
1944: hal. 172). Salah sat u sebabnya ialah, karena negara Hindia
Belanda mendat angkan banyak sekali pej abat dari Eropa, yait u
sebesar 9 kali lipat proporsi pej abat kolonial Inggris di India (di
luar daerah-daerah ist imewa yang diperint ah oleh “ orang-orang
pribumi“ ) dibanding dengan j umlah penduduk set empat masingmasing (Van den Bosch, 1944: hal . 173). (Namun ini adal ah
perkembangan belakangan, sebab pada 1865, hanya t erdapat
sebanyak 165 pej abat ket urunan “ Eropa“ bagi 12 sampai 13 j ut a
| 7|
penduduk di Jawa, (lihat Fasseur, 1975: hal. 9). Namun demikian,
ket ika it u pun j umlah pej abat Eropa hanya sekit ar 10%dari seluruh
aparat negara. Pada 1928, j umlah pej abat ket urunan pribumi yang
digaj i negara hampir mencapai seper empat j ut a orang (Van den
Bosch, 1944: hal. 171), dengan kat a lain, 90%dari birokrasi negarakolonial t erdiri dari “ orang-orang Indonesia, “ dan negara ini t ak
mungkin berf ungsi t anpa peransert a mereka. Sit uasi ini, sepert i
dit ulis oleh Benda, merupakan t ahap t erakhir dari proses panj ang
sej ak pert engahan abad ke-19, yang menyerap dan mencengkeram
berbagai lapisan penguasa pribumi (kebanyakan orang Jawa) ke
dalam mekanisme beamt enst aat , yait u, sebuah aparat negar apej abat yang semakin digariskan dan dikendalikan dari pusat
pemerint ahan kolonial set empat . (Mengenai birokrasi t erit orial
pej abat Jawa lihat st udi bagus oleh Sut herland, 1979).
Apar at kepej abat an yang konon bagai kan kandang besi i ni ,
kemudian mendekat i kehancuran akibat pemerint ahan pendudukan
milit er Jepang selama 3½ t ahun (Maret 1942 s/ d Agust us 1945).
Pert ama, keut uhan wilayah kolonial kini berant akan. Pulau Jawa,
Sumat era dan Indonesia Bagian Timur diperint ah t ersendiri, masingmasing oleh t ent ara Jepang divisi ke-16 dan ke-25 dan oleh sebuah
cabang dari marine Jepang. Kebij asanaan yang dij alankan di set iap
zona berl ain-l ainan, sedikit sekal i hubungan administ rat if di
ant aranya, apalagi perput aran personalia ant ar zona nyaris t ak
ada. Kedua, sebagai akibat pembagian zona pemerint ahan dan
runt uhnya perekonomian kolonial yang berorient asi ekspor di masa
perang, maka sumber-sumber daya negara t erkuras, dan, dengan
demikian, disiplin keuangan pun merosot . Di Jawa, penguasa
mi l i t er menghadapi kr i si s i ni dengan mencanangkan si st em
pungut an barang, kerj apaksa, dan mencet ak uang t erus-menerus
secara gegabah. Inf lasi yang menggila ( hyper i nf l at i on) membuat
gaj i pegawai t idak berart i, sedang gej ala korupsi sebagai ef ek
demoralisasi dengan cepat menj alarke seluruh bagian aparat
negara. Ket iga, daya-kerj a mekanisme negara secara drast is
dirongrong oleh berbagai f akt or, yait u, digant ikannya para pej abat
kolonial Belanda yang t elah makan garam oleh orang-orang Jepang
|8|
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
yang relat if kurang pengalaman, dan oleh orang-orang Indonesia
yang t i ba-t i ba di pr omosi kan, t i mbul kekacauan kehi dupan
masyarakat dan berkurangnya sumber kebut uhan hidup akibat
sit uasi perang. Akhirnya, kebij aksanaan pemerint ah-pendudukan
yang sangat ganas dan menindas di belakang hari menimbulkan
kebencian rakyat , dan perasaan benci ini t erut ama diarahkan
kepada para pej abat pribumi (pamongpraj a) yang makin dianggap
sebagai kaum pengkhianat ibu pert iwi. Jadi, dengan t akluknya
Jepang pada bulan Agust us 1945, maka di berbagai t empat di
Jaw a d an Sum at er a, l em b aga negar a nyar i s m engi l ang,
kekuasaannya pudar dihadapan berbagai gerakan rakyat yang
bermunculan. (Anderson, 1972: bab 6, 7 dan 15). Sedang di bagian
lain dari “ Indonesia, “ f ragmen-f ragmen dari aparat beamt enst aat
yang lama (Hindia Belanda), berlangsung t erus sesuka sendiri.
II. NEGARA DAN KEKUATAN MASYARAKAT, 1945-1965
Pada 17 Agust us 1945, dua t okoh polit ik nasionalis yang t ermasyhur,
yait u Sukarno dan Hat t a, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dalam suat u upacara singkat di pekarangan di depan
rumah pribadi Sukarno di Jakart a. Apabila boleh disebut punya
“ kedudukan resmi, “ kedudukan mereka saat it u hanyalah selaku
Ket ua dan Wakil Ket ua Panit ia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
sebuah badan yang dibent uk t ergesa-gesa oleh Jepang beberapa
hari sebelumnya. Pada hari berikut nya, dua puluh orang anggot a
panit ia it u “ memilih“ Sukarno unt uk menempat i suat u kedudukan
yang sama sekali baru, yait u kepresidenan. Dengan demikian,
Sukarno secara f ormal menyat ukan kepemimpinan bangsa yang
baru ini dengan kepemimpinan dari suat u lembaga negar a yang
l ama (Ander son, 1972: bab 4). Maka, unt uk per t amakal i nya
kepem i m pi nan negar aki ni di r um uskan dal am m akna yang
r epr esent at i f ; bahwasanya set el ah it u Sukarno t idak pernah
menyelenggarakan pemilihan presiden, hal ini t idak merubah art i
bahwa pucuk negara yang dipimpinnya ini mengandung makna
represent at if .
Per i st i wa pr okl amasi i t u sendi r i secar a f i si k maupun pol i t i s
|9|
berlangsung di l uar l i ngkup negar a, dan hal ini secara simbolis
m engi ngat k an k i t a ak an k ar i r t er d ahul u Suk ar no, yang
keseluruhannya dibangun melalui penggalangan kekuat an rakyat
(gerakan nasional), dan melalui oposisi berkurun panj ang melawan
negara kolonial. Sukarno t idak pernah menj adi pej abat di dalam
pemerint ahan negara kol onial , ia diint ai, dit angkap, diadil i,
dipenj ara dan diasingkan (selama hampir 11 t ahun) oleh mat amat a, polisi, hakim dan pej abat penguasa negara it u (Legge,
1972, khusus bab 5 dan 6). Dan di kalangan mereka yang mengint ai,
menangkap sert a mengucilkannya—belum lagi yang dengan gigih
merusak pekerj aan polit iknya semasa ia masih bebas—adalah
orang-orang „ Indonesia“ yang t urut dalam aparat negara it u.
Selama empat t ahun gej olak Revolusi (1945-49) yang kemudian
menyusul, sebenarnya ada dua lembaga negara yang berf ungsi di
Nusant ara: Republik yang masih j abang bayi dan Hindia Belanda
yang hendak kembali. Walau diperlemah oleh kedudukan NAZI
Jerman semasa perang dan oleh kehancuran ekonomi, Negeri
Belanda saat it u mempunyai kekuat an milit er maupun sumber dana
yang t oh masih j auh lebih besar daripada kekuat an nasionalis
Indonesia. Pada akhir 1946, Belanda berhasil menguasi seluruh
kawasan Nusant ara bagian t imur, dan pada t ahun berikut nya prakt is
menduduki semua daerah ut ama penghasil komodit i ekspor di
Jawa dan Sumat era. Dengan kekuat an aparat ‚ beamt enst aat ’ -nya.
Menyusul “ Aksi Pol i si oni l “ kedua yang di l ancar kan pada 19
Desember 1948 negara kolonial berhasil merebut kot a-kot a pent ing
dan menawan Sukarno, Hat t a dan pucuk pimpinan Republik yang
lain (Kahin, 1952; Alers, 1956; Reid, 1974).
Negara Republik yang menandingi aparat negara kolonial, sej ak
mulanya memang lemah dan semakin lemah t ahun demi t ahun.
Sebagian personalia yang diwarisi Republik dari negara lama secara
pol i t i s t i dak dapat di andal kan dan ser i ng di cur i gai , sedang
per sonal i a bar u memasuki j enj ang di dal am negar a secar a
kebet ulan; mereka ini t ampil selaku “ pej uang revolusi“ t anpa
pandangan, pengal aman dan keahl ian yang bergaya pej abat
( beamt en ) negar a. Ti dak sedi ki t dar i m er eka m enem pat i
| 10 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
kedudukan di dalam negara t anpa pernah membayangkan akan
menempuh karir kepej abat an di masa depan. Maka kohesi at au
ket erikat an di dalam t ubuh negara Republik sebenarnya t idaklah
t angguh dan kemiskinan masyarakat makin memperlemahnya.
Sej auh negara (lama) mempunyai cit ra berwibawa, ot orit as ini
sebagian besar diperolehnya berkat peran bekas musuhnya, yait u,
pemimpinpemimpin nasionalis. 3 Para pemimpin ini pada gilirannya
kini berkepent ingan unt uk mengamankan aparat negara karena
t i ga al asan t akt i s: per t ama, mer eka i ngi n sej auh mungki n
menj auhkan negara “ Beamt enst aat “ dari pengaruh Belanda, karena
aparat ini dianggap lebih berguna bagi musuh daripada bagi mereka
sendiri, kedua, aparat negara it u kadangkala berguna dalam rangka
pert arungan-kuasa di dalam kalangan mereka sendiri, dan ket iga,
mereka bert ekad memperoleh pengakuan int ernasional sebagai
suat u bangsa yang berdaulat , sedang pengkuan demikian hanya
diberikan kepada bangsa-bangsa yang mempunyai aparat negara.
Jadi, ket ika Bel anda akhirnya t erpaksa mengakui kekal ahan,
penyebabnya yang ut ama bukan t erlet ak pada peran lembaga
Republik. Fakt or ut ama ialah adanya perlawanan rakyat yang
sifat nya sangat lokal, t erut ama di Jawa dan Sumat era, sebagaimana
t erungkap dalam gerak aneka ragam organisasi polit ik dan milit er
di luar negara, yang dihimpun, dibiayai dan dipimpin oleh kekuat an
masyarakat di pelbagai t empat (ini semua dilukiskan dengan indah
dalam karya A. Kahin, 1979). Yang mengkait kan berbagai gerakan
perlawanan ini bukanlah suat u lembaga negara, melainkan sebuah
pandangan bersama unt uk mewuj udkan suat u bangsa yang bebas
dan merdeka. 4 Selanj ut nya, pihak Belanda makin let ih perang
3
Lihat Anderson, 1972: 113-4, untuk sebuah penjelasan mengenai perundingan yang
berat sebelah antara para pemimpin nasionalis dengan wakil-wakil pucuk negara pada
30 Agustus 1945, dan lihat bab 15 untuk sebuah analisa mengapa pamor Sukarno dan
para pembantu sekitarnya turut membantu menghidupkan kembali wibawa bekas
aparat resmi kolonial.
4
Keadaan ini dapat dilambangkan dengan peranan Aceh. Aceh, daerah yang setelah
merdeka pertama kali memberontak karena memprotes campur-tangan Jakarta (1953)
ini, pada masa Revolusi menjadi pusat perjuangan yang paling rela berkorban, pernah
dengan sukarela menyumbang uang dalam jumlah besar kepada penguasa Republik di
| 11 |
dan mengalami t ekanan berat di bidang diplomat ik dan keuangan
dar i Am er i ka Ser i kat . Hal i ni t ur ut m endor ong t i m bul nya
perubahan dramat is, hingga pada akhir 1949, Belanda secara resmi
menyerahkan kedaulat an ke t angan Republik Indonesia Serikat
(R. I. S. ) yang menghimpun berbagai negar a di Nusant ara.
R. I. S. , l embaga baru ini, di dunia l uar mendapat pengakuan
int ernasional, t api di dalamnya, sebenarnya merupakan sebuah
campuran yang rawan ant ara dua lembaga negara yang selama
empat t ahun sebelumnya bermusuhan—rawan, baik dalam kekuat an
milit ernya maupun dalam birokrasi, perundang-undangan yang
muda, dalam kemampuan sumber keuangannya yang ant ara lain
dibebani warisan hut ang H. B. sebesar 1. 130 j ut a dollar Amerika
(G. Kahin, 1952: 433-53), dan rawan karena warisan berbagai
kenangan yang t elah melembaga. R.I.S. t erbelah dalam dua aparat
negara, sisa Hindia Belanda (H. B. ) dan Republik. Di dalam R. I. S. ,
kedua belahan ini mempunyai kelemahan masing-masing. Belahan
“ H. B. ” secara polit ik cemar oleh noda persekongkolan dengan
Belanda, dan sekaligus kehilangan int i kekuat an pemerint ahan
H. B. Sedang belahan “ Republik“ belum pulih dari kehancurannya
selama 1948-49. Dan pada 1950, ket ika negara f ederal R. I. S.
dirubah menj adi negara kesat uan Republ ik Indonesia, akibat
desakan dan agi t asi kekuat an di dal am masyar akat , maka
kerawanan it u pun t et ap melanda lembaga-negara campuran ini.
Maka cukup beralasan unt uk mengat akan dengan mudah, bahwa
sist em demokrasi parlement er bisa hidup sampai sekit ar 1957,
karena memang t ak mungki n ada bent uk r ezi m l ai n sebagai
al t er nat i f . Karena t ak ada birokrasi sipil yang t angguh, t ak ada
part ai sipil yang t angguh, t ak ada part ai polit ik yang dominant
pada t ingkat nasional, dan t ak ada angkat an bersenj at a professional
dan t erorganisasi-sent ral (t ak ada j uga “ indust ri” yang menopang
mariner dan angkat an udara unt uk mengendalikan seluruh Nusant ara)
yang berpot ensi mengambil alih kuasa negara. Dengan demikian,
Jawa yang ketika itu sangat membutuhkan uang (tapi tak punya aparat negara untuk
memungut pajak).
| 12 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
sist em demokrasi parlement er yang menandaskan perwakilan
rakyat dan menyaj ikan ruang bagi kegiat an organisasi polit ik di
luar negara, boleh dikat a “ cocok” dengan sit uasi yang menggej ala,
yait u, kehidupan masyarakat dan bangsa l ebih berbobot dan
mendesak kehidupan aparat negara.
Dengan él an (semangat ) perj uangan kemerdekaan yang makin
pudar dan t enggelam ke dalam kenangan, maka kelemahan negara
makin menyolok dan t ampak dalam t iga demensi: milit er, ekonomi,
dan administ rasi pemerint ahan.
Kelemahan sisi milit er t ampak pada 1950, ket ika permusuhan ant ara
dua komponen milit er dari lembaga campuran t adi, pecah menj adi
pert empuran ant ara bekas t ent ara Republik lawan bekas t ent ara
K. N. I. L. Ini t er j adi di Jawa dan di Sul awesi , dan kemudi an
menimbulkan usaha separat is “ Republik Maluku Selat an” (lihat
penj elasan Feit h t ent ang “ Kasus West erling” di Jawa Barat dan
“ Kasus Andi Aziz” di Sulawesi Selat an, dalam bukunya, 1962: 62,
66-68). Tidak l ama kemudian, berkecamuk apa yang disebut
“ pemberont akan daerah,” t erut ama di kawasan-kawasan yang dulu
menj adi basis kekuat an t ent ara Republik. Akhirnya, pada 1958,
berkobar perang saudara besar-besaran ant ara Republik Indonesia
dan P. R. R. I. / Permest a, yang dipimpin oleh beberapa t okoh milit er
dan polit ik yang t erkenal di masa revolusi. Kesemua sengket a ini
dimungkinkan, oleh karena Revolusi di t ahun-t ahun sebelumnya
diperj uangkan oleh kekuat an-kekuat an gerilya yang sif at nya local
dengan st af pimpinan yang kecil, t idak berpengalaman kemilit eran
dan hanya mengandalkan wibawa moral t ert ent u. Alhasil, uj ungekornya sepert i yang t erj adi di Birma sej ak usai perang: negara
Indonesia yang t elah merdeka selama bert ahun-t ahun t ak mampu
mencanangkan kendal i mil it ernya di sebagian besar wil ayah
negara.
Pada si si ekonom i , negar a t i dak saj a har us m enghadapi
perekonomian yang guncang akibat perang dan revolusi, t api j uga
d i b e b an i w ar i san h u t an g y an g b e sar, d an t ak m am p u
menyelenggarakan pemungut an paj ak yang efekt if. Tambahan pula,
| 13 |
sampai 1957, perusahaan-perusahaan raksasa Belanda, yait u “ Lima
Besar, ” t et ap mendominasi sebagian besar sect or pendapat an
negara dan perhubungan laut . Indust ri perminyakan berada di
t angan Belanda, Amerika dan Inggris. Maka t idak mengherankan,
perkembangan perekonomian negara pascakolonial ibarat sinar
pelit a yang redup.
Pada sisi administ rasi negara, ket angguhan dan disiplin aparat
birokrasi sipil yang t elah runt uh, melanj ut kan proses ini selama
t ahun 1950-an. Unt uk sebagian, hal ini merupakan akibat dari
permusuhan ant ara dua belahan dalam aparat negara campuran
pasca-1950. Unt uk sebagian lagi, karena kenangan akan gej olak
nasib pamongpraj a selama Revolusi (main pecat , culik, dan bunuh)
melemahkan semangat kerj a dan mendorong sikap pasif demi
perlindungan diri sendiri. Namun, yang paling pent ing adalah gej ala
penet rasi (perasukan pengaruh) masyarakat ke dalam lembaga
negara. Konon, kalangan orang yang pada masa kolonial dij auhkan
dari f ungsi dan j abat an di dalam beamt enst aat , sudah semenj ak
masa Revolusi mengambil-alih posisi t ersebut : kiyai-kiyai t ua
menj adi pegawai kecamat an, muda-mudi menyelenggarakan j asaj asa umum berupa pelayanan kesehat an dan kenyediaan pangan,
orang-orang but a-huruf menj adi komandan milit er di desa-desa,
dsb. Unsur-unsur masyarakat ini “ memasuki” lembaga negar a,
namun kait an dasar dan loyalit as mereka t et ap bert umpu pada
bangsa, kelompok ideologis, organisasi paramilit er, komunit as
desa-desa, dan lain sebagainya. Proses penet rasi ini berkelanj ut an
set el ah 1950, per t ama-t ama mel al ui par t ai -par t ai pol i t i k.
Membangun suat u part ai yang berlingkup nasional di t engah bangsa
yang j umlahnya sekit ar 100 j ut a orang, t ent u saj a akan menelan
bi aya besar. Akan t et api , par a pem i m pi n pol i t i k saat i t u
menganggap cara yang murah adalah mengikut sert akan para
pendukungnya ke dalam berbagai f ungsi di dalam aparat negara.
Dengan demikian, birokrasi sipil membengkak, dari sekit ar 250
ribu pada 1940, menj adi sekit ar 2½ j ut a pegawai negeri pada
1968—kenaikan sepuluh kali lipat dalam kurun sat u generasi saj a
(Emmerson, 1978: 87). Suat u negara yang perekonomiannya lemah
| 14 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
t ent u t idak berdaya menggaj i secara memadai para pegawai
birokrasi yang menggelembung ini, apalagi unt uk menj aga t araf
disiplin t ert ent u. Akibat -akibat nya t ak t erelakkan lagi korupsi
(unt uk kant ong pribadi maupun kas part ai) mearj alela dan dayakerj a merosot . Dan j ika pemerint ahan selama periode 1950-57
t erbent uk oleh koalisi part ai, maka pembagian f ungsi dan j abat an
depar t emen menur ut pat r onase pol i t ki k (hubungan bapak—
anakbuah) membuat sit uasi makin gawat . Sebuah pet unj uk bagus
bet apa “ rapuh” aparat negara adalah kalimat dalam U. U. No. 1/
1957 yang mewaj ibkan kepala-daerah dipilih melalui pencalonan
(oleh pendukung part ai), bukan diangkat oleh pusat (Legge, 1961:
bab 9).
Tet api bukan hanya part ai polit ik yang merasuki t ubuh apar at
negara. Baik pada masa Revolusi maupun set elahnya, banyak
kalangan elit e t radisional yang semula bersekongkol dengan Belanda
di daerah-daerah yang t erbelakang di luar Jawa, kehilangan (at au
t akut kehilangan) kedudukan dan hart a-benda mereka. Merasa
lemah dalam kancah pemilihan umum, maka mengirim anak-anak
mereka ke sekolah-sekolah kepegawaian. Kelompok bangsawan
muda dar i suku-suku mi nor i t as i ni kemudi an memper kaya
per put ar an negar a dengan di mensi “ et ni k“ yang ber gai r ah
konservat if dan cenderung kesukuan (lihat Magenda, akan t erbit ).
Namun dalam proses ini muncul dua kekuat an pokok yang pada
akhir periode parlement er mencoba menyelamat kan negara. Yang
paling pent ing ialah TNI/ Angkat an Darat , dan yang lain ialah,
presiden Sukarno sert a kekuat an-kekuat an pendukungnya. Selama
sat u dasawarsa (1950-an), t ent ara dilanda sengket a int ern, t api
lambat laun pucuk pimpinan TNI/ AD berhasil memperkuat wibawa
pimpinan di pusat . (Mc Vey, 1971-72). Pimpinan ini menj alankan
polit ik mengembangkan ket angguhan korps dan prof esi melalui
pendidikan st af dan komando kemilit eran di luar negeri (t erut ama
di Amer i ka Ser i kat ) dan mengembangkan l embaga-l embaga
pendidikan sendiri di dalam negeri yang kesemuanya t erkendali
dari pusat . Selain it u, dengan bant uan besar dari luar negeri,
pucuk TNI/ AD membangun komando milit ernya sendiri sebagai
| 15 |
suat u kekuat an operasional yang mampu bergerak cepat ; komando
khusus ini pada t ahun 1960-an t elah mat ang dan dikenal sebagai
Komando Cadangan St rat egis Angkat an Darat , KOSTRAD. Terut ama
berkat bant uan Uni Sovyet , ABRI membangun marinir dan angkat an
udara yang kuat (angkat an-angkat an ini membut uhkan modal besar,
j adi—lain dengan TNI/ AD—t ak mungkin t umbuh dari kekuat an
geril ya yang menyebar di masa Revol usi). Maka, pada 1962,
pimpinan TNI/ AD cukup berhasil memberant as pembangkangan
perwira daerah, dan unt uk pert ama kali sej ak 1942 sebuah aparat
milit er dari lembaga negara menyat ukan seluruh bekas wilayah
Hindia Belanda di bawah sat u kendali sent ral. Dalam proses ini,
set i ap keber hasi l an suat u oper asi mi l i t er menyi si hkan par a
pet anding-kuasa di dalam perebut an-kuasa ant ar-milit er. Dengan
basis kekuat an di Jawa, para perwira t inggi memberkuat kendali
komando, sement ara pasukan-pasukan dari Jawa secara de f act o
menduduki dan menguasai berbagai kawasan di luar Jawa.
Akhirnya, pucuk TNI/ AD menemukan j alan unt uk menghadang
kekuat an-kekuat an dari t engah masyarakat yang memecah-belah
aparat sipil negara. Tit ik-balik ini t erj adi pada 1957. Pada 14
Maret , presiden Sukarno mengumumkan Undang-Undang Keadaan
Darurat (S. O. B. ) di seant ero negeri unt uk menanggulangi krisis
daerah, dan, dengan demikian, melimpahkan sumber-sumber
kekuat an i st i m ew a kepada apar at m i l i t er. Pada m ul anya
wewenang ini digunakan unt uk mengekang kegiat an part a-part ai
polit ik—t erut ama Part ai Komunis Indonesia (P.K.I.)—, dan menekan
organisasi-organisasi vet eran yang dikendalikan parpol, dalam
rangka memat ahkan kait an milit er dan parpol. Kemudian, ket ika
serikat -serikat buruh yang milit an pada bulan Desember merebut
sebagian besar keraj aan-dagang Belanda unt uk mengganj ar sikap
Belanda yang kepala-bat u dalam isu Irian Barat , ket ika it ulah,
pucuk TNI/ AD melangkah maj u dan menggant ikan serikat -serikat
i t u. (Lev, 1966: 34, 69-70). Mendadak par a per wi r a TNI/ AD
merebut kendali dari sebagian t erbesar perusahaan dalam sekt or
ekonomi modern t ersebut . Maka, unt uk pert ama kali korps perwira
TNI/ AD meraih sumber-sumber keuangan pent ing bagi dirinya
| 16 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
sendiri, dan dengan demikian, unt uk pert ama kali pula, melekat kan
suat u kepent i ngan ekonomi kor por at ( usaha dagang yang
t er or ganisasikan) pada lembaga ABRI secara keseluruhan, sebagai
suat u sekt or ekonomi t ersendiri di dalam masyarakat Indonesia.
Jadi, pada 1957, unt uk pert ama kali sej ak 1942, sumbersumberdaya
ekonomi yang ut ama (bagi seluruh bangsa) j at uh ke t angan suat u
kendali-t unggal (dari sat u aparat di dalam negara).
Dalam proses t adi, t okoh Sukarno yang kharismat is menj alin sekut u
dengan pimpinan TNI/ AD. Menghadapi ket egangan regional yang
kemudian memuncak dengan pecahnya perang saudara pada
Pebruari 1958, Sukarno melihat bahaya perpecahan bangsa semakin
besar. Ancaman ini dianggapnya semakin gawat , karena Amerika
Serikat (at au, paling t idak, Dinas Rahasia C. I. A. ) menyokong para
pembangkang daerah dengan persenj at aan dan uang. Mengingat
pengalaman masa lampau, Sukarno makin yakin, bahwa kabinet
koal isiant ar part ai—bahkan j uga pamornya pribadi—t ak akan
berdaya memadai unt uk mencegah bahaya nasional t ersebut .
Hanya TNI/ AD yang mampu menghadapinya. Oleh karena it u, bagi
Sukarno, pent ing unt uk memberi pimpinan TNI/ AD hal-hal yang
menurut mereka sangat dibut uhkan yait u, U. U. Darurat , kekangan
t erhadap parpol, kendali at as perusahaan-perusahaan Belanda,
dan pencabut an U. U. No. 1/ 1957. Besar kemungkinan, Sukarno
belakangan pun yakin bahwa cit a-cit a mengembalikan Irian Barat
ke pangkuan Republik hanya dapat diwuj udkan dengan membangun
suat u kekuat an milit er yang t angguh, yang oleh Belanda (dan
Amerika Serikat ) dianggap serius.
Kendat i demikian, Sukarno j uga menyadari sepenuhnya, bahwa
konsolidasi TNI/ AD unt uk pert ama kali dalam sej arah membuka
peluang suksesnya suat u kudet a dan t egaknya suat u rezim yang
didominasi kaum milit er. Karena it u, dengan cepat ia menggunakan
wibawa polit ik dan wewenang legal-nya berdasarkan U. U. D. 1945
(yang diberlakukan kembali melalui suat u dekrit pribadi presiden
pada 1959) unt uk mencegah t ent ara menindas parpol dan ormas. 5
5
Dengan ini tidak disangkal bahwa Sukarno sudah lama jengkel atas pembatasan-
| 17 |
Koalisi ant ara pimpinan TNI/ AD dan Sukarno selanj ut nya relat if
m eud ahk an p er al i han d ar i “ Dem ok r asi Par l em ent er “ k e
“ Demokrasi Terpimpin. “ Koalisi ini memang bermanf aat t ert ent u,
t api mulai berant akan ket ika kepent ingan-kepent ingan langsung
kedua pihak t idak lagi sej alan. Sengket a-sengket a ant ara kedua
part ner dan ant ara kekuat an-kekuat an yang menj agokan masingmasing pihak, semula menimbulkan gej olak polit ik hingga akhirnya,
pada t ahun 1965-66, pecah bencana besar.
Pada hakekat nya, t uj uan pokok koalisi ini ialah, unt uk menyerap
seluruh bekas wilayah Hindia Belanda ke dalam Republik, dan
menegakkan kembali wibawa pusat negara di seant ero Nusant ara.
Bagi Sukarno, sasaran ini t elah t ercapai pada awal 1963, ket ika
kombinasi siasat diplomasi dan gebrakan milit er Indonesia akhirnya
ber hasi l m engger akkan Am er i ka Ser i kat , unt uk m engat ur
kembalinya Irian Barat ke pangkuan R. I. (melalui pemerint ahan
ad int erim P. B. B. ). Akan t et api, ini semua harus dibayar mahal.
Pert ama-t ama, Angkat an Darat semakin kuat , t angguh dan kuasa.
Selain it u, hubungan TNI/ AD dan Amerika Serikat semakin akrab
dan menghasil kan buahnya: kekuat an mil it er asing (Amerika
Serikat ) yang dominan di kawasan (Asia Tenggara) ini sekarang
punya bat u penunj ang (TNI/ AD) yang berakar di dalam t ubuh
negara Indonesia, yang berart i suat u sumber pengaruh yang
berbahaya. 6 Dalam pandangan Sukarno, perasukan pengaruh ini
sangat membat asi kedaulat an bangsa Indonesia dan daya-mampu
pembatasan yang dikenakan padanya oleh UUD sistem parlementer 1950, juga tidak
disangkal bahwa Sukarno menikmati keleluasaan kekuasaan kepresidenan sebagaimana
ditetapkan oleh UUD 1945. Selain itu, dalam memberikan perlindungan kepada partaipartai dan organisasi-organisasi masa (kecuali bagi PSI dan Masyumi yang ia bubarkan
karena terlibat dalam PRRI), ia jelas didorong oleh kebutuhan akan dukungan politik
yang terorganisasi, sebagai imbangan bagi TNI/AD. Memang sedemikian kuatirnya
Sukarno terhadap pamrih TNI/AD sehingga ia bertindak sebegitu jauh dengan
memamerkan pilih-kasihnya pada AL, AU dan Polri.
6
Hal ini dengan halus digambarkan oleh Dubes kawasan Amerika di Indonesia (195865), Howard Jones, dalam memoarnya: “Dalam pengertian kekuasaan politik ini berarti
menempatkan taruhan terbaik kita pada TNI/AD … memelihara kesetiaan kelompok
perwira tinggi TNI/AD yang pro Amerika dan anti komunis” (1971: 126-27).
| 18 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
negara unt uk membenahi masalah dalam negeri dengan ot onomi
yang maksimal . Lebih l anj ut , dengan penguasaan at as bekas
perusahaan-perusahaan Belanda, maka pucuk pimpinan TNI/ AD
kini berada dalam kedudukan yang langsung bert olak belakang
(ant agonist is) dengan kekuat an rakyat —t erut ama para buruh dan
pet ani yang bekerj a di t ambang, perkebunan dan perusahaanper usahaan dagang pent i ng l ai nnya. Jadi , sel ai n menyadar i
kedudukan pribadinya makin t erancam, Sukarbo j uga melihat
bahaya mengancam t uj uan-t uj uan gerakan nasionalis yang semula
(Legge, 1972: bab 12-13; Hauswedell, 1973).
Jalan ke luar yang dit empuh Sukarno dalam menghadapi masalah
ini, pada hakekat nya t erdiri dari dua macam komponen yang
berlainan. Komponen per t ama adalah usaha menggalang kembali
(remobilisasi) organisasi-organisasi masyarakat di luar badan negara
(dalam ungkapan Sukarno: “ Kembali ke Rel-Rel Revolusi Kit a“ ) di
bawah kepemimpinan ideologisnya pribadi. (Pada 1 Mei 1963
segera set elah Irian Barat kembali ke R. I. , Sukarno mencabut
U. U. Keadaan Darurat dan menghidupkan kembali kebebasan
parpol). Walaupun selama Demokrasi Terpimpin pemilihan umum
t idak diselenggarakan, t et api—demikian paradoksnya—hal ini j ust ru
sangat memudahkan remobilisasi massa. Sebab, irama kerj a sist em
parlement er-konst it usional yang rut in, cermat dan memusat pada
kegiat an legislat ive, kini digant ikan oleh akselerasi kemelut polit ik
massa yang semakin mengakar dan meluas ke seluruh masyarakat
Indonesia. Part ai-part ai polit ik yang pent ing pada masa it u—yait u
P. K. I. (Komunis), P. N. I. (Nasionalis) dan Part ai Islam konservat if
Nahdat ul Ul am a, t i dak saj a m engar ahkan kegi at an unt uk
memperluas j umlah anggot a part ai, t api j uga mengembangkan
j umlah anggot a ormas-ormas yang berafiliasi dengan masing-masing
part ai (organisasi pemuda, mahasiswa, perempuan, pet ani, buruh,
cendeki aw an, dl l . ). Aki bat nya, pada akhi r masa Demokr asi
Terpimpin, set iap part ai besar mengklaim diri sebagai induk dari
suat u “ keluarga” ideologis yang membesar dan t erorganisasikan,
masi ng-masi ng dengan anggot a seki t ar 20 j ut a, dan semua
“ keluarga besar” ini saling bersaing sengit t anpa hent i di segala
| 19 |
bidang kehidupan. Dengan demikian, arus pengaruh masyarakat
ke dalam lembaga negara yang dulu pernah dibendung, bahkan
dibalikkan sej ak diberlakukannya U.U. Keadaan Darurat pada 1957,
kini (sej ak 1963), berulang kembali. Bahkan ABRI j uga didesak
pengaruh masyarakat , ket ika Sukarno melancarkan kampanya
“ Nasakomisasi” (mengikut sert akan unsure nasionalis, komunis dan
agama ke dalam) semua aparat negara, dan pada 1965, kampanye
pembent ukan sebuah Angkat an Kelima (selain keempat angkat an
bersenj at a yang t elah ada: darat , laut , udara dan polisi) yang
dihimpun dari t enaga sukarela rakyat .
Komponen kedua i al ah usaha Sukar no menggar i skan hal uan
ekonomi yang aut arki (“ berdikari” ) dan polit ik luar negeri yang
ant i imperialisme. Lat ar belakang arus yang sangat nasionalis ini
perlu dit inj au secara lengkap dalam kesempat an lain. Dalam t ulisan
ini, cukup kit a cat at bahwa haluan it u dimaksud unt uk, pert ama,
menggalakkan penggalangan massa rakyat di bawah bimbingan
langsung Sukarno pribadi, dan, kedua, menekan set iap pot ensi
per pecahan bangsa. 7 Hal uan Negara t ersebut j uga bert uj uan
mengekang kedudukan t akt i s Amer i ka Ser i kat yang sangat
mengunt ungkan (melalui TNI/ AD) di dalam imbangan kuasa polit ik
dalam negeri Indonesia. Baik presiden maupun para pendukung
polit iknya sangat menyadari bet apa pent ing pengaruh “ American
Connect i on” ( per sekongkol an m el al ui pendi di kan m i l i t er,
penyediaan dana dan persenj at aan sert a melalui dinas int elej en)
bagi pimpinan TNI/ AD. Kampanye mengalakkan ot onomi polit ik
dan ekonomi dipandang sebagai suat u cara yang halus dan t epat
sasaran unt uk memat ahkan persekongkolan ini. 8
Tet api, perkembangan selanj ut nya membukt ikan bahwa polit ik
7
Lihat Hindley (1962). Meminjam kata-kata Hindley, orang bisa mengatakan bahwa
Sukarno sesungguhnya bermaksud menjinakkan semua kekuatan politik di Indonesia.
Bandingkan Anderson (1965).
8
Tak mengherankan, tak dilancarkan kampanye serupa terhadap “Sovyet Connection”—
bukan karena PKI punya hubungan baik dengan PKUS, justru hubungan baik itu tak
ada—tetapi karena perlengkapan militer Sovyet mengalir kepada saingan TNI/AD, AL
dan AU.
| 20 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
yang dij alankan Sukarno it u, paling t idak mengingat kondisi-kondisi
saat it u, t idak dapat bert ahan lama. Penyebab dasarnya t erlet ak
pada perkembangan ekonomi: Indonesia t erlampau miskin dan
lemah unt uk dapat membangun angkat an bersenj at a yang besar
dan kuat dan sekaligus menj alankan polit ik luar negeri yang milit ant
dan mant ap; 9 unt uk dapat mewuj udkan perekonomian aut arki
yang hendak mengusir sebagian besar modal asing, t api melepas
sekt or produksi modern di bawah kelola para perwira milit er
yang t idak berpengal aman dan mudah disuap; dan sekal igus
menggerakkan mobil isasi gerakan-gerakan rakyat yang sal ing
bert anding sengit . Maka, sat u-sat unya cara unt uk menanggulangi
t ekanan keuangan ialah mencet ak uang dalam j umlah yang main
besar. Seolah sepert i zaman pendudukan Jepang berulang (dengan
penyebab-penyebab st ruct ural yang serupa), nilai rupiah merosot
dahsyat : dalam pasar gelap, nilai t ukar dollar Amerika ant ara awal
1962 s/ d akhir 1965, naik dari Rp. 470, - menj adi Rp. 50. 000, sebuah kurva yang makin menj ulang t inggi sej ak pert engahan 1964
(lihat Mackie 1967, t able 3). Inf lasi yang menggila ini menyent uh
segal a segi kehi dupan masyar akat , bangsa dan negar a, dan
akhirnya, menj adi maut yang mencekik Demokrasi Terpimpin.
Yang perlu dicat at dari hyperinf lasi it u adalah dua dampaknya
yang berikut . Per t ama, sepert i halnya pada zaman Jepang di
masa belakangan, daya-kerj a aparat sipil negara makin berant akan,
kar ena kor upsi dan pemi l i kan t anah mangki r (absent ei sme)
meraj al el a, sedang prasarana komunikasi, pengangkut an dan
perpaj akan parah. (Namun hal ini t idak menghal angi aparat
birokrasi t et ap t umbuh—bahkan, boleh dikat a, membengkak j auh
di luar proporsi). Sat u-sat unya aparat negara yang swa sembada,
mampu bert ahan ialah TNI/ AD: unt uk sebagian (pada sisi polit ik)
karena TNI/ AD secara “ legal“ t idak bisa disusupi pengaruh part ai,
dan sebagian lagi (pada sisi ekonomi) karena TNI/ AD menguasai
aset (kekayaan) nyat a negara, bukan sekedar aset f ormal. Jadi,
t ahun-t ahun t erakhir Demokrasi Terpimpin di sat u pihak dit andai
9
Khususnya politik “konfrontasi” yang dilancarkan terhadap negara federasi yang baru
saja dibentuk, Malaysia, September 1963.
| 21 |
oleh aparat TNI/ AD yang semakin j aya dan menguasai aparat aparat pemerint ahan lain.
Kedua , di l ai n pi hak i nf l asi yang dahsyat m em bakar api
permusuhan dalam kancah polit ik dalam negeri, seolah t inggal
menunggu saat meledak. Dengan semakin merosot nya t ingkat
hidup kaum miskin, maka dari dalam t ubuh P. K. I. t imbul desakan
kuat unt uk memperj uangkan kepent ingan-kepent ingan hidup
mel al ui cara-cara yang l ebih mil it an. Perusahaan-perusahaan
negara yang dianggap “ vit al “ (kunci) mengel uarkan l arangan
mogok, dan hal ini sangat mempersulit serikat -serikat kerj a unt uk
bergerak gigih.
Sedang, di kancah pedesaan, pel uang unt uk gerakan mil it an
t ampaknya lebih baik: maka pada 1964, P. K. I. mulai melancarkan
“ Aksi Sepi hak “ unt uk memaksakan pelaksanaan Undang-Undang
Land Ref orm dan Bagi Hasil 1959/ 1960, perombakan hak milik,
dan sewa t anah yang agak lunak. (Mengenai kont eksnya lihat
Mort imer, 1972). Tapi, saat yang dipilih unt uk gerakan ini sangat
buruk, sebab hyperinf lasi j ust ru mengakibat kan orang ramai-ramai
melepas uang kont an, j adi, kalangan yang cukup berada haus akan
t anah dan kalangan pemilik t anah bersikeras mempert ahankan
miliknya. Dalam kelompok t ersebut pert ama t erdapat banyak
pej abat sipil dan milit er, sedang di ant ara kelompok t uan t anah
banyak sekali t okoh-t okoh elit daerah dari part ai N. U. dan P. N. I.
(lihat Mort imer, 1972, Lyon, 1971, Rocamora, 1974). Maka kemelut
kekerasan ant i P. K. I. berkecamuk beberapa bul an menj el ang
pecahnya G30S yang di pi m pi n l et kol . Unt ung. Hal m ana
mempersiapkan medan bagi pimpinan TNI/ AD unt uk menggerakkan
pembant aian 1965-66, yang akhirnya menyeret seluruh t at anan
Demokrasi Terpimpin—dan kemudian j uga Sukarno—t enggelam ke
dalam sej arah.
III. SUHARTO, APARAT NEGARA DAN HALUAN ORDE BARU
Bagian t erakhir karangan ini mengaj ukan argumen bahwa t at anan
Orde Baru dipahami sebagai suat u kebangkit an kembali lembaga
| 22 |
Negara Kolonial Dalam B aj u Orde B aru
negara dan kemenangan t erhadap kekuat an masyarakat dan bangsa.
Dasar-dasar kemenangan negara t erlet ak pada penghancuran f isik
P. K. I. dan sekut u-sekut unya, penindasan gerakan-gerakan dari
t engah masyarakat , pembersihan aparat negara (Orde Lama